Reinkarnasi

Prioritas: c, Kualitas: b
Dari wikishia
Ma'ad

Reinkarnasi atau Tanâsukh (bahasa Arab:التناسخ) berarti pemindahan ruh manusia dari satu tubuh ke tubuh lainnya. Menurut mazhab Syiah, kepercayaan terhadap reinkarnasi adalah batil dan keyakinan terhadapnya dianggap sebagai kekafiran ​​​​karena melazimkan pengingkaran kepada hari ma’âd (kebangkitan). Selain itu, dalam sebagian riwayat dari para imam Syiah as terdapat penolakan keras terhadap reinkarnasi, begitu juga para ahli tafsir dan teolog Syiah juga memberikan argumentasi dalam penolakan keyakinan batil tersebut.

Menurut peneliti, kepercayaan akan reinkarnasi belum ditemukan dalam keyakinan mayoritas umat Islam, termasuk Syiah, meski sebagian umat Islam cenderung terpengaruh dengan keyakinan reinkarnasi ketika mereka hidup bersama dalam budaya, peradaban dan keyakinan agama lain. Ghulat dianggap sebagai salah satu kelompok pertama yang percaya pada reinkarnasi, tentu saja menurut pendapat sebagian peneliti dari sudut pandangan secara global, kepercayaan beberapa sekte Ghulat terhadap konsep titisan ruh ketuhanan dalam jiwa para imam Syiah as dianggap sama dengan kepercayaan reinkarnasi.

Selain itu, sebagian ulama Sunni menganggap sama konsep reinkarnasi dengan akidah Raj'ah (kembalinya sebagian kelompok manusia ke alam dunia) dalam keyakinan Syiah. Menurut ulama Syiah, Raj'ah dan reinkarnasi memiliki perbedaan yang mendasar, dan Raj'ah tidak seperti reinkarnasi, karena Raj'ah tidak melazimkan banyak tubuh untuk satu jiwa.

Muhammad bin Zakariya Razi dikenal sebagai filsuf Islam pertama yang percaya pada reinkarnasi, sedangkan Ibnu Sina dianggap sebagai filsuf Islam pertama yang menolak reinkarnasi dengan membawa argumentasi secara rinci. Menurut beberapa peneliti, Mulla Shadra, berdasarkan teori harakah jauhariah (gerak esensial), telah mendefinisikan cara penciptaan dan kekekalan ruh sedemikian rupa sehingga dengan konsep tersebut reinkarnasi mustahil terjadi.

Sebagian ulama berpendapat bahwa landasan irfân Islami, termasuk kerinduan para urafa untuk meninggalkan dunia sepenuhnya, tidak mungkin sejalan dengan konsep reinkarnasi, karena reinkarnasi adalah sejenis kembalinya jiwa ke tubuh duniawi.

Kepercayaan terhadap landasan agama Islam, seperti keyakinan terhadap hari ma’âd (kebangkitan), juga dianggap oleh para urafa dan sufi muslim sebagai alasan penolakan terhadap keyakinan reinkarnasi.

Dikatakan juga bahwa kepercayaan sebagian sufi muslim terhadap permasalahan hulul (penyatuan) dan tajalli (manifestasi sifat-sifat ketuhanan pada makhluk) menyebabkan mereka dituduh telah mempercayai reinkarnasi.

Definisi dan Urgensitas

Reinkarnasi atau Tanâsukh selama ini dipahami sebagai perpindahan jiwa manusia dari tubuh yang satu ke tubuh yang lain.[1] Konon dalam proses reinkarnasi, kehidupan masa lalu seseorang dapat menentukan bentuk tubuh barunya.[2] Inti dari konsep reinkarnasi adalah kehadiran ruh/jiwa di dunia fisik setelah kematian; Pembahasan kehadiran ruh tersebut telah dianalisa dalam berbagai sistem pengajaran agama dan filsafat yang berbeda-beda.[3]

Gagasan reinkarnasi telah dianggap sebagai salah satu kepercayaan umum sebagian besar agama dalam sejarah manusia, dari agama terdahulu hingga agama modern.[4]

Reinkarnasi selama ini dianggap tidak sesuai dengan beberapa kepercayaan agama Ibrahim, terutama dengan akidah terhadap hari kebangkitan.[5] Di kalangan umat Islam, reinkarnasi dianggap sebagai keyakinan batil dan yang meyakininya dihukumi kafir menurut ijma'.[6]

