Lompat ke isi

Tauhid: Perbedaan antara revisi

40 bita ditambahkan ,  30 Juli 2015
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Tauhid''' ([[Bahasa Arab]]: '''التوحيد''') berarti mengesakan Tuhan dan merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting Islam. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh Nabi Islam untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat La Ilaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih Islam kembali kepada tauhid. <ref>Muthahhari, Asyenai ba Qur’an, jild. 2, hlm. 98. </ref>  Kaum muslimin setiap hari dalam azan dan salat mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.
'''Tauhid''' ([[Bahasa Arab]]: '''التوحيد''') berarti mengesakan Tuhan dan merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting [[Islam]]. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh [[Nabi Islam]] untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat ''La Ilaha Illallah'' (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih [[Islam]] kembali kepada tauhid. <ref>Muthahhari, ''Asyenai ba Qur’an'', jild. 2, hlm. 98. </ref>  Kaum muslimin setiap hari dalam [[azan]] dan [[salat]] mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.


Dalam tauhid nazari (teoritis) mencakup keyakinan terhadap tauhid semua perkara Allah. Allah memiliki Dzat Esa, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi membutuhkan-Nya (tauhid af’ali/perbuatan). Menurut tauhid amali (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (tauhid af’ali) dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif Syiah, bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).
Dalam tauhid nazari (teoritis) mencakup keyakinan terhadap tauhid semua perkara Allah. Allah memiliki Dzat Esa, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi membutuhkan-Nya (tauhid af’ali/perbuatan). Menurut tauhid amali (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (tauhid af’ali) dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif [[Syiah]], bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).


Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran mengisyaratkan tentang tauhid dan kedudukan Allah Swt. Menurut Al-Quran, keyakinan tauhid merupakan akar fitrah manusia, seluruh para nabi menyerukan tauhid dan upaya terbesar mereka adalah menghilangkan syirik dan praktek-praktek kesyirikan dan sejatinya tujuan pengutusan para nabi adalah melawan kesyirikan dan penyembahan Tuhan yang Esa.
Banyak sekali ayat-ayat [[Al-Quran]] mengisyaratkan tentang tauhid dan kedudukan Allah Swt. Menurut [[Al-Quran]], keyakinan tauhid merupakan akar fitrah manusia, seluruh para nabi menyerukan tauhid dan upaya terbesar mereka adalah menghilangkan [[syirik]] dan praktek-praktek kesyirikan dan sejatinya tujuan pengutusan para nabi adalah melawan kesyirikan dan penyembahan Tuhan yang Esa.
Sebagian kaum muslimin, dengan tafsir-tafsir tidak populer tentang makna ibadah mengklaim sebagian sikap-sikap yang marak dari kaum muslimin yang kontras dengan tauhid. Ideologi ini sangat dikritik oleh mayoritas cendekiawan Syiah dan Ahlussunnah dan tidak diterima.
Sebagian kaum muslimin, dengan tafsir-tafsir tidak populer tentang makna ibadah mengklaim sebagian sikap-sikap yang marak dari kaum muslimin yang kontras dengan tauhid. Ideologi ini sangat dikritik oleh mayoritas cendekiawan [[Syiah]] dan [[Ahlussunnah]] dan tidak diterima.


