Peperangan-peperangan Nabi saw
Peperangan-peperangan Nabi saw (bahasa Arab: حروب النبي (ص)) adalah peperangan yang terjadi pasca hijrahnya Nabi saw ke Madinah dalam rangka menjaga masyarakat Islam dan mendirikan pemerintahan Islam. Menurut beberapa penalaah, semua peperangan ini terjadi karena pelanggaran kaum musyrikin terhadap perjanjian atau mobilisasi pasukan mereka. Oleh karena itu, klaim para orientalis bahwa tujuan perang bersifat material dianggap tidak benar dan bertentangan dengan apa yang dilapor oleh sejarah.
Peperangan-peperangan yang diikuti Nabi saw disebut Ghazwah dan peperangan-peperangan yang tidak diikuti Nabi saw disebut Sariyyah. Berdasarkan keterangan sejarah tercatat kurang lebih 80 peperangan yang terjadi pada masa Nabi, dimana hampir 30 diantaranya mengakibatkan konflik militer dan hanya 5 yang mengakibatkan konflik yang parah. Total jumlah orang yang terbunuh – Muslim dan non-Muslim – dalam seluruh peperangan-peperangan Nabi saw berkisar antara 900 dan 1.600 orang.
Dalam Al-Qur'an mengisyarat kepada beberapa peperangan dan disebutkan nama-namanya. Menurut para mufasir, dengan diturunkannya ayat 39 Surah Al-Haji atau ayat 190 Surah Al-Baqarah, umat Islam diperintahkan untuk berperang untuk pertama kalinya. Menurut Al-Qur'an, Allah biasa membantu umat Islam berperang dengan sekelompok malaikat, menimbulkan ketakutan di hati musuh dan menciptakan kedamaian di hati orang-orang yang beriman.
Dalam peperangan, Nabi saw selalu menjaga prinsip-prinsip militer dan mengambil alih komando peperangan-peperangan krusial. Ia saw menghormati hak asasi manusia dalam peperangan dan memperingatkan agar tidak membunuh perempuan, anak-anak dan orang tua. Bermusyawarah dengan para sahabat, menghindari pembunuhan massal dan menunjuk penggantinya di Madinah dianggap sebagai taktik Rasulullah saw dalam peperangan.
Dalam mengatur peperangan, Nabi saw menggunakan berbagai taktik peperangan, seperti taktik penipuan dan perang psikis dan beliau mengorganisasikan pasukan dalam lima bagian: Komando, pasukan inti, sayap kanan, sayap kiri dan pendukung. Tidak ada seorang muslim yang dipaksa utntuk ikut serta dalam perang; melarang orang yang berusia lanjut dan orang yang masih belia untuk ikut berperang.
Beberapa wanita seperti, Fatimah Zahra sa, Ummu Aiman, Ummu Athiyah dan Ummu Umarah berpartisipasi dalam peperangan seperti halnya laki-laki, untuk merawat yang terluka, membawakan air untuk para pejuang, menyiapkan makanan, mengumpulkan dan menyimpan anak panah.
Tujuan Nabi saw dari Peperangan
Untuk tersebarnya agama Islam dan berdirinya pemerintahan Islam,[1] Nabi saw melakukan peperangan melawan kaum musyrikin, Yahudi, dan Romawi;[2] karena musuh-musuh Nabi saw menghalangi terwujudnya pemerintahan Islam.[3] Melawan agresi yang dilancarkan kaum musyrikin dan menghilangkan fitnah adalah di antara tujuan Nabi saw dalam peperangan.[4] Oleh karena itu, sebelum dimulainya perang, Nabi saw terlebih dahuluu mengajak musuh untuk masuk Islam dan peperangan hanya akan dimulai jika mereka tidak menanggapi ajakannya.[5] Dikatakan dengan pertimbangan tujuan ilahi, Nabi saw dalam peperangan, dalam pengajaran agama, menggunakan istilah (Jihad di jalan Allah) sebagai ganti dari kata (perang).[5] Menurut sebagian penelaah, Nabi saw telah menjelaskan kepada pasukan kaum muslimin tentang alasan, tujuan dan prinsip-prinsip peperangan, kemudian setelah itu membentuk komando pasukan yang kuat.[6]
Namun, sebagian besar orientalis menganggap peperangan-peperangan Nabi saw untuk tujuan materi dan demi memperoleh dominasi politik dan ekonomi.[7] Tentunya, mereka (orientalis) dalam menjelaskan tujuan Nabi saw dari peperangan-peperangan, tidak memiliki pandangan yang sama, mereka juga menyebutkan tujuan lainnya seperti, memperoleh harta rampasan perang, penghidupan, kedudukan sosial dan balas dendam kepada musuh.[8] Sebagian dari penelaah sejarah menganggap ketidak benaran klaim tersebut, mereka percaya bahwa sumber-sumber sejarah menolak klaim tersebut.[9] Sebagian orientalis percaya bahwa Nabi saw sebisa mungkin menghindari peperangan dan peperangan terjadi pada kondisi darurat, untuk membela Islam dan umat Islam.[10]
