Lompat ke isi

Muharabah: Perbedaan antara revisi

39 bita ditambahkan ,  25 Januari 2023
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Yuwono
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Yuwono
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
'''Perampokan''' (bahasa Arab: al-Muharibah) adalah penggunaan senjata dengan tujuan menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Para fukaha menyebutkan barangsiapa yang dengan secara terang-terangan mengambil harta orang lain atau melakukan penawanan maka disebut sebagai muharib atau perampok dan juga dengan bersandar pada surah al-Maidah ayat 33 disebutkan bentuk-bentuk balasan bagi perampok adalah dengan dibunuh, disalib  (mengikat sesuatu yang serupa salib), amputasi kaki dan tangan secara bersilangan dan pengasingan.  
'''Perampokan''' (bahasa Arab:{{ia| المحاربة}}) adalah penggunaan senjata dengan tujuan menimbulkan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Para fukaha menyebutkan barangsiapa yang dengan secara terang-terangan mengambil harta orang lain atau melakukan penawanan maka disebut sebagai muharib atau perampok dan juga dengan bersandar pada surah al-Maidah ayat 33 disebutkan bentuk-bentuk balasan bagi perampok adalah dengan dibunuh, disalib  (mengikat sesuatu yang serupa salib), amputasi kaki dan tangan secara bersilangan dan pengasingan.  


Syaikh Shaduq, Syaikh Mufid, dan kelompok lain percaya bahwa hakim dapat menjatuhkan salah satu dari hukuman-hukuman tersebut pada muharib, tetapi kelompok lain, Syaikh Thusi dan penulis Jawahir mengatakan bahwa tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan Muharib, satu atau lebih dari empat bentuk hukuman dapat diterapkan kepada pelaku.  
Syaikh Shaduq, Syaikh Mufid, dan kelompok lain percaya bahwa hakim dapat menjatuhkan salah satu dari hukuman-hukuman tersebut pada muharib, tetapi kelompok lain, Syaikh Thusi dan penulis Jawahir mengatakan bahwa tergantung pada jenis kejahatan yang dilakukan Muharib, satu atau lebih dari empat bentuk hukuman dapat diterapkan kepada pelaku.  


Dalam penjelasan mengenai konsep muharibah, perbedaan-perbedaannya dengan konsep lain seperti melakukan kerusakan di muka bumi, hasutan dan pembangkangan sipil turut dijelaskan; Di antaranya yang termasuk muharib adalah yang berperang dengan masyarakat, tetapi yang diinginkan penghasut adalah perang melawan penguasa. Fukaha Syiah berpendapat bahwa jika seorang muharib bertaubat sebelum ditangkap, maka hukuman muharibah tidak dijatuhkan kepadanya, tetapi jika ia bersalah karena ada hak orang lain yang telah dirampasnya maka selain mengembalikan hak, hukuman tetap akan diterapkan padanya.  
Dalam penjelasan mengenai konsep muharibah, perbedaan-perbedaannya dengan konsep lain seperti melakukan kerusakan di muka bumi, hasutan dan pembangkangan sipil turut dijelaskan; Di antaranya yang termasuk muharib adalah yang berperang dengan masyarakat, tetapi yang diinginkan penghasut adalah perang melawan penguasa. Fukaha Syiah berpendapat bahwa jika seorang muharib bertaubat sebelum ditangkap, maka hukuman muharibah tidak dijatuhkan kepadanya, tetapi jika ia bersalah karena ada hak orang lain yang telah dirampasnya maka selain mengembalikan hak, hukuman tetap akan diterapkan padanya.
==Kedudukan dan Keutamaan==
==Kedudukan dan Keutamaan==
Dalam fikih, muharibah berarti menodongkan senjata kepada orang, dengan maksud untuk menakut-nakuti mereka.[1] Menurut fatwa fukaha, barang siapa yang secara terbuka dan memaksa mengambil harta orang lain atau menawannya adalah muharib.[2] Terkait senjata, termasuk apa saja alat yang digunakan dalam konflik antar manusia; seperti pedang, busur dan senjata modern.[3]
Dalam fikih, muharibah berarti menodongkan senjata kepada orang, dengan maksud untuk menakut-nakuti mereka.[1] Menurut fatwa fukaha, barang siapa yang secara terbuka dan memaksa mengambil harta orang lain atau menawannya adalah muharib.[2] Terkait senjata, termasuk apa saja alat yang digunakan dalam konflik antar manusia; seperti pedang, busur dan senjata modern.[3]


