Membela Kaum Tertindas

Prioritas: c, Kualitas: b
tanpa navbox
tanpa alih
tanpa referensi
Dari wikishia

Membela Kaum Tertindas (bahasa Arab:الدفاع عن المظلوم) merupakan salah satu hal logis dan sesuai dengan fitrah manusia yang ditekankan oleh Al-Qur'an dan hadis-hadis Islam dan para fukaha menganggap pembelaan terhadap kaum tertindas adalah suatu kewajiban. Diriwayatkan dari Nabi saw, jika seseorang mendengar teriakan permintaan tolong dari orang yang tertindas dan tidak menjawabnya, maka dia bukanlah seorang muslim. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa riwayat yang menunjukkan keharusan untuk membela kaum tertindas sudah mencapai derajat mutawatir.

Dalam riwayat-riwayat Islam disebutkan pahala membela kaum tertindas, adalah duduk bersama Nabi saw dan meruntuhkan dosa-dosa besar. Sebaliknya, tidak menolong kaum tertindas dianggap sebagai penyebab keluarnya dari Islam dan kehancuran; Seperti yang dikutip dari Imam Husain as sebelum tragedi Karbala, dia berkata kepada Ubaidullah bin Hur Jufi: "Tidak menanggapi seruan Imam yang tertindas dan tidak membantunya akan menyebabkan kehancuran manusia oleh Tuhan."

Kehadiran Nabi saw dalam Hilful Fudhul dan fakta bahwa Imam Ali as menjadikan menolak penindasan dan perampasan hak sebagai syarat agar beliau as bersedia menerima pemerintahan, dianggap sebagai contoh membela kaum tertindas.

Para fukaha tidak menganggap pembelaan terhadap kaum tertindas hanya terbatas pada orang-orang seagama atau sebatas wilayah satu geografis tertentu saja, bahkan sebagian dari mereka telah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban membela rakyat Palestina. Dalam prinsip ketiga Konstitusi Republik Islam Iran, ditekankan masalah pembelaan kepada Palestina pada bagian “Dukungan Tanpa Ragu Kepada Kaum Tertindas di Dunia”.

Murtadha Muthahhari dan Sayid Muhammad Beheshti, salah satu ulama Syiah di zaman revolusi, mengatakan bahwa di dalam Islam, toleransi terhadap penindasan sama buruknya dengan para penindas. Dikutip dari pernyataan Imam Ali as di dalam Nahj al-Balâghah yang mengatakan bahwa orang yang lemah tidak dapat menjauhdan dirinya dari kezaliman terhadapnya, dan hak -hak mereka tidak dapat diperoleh kecuali melalui usaha sungguh – sungguh.

Urgensitas Pembahasan

Para ulama muslim banyak menekankan masalah pembelaan terhadap kaum tertindas dan mereka meyakini bahwa hal tersebut merupakan kewajiban rasional dan sesuai dengan fitrah,[1] yang sangat dianjurkan hadis dan Al-Qur'an bahkan ditetapkan sebagai kewajiban syar’i. Menurut Musawi Sabzawari, riwayat yang menceritakan mengenai pembelaan terhadap kaum tertindas sudah mencapai derajat mutawatir.[2] Makarim Syirazi, seorang fakih, ulama dan mufasir Al-Qur'an, dengan mengutip ayat ke-75 Surah an-Nisa [catatan 1] menyebutkan bahwa membela kaum tertindas sebagai salah satu bagian dari jihad difai (defensif).[3]

Dalam banyak riwayat diketahui bahwa pahala membela kaum tertindas adalah akan hidup berdampingan dengan Nabi saw[4] dan terhapusnya dosa-dosa besar.[5] Imam Shadiq as menyebutkan hadis dari Rasulullah saw yang menyatakan bahwa Jika seseorang mendengar teriakan meminta tolong dan bantuan dari orang-orang yang terzalimi dan ia tidak menjawabnya, maka ia bukan lah seorang Muslim.[6]

Sayid Ali Khamenei

Membela kaum tertindas selalu menjadi titik terang. Tidak bergaul dengan para penindas, tidak menerima suap dari orang yang berkuasa dan orang yang memiliki harta serta berpegang teguh pada kebenaran adalah nilai-nilai yang tidak akan pernah ketinggalan zaman di dunia ini. Dalam berbagai situasi dan kondisi, sifat-sifat ini akan selalu bernilai dan bersinar.[7]

Murtadha Muthahhari berpendapat bahwa Allah Swt mengharamkan fitnah dan pencemaran nama baik orang lain, kecuali bagi orang -orang yang tertindas. Muthahhari berpendapat bahwa berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an,[8] Tuhan telah mengizinkan kaum tertindas untuk menyebarkan syiar perlawanan dengan "berteriak, dan menghina… para kaum penindas " dengan dalil bahwa bahwa "inilah cara untuk mewujudkan keadilan".[9]