Ghazwah dan Sariyyah
Dalam buku-buku dengan tema sejarah Islam, peperangan Nabi saw dibagi menjadi dua kategori: Ghazwah dan Sariyyah:[11] Ghazwah adalah peperangan yang diikuti dan dikomandoi langsung oleh Nabi saw dan Sariyyah adalah peperangang yang Nabi saw tidak ikut serta di dalamnya, namun beliau mengirimkan rombongan ke suatu daerah dengan menunjuk seorang panglima.[12] Namun, beberapa penelaah sejarah berpendapat bahwa definisi Ghazwah dan Siriyyah yang disebutkan di atas tidaklah tepat; Sebaliknya Ghazwah adalah peperangan Nabi saw yang dilakukan secara terbuka, dengan banyak pejuang dan terorganisir, namun perang Nabi saw yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, dengan sedikit pejuang dan tidak terorganisai, disebut sariyyah.[13] Kedua definisi ini, tidak ada perbedaan tentang manifestasi dari ghazwah dan sariyyah; berdasarkan definisi ini, Nabi saw tidak ikut serta dalam oprasi yang dilakukan sejumlah kecil orang dan tujuannya adalah sabotase dan indetifikasi.[14]
Statistik
Menurut laporan sejarah, tercatat sekitar 80 peperangan yang terjadi pada masa Nabi saw.[15] Dari total jumlah ghazwah dan sariyyah tersebut, kurang lebih 30 diantaranya mengakibatkan konflik militer dan selebihnya peperangan tanpa konflik.[16] Selain itu, dalam peperangan yang berujung pada konflik militer, hanya ada 5 peperangan penting dan terjadi konflik yang parah.[17] Para sejarawan, dengan menukil berbagai sumber sejarah, memperkirakan jumlah korban tewas – Muslim dan non-Muslim – dalam semua perang Nabi saw berjumlah antara 900 hingga 1.600 orang[18] dan syuhada Muslim berjumlah 317.[19]
Peperangan Nabi saw dalam Al-Qur’an
Beberapa peperangan Nabi saw disebutkan dalam beberapa surah Al-Qur'an, seperti, Al-Baqarah, Al-Imran, An-Nisa', Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Ahzab, Al-Fath, Al-Hasyr, As-Saf dan Al-Adiyat.[20] Namun, hanya tiga nama peperangan yaitu, peperangan Badar,[21] peperangan Khandaq[22] dan peperangan Hunain[23] yang disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur'an.[24] Menurut Syekh Tusi, penulis Tafsir al-Tibyan, dengan diturunkannya ayat 39 Surah Al-Haj, umat Islam diperintahkan untuk berperang untuk pertama kalinya.[25] Namun menurut Allamah Thabathabai, penulis Tafsir al-Mizan, perintah ini diberikan dan dijalankan dengan diturunkannya ayat 190 Surah Al-Baqarah.[26]
Pertolongan-pertolongan Gaib
Berdasarkan laporan Al-Qur'an, dalam beberapa peperangan, Allah swt telah membantu Nabi saw dengan pertolongan-pertolongan gaib:
- Berdasarkan ayat 9 hingga 11 Surah Al-Anfal, Allah swt mendukung pasukan Islam dengan sekelompok malaikat dalam perang Badar dan menaruh rasa takut di hati musuh dan untuk waktu yang singkat membuat umat Islam tertidur lelap dan nyenyak agar jiwa mereka tenang hinggapada akhirnya mereka memperoleh kemenangan.[27]
- Berdasarkan ayat 151 Surah Al-Imran, meskipun kaum musyrikin memanfaatkan kesalahan sekelompok umat Islam dalam perang Uhud dan menang, serta bisa saja melenyapkan Islam dengan menyerang Madinah, namun mereka mengurungkan niatnya karena Allah menemparkan rasa takut di dalam hati mereka dan mereka pun kembali ke Mekah.[28]
- Berdasarkan ayat 9 Surah Al-Ahzab, dalam perang Ahzab kaum musyrikin Mekkah dan kabilah-kabilah sekitarnya bersatu untuk membunuh Nabi saw dan menghancurkan Islam dengan menyerang Madinah, namun Allah swt mengirimkan pasukan tak kasat mata, angin dan badai, untuk membantu umat Islam hingga mempertoleh kemenangan.[29]
- Berdasarkan ayat 26 Surah At-Taubah, dalam perang Hunain disebabkan kesombongan sekelompok orang dari pasukan Islam, kaum musyrikin lebih dahulu memperoleh kemenangan, namun tiba-tiba Allah mengirimkan kedamaian dan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin agar mereka dapat bersiaplah untuk bertempur kembali dan memperoleh kemenangan.[30]
Peperangan-peperangan Nabi saw itu Jihad Difa’I atau Jihad Ibtida’i ?