Baris 10: Baris 12:


==Defenisi Muharibah==
==Defenisi Muharibah==
Dalam kitab-kitab fikih, terdapat pembahasan yang detail tentang syarat-syarat suatu tindakan disebut muharibah.[6] Fukaha Syiah dan Sunni berkeyakinan bahwa muharibah tidak dapat terjadi tanpa mencabut senjata.[7] Kebanyakan fukaha Syiah juga meyakini adanya niat menakut-nakuti orang sebagai salah satu syarat lainnya terjadi muharibah.[8] Sayid Abd al-Karim Musawi Ardabili, ulama marja taklid pada abad ke-15 Hijriah, hanya mengutip sebuah perkataan dari Syahid Tsani yang menyebut bahwa dia tidak menerima syarat ini [9] Namun, menurut Ardabili, Syahid Tsani dalam kitabnya yang lain, sebagaimana fakih lainnya, menganggap niat menakut-nakuti sebagai syarat.[10]
 
Dalam kitab-kitab fikih, terdapat pembahasan yang detail tentang syarat-syarat suatu tindakan disebut muharibah.[6] Fukaha Syiah dan Sunni berkeyakinan bahwa muharibah tidak dapat terjadi tanpa mencabut senjata.[7] Kebanyakan fukaha Syiah juga meyakini adanya niat menakut-nakuti orang sebagai salah satu syarat lainnya terjadi muharibah.[8] Sayid Abd al-Karim Musawi Ardabili, ulama marja taklid pada abad ke-15 Hijriah, hanya mengutip sebuah perkataan dari Syahid Tsani yang menyebut bahwa dia tidak menerima syarat ini [9] Namun, menurut Ardabili, [[Syahid Tsani]] dalam kitabnya yang lain, sebagaimana fakih lainnya, menganggap niat menakut-nakuti sebagai syarat.[10]


Disebut sebagai perusak atau perampoknya seseorang yang mencabut senjata adalah sebelumnya telah memiliki riwayat dalam menimbulkan keonaran di tengah-tengah masyarat, hal ini juga dianggap sebagai salah satu syarat lainnya yang diperselisihkan. [11] Dalam konteks syarat terakhir, perdebatannya adalah apakah ditetapnya sebuah tindakan sebagai muharibah diharuskan menimbulkan ketakutan masyarakat atau cukup dengan niat untuk menakut-nakuti meskipun tindakannya itu tidak membuat orang-orang ketakutan [12] Syahid Awal dan Syahid Tsani dan penulis Riyadh berpendapat memiliki niat menakut-nakuti masyarakat itu sudah cukup.[13]  Di sisi lain, Muhaqiq Ardebili, Fadhil Isfahani dan Imam Khomeini, berpendapat bahwa seseorang yang menggunakan senjata dengan niat untuk menakut-nakuti orang, namun tidak ada dari masyarakat yang takut, maka tidak bisa dikategorikan  sebagai muharibah. [14]
Disebut sebagai perusak atau perampoknya seseorang yang mencabut senjata adalah sebelumnya telah memiliki riwayat dalam menimbulkan keonaran di tengah-tengah masyarat, hal ini juga dianggap sebagai salah satu syarat lainnya yang diperselisihkan. [11] Dalam konteks syarat terakhir, perdebatannya adalah apakah ditetapnya sebuah tindakan sebagai muharibah diharuskan menimbulkan ketakutan masyarakat atau cukup dengan niat untuk menakut-nakuti meskipun tindakannya itu tidak membuat orang-orang ketakutan [12] Syahid Awal dan Syahid Tsani dan penulis Riyadh berpendapat memiliki niat menakut-nakuti masyarakat itu sudah cukup.[13]  Di sisi lain, Muhaqiq Ardebili, Fadhil Isfahani dan Imam Khomeini, berpendapat bahwa seseorang yang menggunakan senjata dengan niat untuk menakut-nakuti orang, namun tidak ada dari masyarakat yang takut, maka tidak bisa dikategorikan  sebagai muharibah. [14]
Baris 17: Baris 20:


