Lompat ke isi

Ismail bin Imam Ja'far Shadiq as: Perbedaan antara revisi

tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hinduwan
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hinduwan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 34: Baris 34:
  | Masa Hidup =  
  | Masa Hidup =  
}}
}}
'''Ismail bin Ja'far''' (bahasa Arab: {{ia|اسماعيل‌ بن‌ جعفر}}) (w. 143 atau 145 H) adalah putra sulung [[Imam Ja'far Shadiq as]] yang oleh [[Ismailiyah]] dia atau Muhammad putranya diakui sebagai imam setelah Imam Shadiq as. Namun bagi [[Imamiyah]] dan juga berdasarkan sejumlah hadis dari [[Nabi Muhammad saw]] bahwa Musa bin Ja'far as lah yang menjadi imam setelah Imam Ja'far Shadiq as. Keyakinan pada keimamahan Ismail mengawali perpecahan dan terpisahnya para pengikut Ismail dari Imamiyah yang kemudian dikenal dengan nama firqah Ismailiyah.
'''Ismail bin Ja'far''' (bahasa Arab: {{ia|اسماعيل‌ بن‌ جعفر}}) (w. 143 atau 145 H) adalah putra sulung [[Imam Ja'far Shadiq as]]. [[Ismailiyah]] mengakui dia atau Muhammad putranya sebagai imam setelah Imam Shadiq as. Namun bagi [[Imamiyah]] dan juga berdasarkan sejumlah hadis dari [[Nabi Muhammad saw]] bahwa Musa bin Ja'far as lah yang menjadi imam setelah Imam Ja'far Shadiq as. Keyakinan pada keimamahan Ismail mengawali perpecahan dan terpisahnya para pengikut Ismail dari Imamiyah yang kemudian dikenal dengan nama firqah Ismailiyah.


Mengenai kepribadian Ismail terdapat perbedaan pendapat. Sebagian dengan bersandar pada riwayat meyakini ia memiliki hubungan dengan Syiah Ghulat. Namun [[Ayatullah Khui]] dengan memperhatikan riwayat tersebut dan kaitannya dengan riwayat lain, menyebutkan bahwa Ismail adalah seorang yang mulia dan mendapatkan belas kasihan ayahnya.
Mengenai kepribadian Ismail terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama dengan bersandar pada riwayat, meyakini ia memiliki hubungan dengan Syiah Ghulat. Namun [[Ayatullah Khui]] dengan memneliti riwayat-riwayat tersebut dan kaitannya dengan riwayat lain, menyebutkan bahwa Ismail adalah seorang yang mulia dan mendapatkan belas kasihan ayahnya.


Ismail meninggal dunia pada periode kehidupan Imam Shadiq as dan dimakamkan di [[Pemakaman Baqi]]. Imam Shadiq as turut dalam prosesi pemakaman jenazahnya yang dilakukannya secara terbuka dengan maksud untuk disaksikan banyak orang agar syubhat keimamahan dan kebangkitannya menjadi hilang. Demikian pula sesuai dengan riwayat mengenai waktu kematiannya menjadi bantahan terhadap sebagian Syiah yang meyakininya sebagai imam, bahwa dengan kematiannya dimasa Imam Shadiq as masih hidup menunjukkan bahwa ia bukan imam pelanjut Imam Shadiq as.
Ismail meninggal dunia pada saat Imam Shadiq as masih hidup. Ia dimakamkan di [[Pemakaman Baqi]]. Imam Shadiq as turut dalam prosesi pemakaman jenazahnya yang dilakukannya secara terbuka dengan maksud untuk disaksikan banyak orang agar syubhat keimamahan dan kebangkitannya menjadi hilang. Demikian pula sesuai dengan riwayat mengenai waktu kematiannya menjadi bantahan terhadap sebagian Syiah yang meyakininya sebagai imam, dengan kematiannya dimasa Imam Shadiq as masih hidup menunjukkan bahwa ia bukan imam pelanjut Imam Shadiq as.