Menurut sebagian pemikir Islam, Nabi saw tidak pernah menjadi pemrakarsa peperangan dan semua peperangan dilakukan karena adanya pelanggaran terhadap perjanjian oleh kaum musyrikin atau mobilisasi militer oleh mereka.[31] Selain itu, menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Jihad Ibtida'i adalah salah satu menifestasi dari pertahanan; Karena itu sebagaimana diwajibkan mempertahankankan nyawa dan tanah umat Islam, maka wajib pula mempertahankan hak-hak Allah swt.[32]
Sejarah Hidup Nabi saw dalam Peperangan
Nabi saw adalah orang yang sangat memperhatikan prinsip-prinsip militer dalam peperangan.[33] Beliau sangat menruh perhatian terhadap kedisiplinan para prajurit dan tidak seorang pun diizinkan meninggalkan posisi mereka.[34] Nabi mengambil komando peperangan-peperangan besar dan penentu (seperti Badar, Uhud dan Khandaq).[35] Berdasarkan apa yang sebutkan dalam Nahjul Balaghah, Nabi saw berada di garis depan dalam peperangan-peperangan dan umat Islam mencari perlindungan kepada Nabi saw ketika dalam kondisi terdesak dalam peperangan.[36] Nabi saw sangat menaruh perhatian dalam memperoleh informasi musuh[37] dan dia menyewa mata-mata di pasukan musuh dan berusaha mengungkap rahasia pasukan.[38] Berikut ini adalah di antara strategi yang dilakukan Nabi saw dalam peperangan:
- Menjaga Hak-hak Manusia: Menurut sebagian penelaah, Nabi saw berusaha meminimalkan kehilangan nyawa dan harta benda dalam peperangan.[39] Beliau melarang membunuh musuh, menebang pohon, membunuh wanita, anak-anak, dan orang tua.[40] Jika perempuan, orang tua dan anak-anak juga ikut serta dalam peperangan melawan umat Islam, ia tetap memerintahkan sebisa mungkin untuk tidak membunuh mereka.[41] Menurut sebagian penelaah, untuk pertama kalinya di dunia, peraturan terkait tahanan dan warga sipil ditulis dalam agama Islam.[42]
- Diplomasi Aktif dalam peperangan: Untuk mencapai keberhasilan yang lebih besar, Nabi saw juga menaruh perhatian dalam urusab diplomasi aktif disamping peperangan; Oleh karena itu, perjanjian politik dibuat dengan kekuatan netral untuk mencegah mereka bergabung dengan musuh utama dan menggunakan kekuatan mereka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan.[43] Dalam kasus-kasus di mana Nabi saw memandang negosiasi dan berdamai dengan musuh sejalan dengan tujuannya, Nabi saw akan berdamai dan jika sebaliknya akan menghindari dari negosiasi.[44]
- Membentuk Dewan peperangan:[45] Seperti, membentuk dewan peperangan untuk pertempuran dalam kota atau luar kota pada perang Uhud[46] dan Nabi saw berkonsultasi dalam perang Ahzab untuk menggali parit.[47]
- Menunjuk Pengganti di Madinah: Nabi saw selalu dan dalam semua peperangan-peperangan, setiap kali beliau meninggalkan Madinah, dia menunjuk seseorang sebagai penggantinya.[48]
- Pengampunan dan Kemurahan Hati: Dalam Fathu Mekah, beliau memberikan keamanan kepada para pemimpin Quraisy, sementara itu mereka mengusir Nabi saw dari tanah airnya dan membunuh kerabat dan sahabatnya.[49]
- Menghindari Pembunuhan Massal: Nabi saw melarang meracuni kota-kota.[50]
Partisipasi dalam Peperangan
Nabi saw tidak memaksa seorang muslim pun untuk bergabung dengan pasukan[51] dan meskipun beliau membeli senjata dari non muslim, beliau tidak meminta bantuan dari tenaga mereka.[52] Dikatakan bahwa syarat minimal usia bagi umat Islam untuk ikut berperang adalah lima belas tahun[53] dan Nabi saw tidak mengizinkan orang yang berusia kurang dari lima belas tahun untuk ikut berperang.[54] Jika perang tidak memerlukan banyak orang, Nabi tidak akan mengumumkan mobilisasi umum; Namun, jika pasukan Islam membutuhkan kekuatan lebih banyak, Nabi saw akan mengumumkan mobilisasi umum (kecuali orang yang tidak mampu) menyuruh semua orang untuk berperang.[55] Namun Nabi saw tidak pernah memaksa siapa pun untuk ikut serta dalam peperangan.