Lompat ke isi

Tauhid: Perbedaan antara revisi

2 bita ditambahkan ,  21 September 2015
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
imported>Smnazem
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 183: Baris 183:


===Argumentasi yang berlandaskan pada Wajibul Wujud===
===Argumentasi yang berlandaskan pada Wajibul Wujud===
Jika diasumsikan ada dua Wajibul Wujud, setiap darinya selain harus memiliki persamaan juga harus memiliki perbedaan dengan selainnya, sehingga diantara keduanya ada perbedaan. Dengan demikian, setiap keduanya harus terangkap dari dua bagian, dimana salah satunya adalah sama dan satunya lagi adalah istimewa, yang membedakan setiap darinya. Namun setiap wujud yang tersusun tidak akan bisa menjadi Wajibul Wujud, karena membutuhkan partikel-perikelnya dan menjadi akibat darinya. Dengan demikian, setiap darinya bukanlah dua Wajibul Wujud. <ref>Nashiruddin Thusi, ''Tajrid al-I’tiqad'', bagian Ilahiyyat; Subhani, Ja’far, ''al-Ilahiyyat ala Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah wa al-‘Aql'', jild. 2, hlm. 29.</ref>
Jika diasumsikan ada dua Wajibul Wujud, setiap darinya selain harus memiliki persamaan juga harus memiliki perbedaan dengan selainnya, sehingga diantara keduanya ada perbedaan. Dengan demikian, setiap keduanya harus terangkap dari dua bagian, dimana salah satunya adalah sama dan satunya lagi adalah istimewa, yang membedakan setiap darinya. Namun setiap wujud yang tersusun tidak akan bisa menjadi Wajibul Wujud, karena membutuhkan partikel-perikelnya dan menjadi akibat darinya. Dengan demikian, setiap darinya bukanlah dua Wajibul Wujud. <ref>Nashiruddin Thusi, ''Tajrid al-I’tiqad'', bagian Ilahiyyat; Subhani, Ja’far, ''al-Ilahiyyat ala Dhau’i al-Kitab wa al-Sunnah wa al-‘Aql'', jild. 2, hlm. 29.</ref>


===Argumentasi Tamanu’ (saling menjatuhkan)===
===Argumentasi Tamanu’ (saling menjatuhkan)===
Baris 202: Baris 202:
Dalam filsafat Islam, setiap dari tiga tingkatan tauhid, yakni tauhid dzati, tauhid sifat dan tauhid af’ali dikaji dan diberikan beragam argumentasi. Semisalnya, menurut filsafat (seperti Ibnu Sina) <ref>Ibnu Sina, 1363 S, hlm. 4-5; Ibid., 1376 S, hlm. 60.</ref>  dengan bertolak bahwa Allah adalah Wajibul Wujud bi dzat, maka menafikan tauhid sama halnya dengan melazimkan pertentangan dan kontradiksi.
Dalam filsafat Islam, setiap dari tiga tingkatan tauhid, yakni tauhid dzati, tauhid sifat dan tauhid af’ali dikaji dan diberikan beragam argumentasi. Semisalnya, menurut filsafat (seperti Ibnu Sina) <ref>Ibnu Sina, 1363 S, hlm. 4-5; Ibid., 1376 S, hlm. 60.</ref>  dengan bertolak bahwa Allah adalah Wajibul Wujud bi dzat, maka menafikan tauhid sama halnya dengan melazimkan pertentangan dan kontradiksi.


Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. <ref>Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267. </ref>  
Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. <ref>Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267. </ref>
Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر “Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar”. <ref>Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124. </ref>  
Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر “Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar”. <ref>Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124. </ref>
Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. <ref>1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47. </ref>
Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. <ref>1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47. </ref>


Mulla Shadra<ref>1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38. </ref> , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) “Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha” mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.
Mulla Shadra<ref>1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38. </ref> , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) “Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha” mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.
Baris 242: Baris 242:
tentunya dengan berbaik sangka kepada orang-orang yang menjelaskan ideology mereka dalam karya-karya mereka secara benar dan akhlak mereka adalah akhlak Islam dan perangai mereka selaras dengan kadar syariat, maka kita berhak berprasangka baik, bahwa mereka tidak membual tentang klaiman semacam ini.
tentunya dengan berbaik sangka kepada orang-orang yang menjelaskan ideology mereka dalam karya-karya mereka secara benar dan akhlak mereka adalah akhlak Islam dan perangai mereka selaras dengan kadar syariat, maka kita berhak berprasangka baik, bahwa mereka tidak membual tentang klaiman semacam ini.


Namun, ketidakfasihan lafaz-lafaz telah membuat apa yang mereka nukil untuk kita tidaklah jelas. Orang-orang yang membuktikan dalam buku-buku mereka bahwa Allah bukan jism (tubuh) dan tidak beringkarnasi dalam jism, ketika mereka berkata: Kita tidak melihat selain Allah, ini bukan berarti bahwa apa yang kita lihat adalah Allah; Bahkan maknanya adalah bahwa dalam cermin-cermin ini kita melihat keindahan yang kita cintai.  
Namun, ketidakfasihan lafaz-lafaz telah membuat apa yang mereka nukil untuk kita tidaklah jelas. Orang-orang yang membuktikan dalam buku-buku mereka bahwa Allah bukan jism (tubuh) dan tidak beringkarnasi dalam jism, ketika mereka berkata: Kita tidak melihat selain Allah, ini bukan berarti bahwa apa yang kita lihat adalah Allah; Bahkan maknanya adalah bahwa dalam cermin-cermin ini kita melihat keindahan yang kita cintai.


Orang-orang yang kehidupannya penuh dengan penghambaan dan ketaatan kepada Allah, jika mengklaim diri mereka demikian, kita berhak melihat mereka dengan prasangka baik dan berkata bahwa ucapan mereka memiliki makna yang tinggi, yang mana kita tidak memahaminya dengan baik; bukan kita berprasangka baik kepada setiap manusia yang sembarangan, yang begitu saja, masuk dalam irfan.  
Orang-orang yang kehidupannya penuh dengan penghambaan dan ketaatan kepada Allah, jika mengklaim diri mereka demikian, kita berhak melihat mereka dengan prasangka baik dan berkata bahwa ucapan mereka memiliki makna yang tinggi, yang mana kita tidak memahaminya dengan baik; bukan kita berprasangka baik kepada setiap manusia yang sembarangan, yang begitu saja, masuk dalam irfan.


Dalam riwayat juga telah ada isyarat seperti hal ini, bahkan di kalangan para sahabat [[Rasulullah Saw]] dan [[Imam-imam Syiah|para Imam suci As]], ada orang-orang yang memahami suatu hal, namun tidak dapat mengatakan, bahkan kepada teman terdekatnya sekalipun. <ref>Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi'', pelajaran 11. </ref>
Dalam riwayat juga telah ada isyarat seperti hal ini, bahkan di kalangan para sahabat [[Rasulullah Saw]] dan [[Imam-imam Syiah|para Imam suci As]], ada orang-orang yang memahami suatu hal, namun tidak dapat mengatakan, bahkan kepada teman terdekatnya sekalipun. <ref>Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi'', pelajaran 11. </ref>


==Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)==
==Pandangan Dunia Tauhid (Divine Unity)==
Para filosof muslim abad akhir dalam pendekatan baru mengetengahkan tatanan pandangan dunia tauhid Islam menyerupai pandangan dunia di hadapan pandangan dunia Ateis, ilmiah dan filsafat.  
Para filosof muslim abad akhir dalam pendekatan baru mengetengahkan tatanan pandangan dunia tauhid Islam menyerupai pandangan dunia di hadapan pandangan dunia Ateis, ilmiah dan filsafat.