==Kehidupan dan Keluarga==
==Kehidupan dan Keluarga==
Baris 50: Baris 50:


==Kepribadian==
==Kepribadian==
Menurut Ayatullah Khui ahli rijal [[Syiah]] (1278-1371 HS) mengenai sosok Ismail terdapat dua jenis riwayat. Dalam beberapa riwayat, ia dipuji dan di riwayat lain disebutkan kesalahan-kesalahannya.<ref>Lihat Khu'i, ''Mu'jam Rijāl al-Hadīts'', jld. 3, 124-127.</ref> Berdasarkan riwayat yang kesalahan-kesalahannya disebutkan ia disebut menjalin hubungan dengan Syiah Ghulat seperi Mufadhal bin Umar dan Bassam Shairafi yang dengan adanya hubungan tersebut ia mendapat kecaman dari Imam Shadiq as.<ref>Kissyi, ''Rijāl Al-Kissyī'', hlm. 245; Khu'i, ''Mu'jam Rijāl Al-Hadīts'', jld. 3, hlm. 125.</ref> Begitu juga ia disebut pulang pergi ke tempat pesta yang menyebabkan keraguan tentang otoritas moralnya.<ref>Lihat Shaduq, ''Kamāl al-Dīn'', jld. 1, hlm. 70.</ref> Ayatullah Khui menyebut riwayat-riwayat mengenai kesalahan Ismail memiliki cacat dan kelemahan pada sanadnya sehingga tidak diterima. Sementara riwayat yang memujinya lebih bisa diterima yang dimana pada riwayat-riwayat tersebut disebutkan Ismail adalah sosok yang memiliki kepribadian yang mulia dan mendapatkan belas kasihan ayahnya.<ref>Khu'i, ''Mu'jam Rijāl Al-Hadīts'', jld. 3, 127.</ref>
Menurut Ayatullah Khui ahli rijal [[Syiah]] (1278-1371 HS) mengenai sosok Ismail terdapat dua jenis riwayat. Dalam beberapa riwayat, ia dipuji dan di riwayat lain disebutkan kesalahan-kesalahannya.<ref>Lihat Khu'i, ''Mu'jam Rijāl al-Hadīts'', jld. 3, 124-127.</ref> Berdasarkan riwayat yang kesalahan-kesalahannya disebutkan ia disebut menjalin hubungan dengan Syiah Ghulat seperi Mufadhal bin Umar dan Bassam Shairafi yang dengan adanya hubungan tersebut ia mendapat kecaman dari Imam Shadiq as.<ref>Kissyi, ''Rijāl Al-Kissyī'', hlm. 245; Khu'i, ''Mu'jam Rijāl Al-Hadīts'', jld. 3, hlm. 125.</ref> Begitu juga ia disebut pulang pergi ke tempat pesta yang menyebabkan keraguan tentang otoritas moralnya.<ref>Lihat Shaduq, ''Kamāl al-Dīn'', jld. 1, hlm. 70.</ref> Ayatullah Khui menyebut riwayat-riwayat mengenai kesalahan Ismail memiliki cacat dan kelemahan pada sanadnya sehingga tidak diterima. Sementara riwayat yang memujinya lebih bisa diterima yang dimana pada riwayat-riwayat tersebut disebutkan Ismail adalah sosok yang memiliki kepribadian yang mulia dan mendapatkan kasih sayang ayahnya.<ref>Khu'i, ''Mu'jam Rijāl Al-Hadīts'', jld. 3, 127.</ref>