[56] Begitu pula, Nabi saw juga melarang kehadiran orang-orang yang tidak mampu dalam peperangan.[57] Berdasarkan Baiat Aqabah, perlindungan terhadap nyawa Nabi saw di Madinah adalah tanggung jawab masyarakat di sana dan mereka tidak mempunyai tanggung jawab dalam hal itu, apabila peperangan Nabi saw terjadi di luar kota.[58] Oleh karena itu, hingga sebelum terjadinya Perang Badar, seluruh pasukan Nabi saw berasal dari kaum Anshar, namun dengan dimulainya perang Badar, para muhajirin menyatakan keinginannya untuk ikut serta dalam peperangan dan turut serta dalam peperangan-peperangan.[59]
Kehadiran Perempuan dalam Peperangan
Perempuan, seperti halnya laki-laki, juga turut serta dalam peperangan Nabi saw.[60] Mengobati yang terluka, membawakan air untuk para pejuang, menyiapkan makanan, mengumpulkan dan menyimpan anak panah serta senjata lainnya, mengangkut yang terluka dan para syuhada ke kota adalah di antara tugas yang harus dilakukan yang menjadi tanggung jawab perempuan.[61] Beberapa wanita seperti Ka'ibah binti Sa'd dan Rafidah Ansariyyah juga memiliki tenda khusus tempat orang-orang yang terluka dan sakit dalam peperangan dibawa ke tenda mereka untuk dirawat.[62]
Dalam peperangan Khaibar, terdapat enam wanita yang turut hadir dalam pasukan Nabi saw.[63] Dalam perang Uhud, terdapat empat belas wanita ambil bagian dalam peperangan, merawat yang terluka dan memberikan makanan dan air kepada para prajurit.[64] Di antara para wanita ini adalah orang-orang seperti, Fatimah Zahra sa, Aisyah, Ummu Aiman.[65] Fatimah Zahra sa membalut luka Nabi saw dengan bantuan Imam Ali as dalam perang Uhud.[66] Ummu Aiman turut hadir dalam peperangan Uhud dan Khaibar.[67] Ummu Athiyah juga turut serta dalam banyak peperangan.[68] Berdasarkan keterangan yang dinukil darinya, dia ikut serta dalam tujuh peperangan.[69] Rabi' binti Mu'awadz juga merupakan salah satu wanita yang menyertai Nabi saw dalam peperangan.[70] Ummu 'Umarah juga berpartisipasi dalam berbagai peperangan seperti, Uhud, Khaibar dan Hunain dan berperang bersama laki-laki.[71] Dia terluka dalam berbagai peperangan dan dalam perang Uhud, ketika kaum musyrikin menyerang Nabi saw, dia membela Nabi saw dengan pedangnya.[72]
Taktik Peperangan
Nabi saw dalam sebgaian peperangan seperti, perang Khaibar[73] Nabi saw menggunakan organisasi (khamis) untuk mengorganisasi pasukannya.[74] Dalam organisasi ini, pasukan berada dalam formasi pertempuran dalam lima divisi: Pangkalan komando, pasukan inti, sayap kanan, sayap kiri, dan pendukung.[75] Salah satu taktik Nabi saw dalam peperangan adalah memulai peperangan di wilayah musuh agar seluruh kerugian peperangan ditanggung oleh musuh.[76] Dalam beberapa kasus, pasukan Islam digerakkan dari arah yang salah sehingga pasukan pengintai musuh tidak menyadari tujuan mereka.[77] Dalam beberapa kasus, setelah mendengar berita berkumpulnya musuh untuk menyerang umat Islam, Nabi menghancurkan perkumpulan tersebut dengan serangan mendadak dan mencegah terjadinya peperangan yang lebih besar.[78]
Menggunakan taktik tipuan adalah di antara metode lain Nabi saw dalam peperangan.[79] Dalam perang Khaibar, Nabi saw pertama-tama menggerakkan pasukan menuju Ghathfan, kemudian beliau mengirimkan kelompok kecil ke arah mereka dan mengubah arah ke Khaibar dengan kekuatan utama pasukan. Dengan ini, masyarakat Ghathfan dan Khaibar terkejut dan berhenti membantu satu sama lain.[80] Dalam beberapa perang, perang psikologis digunakan untuk mengalahkan musuh;[81] Seperti, dalam perang Hamra al-Asad, api dinyalakan di 500 titik pada malam hari agar musuh takut ketika melihat api;[82] Begitu pula yang terjadi dalam Fathu Mekah, Abbas bin Abdul Muthalib atas perintah dari nabi saw membawa Abu Sufyan ke sebuah lembah sehingga dia dapat melihat kerumunan besar kaum muslimin dari sana,[83] dan kehilangan pikiran untuk melakukan segala jenis perlawanan, sehingga Fathu Mekah terjadi tanpa ada perlawanan.[84] Nabi menggunakan prinsip kejutan dalam berbagai peperangan; seperti, Bani Quraidhah saat terjadi konflik, masyarkat Khaibar di lokasi konflik dan kaum musyrikin dalam teknik konflik.[85]
