Pengguna anonim
Tauhid: Perbedaan antara revisi
→Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam
imported>Hindr |
imported>Hindr |
||
Baris 18: | Baris 18: | ||
Ajaran tauhid merupakan poros ajaran [[Islam]] dan merupakan pesan terpenting [[Al-Quran]]. Masalah ini terlihat dari afirmasi [[Al-Quran]] dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat [[Al-Quran]] terkait masalah tersebut dan menurut legitimasi [[Al-Quran]], semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. <ref>Q.S. [[Surah Al-Anbiya|Al-Anbiya]]: 25. </ref> | Ajaran tauhid merupakan poros ajaran [[Islam]] dan merupakan pesan terpenting [[Al-Quran]]. Masalah ini terlihat dari afirmasi [[Al-Quran]] dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat [[Al-Quran]] terkait masalah tersebut dan menurut legitimasi [[Al-Quran]], semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. <ref>Q.S. [[Surah Al-Anbiya|Al-Anbiya]]: 25. </ref> | ||
Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut syirik sebagai sebuah dosa tak terampuni: | Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut [[syirik]] sebagai sebuah dosa tak terampuni: | ||
<center>{{hadis|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center> | <center>{{hadis|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center> | ||
Baris 25: | Baris 25: | ||
Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin As]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref> | Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin As]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref> | ||
Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif | Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif. Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini. | ||
Kalimat pertama Rasulullah Saw kepada masyarakat [[Mekah]] di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi [[syirik]]. <ref>Ya’qubi, jild. 2, hlm. 24. </ref> Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun - mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah Swt. <ref>Seperti Muad bin Jabal dalam perjalanannya ke [[Yaman]], rujuklah Ya’qubi, jild. 2, hlm. 76, 81. </ref> | Kalimat pertama [[Rasulullah Saw]] kepada masyarakat [[Mekah]] di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi [[syirik]]. <ref>Ya’qubi, jild. 2, hlm. 24. </ref> Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun - mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah Swt. <ref>Seperti Muad bin Jabal dalam perjalanannya ke [[Yaman]], rujuklah Ya’qubi, jild. 2, hlm. 76, 81. </ref> | ||
Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian orang menggunakan tauhid sebagai tanda kaum muslimin dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Asy’ari, hlm. 146; Mufid, hlm. 51. </ref> | Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian orang menggunakan tauhid sebagai tanda kaum muslimin dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Asy’ari, hlm. 146; Mufid, hlm. 51. </ref> |