==Bentuk-Bentuk==
==Bentuk-Bentuk==
Fukaha muslim terkait bentuk-bentuk dari muharib sebagaimana yang terdapat dalam ayat muharibah memberikan pandangan-pandangan yang berbeda.[17] Sebagian berpandangan ayat muharibah berkaitan dengan muharib dari ahli dzimmih, padahal jika telah melanggar perjanjian dan memicu peperangan dengan kaum muslimin maka dengan memperhatikan syan nuzul ayat, maksudnya adalah orang-orang murtad, dan pendapat lain menyebutan bahwa misdaq dari ayat ini adalah orang-orang jahat. [18] Syaikh Thusi berkata, pendapat fukaha Syiah adalah siapapun yang mengangkat senjata dengan tujuan menimbulkan ketakutan masyarakat maka adalah muharib. [19]  
Fukaha muslim terkait bentuk-bentuk dari muharib sebagaimana yang terdapat dalam ayat muharibah memberikan pandangan-pandangan yang berbeda.[17] Sebagian berpandangan ayat muharibah berkaitan dengan muharib dari ahli dzimmih, padahal jika telah melanggar perjanjian dan memicu peperangan dengan kaum muslimin maka dengan memperhatikan syan nuzul ayat, maksudnya adalah orang-orang murtad, dan pendapat lain menyebutan bahwa misdaq dari ayat ini adalah orang-orang jahat. [18] Syaikh Thusi berkata, pendapat fukaha Syiah adalah siapapun yang mengangkat senjata dengan tujuan menimbulkan ketakutan masyarakat maka adalah muharib. [19]  


==Perbedaan Muharib dengan Kerusakan di Muka Bumi==
==Perbedaan Muharib dengan Kerusakan di Muka Bumi==
Sekelompok dari fukaha dengan mengacu pada ayat Muharibah, menyebut melakukan kerusakan di muka bumi berbeda dengan muharib, sementara kelompok lain tidak membedakan keduanya. Imam Khomeini (1281-1368 HS) menyamakan pelaku kerusakan di muka bumi dengan muharib, dengan mendefenisikan muharib adalah seseorang yang mengangkat senjatanya untuk menakut-nakuti orang dan menyebabkan kerusakan di muka bumi.[20] Menurut Muhammad Mu’min al-Qummi (1316-1397 HS) salah seorang fakih Syiah Menurut fikih Syiah, melakukan kerusakan di muka bumi adalah topik dalam ayat tersebut dan muharibah adalah salah satu bentuk dari kerusakan di muka bumi. Menurut Muhammad Fadhil Lankarani (1310-1386 HS), hubungan antara kerusakan di muka bumi dengan muharib adalah hubungan umum dan khusus secara mutlak, yaitu setiap muharib adalah pelaku kerusakan di muka bumi, namun bukan setiap kerusakan di muka bumi.[22] Sementara menurut Ayatullah Nashir Makarim Shirazi pelaku kerusakan dengan muharib adalah dua konsep yang terpisah.[23]
 
Sekelompok dari fukaha dengan mengacu pada ayat Muharibah, menyebut melakukan kerusakan di muka bumi berbeda dengan muharib, sementara kelompok lain tidak membedakan keduanya. Imam Khomeini (1281-1368 HS) menyamakan pelaku kerusakan di muka bumi dengan muharib, dengan mendefenisikan muharib adalah seseorang yang mengangkat senjatanya untuk menakut-nakuti orang dan menyebabkan kerusakan di muka bumi.[20] Menurut Muhammad Mu’min al-Qummi (1316-1397 HS) salah seorang fakih Syiah Menurut fikih Syiah, melakukan kerusakan di muka bumi adalah topik dalam ayat tersebut dan muharibah adalah salah satu bentuk dari kerusakan di muka bumi.
Menurut Muhammad Fadhil Lankarani (1310-1386 HS), hubungan antara kerusakan di muka bumi dengan muharib adalah hubungan umum dan khusus secara mutlak, yaitu setiap muharib adalah pelaku kerusakan di muka bumi, namun bukan setiap kerusakan di muka bumi.[22] Sementara menurut Ayatullah Nashir Makarim Shirazi pelaku kerusakan dengan muharib adalah dua konsep yang terpisah.[23]