Sumber daya dan peralatan peperangam
Setelah berdirinya pemerintahan Islam, Nabi saw mengemban tugas menyediakan sumber daya dan perlengkapan peperangan. Namun pada tahun-tahun pertama Nabi saw hijrah ke Madinah, sumber daya dan peralatan yang dibutuhkan untuk peperangan disediakan oleh orang yang ikut dalam peperangan, yaitu orang-orang kaya dan masyarakat.[86] Misalnya, Nabi memerintahkan Sa'ad bin Zaid pergi ke Najd bersama para tawanan Bani Quraizhah untuk mendapatkan kuda dan senjata untuk pasukan Islam.[87] Begitu juga, pada perang Tabuk, sebagian sahabat meminta kepada Nabi saw agar diberikan tunggan dan bekal perang agar mereka memperoleh keutamaan Jihad, Nabi saw memerintahkan agar mengabulkan permintaan mereka.[88]
Nabi saw telah mejalin kontrak perjanjian dengan berbagai suku sehingga dapat membeli senjata dan perlengkapan tentara dari mereka.[89] Selain itu, Nabi saw biasa meminjam peralatan yang dibutuhkan pasukannya dari sebagian kabilah.[90] Dalam sebagian peperangan, umat Islam menggunakan senjata yang lebih efektif seperti ketapel[91] dan dabbabah (semacam gubuk kayu yang digunakan untuk menghancurkan tembok)[92][93]
Catatan Kaki
- ↑ Mu'awenat-e Pazuhesyi-e Muassese-e Tanzim Wa Nasyr-e Asar-e Emam Khomeini, Sima-e Ma'shumin Dar Andisye-e Emam Khomeini, hlm. 132.
- ↑ Qa'edan, Sazmandahi-e Janggi Dar Ghazawat-e Ashr-e Payambar, majalah Muthale'at-e Tarikhi-r Jangg, vol. 3, hlm. 75.
- ↑ Mu'awenat-e Pazuhesyi-e Muassese-e Tanzim Wa Nasyr-e Asar-e Emam Khomeini, Sima-e Ma'shumin Dar Andisye-e Emam Khomeini, hlm. 132.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 23.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 35.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 35.
- ↑ Abdul Muhammadi & Akbari, Naqd Wa Barresi-e Didgah-e Mustasyreqan Darbare-e Ahdaf-e Ghazawat Wa Saraya-e Payambar (SAW), majalah Tarikh-e Eslam, vol. 51, hlm. 7.
- ↑ Abdul Muhammadi & Akbari, Naqd Wa Barresi-e Didgah-e Mustasyreqan Darbare-e Ahdaf-e Ghazawat Wa Saraya-e Payambar (SAW), majalah Tarikh-e Eslam, vol. 51, hlm. 8-12.
- ↑ Abdul Muhammadi & Akbari, Naqd Wa Barresi-e Didgah-e Mustasyreqan Darbare-e Ahdaf-e Ghazawat Wa Saraya-e Payambar (SAW), majalah Tarikh-e Eslam, vol. 51, hlm. 17-29.
- ↑ Abdul Muhammadi & Akbari, Naqd Wa Barresi-e Didgah-e Mustasyreqan Darbare-e Ahdaf-e Ghazawat Wa Saraya-e Payambar (SAW), majalah Tarikh-e Eslam, vol. 51, hlm. 13-14.
- ↑ Subhani, Farazha-i Az Tarikh-e Payambar-e Eslam, hlm. 216.
- ↑ Subhani, Farazha-i Az Tarikh-e Payambar-e Eslam, hlm. 216.
- ↑ Qa'edan, Sazmandahi-e Janggi Dar Ghazawat-e Ashr-e Payambar, majalah Muthale'at-e Tarikhi-r Jangg, vol. 3, hlm. 79-80.
- ↑ Qa'edan, Sazmandahi-e Janggi Dar Ghazawat-e Ashr-e Payambar, majalah Muthale'at-e Tarikhi-r Jangg, vol. 3, hlm. 80.
- ↑ Shadeqi, Ushul-e Huquq-e Jangg Dar Sire-e Nabawi, majalah Hashun, vol. 21, hlm. 137.
- ↑ Ali Khani, Tahlil-e Seyasi-e Janggha-e Payambar-e Akram Rahburdi Baray-e Emruz, majalah Ulum-e Seyasi, vol. 7, hlm. 71.
- ↑ Ali Khani, Tahlil-e Seyasi-e Janggha-e Payambar-e Akram Rahburdi Baray-e Emruz, majalah Ulum-e Seyasi, vol. 7, hlm. 71.
- ↑ Nashiri, Tarikh-e Payambar-e Eslam, hlm. 76.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 15.
- ↑ Mishbah Yazdi, Jangg Wa Jahad Dar Qur'an, hlm. 118.
- ↑ QS. Ali Imran:123.
- ↑ QS. Al-Ahzab:22.
- ↑ QS. At-Taubah:25.
- ↑ Mishbah Yazdi, Jangg Wa Jahad Dar Qur'an, hlm. 117.
- ↑ Syekh Thusi, at-Tibyān, jld. 7, hlm. 123.
