Lompat ke isi

Tauhid: Perbedaan antara revisi

4.135 bita ditambahkan ,  1 Agustus 2015
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Baris 196: Baris 196:


==Tauhid dalam Filsafat==
==Tauhid dalam Filsafat==
Tauhid atau mengesakan Allah – setelah terbuktikan wujudnya, yang termasuk pembahasan teolog pertama dalam makna khusus – termasuk salah satu masalah terpenting dalam filsafat Islam.
Para filosof memilih beragam cara dalam menjelaskan dan membuktikan tauhid, yang menunjukkan pengembangan dan penyempurnaan metode serta beragam aspek penelitian dan kajian dalam hal ini.
Dalam filsafat Islam, setiap dari tiga tingkatan tauhid, yakni tauhid dzati, tauhid sifat dan tauhid af’ali dikaji dan diberikan beragam argumentasi. Semisalnya, menurut filsafat (seperti Ibnu Sina) <ref>Ibnu Sina, 1363 S, hlm. 4-5; Ibid., 1376 S, hlm. 60.</ref>  dengan bertolak bahwa Allah adalah Wajibul Wujud bi dzat, maka menafikan tauhid sama halnya dengan melazimkan pertentangan dan kontradiksi.
Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. <ref>Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267. </ref>
Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر “Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar”. <ref>Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124. </ref>
Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. <ref>1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47. </ref> 
Mulla Shadra<ref>1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38. </ref> , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) “Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha” mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.
Dalam masalah tauhid sifat yakni entitas dzat dan sifat, juga diketengahkan beberapa hal dalam filsafat dan pandangan Syiah diterima. Para filosof setelah Ibnu Sina, mengetengahkan tauhid sifat dari aspek kontras pandangan filsafat dengan pendapat masyhur teolog dalam masalah ini. Khajah Nasiruddin Thusi<ref>Hlm. 45-53. </ref>  menjelaskan pendapat Asy’ari, yang mendasarkan penambahan sifat pada dzat, yang mengakibatkan penerimaan qodim delapan. Dari sisi lain diketengahkan pendapat Mu’tazilah yang mendasarkan pada penggantian dzat dari sifat dan menjelaskan pendapat filsafat dihadapan dua pendapat masyhur teolog ini.
Shadruddin Syirazi<ref>Mulla Shadra, Asfar, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 120-121; Ibid., 1346 S, hlm. 38-39. </ref>  mengembalikan pandangan filsafat sebelum dia (Ibnu Sina, Farabi dan Syaikh Isyraq) dengan pokok dasar pendapatnya (Basit al-Hakikah) dan mengaplikasikannya dengan pendapat tersebut.
Demikian juga dalam tauhid af’ali, filsafat menegaskan bahwa tidak ada pelaku dan pengaruh apapun selain Allah dan semua perbuatan dengan tanpa perantara apapun, semua bersandar kepada-Nya, dengan tanpa menyandarkan wujud sebagian eksistensi kepada sebagian selainnya. Dengan demikian, pemuncul pertama atau kedua tidak memiliki arti, bahkan semuanya bersumber dari Allah. Dengan demikian, tauhid perwujudan berujung pada tauhid wujud dan tauhid perbuatan berujung pada tauhid dzat, karena penciptaan merupakan cabang dari wujud. Dan sumber pengaruh dan pengaruh sumber, kedua-duanya adalah wujud<ref>Shadruddin Syirazi, 1337 S, Safar Awwal (pertama), jild. 2, hlm. 324-325; Zanuzi, hlm. 269-270; Sabzewari, 1357 S, hlm. 336-337; Ibid., 1416-1422, jild. 3, hlm. 621-622. </ref> ; Filsafat Hikmah Muta’aliyah, biasanya menjelaskan pembahasan ini dengan idiom-idiom irfan dan lebih dekat dengan metode dan cara mereka. <ref>Ibid. </ref>
==Tauhid Irfan==
==Tauhid Irfan==
===Tauhid Af’ali===
===Tauhid Af’ali===
Pengguna anonim