==Makna Tauhid==
==Makna Tauhid==
Tauhid berasal dari kata “Wa Ha Da”, berartikan mengucapkan satu. <ref>Baihaqi, Jild. 2, hlm. 592. </ref>  Dalam Arab baru juga berartikan menyatukan. <ref>''Al-Mu’jam al-Wasit'', di bawah kata Wahada. </ref>  Kalimat Wahada - dimana merupakan asal kata wâhid, wahîd, wahd (wahdahu, wahdaka, wahdî) yang diambil darinya - menunjukkan akan satu dan penggunaan kalimat-kalimat ini untuk Allah juga melihat makna ini. <ref>Raghib Ishfahani; Ibn Faris, Ibn Manzur, di bawah kata Ahad, dan Wahada. </ref>  
Tauhid berasal dari kata “Wa Ha Da”, berartikan mengucapkan satu. <ref>Baihaqi, Jild. 2, hlm. 592. </ref>  Dalam Arab baru juga berartikan menyatukan. <ref>''Al-Mu’jam al-Wasit'', di bawah kata Wahada. </ref>  Kalimat Wahada - dimana merupakan asal kata wâhid, wahîd, wahd (wahdahu, wahdaka, wahdî) yang diambil darinya - menunjukkan akan satu dan penggunaan kalimat-kalimat ini untuk Allah juga melihat makna ini. <ref>Raghib Ishfahani; Ibn Faris, Ibn Manzur, di bawah kata Ahad, dan Wahada. </ref>


Menurut hadis, [[Rasulullah Saw]] memakai kata tauhid dengan arti akreditasi kalimat La Ilaha Illa Allah Wahdahu la Syarika lahu dan semisalnya. <ref>Semisalnya rujuklah Ibn Babawaih, hlm. 20, h. 8, hlm. 22-23, h. 15 dan 17. </ref>  Penggunaan ini juga terdapat dalam hadis-hadis para imam. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 42, 90. </ref>  
Menurut hadis, [[Rasulullah Saw]] memakai kata tauhid dengan arti akreditasi kalimat La Ilaha Illa Allah Wahdahu la Syarika lahu dan semisalnya. <ref>Semisalnya rujuklah Ibn Babawaih, hlm. 20, h. 8, hlm. 22-23, h. 15 dan 17. </ref>  Penggunaan ini juga terdapat dalam hadis-hadis para imam. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 42, 90. </ref>


Sejak abad kedua dan seterusnya, penggunaan kata tauhid dalam makna ini dan selanjunya marak dalam pengisyarahan sekumpulan pembahasan-pembahasan terkait dengan wujud, sifat dan perbuatan Allah dan dalam hadis Syiah juga dipakai dalam makna luas ini. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 56-58, 76-77, 94-98. </ref>
Sejak abad kedua dan seterusnya, penggunaan kata tauhid dalam makna ini dan selanjunya marak dalam pengisyarahan sekumpulan pembahasan-pembahasan terkait dengan wujud, sifat dan perbuatan Allah dan dalam hadis Syiah juga dipakai dalam makna luas ini. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 56-58, 76-77, 94-98. </ref>
 
Selanjutnya, perkembangan makna ini menjadi dasar penyusunan karya buku dengan judul Kitab al-Tauhid, yang membahas tentang ajaran-ajaran ini. Bahkan ilmu kalam (teologi) dinamakan dengan ilmu al-Tauhid dan terkadang ilmu al-Tauhid wa al-Sifat, karena pembahasan paling mendasarnya adalah pembahasan tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Taftazani, jild. 4, hlm. 6, 11; Tahanawi, jild. 1, hlm. 22, jild. 2, hlm. 1470; Abduh, hlm. 43. D. Islam, cet,. 2, di bawah kata; ''Dāirah al-Ma’ārif al-Islāmiah'', di bawah “al-Tauhid, Ilm”. </ref>
Selanjutnya, perkembangan makna ini menjadi dasar penyusunan karya buku dengan judul Kitab al-Tauhid, yang membahas tentang ajaran-ajaran ini. Bahkan ilmu kalam (teologi) dinamakan dengan ilmu al-Tauhid dan terkadang ilmu al-Tauhid wa al-Sifat, karena pembahasan paling mendasarnya adalah pembahasan tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Taftazani, jild. 4, hlm. 6, 11; Tahanawi, jild. 1, hlm. 22, jild. 2, hlm. 1470; Abduh, hlm. 43. D. Islam, cet,. 2, di bawah kata; ''Dāirah al-Ma’ārif al-Islāmiah'', di bawah “al-Tauhid, Ilm”. </ref>


==Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam==
==Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam==
Ajaran tauhid merupakan poros ajaran [[Islam]] dan merupakan pesan terpenting [[Al-Quran]]. Masalah ini terlihat dari afirmasi [[Al-Quran]] dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat [[Al-Quran]] terkait masalah tersebut dan menurut legitimasi [[Al-Quran]], semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. <ref>Q.S. [[Surah Al-Anbiya|Al-Anbiya]]: 25. </ref>
Ajaran tauhid merupakan poros ajaran [[Islam]] dan merupakan pesan terpenting [[Al-Quran]]. Masalah ini terlihat dari afirmasi [[Al-Quran]] dan riwayat-riwayat, sampai-sampai kurang lebih sepertiga ayat-ayat [[Al-Quran]] terkait masalah tersebut dan menurut legitimasi [[Al-Quran]], semua pesan para nabi adalah keyakinan terhadap tauhid. <ref>Q.S. [[Surah Al-Anbiya|Al-Anbiya]]: 25. </ref>
 
Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut syirik sebagai sebuah dosa tak terampuni:
Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut syirik sebagai sebuah dosa tak terampuni:


<center>{{hadis|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center>  
<center>{{hadis|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center>
<center> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” <ref>Q.S. An-Nisa: 48)</ref> </center>
<center> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” <ref>Q.S. An-Nisa: 48)</ref> </center>


Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin As]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref>  
Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin As]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref>


Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif: Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini.
Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif: Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini.
Kalimat pertama Rasulullah Saw kepada masyarakat [[Mekah]] di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi [[syirik]]. <ref>Ya’qubi, jild. 2, hlm. 24. </ref>  Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun - mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah Swt. <ref>Seperti Muad bin Jabal dalam perjalanannya ke [[Yaman]], rujuklah Ya’qubi, jild. 2, hlm. 76, 81. </ref>  
Kalimat pertama Rasulullah Saw kepada masyarakat [[Mekah]] di awal permulaan dakwah secara terang-terangan juga mengandung dua aspek tauhid ini: Kesaksian akan keesaan Tuhan dan menjauhi [[syirik]]. <ref>Ya’qubi, jild. 2, hlm. 24. </ref>  Para utusan yang dia kirim ke kota-kota dan kabilah-kabilah juga diperintahakan – sebelum perkataan apapun - mengajak masyarakat untuk bersaksi dan menerima keesaan Allah Swt. <ref>Seperti Muad bin Jabal dalam perjalanannya ke [[Yaman]], rujuklah Ya’qubi, jild. 2, hlm. 76, 81. </ref>


Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian orang menggunakan tauhid sebagai tanda kaum muslimin dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Asy’ari, hlm. 146; Mufid, hlm. 51. </ref>
Urgensitas dan kedudukan poros keyakinan tauhid di tengah-tengah kaum muslimin menyebabkan sebagian orang menggunakan tauhid sebagai tanda kaum muslimin dan titik perbedaan mereka dengan para pengikut agama selainnya; dengan demikian kaum muslimin disebut dengan ahli tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Asy’ari, hlm. 146; Mufid, hlm. 51. </ref>
Baris 56: Baris 56:
===Tauhid Fitri===
===Tauhid Fitri===
Menurut ayat-ayat [[Al-Quran]] dan juga hadis, keyakinan tauhid dalam diri manusia merupakan tendensi fitri. Maksud dari fitri disini adalah bukanlah tendensi pencarian dan tidak membutuhkan pembelajaran dan pendidikan. Ayat fitrah dan ayat ''mitsaq'' dan juga [[surah Al-Ankabut]] ayat 65 termasuk ayat-ayat yang mana para mufasir menyimpulkannya sebagai kefitrian tauhid. <ref>Untuk lebih detail, lihat Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi''; demikian juga lihat, Tafsir Nemuneh, jild. 16, hlm. 385. </ref>
Menurut ayat-ayat [[Al-Quran]] dan juga hadis, keyakinan tauhid dalam diri manusia merupakan tendensi fitri. Maksud dari fitri disini adalah bukanlah tendensi pencarian dan tidak membutuhkan pembelajaran dan pendidikan. Ayat fitrah dan ayat ''mitsaq'' dan juga [[surah Al-Ankabut]] ayat 65 termasuk ayat-ayat yang mana para mufasir menyimpulkannya sebagai kefitrian tauhid. <ref>Untuk lebih detail, lihat Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi''; demikian juga lihat, Tafsir Nemuneh, jild. 16, hlm. 385. </ref>
 