Beberapa peneliti menganggap bahwa kepercayaan akan adanya keabadian ruh, ketidakmampuan ruh dalam merasakan penderitaan, percobaan dalam menciptakan kesesuaian antara kejahatan dan keadilan ilahi, dan pandangan membenarkan tindakan balas dendam di antara sebab–sebab tumbuhnya kepercayaan terhadap reinkarnasi pada sebagian orang.[7]

Jenis-jenis Reinkarnasi

  • Reinkarnasi menurun: yakni perpindahan ruh yang tidak sempurna ke tingkat yang lebih rendah lagi yaitu manusia yang lebih banyak kekurangannya, hewan, tumbuhan, dan benda mati.[8]
  • Reinkarnasi menaik: yakni perpindahan ruh dari tingkat yang lebih rendah pada manusia, hewan, tumbuhan dan benda mati ke tingkat yang lebih tinggi.[9] Satu-satunya kesamaan antara jenis-jenis reinkarnasi adalah gagasan untuk memindahkan jiwa dari satu tubuh ke tubuh lainnya.[10]

Perbedaan Antara Tanâsukh (reinkarnasi) dan Maskh

Tanasukh (reinkarnasi) dianggap berbeda dengan maskh (mengubah rupa).[11] Dalam reinkarnasi, jiwa menjadi milik tubuh lain setelah terpisah dari tubuh sebelumnya, tetapi dalam maskh, jiwa tidak lepas dari tubuh, tetapi hanya bentuk tubuhnya yang berubah sehingga manusia berdosa ditampakkan dirinya sebagai binatang dan menderita karenanya.[12]

Keyakinan Kafir dan Penolakan Reinkarnasi dalam Pandangan Syiah

Di kalangan Syiah, kepercayaan terhadap reinkarnasi yang batil dan keyakinan terhadapnya dianggap sebagai kekafiran ​​karena melazimkan pengingkaran terhadap hari kebangkitan.[14] Banyak riwayat dari para imam Syiah menolak pandangan reinkarnasi.[15]

Dalam sebuah keputusan langsung, Imam Zaman as memerintahkan untuk berlepas diri dari sebagian gulat Syiah yang meyakini reinkarnasi.[16] Dalam banyak hadis, pengingkaran keberadaan surga dan neraka di akhirat dianggap sebagai penyebab utama kekafiran penganut reinkarnasi.[17] Beberapa ulama Syiah juga telah melemahkan perawi yang percaya atau dituduh telah meyakini reinkarnasi.[18]

Para ahli tafsir Syiah telah menolak teori reinkarnasi dengan bersandarkan kepada ayat-ayat mengenai hari kebangkitan dalam Al-Qur'an.[19] Mereka menyanggah argumen yang dikemukakan oleh sebagian penganut reinkarnasi yang menggunakan ayat-ayat Al-Qur'an.[20]

Para teolog Syiah telah banyak mengemukakan argumentasi untuk menolak pandangan reinkarnasi.[21] Selain itu, mereka juga mengkritik dan menolak argumentasi dan alasan diterimanya reinkarnasi oleh mereka yang meyakini reinkarnasi.[22] Misalnya, Syekh Thusi tidak menganggap hikmah penderitaan manusia di dunia hanya dikarenakan dosa dosanya, dengan demikian, Syekh menolak argumen penganut reinkarnasi yang menyatakan bahwa penderitaan manusia yang tidak berdosa di dunia ini karena dosa-dosanya di kehidupan sebelumnya.[23]

Apakah Raj'ah Sama Dengan Reinkarnasi?

Beberapa ulama Sunni menyamakan reinkarnasi dengan keyakinan Raj'ah dalam keyakinan Syiah,[24] karena alasan ini lah mereka menganggap orang–orang Syiah sebagai orang yang meyakini reinkarnasi.[25]

Beberapa ulama Syiah menolak anggapan ini dengan mencoba memperjelas perbedaan antara reinkarnasi dan Raj'ah; Misalnya Ja'far Subhani menjelaskan bahwa Raj'ah tidak mempunyai dua ciri utama reinkarnasi, dimana dua ciri tadi menjadi alasan kemustahilan reinkarnasi terjadi.