Namun diluar itu, sebagian menyebutkan Ismail memiliki hubungan dengan Khattabiyah yang memiliki peran dalam pembentukan sekte Ismailiyah. Menurut mereka Abu al-Khattab dan Ismail pada masa hidup Imam Shadiq as saling bantu membantu untuk membangun pondasi akidah yang membentuk asas Ismailiyah.<ref>Lewis, ''The Origin Of Isma'ilism'', hlm. 42, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, ''Ismā'īl bin Ja'far'', jld. 9, hlm. 650.</ref> Dikatakan tidak ditemukan adanya dalil dan hujjah dari klaim tersebut.<ref>Habibi Madzhahiri, ''Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 650.</ref>. Begitu juga Louis Massignon ahli Islam dari Prancis menganggap Abu al-Khattab sebagai bapak spiritual Ismail.<ref>Lihat Al-Badawi, ''Syakhshiyāt Qaliqah,'' hlm. 19, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, ''Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 649.</ref> Akan tetapi Qadhi Nu'man salah seorang fakih Ismailiyah (283 - 363 H) tidak mengakui adanya peran Abu al-Khattab dalam pembentukan Ismailiyah dan menyebutnya sebagai ahli bid'ah yang mendapat laknat dari Imam Shadiq as.<ref>Qadhi Nu'man, ''Da'ā'im Al-Islām'', jld. 1, hlm. 49-50.</ref>
Namun diluar itu, sebagian menyebutkan Ismail memiliki hubungan dengan Khattabiyah yang memiliki peran dalam pembentukan sekte Ismailiyah. Menurut mereka Abu al-Khattab dan Ismail pada masa hidup Imam Shadiq as saling bantu membantu untuk membangun pondasi akidah yang membentuk asas Ismailiyah.<ref>Lewis, ''The Origin Of Isma'ilism'', hlm. 42, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, ''Ismā'īl bin Ja'far'', jld. 9, hlm. 650.</ref> Dikatakan tidak ditemukan adanya dalil dan hujjah dari klaim tersebut.<ref>Habibi Madzhahiri, ''Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 650.</ref>. Begitu juga Louis Massignon ahli Islam dari Prancis menganggap Abu al-Khattab sebagai bapak spiritual Ismail.<ref>Lihat Al-Badawi, ''Syakhshiyāt Qaliqah,'' hlm. 19, berdasarkan penukilan Habibi Madzhahiri, ''Dāyiratu Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 649.</ref> Akan tetapi Qadhi Nu'man salah seorang fakih Ismailiyah (283 - 363 H) tidak mengakui adanya peran Abu al-Khattab dalam pembentukan Ismailiyah dan menyebutnya sebagai ahli bid'ah yang mendapat laknat dari Imam Shadiq as.<ref>Qadhi Nu'man, ''Da'ā'im Al-Islām'', jld. 1, hlm. 49-50.</ref>


==Hubungan dengan Penguasa Bani Abbasiyah==
==Hubungan dengan Manshur Abbasi==
Menurut beberapa sumber catatan sejarah, setidaknya ada dua bentuk keputusan Ismail berkenaan dengan Khulafah Abbasiyah:
Muhammad bin Jarir al-Thabari, seorang sejarawan abad ke-3 Hijriyah menukil bahwa pada tahun 140 H, Manshur Abbasi berangkat [[Haji|haji]] ke [[Makkah]]. Beberapa dari Alawiyun seperti [[Muhammad bin Abdullah bin Hasan|Muhammad Nafs Zakiyah]] dan Ibrahim, putra-putra [[Abdullah Mahdh]] dan rombongan dari Khurasan yang merupakan pengikutnya juga berkumpul di Makah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk meneror Manshur namun Muhammad menentang rencana tersebut. Rencana tersebut disampaikan oleh Ismail kepada Manshur dan ia menangkap Abdullah dan meminta anak-anaknya untuk menjauhinya. Abdullah kemudian dipenjarakan dan hartanya dijual.<ref>Thabari, ''Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk'', jld. 7, hlm. 524.</ref>
 
*Pertama, mengenai tahun 134 H terkait Bassam bin Ibrahim. Bassam yang merupakan peduduk Khurasan yang sebelumnya bekerjasama dengan Abu Muslim untuk menggulingkan penguasa bani Umayyah namun pada tahun itu memberontak padanya dan Safah Abbasi penguasa Abbasiyah dan pergi ke Makah.<ref>Thabari, ''Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk'', jld. 6, hlm. 113.</ref> Dari sana ia mengirim surat kepada Imam Shadiq as dan menyatakan akan membantunya. Ia juga telah mengajak penduduk Khurasan untuk membaiat Imam Shadiq as. Ja'far bin Muhammad dengan membayangkan adanya konspirasi atasnya, menyerahkan surat tersebut kepada Safah. Khalifah berterimakasih kepadanya dan meminta darinya agar dipertemukan dengan Bassam. Pada saat pertemuan, Ismail bersama dengan Abu Ghassan dan Khalifah Safah turut hadir. Bassam kemudian ditangkap lalu kemudian dihukum mati.<ref>Baladzuri, ''Ansāb Al-Asyrāf'', jld. 4, hlm. 171.</ref>
*Kedua, begitupula pada tahun 140 H, Manshur Abbasi berangkat haji ke Makah. Beberapa dari Alawiyun seperti Muhammad Nafs Zakiyah dan Ibrahim, putra-putra Abdullah Mahdh dan rombongan dari Khurasan yang merupakan pengikutnya juga berkumpul di Makah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk meneror Manshur namun Muhammad menentang rencana tersebut. Rencana tersebut disampaikan oleh Ismail kepada Manshur dan ia menangkap Abdullah dan meminta anak-anaknya untuk menjauhinya. Abdullah kemudian dipenjarakan dan hartanya dijual.<ref>Thabari, ''Tārīkh Al-Umam wa Al-Mulūk'', jld. 7, hlm. 524.</ref>