- ↑ Thabathabai, al-Mīzān, jld. 2, hlm. 60.
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 7, hlm. 103-107.
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 3, hlm. 125-126; Thabathabai, al-Mīzān, jld. 4, hlm. 43.
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 17, hlm. 216-218.
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 7, hlm. 338-341.
- ↑ Muntazeri, Hukumat-e Dini Wa Huquq-e Ensan, hlm. 68-69; Shalehi Najaf Abadi, Jahad Dar Eslam, hlm. 34.
- ↑ Mishbah Yazdi, Jang Wa Jahad Dar Qur'an, hlm. 148-151.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 120.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 120.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 118.
- ↑ Nahj al-Balāghah, hikmah 266, hlm. 520.
- ↑ Witr, Fann al-Harb al-Islāmī Fī 'Ahd ar-Rasūl (saw), hlm. 143.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 120.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 119.
- ↑ Kulaini, al-Kāfī, jld. 5, hlm. 27.
- ↑ Kulaini, al-Kāfī, jld. 5, hlm. 29.
- ↑ Husyari & Tim, Baztab-e Jangha-e Payambar (saw) Dar Ketabha-e Tarikh-e Eslam-e Iran Az Sal-e 1358 Ta Kunun, majalah Elmi-e Pazuhesyi-e Tarikh, vol. 65, hlm. 82.
- ↑ Jalili, Seyasat-e Khariji-e Payambar (saw), hlm. 105-106.
- ↑ Jalili, Seyasat-e Khariji-e Payambar (saw), hlm. 112-114.
- ↑ Taqi Zade Akbari, Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw), majalah Hashun, vol. 9 hlm. 15.
- ↑ Lihat: Waqidi, al-Maghāzī, jld. 1, hlm. 209-211.
- ↑ Qumi, Tafsīr al-Qumī, jld. 1, hlm. 177.
- ↑ Abdus Syafi, as-Sīrah an-Nabawiyyah Wa Tārīkh al-Islāmī, hlm. 153.
- ↑ Taqi Zade Akbari, Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw), majalah Hashun, vol. 9 hlm. 9.
- ↑ Kulaini, al-Kāfī, jld. 5, hlm. 28.
- ↑ Shadeqi, Ushul-e Huquq-e Jangg Dar Sire-e Nabawi, majalah Hashun, vol. 21, hlm. 129.
- ↑ Shadeqi, Ushul-e Huquq-e Jangg Dar Sire-e Nabawi, majalah Hashun, vol. 21, hlm. 127.
- ↑ Shadeqi, Ushul-e Huquq-e Jangg Dar Sire-e Nabawi, majalah Hashun, vol. 21, hlm. 131.
- ↑ Lihat: Baihaqi, as-Sunan al-Kubrā, jld. 9, hlm. 37.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 13.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 15.
- ↑ Markaz-e Tahqiqat-e Sepah, Jangha-e Payambar-e Akram (saw), hlm. 120.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 12.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 12.
- ↑ Jalali Kunduri, Huzur-e Nezami-e Zanan Dar Shadr-e Eslam, majalah Ulum-e Ensani-e Danesygah-e az-Zahra' (as), vol. 46 & 47, hlm. 108.
- ↑ Jalali Kunduri, Huzur-e Nezami-e Zanan Dar Shadr-e Eslam, majalah Ulum-e Ensani-e Danesygah-e az-Zahra' (as), vol. 46 & 47, hlm. 108; Lihat: Bukhari, Shahīh al-Bukhārī, jld. 4, hlm. 24.
- ↑ Lihat: Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 226-227; Ibn Hajar Asqalani, al-Ishābah, jld. 8, hlm. 297; Ibn Abdul Barr, al-Istī'āb, jld. 4, hlm. 1838; Ibn Hajar Asqalani, al-Ishābah, jld. 8, hlm. 135-136.
- ↑ Ibn Atsir, Asad al-Ghābah, jld. 6, hlm. 336.
- ↑ Waqidi, Al-Maghāzī, jld. 1, hlm. 249-250.
- ↑ Waqidi, Al-Maghāzī, jld. 1, hlm. 249-250.
- ↑ Ibn Hajjaj, Shahīh Muslim, jld. 3, hlm. 1416.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 180.
- ↑ Ibn Abdul Barr, al-Istī'āb, jld. 4, hlm. 1947.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 333.
- ↑ Ibn Jauzi, al-Muntadzham, jld. 5, hlm. 137; Ibn Hajar Asqalani, al-Ishābah, jld. 8, hlm. 132-133.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 303-305.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 8, hlm. 303.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 2, hlm. 81.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 26.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 26.
- ↑ Khitab, ar-Rasūl al-Qā'id, hlm. 208.
- ↑ Khitab, ar-Rasūl al-Qā'id, hlm. 203.
- ↑ Taqi Zade Akbari, Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw), majalah Hashun, vol. 9 hlm. 17-18.