  1. Raj'ah tidak sama dengan reinkarnasi yang melazimkan perjalanan mundur ke belakang, dari jiwa manusia menjadi jiwa binatang, tumbuhan, dan benda mati.
  2. Raj'ah tidak seperti halnya reinkarnasi, tidak membutuhkan banyak tubuh untuk satu jiwa.[26]

Menurut Subhani, Raj'ah tidak lain hanyalah hidup kembali orang yang telah mati, dimana jiwa manusia kembali ke tubuhnya semula, tanpa harus turun derajat dari sisi wujud (eksistensi) sebelumnya.[27]

Syekh Subhani menganggap mukjizat nabi Isa as dalam menghidupkan orang mati karena izin Allah swt sebagai contoh dari Raj'ah, karena itulah tidak ada dari umat Islam dan Kristen menganggap mukjizat tersebut sebagai suatu konsep reinkarnasi.[28]

Berbagai karya telah ditulis tentang reinkarnasi, sanggahannya dan penjelasan perbedaannya dengan Raj'ah; Diantaranya, buku Tanâsukh Guzasyteh wa Imruz (Reinkarnasi Masa Lalu dan Masa Kini) yang diterbitkan oleh Universitas Adyan va madzahib,[29] buku Tanâsukh (Reinkarnasi) yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Islam dan juga dari Universitas Bagiral Uloom as[30] dan buku Tanâsukh dar Andisyeh-ye Islâmi (Reinkarnasi dalam Pemikiran Islam) yang ditulis oleh Ali Rezaei Birjandi.[31]

Alasan Populernya Kepercayaan Terhadap Reinkarnasi di Kalangan Sebagian Umat Islam

Pertemuan umat Islam dengan budaya, peradaban dan agama lain, termasuk Budha, Maniisme, Yunani, dan Mazdakian, dianggap sebagai salah satu pengaruh pada kecenderungan sebagian umat Islam memiliki pandangan reinkarnasi.[32]

Kepercayaan akan adanya maskh dalam agama Ibrahim juga dianggap sebagai penyebab lain bagi umat Islam untuk mengenal gagasan reinkarnasi,[33] bahkan tanda-tanda adanya kepercayaan reinkarnasi di kalangan orang Arab pra-Islam ditemukan di beberapa sumber penelitian.[34]

Dalam beberapa sumber penelitian telah disebutkan orang yang lebih dulu percaya pada pandangan reinkarnasi di kalangan umat Islam, sebagian menyebutkan Abdullah bin Harith[35] dan sebagai lagi menyebutkan Abdullah bin Saba.[36]

Di antara sekte Islam, Ghulat dianggap sebagai aliran pertama yang percaya pada reinkarnasi.[37] Menurut para peneliti aliran kepercayaan Islam, beberapa aliran Syiah Ghulat, seperti Kisâniyyah, meyakini hulul (penyatuan) ruh ketuhanan dalam jiwa para imam Syiah as, dan hal ini dianggap sama dengan kepercayaan terhadap reinkarnasi.[38]

Para peneliti menyamakan konsep hulul (penyatuan) dengan reinkarnasi berdasarkan kemiripan yang ada pada keduanya dan dari pengambilan kesimpulan yang bersifat global.[39] Selain itu, kaum Ismailiah juga dianggap percaya pada reinkarnasi, karena mereka memiliki keyakinan yang mirip dengan keyakinan penganut reinkarnasi.[40]

Dalam beberapa sumber penelitian, disebutkan beberapa orang dan kelompok yang disinyalir mempercayai pandangan reinkarnasi; antara lain Ibnu Abi al-‘Awja,[41] beberapa ulama Mutazilah,[42] Nusayriyyah,[43] Druziyah,[44] Ahl al-Haq,[45] Ravandiyyah,[46] Sepidjamgân,[47] Khormadiniyyah,[48] dan beberapa sekte iltiqâthi (campuran), misalnya Yazidi, Azarkivan, Naktavis, dan Psikhanis.[49]