Dalam banyak riwayat ditegaskan bahwa manusia dalam setiap kondisi dalam merujuk kefitriannya untuk pencipta dunia ini tidak menerima kecuali keesaan. Manusia bahkan jika lahiriahnya musyrik, namun saat ditanya tentang penciptanya, tidak akan memberikan pendapat kecuali tentang keesaan Allah Swt. <ref>Semisalnya [[surah Al-Ankabut]]: 61; [[Surah Lukman|Lukman]]: 25; [[Surah Al-Zumar|Al-Zumar]]: 38; [[Surah Al-Zukhruf|Al-Zukhruf]]: 9; lihat juga, Baghawi, jild. 3, hlm. 474. </ref>
Dalam banyak riwayat ditegaskan bahwa manusia dalam setiap kondisi dalam merujuk kefitriannya untuk pencipta dunia ini tidak menerima kecuali keesaan. Manusia bahkan jika lahiriahnya musyrik, namun saat ditanya tentang penciptanya, tidak akan memberikan pendapat kecuali tentang keesaan Allah Swt. <ref>Semisalnya [[surah Al-Ankabut]]: 61; [[Surah Lukman|Lukman]]: 25; [[Surah Al-Zumar|Al-Zumar]]: 38; [[Surah Al-Zukhruf|Al-Zukhruf]]: 9; lihat juga, Baghawi, jild. 3, hlm. 474. </ref>


Baris 64: Baris 64:
Penafian ajaran-ajaran non tauhid dan sikap-sikap non monoteis serta kesyirikan juga termasuk topik hadis-hadis ini. Kedudukan keyakinan terhadap tauhid dalam agama juga diketengahkan dalam sejumlah hadis. Menurut dasar hadis ini, beberapa pakar hadis menyiapkan karya dalam topik tauhid dengan nama atau nama serupa. Dengan memperhatikan keluasan hadis-hadis tauhid, dalam tulisan ini hanya cukup menuturkan beberapa contoh saja.
Penafian ajaran-ajaran non tauhid dan sikap-sikap non monoteis serta kesyirikan juga termasuk topik hadis-hadis ini. Kedudukan keyakinan terhadap tauhid dalam agama juga diketengahkan dalam sejumlah hadis. Menurut dasar hadis ini, beberapa pakar hadis menyiapkan karya dalam topik tauhid dengan nama atau nama serupa. Dengan memperhatikan keluasan hadis-hadis tauhid, dalam tulisan ini hanya cukup menuturkan beberapa contoh saja.