- ↑ Taqi Zade Akbari, Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw), majalah Hashun, vol. 9 hlm. 18-19.
- ↑ Khitab, ar-Rasūl al-Qā'id, hlm. 452-453..
- ↑ Taqi Zade Akbari, Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw), majalah Hashun, vol. 9 hlm. 19.
- ↑ Ibn Sayyidunnas, 'Uyūn al-Atsar, jld. 2, hlm. 54.
- ↑ Ibn Hisyam, as-Sīrah an-Nabawiyah, jld. 2, hlm. 403-404.
- ↑ Khitab, ar-Rasūl al-Qā'id, hlm. 337.
- ↑ Firuzi & Husaini, Barresi-e Ahammiyat-e Ashl-e Ghafelgiri Dar Jangha-e Payambar-e Akram (saw) Wa Karburd-e An Dar Ashr-e Hazer, majalah Pazuhesyha-e Ulum-e Nezami, vol. 2, hlm. 196-200.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 16-17.
- ↑ Baihaqi, Dalā'il an-Nubuwwah, jld. 4, hlm. 24.
- ↑ Waqidi, Al-Maghāzī, jld. 3, hlm. 994.
- ↑ Qa'edan, Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami, majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij, vol. 31, hlm. 18; Lihat: Baladzuri, Futūh al-Buldān, hlm. 71; Maqrizi, Amtā' al-Asmā', jld. 9, hlm. 367.
- ↑ Ibn Sa'd, at-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 220.
- ↑ Ibn Atsir, Asad al-Ghābah, jld. 1, hlm. 30.
- ↑ Shalihi Syami, Subul al-Mahdī, jld. 6, hlm. 210.
- ↑ Lihat: Yaqut Himawi, Mu'jam al-Buldān, jld. 4, hlm. 12.
Daftar Pustaka
- Alquran
- Abdul Muhammadi, Husain, & Hadi Akbar. Naqd Wa Barresi-e Didgah-e Mustasyreqan Darbare-e Ahdaf-e Ghazawat Wa Saraya-e Payambar (SAW). Majalah Tarikh-e Eslam. Vol. 51, 1391 HS/2013.
- Abdus Syafi, Muhammad Abdul Latif. As-Sīrah an-Nabawiyah Wa at-Tārīkh al-Islāmī. Kairo: Dar as-Salam, 1417 H.
- Ali Khani, Ali AKbar. Tahlil-e Seyasi-e Janggha-e Payambar-e Akram Rahburdi Baray-e Emruz. Majalah Ulum-e Seyasi. Vol. 7, 1386 HS/2008.
- Ali Khani, Ali Akbar. Tahlil-e Seyasi-e Janggha-e Payambar-e Akram Rahburdi Baray-e Emruz. Majalah Ulum-e Seyasi. Vol. 7, 1386 HS/2008.
- Baihaqi, Ahmad bin al-Husain. Dalā'il an-Nubuwwah Wa Ma'rifah Ahwāl Shāhib as-Syarī'ah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1405 H.
- Baihaqi, Ahmad bin al-Husain. as-Sunan al-Kubrā. Beirut: Dar al-Fikr, 1424 H.
- Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Futūh al-Buldān. Beirut: Dar Wa Maktabah al-Hilal, 1988.
- Bukhari, Muhammad bin Isma'il. Shahīh al-Bukhārī. Beirut: Dar Thauq an-Najah, 1422 H.
- Firuzi, Sa'id, & Husaini, Sayid Hedayatullah. Barresi-e Ahammiyat-e Ashl-e Ghafelgiri Dar Jangha-e Payambar-e Akram (saw) Wa Karburd-e An Dar Ashr-e Hazer. Majalah Pazuhesyha-e Ulum-e Nezami. Vol. 2, 1399 HS/2021.
- Firuzi, Said, & Husaini, Sayid Hedayatullah. Barresi-e Ahammiyat-e Ashl-e Ghafelgiri Dar Jangha-e Payambar-e Akram (saw) Wa Karburd-e An Dar Ashr-e Hazer. Majalah Pazuhesyha-e Ulum-e Nezami. Vol. 2, 1399 HS/2021.
- Husyari & Tim, Baztab-e Jangha-e Payambar (saw) Dar Ketabha-e Tarikh-e Eslam-e Iran Az Sal-e 1358 Ta Kunun. Majalah Elmi-e Pazuhesyi-e Tarikh. Vol. 65, 1401 HS/2023.
- Ibn Abdul Barr, Yusuf. Al-Istī'āb Fī Ma'rifah al-Ashāb. Beirut: Dar al-Jail, 1412 H.
- Ibn Atsir, Izzudin. Asad al-Ghābah Fī Ma'rifah as-Shahābah. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.
- Ibn Hajar Asqalani, Ahmad bin Ali. Al-Ishābah Fī Tamyīz as-Shahābah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1415 H.
- Ibn Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ihya' at-Turats al-Arabi.