Reinkarnasi dalam Filsafat Islam

Beberapa peneliti meyakini bahwa dalam sejarah filsafat Islam, keberadaan para filosof yang meyakini atau cenderung pada pandangan reinkarnasi telah banyak memperkuat argumentasi para pendukung reinkarnasi, dan sebaliknya pula, sebagai sebuah reaksi telah memperkuat argumentasi para penentangnya.[50] Di kalangan filosof Islam yang populer dari para filosof lainnya adalah Ikhwan al-Safa dan Farabi juga dianggap mempunyai kecenderungan terhadap pandangan reinkarnasi, dengan penafsiran khusus.[51]

Ibnu Sina dianggap sebagai filosof Islam pertama yang membahas tema reinkarnasi secara rinci.[52] Konon di kalangan filosof Islam, Ibnu Sina dan para pengikutnya, beranggapan bahwa landasan reinkarnasi adalah keyakinan bahwa jiwa manusia itu qadim, dan mereka telah banyak berusaha menolak pandangan reinkarnasi tersebut. Ibnu Sina telah memberikan argumentasi kehadisan (kebaruan) ruh dan mengingkari keqadimannya.[53]

Ibnu Sina pun melalui sebuah argumentasi mencoba menunjukkan bahwa pandangan reinkarnasi melazimkan keberadaan dua ruh ke dalam satu tubuh dan membuktikan bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang mustahil sehingga dengan argumentasi tersebut terbukti bahwa reinkarnasi adalah pandangan yang batil.[54] Menurut beberapa peneliti, argumen Ibnu Sina ini disambut baik oleh para filsuf  dan dikutip dalam karya-karya mereka.[55]

Posisi pandangan Syekh Ishrâq, Syihabuddin Suhrawardi mengenai reinkarnasi dianggap tidak jelas:[56] Para peneliti percaya bahwa ia, mengikuti pendapat para filosof Masya'i, yang terlihat dalam banyak karyanya, seperti buku Partu Nâmah, Al-Muthârahât, dan Alwâh ‘Amâdiyah, yang secara umum dari karya-karya tersebut menunjukkan bahwa reinkarnasi adalah pandangan yang batil.[57] Akan tetapi para peneliti percaya bahwa Syekh Isyrâq dalam karyanya yang paling penting, Hikmah al-Ishrâq, menunjukkan keraguan tentang beberapa argumentasi penolakan reinkarnasi, disisi lainnya ia pun menganggap alasan pembuktian reinkarnasi, atau dalil kecenderungan pandangan reinkarnasi belum cukup, pada akhirnya pandangannya mengenai reinkarnasi masih samar.[58]

Menurut beberapa peneliti, Mulla Shadra, berdasarkan teori harakah jauhariah (gerakan esensial), mendefinisikan cara penciptaan dan kekekalan ruh sedemikian rupa sehingga pembuktian reinkarnasi menjadi sesuatu yang mustahil.[59] Berdasarkan beberapa sumber ilmu filsafat, pandangan harakah jauhariah menjelaskan bahwa jiwa dan badan sejak awal keberadaannya dimulai pada posisi alquwwah (potensi awal) dan memiliki gerak esensial secara dzat.[60] Keduanya keluar dari potensi awal setelah melewati perjalanan kehidupan alam menuju fi’liyah (aktual) dalam kebahagiaan atau kemalangan.[61]

Menurut Mulla Shadra, reinkarnasi ibarat kembalinya suatu wujud dari keadaan aktual menuju potensi awal, yang merupakan suatu hal yang mustahil.[62]

Reinkarnasi dalam Irfan Islami

Beberapa peneliti percaya bahwa dasar-dasar irfan Islami, termasuk kerinduan para urafa untuk meninggalkan dunia sepenuhnya dan fana bersama Tuhan, tidak sejalan sama sekali dengan konsep reinkarnasi.[63] Menurut mereka, ketidaksesuaian hal ini disebabkan karena reinkarnasi itu sendiri merupakan kembalinya jiwa ke tubuh duniawi.[64]

Keberadaan landasan akidah Islam, seperti keyakinan adanya hari kebangkitan, dalam pemikiran para urafa dan sufi Islam juga turut mempengaruhi salah satu dalil penolakan mereka terhadap reinkarnasi.[65]

Beberapa kaum sufi dan urafa yang terkenal seperti Abu Nashr Sirâj[66] (wafat 378 H), Ibnu Arabi[67] (560-638 H), Syekh Mahmud Shabastari[68] dan Alaa al-Dawlah Semnani (659-736 H)[69] mengkritik dan menolak reinkarnasi. Misalnya, Mahmud Shabastari menganggap konsep reinkarnasi sebagai hasil dari pandangan dari "pemikiran sempit" terhadap hakikat penciptaan.[70]