==Klaim Keimamahan Ismail==
==Klaim Keimamahan Ismail==
'''Pandangan Imamiyah'''  
'''Pandangan Imamiyah'''  


Ulama Imamiyah menolak kesahihan nash mengenai keimamahan Ismail dan menyebut riwayat-riwayat tersebut tidak kuat untuk diterima dan memberikan bantahan.<ref>Lihat Shaduq, ''Kamāl Ad-Dīn'', jld. 1, hlm. 70-71.</ref> Imamiyah bersandar pada beberapa riwayat seperti Hadis Lauh<ref>Kulaini, ''Al-Kāfī'', hlm. 527-528.</ref> dan Hadis Jabir<ref>Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 2, hlm. 182.</ref> yang berisi tentang penjelasan Nabi Muhammad saw yang menyebutkan nama-nama dua belas imam dan didalamnya disebut Imam setelah Imam Ja'far Shadiq as adalah putranya yang bernama Musa al-Kazhim, bukan Ismail. Demikian pula Imam Shadiq as dalam beberapa pertemuan berkali-berkali menegaskan kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan Musa bin Ja'far sepeninggalnya. Dalam kitab-kitab seperti ''al-Kafi''<ref>Kulaini, ''Al-Kāfī'', jld. 1, hlm. 307-311.</ref>, Irsyad<ref>Mufid, ''Al-Irsyād'', jld. 16, hlm. 216-222.</ref>, A'lam al-Wara<ref>Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 2, hlm. 7-16.</ref> dan Bihar al-Anwar<ref>Majlisi, ''Bihār Al-Anwār'', jld. 48, hlm. 12-29.</ref> terdapat bab mengenai nash-nash keimamahan Musa bin Ja'far as yang secara berurutan pada masing-masing kitab ada 16, 46, 12, dan 14 riwayat yang dinukilkan mengenai ini.<ref>Tim Penulis, ''Majmu'e-e Maqalat-e Sire wa Zamane Emam Kazem'', jld. 2, hlm. 79, 81.</ref>
Ulama Imamiyah menolak kesahihan (kebenaran) nash (teks) mengenai keimamahan Ismail dan menyebut riwayat-riwayat tersebut tidak kuat untuk diterima dan memberikan bantahan.<ref>Lihat Shaduq, ''Kamāl Ad-Dīn'', jld. 1, hlm. 70-71.</ref> Imamiyah bersandar pada beberapa riwayat seperti ]]Hadis Lauh]]<ref>Kulaini, ''Al-Kāfī'', hlm. 527-528.</ref> dan Hadis Jabir<ref>Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 2, hlm. 182.</ref> yang berisi tentang penjelasan Nabi Muhammad saw yang menyebutkan nama-nama dua belas imam dan didalamnya disebut Imam setelah Imam Ja'far Shadiq as adalah putranya yang bernama Musa al-Kazhim, bukan Ismail. Demikian pula Imam Shadiq as dalam beberapa pertemuan berkali-berkali menegaskan kepada sahabat-sahabatnya mengenai keimamahan Musa bin Ja'far sepeninggalnya. Dalam kitab-kitab seperti ''al-Kafi''<ref>Kulaini, ''Al-Kāfī'', jld. 1, hlm. 307-311.</ref>, ''al-Irsyad''<ref>Mufid, ''Al-Irsyād'', jld. 16, hlm. 216-222.</ref>, ''A'lam al-Wara''<ref>Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 2, hlm. 7-16.</ref> dan ''Bihar al-Anwar''<ref>Majlisi, ''Bihār Al-Anwār'', jld. 48, hlm. 12-29.</ref> terdapat bab mengenai nash-nash keimamahan [[Imam Musa al-Kazhim as|Musa bin Ja'far as]] yang secara berurutan pada masing-masing kitab ada 16, 46, 12, dan 14 riwayat yang dinukilkan mengenai ini.<ref>Tim Penulis, ''Majmu'e-e Maqalat-e Sire wa Zamane Emam Kazem'', jld. 2, hlm. 79, 81.</ref>


'''Penegasan Kematian Ismail'''
'''Penegasan Kematian Ismail'''


