Tubuh Ukhrawi
Tubuh Ukhrawi (berarti tubuh-tubuh akhirat), mengacu pada teori Mulla Sadra tentang kebangkitan jasmani. Mayoritas kaum Muslim percaya, berdasarkan interpretasi literal ayat-ayat Al-Qur'an, bahwa kebangkitan adalah bersifat fisik dan manusia akan memiliki tubuh setelah kebangkitan di hari penghimpunan; namun, bagaimana hal ini terjadi dan rincian-rinciannya masih menjadi perdebatan. Beberapa mutakallimun yang mengandalkan interpretasi literal dari ayat-ayat tersebut meyakini bahwa manusia akan dibangkitkan dengan tubuh dunia mereka untuk memulai peristiwa hari kiamat. Sebaliknya, beberapa filsuf menolak gagasan kebangkitan jasmani dan lebih condong pada kebangkitan rohani. Mulla Sadra, berdasarkan prinsip-prinsipnya dalam Hikmah Muta'aliyah, menerima konsep kebangkitan jasmani tetapi memberikan penjelasan baru tentang hal itu.
Pandangan Mutakallimun
Al-Qur'an secara ekstensif membahas masalah kebangkitan, hari kiamat, dan kembalinya manusia dalam banyak ayat, di antaranya adalah:
- Templat:Quran Baru Templat:Quran Baru
- Templat:Quran Baru Templat:Quran Baru
- Templat:Quran Baru Templat:Quran Baru
- Templat:Quran Baru Templat:Quran Baru
Berdasarkan interpretasi literal sebagian besar ayat tentang kebangkitan, diyakini bahwa manusia akan bangkit dari kuburnya dengan tubuh duniawi mereka untuk memulai peristiwa hari kiamat. Sebagian besar mutakallimun percaya bahwa ayat-ayat ini tidak dapat ditafsirkan secara metaforis (ta'wil) dan bahwa tubuh yang digunakan dalam kebangkitan adalah tubuh materi yang sama yang mereka gunakan di dunia. Keyakinan ini disebut sebagai kebangkitan jasmani. Menurut pandangan teologi Syiah, keyakinan pada kebangkitan jasmani adalah wajib bagi setiap Muslim. Namun, pemahaman rinci tentang cara kerja atau detailnya bukanlah bagian dari kewajiban.[1]
Al-'Allamah Majlisi berkata: “Dan wajib bagimu untuk meyakini bahwa Allah Ta'ala akan membangkitkan semua manusia di hari penghimpunan dan mengembalikan jiwa mereka ke tubuh asli mereka. Jika seseorang menyangkal hal ini atau mentafsirkannya sedemikian rupa sehingga meniadakan makna literalnya – seperti yang kita dengar dari beberapa atheis di zaman kita – maka menurut kesepakatan seluruh kaum Muslim, itu adalah kekufuran dan atheisme. Seperti yang banyak disebutkan dalam Al-Qur'an tentang pembuktian kehidupan baru di hari kiamat dan kekufuran orang-orang yang menolaknya. Oleh karena itu, jangan pedulikan argumen para filsuf yang mengatakan bahwa pengembalian sesuatu yang telah lenyap (= mengembalikan sesuatu yang telah dimusnahkan) itu tidak mungkin, dan jangan pedulikan interpretasi mereka yang menafsirkan kebangkitan jasmani sebagai kebangkitan rohani.”[2]
Pandangan Para Filsuf
Para filsuf Muslim mencoba memberikan penjelasan rasional tentang prinsip kebangkitan dan bagaimana prosesnya. Meskipun argumen rasional mendukung keharusan adanya kebangkitan dan dunia lain selain dunia fana ini, namun detail tentang bagaimana kebangkitan terjadi – apakah hanya rohani, atau rohani dan jasmani, dan jika jasmani, apakah tubuh tersebut adalah tubuh material atau tubuh halus (jasad barzakhi) – tidak dapat dibuktikan melalui argumen rasional semata.[3] Oleh karena itu, Ibnu Sina berkata: “Harus dipahami bahwa sebagian dari kebangkitan diterima melalui wahyu agama, dan syariat telah menerimanya. Tidak ada cara untuk membuktikannya selain melalui wahyu dan keyakinan kepada Nabi Muhammad saw. Ini berkaitan dengan kebangkitan tubuh. Detail tentang bagaimana kebangkitan jasmani dan aspek-aspeknya harus diterima berdasarkan dalil syariat dan laporan wahyu; karena standar ini adalah standar paling andal dan lengkap yang bisa diperoleh manusia untuk memahami kebenaran yang meyakinkan.”[4] Para filsuf Masya'i, berdasarkan prinsip-prinsip mereka, percaya bahwa tubuh manusia setelah kematian akan musnah dan karena pengembalian yang telah musnah secara filosofis tidak mungkin, tubuh tidak dapat kembali lagi. Karena mereka tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kebangkitan jasmani – termasuk argumen tentang pengembalian yang telah musnah – mereka menolak kebangkitan jasmani atau menganggapnya tidak dapat dibuktikan secara filosofis. Namun, karena jiwa adalah entitas yang bebas dari materi, ia tidak mengenal kehancuran dan setelah terputus hubungannya dengan tubuh, ia akan tetap ada. Dengan demikian, mereka beralih pada konsep kebangkitan rohani.[5]