Menurut para pensyarah kitab Gulshan, rahasia dari kecenderungan konsep reinkarnasi adalah adanya pengabaian keberadaan tubuh barzakhi (tubuh di alam akhirat) dan anggapan bahwa tubuh material duniawi sebagai tempat satu satunya bagi ruh setelah kematian.[71]

Aspek lain dari perhatian para Urafa dan sufi Islam terhadap reinkarnasi adalah adanya keyakinan terhadap masalah hulul di kalangan sebagian kaum sufi. Keyakinan ini jikalau dianggap sama dengan reinkarnasi oleh sebagian ulama Muslim, telah menyebabkan semua penganut sufi dan urafa Islam dituduh mempercayai reinkarnasi.[72]

Juga, kepercayaan terhadap konsep tajalli (penampakan sifat-sifat ketuhanan dalam makhluk) dalam pandangan urafa dan Sufisme Islam adalah alasan lain untuk menuduh kaum urafa dan sufi muslim sebagai penganut kepercayaan reinkarnasi.[73] Tuduhan ini menyebabkan beberapa peneliti menanggapi, dengan mengkritik dan menolak dasar reinkarnasi, mereka membedakan konsep-konsep seperti tajalli dari reinkarnasi.[74]

Catatan Kaki

  1. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 86.
  2. Whitman, Tarikh Wa Khastgah-e Ayin-e Hendu, hlm. 29.
  3. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 88.
  4. Nas, Tarikh-e Jame'e-e Adyan, hlm. 105.
  5. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 228.
  6. Ibn Hazm Andalusi, al-Fashl, jld. 1, hlm. 110.
  7. Makarim Syirazi, Tanasukh Ya Bazgasyt-e Arwah, kumpulan makalah Kongres Syekh Mufid, hlm. 47-50; Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 90-93.
  8. Adhuddin Iji, al-Mawāqif, hlm. 374.
  9. Adhuddin Iji, al-Mawāqif, hlm. 374.
  10. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 227.
  11. Mazandari, Syarh Ushūl al-Kāfī, jld. 12, hlm. 315; Jawadi Amuli, Tasnim, jld. 5, hlm. 132; Subhani, Mansyur-e Aqayed-e Imamiyye, hlm. 195.
  12. Subhani, Mansyur-e Aqayed-e Imamiyye, hlm. 195.
  13. Syekh Shaduq, 'Uyūn Akhbār ar-Ridhā (as), jld. 2, hlm. 200.
  14. Syekh Shaduq, al-I'tiqādāt, jld. 1, hlm. 63.
  15. Syekh Shaduq, 'Uyūn Akhbār ar-Ridhā (as), jld. 2, hlm. 200; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 4, hlm. 320-321.
  16. Thabrasi, al-Ihtijāj, jld. 2, hlm. 474-475.
  17. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 4, hlm. 320.
  18. Allamah Hilli, Khulāsh al-Aqwāl, hlm. 77.
  19. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 181.
  20. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 17, hlm. 313; Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 1, hlm. 164-165.
  21. Syekh Shaduq, al-I'tiqādāt, jld. 1, hlm. 63; Mufid, Tashīh I'tiqādāt al-Imāmiyyah, hlm. 87-90; Subhani, al-Ilāhiyyāt, jld. 4, hlm. 305-312.
  22. Sayyid Murtadha, adz-Dzakhīrah, hlm. 234-238; Mufid, Masā'il as-Surawiyyah, hlm. 47-49.
  23. Syekh Thusi, al-Iqtishād, hlm. 87-88.
  24. Muqaddasi, al-Bad' Wa at-Tārīkh, jld. 5, hlm. 130.
  25. Amin, Ahmad. Fajr al-Islām, hlm. 277.
  26. Subhani, al-Fikr al-Khālid Fī Bayān al-'Aqā'id, jld. 2, hlm. 228-229.
  27. Subhani, al-Fikr al-Khālid Fī Bayān al-'Aqā'id, jld. 2, hlm. 228-229.
  28. Subhani, al-Fikr al-Khālid Fī Bayān al-'Aqā'id, jld. 2, hlm. 228.