- Ibn Hisyam, Abdul Malik. As-Sīrah an-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Ma'rifah.
- Ibn Jauzi, Abdurrahman bin Ali. Al-Muntadzham Fī Tārīkh al-Umam Wa al-Mulūk. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1412 H.
- Ibn Jauzi, Yusuf bin Qazaugli. Tadzkirah al-Khawāsh Min al-Ummah Fī Dzikrā al-Khasā'ish al-A'immah. Qom: Mansyurat as-Syarif ar-Radhi, 1418 H.
- Ibn Sa'd, Muhammad. At-Thabaqāt al-Kubrā. Thaif: Perpustakaan as-Shiddiq, 1414 H.
- Ibn Sayyidunnas, Muhammad. 'Uyūn al-Atsar Fī Funūn al-Maghāzī Wa as-Syamā'il Wa as-Sair. Beirut: Dar al-Qalam, 1414 H.
- Jalali Kunduri, Suhaila. Huzur-e Nezami-e Zanan Dar Shadr-e Eslam. Majalah Ulum-e Ensani-e Danesygah-e az-Zahra' (as). Vol: 46 & 47, 1382 HS/2004.
- Jalili, Sa'id. Seyasat-e Khariji-e Payambar (saw). Tehran: Markaz-e Cap Wa Nasyr-e Sazman-e Tablighat-e Eslami, 1374 HS/1996.
- Khithab, Mahmud Syait. Ar-Rasūl al-Qā'id. Beirut: Dar al-Fikr, 1422 H.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Tehran: Dar al-Kutub al-Islammiyah, 1407 H.
- Makarim Syirazi, Nashir & Tim. Tafsir-e Nemune. Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1374 HS/1996.
- Maqrizi, Ahmad bin Ali. Amtā' al-Asmā' Bi Mā Li an-Nabī Min al-Ahwāl Wa al-Amwāl Wa al-Hafidah Wa al-Matā'. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1420 H.
- Markaz-e Tahqiqat-e Sepah. Jangha-e Payambar-e Akram (saw). Tehran: Setad-e Nemayandegi-e Wali-e Faqih, 1378 HS/2000.
- Misbah Yazdi, Muhammad Taqi. Jangg Wa Jahad Dar Qur'an. Qom: Entesyarat-e Muassese-e Amuzesyi Wa Pazuhesyi-e Emam Khomeini, 1394 HS/2016.
- Mu'awenat-e Pazuhesyi Muassese-e Tanzim Wa Nasyr-e Asar-e Emam Khomeini. Sima-e Ma'shumin Dar Andisye-e Emam Khomeini. 1375 HS/1997.
- Muntazeri, Husein Ali. Hukumat-e Dini Wa Huquq-e Ensan. Qom: Urghan Danesy, 1387 HS/2009.
- Nashiri, Muhammad. Tarikh-e Payambar-e Eslam. Qom: Nasyr-e Ma'aref, 1383 HS/2005.
- Qa'edan, Asghar. Sazmandahi-e Janggi Dar Ghazawat-e Ashr-e Payambar. Majalah Muthale'at-e Tarikhi-r Jangg. Vol. 3, 1397 HS/2019.
- Qa'edan, Asghar. Mudiriyat Wa Rahbari-e Payambar-e Akram (SAW) Dar Arseha-e Nezami. Majalah Muthale'at-e Rahburdi-e Basij. Vol. 31, 1385 HS/2007.
- Qumi, Ali bin Ibrahim. Tafsīr al-Qummī. Qom: Dar al-Kitab, 1363 HS/1985.
- Sayid Radhi, Muhammad bin Husain. Nahj al-Balāghah. Editor: Subhi Shalih. Qom: Hejrat, 1414 H.
- Shadiqi, Mushtafa. Ushul-e Huquq-e Jang Dar Sire-e Nabawi. Majalah Hashun. Vol: 21, 1388 HS/2010.
- Shalehi Najaf Abadi, Ni'matullah. Jahad Dar Eslam. Tehran: Nei, 1382 HS/2004.
- Shalihi Syami, Muhammad bin Yusuf. Subul al-Hudā Wa ar-Rasyād Fī Sīrah Khair al-'Ibād. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1414 H.
- Subhani, Ja'far. Farazhai Az Tarikh-e Payambar-e Eslam. Tehran: Masy'ar, 1386 HS/2008.
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. At-Tibyān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-Arabi.
- Taqi Zade Akbari, Ali. Rawesy-e Farmandahi-e Payambar-e A'zam (saw). Majalah Hashun. Vol: 9, 1385 HS/2007.
- Thabathabai, Muhammad Husein. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Qom: Daftar-e Entesyarat-e Eslami, 1417 H.
- Waqidi, Muhammad bin Umar. Al-Maghāzī. Beirut: Yayasan al-A'lami Li al-Mathbu'at, 1409 H.
- Yaqut Himawi. Mu'jam al-Buldān. Beirut: Dar Shadir, 1995.