Pandangan Mulla Sadra
Setelah para filsuf Masya'i, Mulla Sadra, dengan prinsip-prinsip Hikmah Muta'aliyah, mengajukan penjelasan baru tentang kebangkitan jasmani. Dalam teorinya, dia menyatakan bahwa meskipun kebangkitan adalah jasmani dan apa yang dihimpunkan adalah kombinasi antara jiwa dan tubuh, tubuh yang dibangkitkan adalah tubuh halus yang, meskipun mirip dengan tubuh duniawi dalam segala hal, memiliki potensi untuk menjalani kehidupan akhirat.[6][7]
Perubahan dalam kondisi, ukuran, dan bentuk tubuh tidak akan menghalangi keabadian individu, karena identitas seseorang bergantung pada jiwanya yang melekat pada materi umum.[8] Oleh karena itu, ketika seseorang dilihat di akhirat, ia dianggap sebagai orang yang sama meskipun ciri-ciri lahiriahnya telah berubah; sama seperti di dunia, meskipun tubuh seseorang berubah seiring bertahun-tahun, kita tetap mengatakan bahwa ia adalah orang yang sama. Dengan asumsi kelangsungan jiwa, tidak ada relevansi dengan transformasi materi.[9]
Perbedaan Tubuh Akhirat dengan Tubuh Dunia
Sadr al-Din Syirazi menyebutkan perbedaan antara tubuh duniawi dan tubuh ukhrawi sebagai berikut:
- Tubuh ukhrawi, berbeda dengan tubuh duniawi, ia tidak bisa rusak dan binasa;[10]
- Tubuh ukhrawi memiliki ruh dan kehidupan, bahkan ia adalah manifestasi langsung dari kehidupan itu sendiri, artinya kehidupan pada tubuh ukhrawi bersifat hakiki (zhati, esensial), bukan sekadar sifat tambahan (‘aradi, kontiguen). Sebaliknya, beberapa tubuh duniawi memiliki roh dan kehidupan, sedangkan yang lain tidak;[11]
- “Tubuh ukhrawi, berdasarkan jumlah konsepsi jiwa (nafs) dan kesadaran-kesadarannya, adalah tak terbatas, karena argumentasi batasan dimensi, tidak berlaku pada jenis tubuh ukhrawi.”[12]
- “Tubuh ukhrawi berada di antara dua alam (materi dan non materi, alam indrawi dan akal) dan non materi mutlak dan materi (tajassum) dan tidak memiliki sebagian besar syarat-syarat dan atribut tubuh duniawi”;[13]
- " Tubuh ukhrawi adalah bagaikan jiwa (nafs) itu sendiri. Tubuh ukhrawi seperti bayangan yang selalu menyertai ruh dan mencerminkan ruh, bahkan memiliki kesatuan ada (eksistensial) dengan ruh." [14]
- Tidak ada pertentangan di antara tubuh ukhrawi. [15]
- Tubuh duniawi bersifat bertahap dalam penciptaannya, sedangkan tubuh Ukhrawi bersifat langsung (sekaligus) dalam penciptaannya [16]
Catatan Kaki
- ↑ Muthaffar, Muhammad Rida, Aqaiduna, Bab "Keyakinan Kami tentang Kebangkitan Jasmani".
- ↑ I'tiqadat Majlisi, Bab "Keyakinan pada Kebangkitan Jasmani".
- ↑ Bukti.
- ↑ Ibnu Sina, Ilahiyyat Asy-Syifa, 1376 H Syamsiah, Bab 9, hal. 460.
- ↑ Bukti.
- ↑ Mulla Sadra, Al-Asfar, 1981 M, Jilid 9, hal. 185.
- ↑ Bukti.
- ↑ Mulla Sadra, Al-Mazahir al-Ilahiyyah, diterjemahkan oleh Hamid Tabibiyan, Penerbit Sepehr, 1364 HS, hal. 66.
- ↑ Mulla Sadra, Al-Mazahir al-Ilahiyyah, hal. 266.
- ↑ Mulla Sadra, Arsyiyah, 250
- ↑ Mulla Sadra, Arsyiyah, 251-252
- ↑ Mulla Sadra, Arshiyyah, 252
- ↑ Mulla Sadra, Asfar, 1981 M, Jilid 9, hal. 183.
- ↑ Mulla Sadra, Asfar, 1981 M, Jilid 9, hal. 183.
- ↑ Mulla Sadra, Arsyiyah, 252
- ↑ Mulla Sadra, Mafatih al-Ghaib, 600; juga lihat: Akil dan Ma'kul, Ma'ad
Daftar Pustaka
- Ibnu Sina, Husain bin Abdullah, Ilahiyyat Asy-Syifa, Hasan Hasan Zadeh Amuli, Qom, Penerbit Daftar Tablighat Islami, Cetakan Pertama, 1376 H Syamsiah.
- Majlisi, Muhammad Baqir, I'tiqadat Majlisi, ….
- Mulla Sadra, Muhammad bin Ibrahim, Al-Asfar, Beirut, Penerbit: Dar Ihya' At-Turats Al-'Arabi, Cetakan Ketiga, 1981 M.
- Muzhaffar, Muhammad Rida, Aqaiduna, ….
- Sadr al-Din Shirazi, Muhammad Ibrahim, Al-Hikmah al-Muta'aliyah fi Al-Asfar al-'Aqliyyah al-Arba'ah, Qom, ….
- Sadr al-Din Syirazi, Muhammad Ibrahim, Al-'Arsyiyyah, disunting oleh Ghulam Husain Ahani, Isfahan, 1341 H Syamsiah.
- Sadr al-Din Syirazi, Muhammad Ibrahim, Al-Mazahir al-Ilahiyyah, diterjemahkan oleh Hamid Tabibiyan, Penerbit Sepehr, 1364 H Syamsiah.
- Sadr al-Din Syirazi, Muhammad Ibrahim, Mafatih al-Ghaib, disunting oleh Muhammad Khajawi, Tehran, 1363 H Syamsiah.