  29. Tanasukh-e Guzasyte Wa Emruz, site Universitas Adyan & Mazaheb.
  30. Kitab-e Tanasukh Muntasyer Shud, site ISNA.
  31. Tanasukh Dar Andisye-e Eslami, site Gisoom.
  32. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 180.
  33. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 228.
  34. Ibn Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 119.
  35. Nubakhti, Firaq as-Syī'ah, hlm. 34-35.
  36. Baghdadi, al-Firaq Bain al-Firaq, hlm. 254-255.
  37. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 180.
  38. Malathi, at-Tanbīh Wa ar-Radd, hlm. 29; Asfarayini, at-Tabshīr Fī ad-Dīn, hlm. 27; Baghdadi, al-Firaq Bain al-Firaq, hlm. 227.
  39. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 180.
  40. Minhaji, Jawāhir al-'Uqūd, jld. 2, hlm. 274.
  41. Asfarayini, at-Tabshīr Fī ad-Dīn, hlm. 115.
  42. Baghdadi, al-Firaq Bain al-Firaq, hlm. 261-262; Syahrestani, al-Milal Wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 60, 62.
  43. Asy'ari, al-Maqālāt Wa al-Firaq, hlm. 246-247.
  44. Kitāb an-Nuqth Wa ad-Dawāyir, hlm. 30-32.
  45. Khaje ad-Din, Sar Separdegan, hlm. 14.
  46. Ibn Katsir, al-Bidāyah Wa an-Nihāyah, jld. 10, hlm. 81.
  47. Ibn Katsir, al-Bidāyah Wa an-Nihāyah, jld. 10, hlm. 154-155.
  48. Ibn Katsir, al-Bidāyah Wa an-Nihāyah, jld. 10, hlm. 270.
  49. Zekawati Qaraguzlu, Tanasukh Wa Nahleha-e Syu'ubi-e Muta'akkhir, majalah Ma'aref, vol. 50, hlm. 62-73.
  50. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 233-234.
  51. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 234.
  52. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 184-185.
  53. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 93.
  54. Ibn Sina, al-Mabda' Wa al-Ma'ād, hlm. 108-109.
  55. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 93.
  56. Yusufi, Tanasukh Az Didgah-e Syekh Esyraq, hlm. 118; Minai, Tanasukh, hlm. 236.
  57. Yusufi, Tanasukh Az Didgah-e Syekh Esyraq, hlm. 118; Minai, Tanasukh, hlm. 236.
  58. Yusufi, Tanasukh Az Didgah-e Syekh Esyraq, hlm. 118.
  59. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 94.
  60. Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jld. 9, hlm. 7-9.
  61. Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jld. 9, hlm. 7-9.
  62. Mulla Shadra, al-Hikmah al-Muta'āliyah, jld. 9, hlm. 7-9.
  63. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 184.
  64. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 184.
  65. Dzahabi, Tanasukh Dar Jahan-e Eslam, ensiklopdeia Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, vol. 16, hlm. 184.
  66. Abu Nashr Siraj, al-Lam', hlm. 541-542.
  67. Ibn Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyah, hlm. 199-200.
  68. Syabastari, Gulsyen-e Raz, hlm. 71.
  69. Ala'uddaulah Semnani, Munshefat-e Farsi, hlm. 222-225.
  70. Syabastari, Gulsyan Raz, hlm. 71.
  71. Lahiji, Mafātīh al-I'jāz, hlm. 33.
  72. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 233.
  73. Minayi, Tanasukh, ensiklopedia Jahan-e Eslam, jld. 8, hlm. 233.
  74. Syabastari, Gulsyan-e Raz, hlm. 81.