Menurut sebuah riwayat dari Zurarah bin A'yan, setelah kematian Ismail dan sebelum penguburannya, Imam Shadiq as memberi kesaksian kepada sekitar tiga puluh sahabat dekatnya tentang kematian putranya.<ref>Nu'mani, ''al-Ghaibah'', hlm. 328.</ref> Dia secara terbuka memandikan, mengkafani, menyalati dan memakamkan jenasah putranya tersebut<ref>Nu'mani, ''al-Ghaibah'', hlm. 328.</ref> serta memerintahkan haji dilakukan atas namanya<ref>Ibn Syahrasyub, ''Al-Manāqib'', jld. 1, hlm. 266.</ref>. Tujuan Imam melakukan semua itu secara terbuka adalah mematahkan keyakinan atas keimamahan Ismail karena sebagian menganggap Ismail adalah imam setelah keimamahan Imam Ja'far Shadiq as.<ref>Lihat Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 1, hlm. 546; Ibn Syahrasyub, ''Al-Manāqib'', jld. 1, hlm. 266.</ref>. Sekarang, menurut keyakinan beberapa Ismailiyah, Ismail tidak mati, dan klaim kematiannya dengan ditampakkan adalah untuk menipu orang-orang dan menyelamatkan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.<ref>lihat Syahrestani, ''Al-Milal wa An-Nihal'', jld. 1, hlm. 226; Juwaini, ''Tarikh-e Jahan Gusyai'', jld. 3, hlm. 146.</ref>
Menurut sebuah riwayat dari [[Zurarah bin A'yan]], setelah kematian Ismail dan sebelum penguburannya, Imam Shadiq as memberi kesaksian kepada sekitar tiga puluh sahabat dekatnya tentang kematian putranya.<ref>Nu'mani, ''al-Ghaibah'', hlm. 328.</ref> Dia secara terbuka memandikan, mengkafani, menyalati dan memakamkan jenazah putranya tersebut<ref>Nu'mani, ''al-Ghaibah'', hlm. 328.</ref> serta memerintahkan haji dilakukan atas namanya<ref>Ibn Syahrasyub, ''Al-Manāqib'', jld. 1, hlm. 266.</ref>. Tujuan Imam melakukan semua itu secara terbuka adalah mematahkan keyakinan atas keimamahan Ismail karena sebagian menganggap Ismail adalah imam setelah Imam Ja'far Shadiq as.<ref>Lihat Thabrisi, ''A'lām Al-Warā'', jld. 1, hlm. 546; Ibn Syahrasyub, ''Al-Manāqib'', jld. 1, hlm. 266.</ref>. Sekarang, menurut keyakinan beberapa Ismailiyah, Ismail tidak mati, dan klaim kematiannya dengan ditampakkan bertujuan untuk menipu orang-orang agar menyelamatkan hidupnya dan orang-orang di sekitarnya.<ref>lihat Syahrestani, ''Al-Milal wa An-Nihal'', jld. 1, hlm. 226; Juwaini, ''Tarikh-e Jahan Gusyai'', jld. 3, hlm. 146.</ref>


'''Pandangan Ismailiyah'''
'''Pandangan Ismailiyah'''