Membela Kaum Tertindas dari Program Pemerintahan Imam Ali as

Sebelum Rasul saw diangkat menjadi Nabi, ia saw ikut serta sebagai wakil Bani Hasyim dalam ikrar Hilful Fudhûl, yaitu ikrar untuk membela kaum tertindas dalam melawan para penindas.[10]Imam Ali as, setelah umat Islam bersumpah setia kepadanya sebagai khalifah, menyatakan secara langsung bahwa pembelaan terhadap kaum tertindas untuk mendapatkan hak-hak mereka adalah bagian dari program pemerintahnya.[11] Dalam khotbah syiqsyiqiyyah, Imam as membahas salah satu alasan untuk menerima pemerintahan (setelah kematian Utsman) yakni adanya sebuah perjanjian yang Allah swt ambil dari para ulama untuk mencegah terjadinya kezaliman dari pihak yang tertindas.[12] Selain itu, Imam Ali as, setelah terkena pukulan Ibnu Muljam, mewariskan pesan ini kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as untuk selalu bermusuhan dengan para penindas dan menjadi penolong bagi kaum tertindas.[13] Menjamin keamanan kaum tertindas, seiring dengan penetapan batas-batasan (hukuman) ilahi dan perbaikan serta pengembangan kota, telah ditekankan dalam kata-kata Imam Husain as sebelum peristiwa Karbala.[14]

Kewajiban Syariah untuk Membela Kaum Tertindas

Shâhib al-Jawâhir dan Kâsyif al-Ghithâ’, di antara para fukaha Syiah, menganggap pembelaan terhadap kaum tertindas adalah wajib kifayah selama ia menduga dengan menolong akan tetap selamat dan mampu untuk melakukan pertolongan terhadap mereka.[15] Jawâd Tabrizi (wafat: 1385 Syamsyi), juga menganggap pembelaan terhadap kaum tertindas adalah suatu kewajiban bagi umat Islam.[16]

Pembelaan terhadap Negara-negara Tertindas

Menurut fatwa para fukaha, pembelaan kepada kaum tertindas tidak terbatas pada suatu batas geografis tertentu.[17] Para fukaha seperti Muhammad Husein Kâsyif al-Ghitâ’,[18] Ayatullah Burujerdi[19] dan Imam Khomeini[20] telah mengeluarkan fatwa tentang kewajiban membela rakyat Palestina. Dalam prinsip ketiga Konstitusi Republik Islam Iran, ditekankan untuk melakukan pembelaan kepada mereka di bawah tema " Dukungan Tanpa Ragu Kepada Kaum Tertindas di Dunia ".[21]

Mengutuk Kaum Tertindas yang Tidak Membela Diri

Murtadha Muthahhari, seorang ulama dan filsuf Syiah, percaya bahwa Islam telah berjuang melawan sifat lemah dan penindasan. Dari sudut pandangnya, Islam adalah musuh bagi para penindas, dan musuh bagi orang yang tunduk kepada para penindas, padahal ia mempunyai kekuatan untuk menjauhkan diri mereka dari penindasan.[22] Dinukil dari perkataan Imam Ali as bahwa orang lemah, sampai kapan pun tidak akan menghindari diri mereka dari kezaliman, dan hak-hak mereka tidak akan didapat kecuali dengan usaha yang sungguh-sungguh.[23]

Muhammad Behesyti, seorang mujtahid, politisi Syiah, juga mengatakan bahwa dalam Islam, orang yang menerima penindasan sama dosanya dengan para penindas, dan jika seseorang tunduk pada penindasan, hendaknya ia menyalahkan dirinya sendiri terlebih dahulu. Baheshti, dengan bersandar pada Surah al-A'raf ayat 38 yang menyebutkan bahwa sebagian penghuni neraka menginginkan hukuman ganda bagi para penghuni lainnya; Karena telah menindas dan menyesatkan mereka, akan tetapi Al-Qur'an menanggapinya bahwa dosa kedua kelompok itu sama dan mengatakan bahwa bagi kedua kelompok tersebut, hukumannya berlipat ganda.[24]

