Lompat ke isi

Tauhid: Perbedaan antara revisi

4.659 bita ditambahkan ,  1 Agustus 2015
imported>Hindr
imported>Hindr
Baris 215: Baris 215:


==Tauhid Irfan==
==Tauhid Irfan==
Masalah tauhid dalam irfan saling berkaitan dengan masalah yang pelik ''wahdat syahshi'' (particular Unity).
===Tauhid Af’ali===
===Tauhid Af’ali===
Menurut irfan, dalam tingkatan sair suluk, ketika seseorang melewati tingkat ''ma’rifah al-nafs'' dan masuk dalam lembah tauhid, dia mengetahui dan melihat tingkat pertama tauhid, yaitu tauhid af’ali. Jadi istilah tauhid af’ali menurut para arif yakni melihat dan mendapatkan setiap fenomena yang bersumber dari Allah dan semua hal sejatinya adalah perbuatan-Nya dan sebab yang tak lebih hanya sebuah sarana semata.
===Tauhid Sifat===
===Tauhid Sifat===
Saat manusia naik ke tingkat yang lebih tinggi dan mendapatkan kemampuan dalam maqom ini dan melanjutkan sair dan suluknya, maka dia akan sampai pada maqom tauhid sifat. Tauhid sifat ini berbeda dengan tauhid sifat yang diketengahkan dalam istilah filsafat. Mereka mengatakan manusia sampai pada batas dimana setiap melihat sifat kesempurnaan maka itu bersumber dari Allah.
Dalam tingkat sebelumnya, arif melihat bahwa setiap perbuatan dari Allah, dalam tingkat ini seorang arif melihat setiap sifat adalah kesempurnaan dari Allah; yakni melihat bahwa tidak ada yang benar-benar memiliki ilmu kecuali Allah. Ilmu selainnya merupakan manifestasi dari ilmu Ilahi.
Ilmu hakiki milik Allah dan hanya Dia-lah yang memiliki ilmu hakiki. Ilmu-ilmu lain merupakan setitik bayangan dari ilmu tak terbatas Ilahi. Semua kemampuan merupakan manifestasi dari kekuatan Allah, yang termanifestasikan dalam penciptaan dan jika tidak, maka kekuatan bersumber dari-Nya.
Jadi, tauhid dengan sifat ini berartikan bahwa seorang arif mendapati bahwa semua sifat sempurna merupakan sifat Allah dan apa yang dilihat dalam penciptaan merupakan bayangan, naungan dan manifestasi dari sifat asli tersebut.
===Tauhid Dzati===
===Tauhid Dzati===
Tahap tauhid terakhir yang diketengahkan oleh para arif adalah tauhid dzati, dimana di kalangan arif disebut dengan wahdatul wujud. Manusia dalam perjalanan kesempurnaannya sampai pada batas mengetahui ekistensi hakiki hanya terbatas pada Allah semata.
Adapun apa yang ada di alam wujud, kesemuanya adalah manifestasi dan gambar dari wujud-Nya. Tentunya ungkapan gambar bukanlah ungkapan yang tepat; namun diketengahkan hanya untuk pendekatan logika saja. Para arif mengatakan, ketika manusia sampai pada tingkatan tauhid tertinggi, apa yang mereka lihat, seolah-olah melihat ke cermin, dimana wujud Allah termanifestasikan disitu. Kastrah (majemuk) yang dilihat di dunia ini, adalah kastrah cermin. Cermin beragam dan cahaya yang termanifestasi dalam semua cermin ini adalah satu cahaya, cermin bukanlah cahaya, namun penunjuk cahaya tersebut.
{{hadis|﴾اللَّهُ نُورُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكاةٍ فيها مِصْباحٌ ﴿}}“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus”. (QS. An-Nur: 35).
Ini adalah tingkatan tertinggi yang diraih oleh manusia dalam perspektif tauhid.
Memahami apa yang telah diklaimkan oleh para pemuka ini dan menuangkannya ke dalam bentuk lafaz-lafaz yang biasa adalah pekerjaan yang tidak mudah dan ucapan para arif dalam hal ini sejak dahulu mendapat kritikan oleh para teolog, faqih dan filosof.
tentunya dengan berbaik sangka kepada orang-orang yang menjelaskan ideology mereka dalam karya-karya mereka secara benar dan akhlak mereka adalah akhlak Islam dan perangai mereka selaras dengan kadar syariat, maka kita berhak berprasangka baik, bahwa mereka tidak membual tentang klaiman semacam ini.
Namun, ketidakfasihan lafaz-lafaz telah membuat apa yang mereka nukil untuk kita tidaklah jelas. Orang-orang yang membuktikan dalam buku-buku mereka bahwa Allah bukan jism (tubuh) dan tidak beringkarnasi dalam jism, ketika mereka berkata: Kita tidak melihat selain Allah, ini bukan berarti bahwa apa yang kita lihat adalah Allah; Bahkan maknanya adalah bahwa dalam cermin-cermin ini kita melihat keindahan yang kita cintai.
Orang-orang yang kehidupannya penuh dengan penghambaan dan ketaatan kepada Allah, jika mengklaim diri mereka demikian, kita berhak melihat mereka dengan prasangka baik dan berkata bahwa ucapan mereka memiliki makna yang tinggi, yang mana kita tidak memahaminya dengan baik; bukan kita berprasangka baik kepada setiap manusia yang sembarangan, yang begitu saja, masuk dalam irfan.
Dalam riwayat juga telah ada isyarat seperti hal ini, bahkan di kalangan para sahabat [[Rasulullah Saw]] dan [[Imam-imam Syiah|para Imam suci As]], ada orang-orang yang memahami suatu hal, namun tidak dapat mengatakan, bahkan kepada teman terdekatnya sekalipun. <ref>Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi'', pelajaran 11. </ref>
==Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)==
==Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)==


Pengguna anonim