Lompat ke isi

Berpakaian Hitam: Perbedaan antara revisi

tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Berpakaian hitam''' adalah mengenakan pakaian berwarna hitam dan menutupi tempat-tempat dengan warna hitam sebagai tanda berkabung. Di kalangan Syiah, tradisi ini sudah umum sejak awal Islam. Ada beragam bukti dalam riwayat Maksumin yang membenarkan tradisi ini.
'''Berpakaian hitam''' (bahasa Arab:{{Arabic|<big>لَبسُ السّواد</big>}}) adalah mengenakan pakaian berwarna hitam dan menutupi tempat-tempat dengan warna hitam sebagai tanda berkabung. Di kalangan Syiah, tradisi ini sudah umum sejak awal Islam. Ada beragam bukti dalam riwayat Maksumin yang membenarkan tradisi ini.


Fukaha Syiah menganggapnya mustahab karena mengenakan pakaian hitam pada saat berkabung untuk pembesar agama adalah diantara bentuk syiar agama. Mereka menganggap makruhnya mengenakan pakaian hitam yang disampaikan dalam sejumlah riwayat itu dimaksudkan diluar hari berkabung. Para fukaha seperti Sayid Jafar Thabathabai Hairi, Sayid Hasan Sadr dan Mirza Jawad Tabrizi telah menulis karya khusus untuk menegaskan mustahabnya mengenakan pakaian hitam saat berkabung untuk para pembesar agama.
Fukaha Syiah menganggapnya mustahab karena mengenakan pakaian hitam pada saat berkabung untuk pembesar agama adalah diantara bentuk syiar agama. Mereka menganggap makruhnya mengenakan pakaian hitam yang disampaikan dalam sejumlah riwayat itu dimaksudkan diluar hari berkabung. Para fukaha seperti Sayid Jafar Thabathabai Hairi, Sayid Hasan Sadr dan Mirza Jawad Tabrizi telah menulis karya khusus untuk menegaskan mustahabnya mengenakan pakaian hitam saat berkabung untuk para pembesar agama.


Pakaian hitam juga dianggap sebagai simbol bani Abbas. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kecenderungan bani Abbas terhadap bendera dan pakaian berwarna hitam merupakan tanda pemberontakan untuk membalas penderitaan yang ditimpakan kepada Ahlulbait as pada masa bani Umayyah. Penggunaan pakaian hitam ini dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan para pengikut dan Syiah para Imam as pada pemerintahan bani Abbas. Ada pula yang menganggap alasan dikeluarkannya hadis pelarangan pakaian hitam oleh para imam untuk mencegah penyalahgunaan bani Abbas.
Pakaian hitam juga dianggap sebagai simbol bani Abbasiah. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kecenderungan bani Abbas terhadap bendera dan pakaian berwarna hitam merupakan tanda pemberontakan untuk membalas penderitaan yang ditimpakan kepada Ahlulbait as pada masa bani Umayyah. Penggunaan pakaian hitam ini dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan para pengikut dan Syiah para Imam as pada pemerintahan bani Abbas. Ada pula yang menganggap alasan dikeluarkannya hadis pelarangan pakaian hitam oleh para imam untuk mencegah penyalahgunaan bani Abbas.


Pada awal hari-hari berkabung terdapat upacara yang disebut penggunaan pakaian hitam, dimana para pelayat mengenakan pakaian berkabung menurut ritual khusus dan menutupi pintu dan dinding tempat-tempat tertentu seperti masjid-masjid, makam-makam suci, pusat-pusat ziarah dan husainiyah dengan warna hitam. Di beberapa kota di Azerbaijan, terdapat ritual yang disebut “yaqehbandan” pada tanggal 12 Muharram, di mana para lelaki tua dan sesepuh pertemuan, secara simbolis, mengikat kancing kerah pelayat yang dibuka sebagai tanda dari orang yang berduka.
Pada awal hari-hari berkabung terdapat upacara yang disebut penggunaan pakaian hitam, dimana para pelayat mengenakan pakaian berkabung menurut ritual khusus dan menutupi pintu dan dinding tempat-tempat tertentu seperti masjid-masjid, makam-makam suci, pusat-pusat ziarah dan husainiyah dengan warna hitam. Di beberapa kota di Azerbaijan, terdapat ritual yang disebut “yaqehbandan” pada tanggal 12 Muharram, di mana para lelaki tua dan sesepuh pertemuan, secara simbolis, mengikat kancing kerah pelayat yang dibuka sebagai tanda dari orang yang berduka.


==Warna hitam, simbol duka dan kesayyidan==
==Warna hitam, simbol duka dan kesayyidan==
Mengenakan pakaian berwarna hitam dianggap sebagai tanda duka dan kesedihan dalam kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, kaum Syiah dan pecinta Ahlulbait as mengenakan pakaian hitam dan menutupi pintu dan dinding dengan warna hitam [1] pada hari berkabung untuk para pembesar agama, terutama Imam Husain as. Ali Abu al-Hasani (w. 1390 HS) sejarawan Syiah dari penjelasan Imam Shadiq as terkait penggunaan pakaian hitam yang dilakukan perempuan yang sedang berduka atas suaminya[2] dan menyebut Idul Ghadir sebagai hari melepas pakaian hitam,[3] sedemikian rupa sehingga para imam juga menekankan karakteristik alami dari warna hitam, yaitu kesedihan dan kedukaan. [4]
Mengenakan pakaian berwarna hitam dianggap sebagai tanda duka dan kesedihan dalam kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, kaum Syiah dan pecinta Ahlulbait as mengenakan pakaian hitam dan menutupi pintu dan dinding dengan warna hitam [1] pada hari berkabung untuk para pembesar agama, terutama Imam Husain as. Ali Abu al-Hasani (W. 1390 HS) sejarawan Syiah dari penjelasan Imam Shadiq as terkait penggunaan pakaian hitam yang dilakukan perempuan yang sedang berduka atas suaminya[2] dan menyebut Idul Ghadir sebagai hari melepas pakaian hitam,[3] sedemikian rupa sehingga para imam juga menekankan karakteristik alami dari warna hitam, yaitu kesedihan dan kedukaan. [4]


Selain itu, warna hitam juga menyimbolkan kekaguman, keagungan, dan superioritas. Menurut Abul Hasani, berdasarkan ciri-ciri inilah Nabi Muhammad saw dan Ahlulbait as mengenakan sorban hitam pada acara-acara khusus seperti Ghadir, sehingga sorban Sadat (keturunan Nabi) juga berwarna hitam mengikuti mereka.[5]
Selain itu, warna hitam juga menyimbolkan kekaguman, keagungan, dan superioritas. Menurut Abul Hasani, berdasarkan ciri-ciri inilah Nabi Muhammad saw dan Ahlulbait as mengenakan sorban hitam pada acara-acara khusus seperti Ghadir, sehingga sorban Sadat (keturunan Nabi) juga berwarna hitam mengikuti mereka.[5]
confirmed
986

suntingan