Catatan Kaki

  1. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 20, hlm. 464-467; Husaini Hamadani, Anvar-e Ferakhsyan fi Tafsir al-Quran, jld. 15, hlm. 65.
  2. Musawi Sabziwari, Muhdzib al-Ahkam, jld. 28, hlm. 156-157.
  3. Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jlld. 10, hlm. 321.
  4. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 20, hlm. 75.
  5. Nahj al-Balaghah, hikmah no 24.
  6. Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 164.
  7. Bayanat-e Ayatullah Khamenei dar Khutbeha-e Namaz-e Jumeh 21 ramazan, site farsi.khamenei.ir.
  8. QS. An-Nisa :148.
  9. Muthahari, Ponzdah Guftar, hlm. 96.
  10. Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 2, hlm. 41; Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 134.
  11. Nahj al-Balaghah, khotbah no 136, hlm. 194.
  12. Nahj al-Balaghah, khotbah no 3, editor Subhi Shalih
  13. Nahj al-Balaghah, surat no 47, editor Subhi Shalih, hlm. 421.
  14. Harrani, Tuhaf al-'Uqul, hlm. 239; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 34, hlm. 111.
  15. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 21, hlm. 310; Kasyif al-Ghitha, Kasyif al-Ghitha, jld. 4, hlm. 367.
  16. Tabrizi, Usus al-Hudud wa al-Ta'zirat, hlm. 459.
  17. Syahid Tsani, Masalik al-Afham, jld. 3, hlm. 8.
  18. Al-Marja'iyyah al-Syi'iyah wa Qadhaya al-Alam al-Islami min Fatawa wa Mawaqif al-Imam al-Syekh Muhamaad al-Husain Āl Kasyif al-Ghitha an Falestin, majalah al-Mausim, hlm. 191.
  19. Abazari, Ayatullah Burujerdi Ayatullah Ikhlash, hlm. 117.
  20. Imam Khomeini, Shahife-e Emam, jld. 2, hlm. 199.
  21. Ashl-e 3 Qanun-e Asasi, pazuhesykadeh Syura-e Negahban.
  22. Muthahari, Ponzdah-e Guftar, hlm. 96.
  23. Nahj al-Balaghah, khotbah no 29, editor Subhi Shalih, hlm. 73.
  24. Sukhanan-e Ajib Syahid Ayatullah Bahesyti dar maurid-e Satam Paziri, site aparat.com.

Catatan

  1. وَمَا لَکُمْ لَا تُقَاتِلُونَ فِی سَبِیلِ اللَّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِینَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِینَ یَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَٰذِهِ الْقَرْیَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْکَ وَلِیًّا وَاجْعَلْ لَنَا مِنْ لَدُنْکَ نَصِیرًا؛

    "Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak yang berdoa, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu."

Daftar Pustaka

  • Abazari, Abdul Rahim. Ayatullah Burujerdi Ayat-e Iikhlash. Teheran: Majma Jahani Taqrib Mazahib-e Eslami, 1383 HS.
  • Husaini Hamadani, Sayid Muhammad. Anvar-e Derakhsyan dar Tafsir-e Quran. Riset: Muhammad Baqir Bahbudi. Teheran: Penerbit Luthfi, 1380 H.
  • Ibnu Atsir, Izzuddin. al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Penerbit Dar Shadir, cet. 1, 1385 H.
  • Ibnu Hisyam, Abdul Malik bin Hisyam. al-Sirah al-Nabawiyah. Beirut: Penerbit Dar al-Ma'rifah, tanpa tahun.
  • Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Shahife-e Emam. Teheran: Yayasan Tauzi' va Nashr Āsar-e Emam Khomeini, 1389 HS.
  • Kasyif al-Ghitha, Ja'far bin Khidhr. Kasyf al-Ghitha an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra. Riset: Abbas Tabrizi. Qom: Kantor Tablighat-e Eslami, 1422 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar al-Jamiah li Durar Akhbar al-Aimmah al-Athar. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 2, 1403 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Payam-e Quran. Teheran: Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet. 9, 1386 HS.
  • Musawi Sabziwari, Sayid Abdul A'la. Muhdzib al-Ahkam fi Bayan al-Halal wa al-Haram. Qom: Penerbit Dar al-Tafsir, tanpa tahun.
  • Muthahari, Murtadha. Jahad. Qom: Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah, 1374 HS.
  • Muthahari, Murtadha. Ponzdah-e Guftar. Teheran: Penerbit Shadra, 1380 HS.
  • Nahj al-Balaghah. Editor: Subhi Shalih. Qom: Penerbit Dar al-Hijrah, 1414 H.
  • Site ccri.ac.ir. Ashl-e 3 Qanun-e Asasi. Pazuhesykadeh Syura-e Negahban, dilihat 12 Urdibehest 1403 HS.
  • Site farsi.khamenei.ir. Bayanat-e Ayatullah Khamenei dar Khutbeha-e Namaz-e Jumeh 21 Ramazan. Dilihat 12 Urdibehest 1403 HS.
  • Site noormags.ir. Al-Marja'iyyah al-Syi'iyah wa Qadhaya al-Alam al-Islami min Fatawa wa Mawaqif al-Imam al-Syekh Muhamaad al-Husain Āl Kasyif al-Ghitha an Falestin. Majalah al-Mausim. Belanda-Nederland: Vol, 18, 1414 H.
  • Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Masalik al-Afham ila Tanqih Syara'i al-Islam. Qom: Yayasan al-Ma'arif al-Islamiah, 1413 H.
  • Tabrizi, Jawad. Usus al-Hudud wa al-Ta'zirat. Qom: Tanpa penerbit, 1417 H.