Daftar Pustaka

  • Abu Nashr Siraj, Abdullah bin Ali. Al-Lam'. Riset: Taha Abdul Baqi Surur & Abdul Halim Mahmud. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsiyyah, 1380 H.
  • Adhuddin Iji, Abdurrahman bin Ahmad. Al-Mawāqif Fī 'Ilm al-Kalām. Beirut: Alam al-Kutub.
  • Ala'uddaulah Semnani, Ahmadn Ahmad. Munshefat-e Farsi. Riset: Najib Mayel Herawi. Tehran: Syerkat-e Entesyarat--e Elmi Wa Farhanggo, 1369 HS/1991.
  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tartīb Khulāshah al-Aqwāl Fī Ma'rifah ar-Rijāl. Masyhad: Bunyad-e Pazuhesyha-e Eslami Astan-e Quds-e Razawi, 1381 HS/2023.
  • Amin, Ahmad. Fajr al-Islām. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1969.
  • Asfarayini, Syahfur bin Thahir. At-Tabshīr Fī ad-Dīn Wa Tamyīz al-Firqah an-Nājiyah 'An al-Firaq al-Hālikīn. Riset: Muhammad Zahid bin al-Hasan al-Kautsari. Kairo: Perpustakaan al-Azhariyyah Li at-Turats.
  • Asy'ari, Sa'd bin Abdullah. Al-Maqālāt Wa al-Firaq. Riset: Muhammad Jawad Masykur. Tehran: Syerkat-e Entesyarat-e Elmi Wa Farhanggi, 1360 HS/1982.
  • Baghdadi, Abdul Qahir bin Thahir. Al-Firaq Bain al-Firaq Wa Bayān Firqah an-Nājiyah Min Hum. Beirut: Dar al-Jail, 1408 H.
  • Dzahabi, Abbas. Tanasukh. Ensiklopedia Dayirah al-Ma'arif Buzug-e Eslami. Jld. 16. Tehran: Markaz-e Dayirah al-Ma'arif Buzurg-e Eslami, 1387 HS/2008.
  • Ibn Abil Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah. Syarh Nahj al-Balāghah. Riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Qom: Perpustakaan Ayatullah al-Udzhma al-Mar'asyi an-Najafi, 1404 H.
  • Ibn Arabi, Muhammad bin Ali. Al-Futūhāt al-Makkiyyah. Riset: Utsman Yahya & Ibrahim Madkur. Kairo: Al-Hai'ah al-Mishriyyah al-'Ammah Li al-Kitab, 1407 H.
  • Ibn Hazm Andalusi. Al-Fashl Fī al-Milal Wa al-Ahwā' Wa an-Nahl. Riset: Ahmad Syamsuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1416 H.
  • Ibn Katsir, Isma'il bin Umar. Al-Bidāyah Wa an-Nihāyah. Riset: Syiri. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-Arabi, 1408 H.
  • Ibn Sina. Al-Mabda' Wa al-Ma'ād. Riset: Abdullah Nurani. Tehran: Yayasan Muthale'at-e Eslami-e Danesygah-e Tehran-Universitas McGill, 1363 HS/1985.
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Tasnim (Tafsir-e Qur'an-e Karim). Riset: Ahmad Qudsi. Qom: Markaz-e Nasyr-e Esra', 1387 HS/2008.
  • Khaje ad-Din, Sayyid Muhammad Ali. Sar Separdegan (Tarikh- Wa Syarh-e Aqayed-e Dini Ahl-e Haqq). Tabriz: Percetakan Khursyid, 1349 HS/1970.
  • Kitāb an-Nuqth Wa ad-Dawāyit (Wa Huwa Min Kutub ad-Durūz ad-Dīniyyah). Riset: Christian Friedrich Kirchheim. 1902.
  • Lahiji, Muhammad bin Yahya. Mafātīh al-I'jāz (Syarh-e Gulsyan-e Raz). Nasyr-e Mirza Muhammad Syirazi, 1403 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Tanasukh Ya Bazgasyt-e Arwah. Kumpulan makalah Kongres Syekh Mufid. Qom: Kongres Internasional Hezare Syekh Mufid, 1372 HS/1993.
  • Malthi, Muhammad bin Ahmad. At-Tanbīh Wa ar-Radd 'Alā Ahl al-Ahwā' Wa al-Bida'. Riset: Muhammad Zinhum Muhammad Azb. Kairo: Perpustakaan Madbuli, 1413 H.
  • Minayi, Fateme. Tanasukh. Ensiklopedia Jahan-e Eslam. Jld. 8. Tehran: Bunyad Dayirah al-Ma'arif Eslami, 1383 HS/2004.