Ismailiyah adalah salah satu nama firkah dalam Syiah yang memiliki keyakinan bahwa setelah Imam Shadiq as yang mencapai maqam imamah adalah putranya yang bernama Ismail atau cucunya yang bernama Muhammad bin Ismail.<ref>Mufid, ''Al-Fushūl Al-Mukhtārakh'', hlm. 306.</ref> Menurut keyakinan Mubarakiyah dan Qaramithah diantara sekte-sekte Ismailiyah, Imam setelah Ja'far bin Muhammad adalah Muhammad bin Ismail karena hakikatnya Ismail adalah pengganti Imam Shadiq as namun karena ia meninggal dunia dimasa ayahnya masih hidup sehingga keimamahan diserahkan Imam Shadiq as kepada Muhammad putranya. Menurut keyakinan mereka setelah keimamahan Hasanain as tidak diperbolehkan keimamahan dipindahkan dari saudara kesaudara yang lain.<ref>Mufid, ''Al-Fushūl Al-Mukhtārakh'', hlm. 306.</ref> Sa'ad bin Abdullah al-Asy'ari terhadap pengikut keyakinan ini menyebutnya Ismailiyah Khalishah atau Khattabiyah.<ref>Asy'ari, ''Al-Maqālāt wa Al-Firaq'', hlm. 81.</ref>
Ismailiyah adalah salah satu nama firkah dalam [[Syiah]] yang memiliki keyakinan bahwa setelah Imam Shadiq as yang mencapai kedudukan imamah adalah putranya yang bernama Ismail atau cucunya yang bernama Muhammad bin Ismail.<ref>Mufid, ''Al-Fushūl Al-Mukhtārakh'', hlm. 306.</ref> Menurut keyakinan Mubarakiyah dan [[Qaramithah]] diantara sekte-sekte Ismailiyah, Imam setelah Ja'far bin Muhammad adalah Muhammad bin Ismail karena hakikatnya Ismail adalah pengganti Imam Shadiq as namun karena ia meninggal dunia dimasa ayahnya masih hidup sehingga keimamahan diserahkan Imam Shadiq as kepada Muhammad putranya. Menurut keyakinan mereka setelah keimamahan Hasanain as tidak diperbolehkan keimamahan dipindahkan dari saudara kesaudara yang lain.<ref>Mufid, ''Al-Fushūl Al-Mukhtārakh'', hlm. 306.</ref> Sa'ad bin Abdullah al-Asy'ari terhadap pengikut keyakinan ini menyebutnya Ismailiyah Khalishah atau Khattabiyah.<ref>Asy'ari, ''Al-Maqālāt wa Al-Firaq'', hlm. 81.</ref>


Sebagian dari Ismailiyah juga berkeyakinan Ismail bin Ja'far tidak meninggal dunia melainkan suatu saat akan bangkit sebagai Mahdi al-Mau'ud.<ref>Asy'ari, ''Al-Maqālāt wa Al-Firaq'', hlm. 79.</ref> Sementara dalam literatur Ismailiyah dan karya Qadhi Nu'man tidak ditemukan nash riwayat yang qath'i mengenai keimamahan Ismail.<ref>Habibi Madzhahiri, ''Dāyirah Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 650.</ref>
Sebagian dari Ismailiyah juga berkeyakinan Ismail bin Ja'far tidak meninggal dunia melainkan suatu saat akan bangkit sebagai Mahdi al-Mau'ud.<ref>Asy'ari, ''Al-Maqālāt wa Al-Firaq'', hlm. 79.</ref> Sementara dalam literatur Ismailiyah dan karya Qadhi Nu'man tidak ditemukan nash riwayat yang secara jelas dan tegas mengenai keimamahan Ismail.<ref>Habibi Madzhahiri, ''Dāyirah Al-Ma'ārif Buzurg-e Eslami'', jld. 9, hlm. 650.</ref>


Namun Ja'far bin Mansur al-Yaman, seorang da'i Ismailiyah, mengumpulkan hadis tentang keimamahan Ismail pada akhir abad ketiga dan awal abad ke-4 Hijriyah, tanpa menyebutkan garis perawi.<ref>Ja'far bin Manshur Al-Yaman, ''Sarā'ir wa Asrār An-Nuthaqā' '', hlm. 256.</ref> Demikian pula pada beberapa sumber menyebutkan khalifah-khalifah pertama dari Fatimiyah awal memperkenalkan saudaranya Abdullah Aftah sebagai Imam, bukan Ismail, namun kemudian berpaling dari klaim ini dan memberikan pengakuan pada keimamahan Ismail.<ref>Ibn Hazm, ''Jamharah Ansāb Al-'Arab'', hlm. 59.</ref>
Namun Ja'far bin Mansur al-Yaman, seorang pendakwah Ismailiyah, mengumpulkan hadis tentang keimamahan Ismail pada akhir abad ketiga dan awal abad ke-4 Hijriyah, tanpa menyebutkan garis perawi.<ref>Ja'far bin Manshur Al-Yaman, ''Sarā'ir wa Asrār An-Nuthaqā' '', hlm. 256.</ref> Demikian pula pada beberapa sumber menyebutkan khalifah-khalifah pertama dari Fatimiyah{{enote|Sebuah keluarga Syi'ah Ismaili yang memerintah wilayah bagian barat dunia Islam dari 297 H sampai 567 H dan juga dikenal dengan Ubaidiyun}} pada awalnya memperkenalkan Abdullah Aftah (saudara Ismail) sebagai Imam, bukan Ismail, namun kemudian berpaling dari klaim ini dan memberikan pengakuan pada keimamahan Ismail.<ref>Ibn Hazm, ''Jamharah Ansāb Al-'Arab'', hlm. 59.</ref>