Menurut hadis, keyakinan akan tauhid merupakan amal hati terbaik dan ''muwahhid'' (orang yang mengesakan Tuhan) terjauhkan dari azab dan ibarat paling dikasihi disisi Allah adalah ''La Ilaha Illa Allah''. [[Imam Ridha As]] dalam sebuah hadis masyhur, ''Silsilah al-Dzahab'', berkata, jika kalimat ini dipraktekkan dengan syaratnya (seperti wilayah kewenangan), maka akan menjadi tempat pelindung dan benteng keamanan Allah. Pada dasarnya pondasi agama adalah ma’rifah kepada Allah, yakni mengesakan-Nya dan ini juga merupakan ibadah kepada Allah. <ref>Ibn Babawaih, hlm. 34, 35, 57. </ref>  
Menurut hadis, keyakinan akan tauhid merupakan amal hati terbaik dan ''muwahhid'' (orang yang mengesakan Tuhan) terjauhkan dari azab dan ibarat paling dikasihi disisi Allah adalah ''La Ilaha Illa Allah''. [[Imam Ridha As]] dalam sebuah hadis masyhur, ''Silsilah al-Dzahab'', berkata, jika kalimat ini dipraktekkan dengan syaratnya (seperti wilayah kewenangan), maka akan menjadi tempat pelindung dan benteng keamanan Allah. Pada dasarnya pondasi agama adalah ma’rifah kepada Allah, yakni mengesakan-Nya dan ini juga merupakan ibadah kepada Allah. <ref>Ibn Babawaih, hlm. 34, 35, 57. </ref>


===Makna Keesaan===
===Makna Keesaan===
Baris 71: Baris 71:
Dua ibarat pertama adalah satu bilangan, dengan arti satu di hadapan dua sampai seterusnya, satu sebuah jenis dengan arti spesies dari sebuah jenis (atau bagian dari sebuah spesies).
Dua ibarat pertama adalah satu bilangan, dengan arti satu di hadapan dua sampai seterusnya, satu sebuah jenis dengan arti spesies dari sebuah jenis (atau bagian dari sebuah spesies).
Dua lainnya adalah satu dengan arti tidak ada sepadan dan sekutu, satu dengan arti hakikat simpel (basit), yang tidak terealisasikan di luar, dalam akal, khayalan dan juga tidak dapat dibagi. Imam menjelaskan bagian akhir dengan topik ''ihda al-Ma’na'' dan menambahkan, ''kazalika Allah Rabbuna''. Sebagaimana dalam [[Surah Al-Maidah|surah Al-Maidah]] ayat 73, dimana topik tersebut menolak Trinitas Nasrani, merupakan bukti akan penafian satu bilangan Allah. <ref>Ibid., hlm. 83, 84; Qadhi Said Qummi, jild. 2, hlm. 15-16. </ref>
Dua lainnya adalah satu dengan arti tidak ada sepadan dan sekutu, satu dengan arti hakikat simpel (basit), yang tidak terealisasikan di luar, dalam akal, khayalan dan juga tidak dapat dibagi. Imam menjelaskan bagian akhir dengan topik ''ihda al-Ma’na'' dan menambahkan, ''kazalika Allah Rabbuna''. Sebagaimana dalam [[Surah Al-Maidah|surah Al-Maidah]] ayat 73, dimana topik tersebut menolak Trinitas Nasrani, merupakan bukti akan penafian satu bilangan Allah. <ref>Ibid., hlm. 83, 84; Qadhi Said Qummi, jild. 2, hlm. 15-16. </ref>
 
 
Ungkapan ''Wâhid la min ‘Adad'', dalam hadis [[Imam Ali|Imam Ali As]] <ref>Rujuk Ibn Babawaih, hlm. 70. </ref> dan ''Ahadun la bi Ta’wîlin ‘Adadin'' dalam penjelasan [[Imam Ridha As]] <ref>Ibid., hlm. 37. </ref>  merupakan legimitasi lain akan penafian segala bentuk bilangan dari keesaan Allah.
Ungkapan ''Wâhid la min ‘Adad'', dalam hadis [[Imam Ali|Imam Ali As]] <ref>Rujuk Ibn Babawaih, hlm. 70. </ref> dan ''Ahadun la bi Ta’wîlin ‘Adadin'' dalam penjelasan [[Imam Ridha As]] <ref>Ibid., hlm. 37. </ref>  merupakan legimitasi lain akan penafian segala bentuk bilangan dari keesaan Allah.


Pengguna anonim