  • Minayi, Fateme. Tanasukh. Majalah Naqd Wa Nazar. Vol: 43-44, 1385 HS/2006.
  • Minhaji Asyuthi, Muhammad bin Ahmad. Jawāhir al-'Uqūd Wa Mu'īn al-Qudhāh Wa al-Muwaqqi'īn Wa as-Syuhūd. Riset: Mas'ad Abdul Hamid Muhammad Sa'dani. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417 H.
  • Mulla Shadra, Muhammad bin Ibrahim Shadruddin Syirazi. Al-Hikmah al-Muta'āliyah Fī al-Asfār al-'Aqliyyah al-Arba'ah. Tehran: 1337 HS/1958.
  • Muqaddasi, Muthahhar bin Thahir. Al-Bad' Wa at-Tārīkh. Perpustakaan ats-Tsaqafah ad-Diniyyah.
  • Nas, John Bayer. Tarikh-e Jame'-e Adyan. Penerjemah: Ali Asghar Hekmat. Tehran: Entesyarat-e Piruz, 1354 HS/1975.
  • Nubakhti, Hasan bin Musa. Firaq as-Syī'ah. Riset: Muhammad Shadiq Āl Bahr al'Ulum. Beirut: Dar al-Adhwa', 1404 H.
  • Sayyid Murtadha, Ali bin Husain. Adz-Dzakhīrah Fī 'Ilm al-Kalām. Riset: Sayyid Ahmad Husaini Asykuri. Qom: Yayasan an-Nasyr al-Islami, 1411 H.
  • Shadrul Muta'allihin, Shadrudin Muhammad. As-Syawāhid ar-Rubūbiyyah Fī al-Manāhij as-Sulūkiyyah. Riset & catatan: Sayyid Jalaluddin Asytiyani. Masyhad: Al-Markaz al-Jami'i Li an-Nasyr. Cet. 2, 1360 HS/1982.
  • Subhani, Ja'fa. Al-Fikr al-Khālid Fī Bayān 'Aqā'id. Qom: Yayasan al-Imam as-Shadiq (as), 1425 H.
  • Subhani, Ja'far. Al-Ilāhiyyāt 'Alā Hudā al-Kitāb Wa as-Sunnah Wa al-'Aql. Qom: Yayasan al-Imam as-Shadiq (as), 1413 H.
  • Subhani, Ja'far. Mansyur-e Aqayed-e Emamiyye. Qom: Yayasan Emam Shadeq (as), 1376 HS/1998.
  • Syabastari, Mahmud bin Abdul Karim. Gulsyen Raz. Riset: Shamad Muwahhid. Tehran: Perpustakaan Thahuri, 1368 HS/1990.
  • Syahrestani, Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal Wa an-Nihal. Riset: Ali Hasan Fa'ur & Amir Ali Mahna. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1415 H.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Masā'il as-Suruwiyyah. Qom: Muktamar Internasional Li Alfiyah as-Syekh Mufid, 1413 H.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Tashīh I'tiqādāt al-Imāmiyyah. Riset: Husein Dargahi. Qom: Muktamar Internasional Li Alfiyah as-Syekh Mufid, 1413 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. 'Uyūn Akhbār ar-Ridhā (as). Beirut: Yayasan al-A'lami Li al-Mathbu'at, 1404 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-I'tiqādāt. Qom: Muktamar Internasional Li Alfiyah as-Syekh Mufid, 1413 H.
  • Syekh Thusi, Muhammad Bin Hasan. Al-Iqtishād al-Hādī Ilā Tharīq ar-Rasyād. Isfahan: Perpustakaan Umum Cehel Sutun, 1400 H.
  • Thabathabai, Sayyid Muhammad Husein. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Beirut: Yayasan al-A'lami Li al-Mathbu'at, 1393 H.
  • Thabrasi, Ahmad bin Ali. Al-Ihtijāj. Riset: Sayyid Muhammad Baqir Musawi Khurasan. Masyhad: Nasyr al-Murtadha, 1403 H.
  • Zekawati Qaragazlu, Ali Reza. Tanasukh Wa Nahleha-e Syu'ubi-e Muta'akkhir. Majalah Ma'arif. Vol: 50, 1379 HS/2000.
  • Tanasukh-e Guzasyte Wa Emruz. Site Universitas Adyan & Mazaheb. Diakses tanggal 16 Desember 2023.
  • Tanasukh Dar Andisye-e Eslami. Site Gisoom. Diakses tanggal 16 Desember 2023.
  • Ketab-e Tanasukh Muntasyer Shud. Site ISNA. Diakses tanggal 16 Desember 2023.