Ustad Muthahhari dalam menyifati pandangan dunia tauhid menulis sebagai berikut:  
Ustad Muthahhari dalam menyifati pandangan dunia tauhid menulis sebagai berikut:


:Pandangan dunia tauhid yakni memahami bahwa dunia muncul dari sebuah kehendak yang bijaksana dan tatanan eksistensi tegak berdasarkan kebaikan, rahmat dan menghantarkan eksistensi menuju kesempurnaan yang selayaknya. Pandangan dunia tauhid yakni dunia adalah sebuah kutub dan satu poros. Pandangan dunia tauhid yakni dunia memiliki perjalanan dari-Nya (inna lillah) dan menuju-Nya (wa inna ilahi rajiun).  
:Pandangan dunia tauhid yakni memahami bahwa dunia muncul dari sebuah kehendak yang bijaksana dan tatanan eksistensi tegak berdasarkan kebaikan, rahmat dan menghantarkan eksistensi menuju kesempurnaan yang selayaknya. Pandangan dunia tauhid yakni dunia adalah sebuah kutub dan satu poros. Pandangan dunia tauhid yakni dunia memiliki perjalanan dari-Nya (inna lillah) dan menuju-Nya (wa inna ilahi rajiun).


:Dari satu sisi, eksistensi dunia sampai pada kesempurnaan dengan tatanan keselarasan dan menuju satu markas. Penciptaan eksistensi bukanlah sia-sia dan dengan tanpa tujuan. Dunia diatur dengan sebuah serangkaian tatanan pasti. Pandangan dunia tauhid  memberikan kehidupan, spirit dan tujuan. Karena telah meletakkan manusia dalam rute kesempurnaan yang tidak berhenti dalam batasan tertentu dan senantiasa maju ke depan. Pandangan ini, akan memberikan kegembiraan dan keceriaan kepada manusia.  
:Dari satu sisi, eksistensi dunia sampai pada kesempurnaan dengan tatanan keselarasan dan menuju satu markas. Penciptaan eksistensi bukanlah sia-sia dan dengan tanpa tujuan. Dunia diatur dengan sebuah serangkaian tatanan pasti. Pandangan dunia tauhid  memberikan kehidupan, spirit dan tujuan. Karena telah meletakkan manusia dalam rute kesempurnaan yang tidak berhenti dalam batasan tertentu dan senantiasa maju ke depan. Pandangan ini, akan memberikan kegembiraan dan keceriaan kepada manusia.


:Tujuan-tujuan luhur dan suci diketengahkan dan membentuk orang-orang yang siap berkorban. Pandangan dunia tauhid satu-satunya pandangan yang disitu dapat ditemukan makna komitmen dan tanggung jawab seorang manusia di hadapan selainnya. Sebagaimana bahwa hanya pandangan dunia yang menyelamatkan manusia dari keterjerumusan dalam lembah horor nihilisme. <ref>Muthahhari, Majmu’eye Atsar, jild. 2, hlm. 83. </ref>
:Tujuan-tujuan luhur dan suci diketengahkan dan membentuk orang-orang yang siap berkorban. Pandangan dunia tauhid satu-satunya pandangan yang disitu dapat ditemukan makna komitmen dan tanggung jawab seorang manusia di hadapan selainnya. Sebagaimana bahwa hanya pandangan dunia yang menyelamatkan manusia dari keterjerumusan dalam lembah horor nihilisme. <ref>Muthahhari, Majmu’eye Atsar, jild. 2, hlm. 83. </ref>
Baris 277: Baris 277:
[[ar:التوحيد]]
[[ar:التوحيد]]
[[ur:توحید]]
[[ur:توحید]]
[[tr:Tevhid]]


[[Kategori:Akidah]]
[[Kategori:Akidah]]
[[Kategori:Keyakinan]]
[[Kategori:Keyakinan]]
Pengguna anonim