'''Bada mengenai Ismail'''
'''Bada mengenai Ismail'''
Baris 82: Baris 79:


==Pemakaman==
==Pemakaman==
Ismail meninggal dunia di kawasan bernama 'Uraidhah di dekat Madinah dan jenasahnya dimakamkan di Pemakaman Baqi.<ref>Alawi, ''Al-Majdī'', hlm. 99-100.</ref>. Pada periode kekhalifahan Dinasti Fatimiyah (297-567 H) di makamnya dibuatkan kubah.<ref>Mathari, ''At-Ta'rīf Bimā Ansat Al-Hijrah'', hlm. 121.</ref> Makamnya di luar Pemakaman Baqi dengan jarak 15 m dari dinding Baqi posisinya menghadap bagian barat berhadapan dengan pemakaman Aimmah Baqi.<ref>Najmi, ''Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' '', hlm. 289-290.</ref> Makam Ismail diziarahi penganut Syiah khususnya Ismailiyah.<ref>Ayyasyi, ''Al-Madīnah Al-Munawwarah Fī Rihlah Al-Ayyasyi'', hlm. 175.</ref> Jamaah haji asal Iran dalam perjalanan ke Madinah, ada umumnya ketika melakukan ziarah di Pemakaman Baqi juga menziarahi makam Imam Zadeh ini dan dalam doa bacaan ziarah mereka juga disebutkan nama putra Imam Ja'far Shadiq as ini.<ref>Lihat ''Safarname-e Hajj-e Farhad Mirza Mu'tamad Ad-Daulah,'' hlm. 158.</ref>
Ismail meninggal dunia di kawasan bernama 'Uraidh di dekat [[Madinah]] dan jenazahnya dimakamkan di [[Pemakaman Baqi]].<ref>Alawi, ''Al-Majdī'', hlm. 99-100.</ref>. Pada periode kekhalifahan Dinasti Fatimiyah (297-567 H) di makamnya dibuatkan kubah.<ref>Mathari, ''At-Ta'rīf Bimā Ansat Al-Hijrah'', hlm. 121.</ref> Makamnya di luar Pemakaman Baqi dengan jarak 15 m dari dinding Baqi posisinya menghadap bagian barat berhadapan dengan pemakaman Aimmah Baqi.<ref>Najmi, ''Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' '', hlm. 289-290.</ref> Makam Ismail diziarahi penganut Syiah khususnya Ismailiyah.<ref>Ayyasyi, ''Al-Madīnah Al-Munawwarah Fī Rihlah Al-Ayyasyi'', hlm. 175.</ref> Jamaah haji asal Iran dalam perjalanan ke Madinah, pada umumnya ketika melakukan ziarah di Pemakaman Baqi juga menziarahi makam Imam Zadeh (keturunan Imam) ini dan dalam doa bacaan ziarah mereka juga disebutkan nama putra Imam Ja'far Shadiq as ini.<ref>Lihat ''Safarname-e Hajj-e Farhad Mirza Mu'tamad Ad-Daulah,'' hlm. 158.</ref>


Menurut Muhammad Shadiq Najami (1315 - 1390 HS) pada tahun 1394 HS ketika dilakukan pembangunan jalan barat Baqi', daerah sekitar makam Ismail dihancurkan dan dikabarkan bahwa jenazahnya ditemukan aman dan tetap utuh setelah berabad-abad. Jenazah Ismail kemudian dipindahkan ke dalam areal Pemakaman Baqi dan tempat Itu terletak di sisi timur para syuhada Harra dan 10 meter dari makam [[Halimah Sa'diyah]].<ref>Najmi, ''Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' '', hlm. 300-302.</ref>
Menurut Muhammad Shadiq Najami (1315 - 1390 HS) pada tahun 1394 HS ketika dilakukan pembangunan jalan barat Baqi, daerah sekitar makam Ismail dihancurkan dan dikabarkan bahwa jenazahnya ditemukan aman dan tetap utuh setelah berabad-abad. Jenazah Ismail kemudian dipindahkan ke dalam area Pemakaman Baqi dan tempat tu terletak di sisi timur pemakaman para syuhada Harra dan 10 meter dari makam [[Halimah Sa'diyah]].<ref>Najmi, ''Tarikh-e Haram-e A'imme-e Baqi' '', hlm. 300-302.</ref>


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
Pengguna anonim