==Perbedaan Muharibah dengan Pemberontakan==
==Perbedaan Muharibah dengan Pemberontakan==
Dalam fikih, muharibah dengan bagha (pemberontakan) adalah dua masalah yang terpisah yang masing-masing memiliki defenisi, ahkam syar’i dan masalah yang berbeda. [24] Muharib berperang dengan masyarakat sipil, sementara pemberontak mengangkat senjata untuk melawan penguasa.[25] Yang karena itu fukaha membahas bagha dalam kitab jihad sementara hukum muharibah dibahas dalam kitab al-Hudud.[26] Dokumentasi masing-masing dari kedua hukum ini juga terpisah, dan tentu saja ketakutan terhadap rakyat dan kerusakan serta ketidakamanan dalam pemberontakan belum termasuk dalam syarat tersebut.[27]
Dalam fikih, muharibah dengan bagha (pemberontakan) adalah dua masalah yang terpisah yang masing-masing memiliki defenisi, ahkam syar'i dan masalah yang berbeda. [24] Muharib berperang dengan masyarakat sipil, sementara pemberontak mengangkat senjata untuk melawan penguasa.[25] Yang karena itu fukaha membahas bagha dalam kitab jihad sementara hukum muharibah dibahas dalam kitab al-Hudud.[26] Dokumentasi masing-masing dari kedua hukum ini juga terpisah, dan tentu saja ketakutan terhadap rakyat dan kerusakan serta ketidakamanan dalam pemberontakan belum termasuk dalam syarat tersebut.[27]


==Perbedaan Muharibah dengan Ketidakpatuhan Sipil==
==Perbedaan Muharibah dengan Ketidakpatuhan Sipil==
Sayid Jawad Wara’i seorang peneliti fikih siyasi berpendapat perlawanan sipil dan pembangkangan sipil dengan maksud mengubah satu aturan atau satu sistem politik atau menginginkan pergantian rezim dan yang serupa dengan itu dan tujuannya bukan menggulingkan sistem politik atau menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak bisa dikatakan ketidakpatuhan sipil bagian dari muharib atau bughat, karenanya tidak boleh menyepakati pembangkangan sipil sebagai bentuk muharib.[28]
Sayid Jawad Wara’i seorang peneliti fikih siyasi berpendapat perlawanan sipil dan pembangkangan sipil dengan maksud mengubah satu aturan atau satu sistem politik atau menginginkan pergantian rezim dan yang serupa dengan itu dan tujuannya bukan menggulingkan sistem politik atau menciptakan teror di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak bisa dikatakan ketidakpatuhan sipil bagian dari muharib atau bughat, karenanya tidak boleh menyepakati pembangkangan sipil sebagai bentuk muharib.[28]


==Hukuman terhadap Muharib==
==Hukuman terhadap Muharib==
Fukaha dengan bersandar pada ayat Muharibah secara ijma’ menyepakati hukuman muharibah terdiri dari empat bentuk: dibunuh, disalib (mengikat tangan dan kaki pelaku ke sesuatu seperti salib) [29], memotong tangan dan kaki secara bersilangan dan diusir atau diasingkan. [30] Namun bagaimana hukuman tersebut diterapkan, terdapat perbedaan pendapat. [31] Menurut Sayid Abdul Karim Musawi Ardibili, diantara fukaha Ahlusunnah juga memiliki pandangan-pandangan yang berbeda. [32]
Fukaha dengan bersandar pada ayat Muharibah secara ijma’ menyepakati hukuman muharibah terdiri dari empat bentuk: dibunuh, disalib (mengikat tangan dan kaki pelaku ke sesuatu seperti salib) [29], memotong tangan dan kaki secara bersilangan dan diusir atau diasingkan. [30] Namun bagaimana hukuman tersebut diterapkan, terdapat perbedaan pendapat. [31] Menurut Sayid Abdul Karim Musawi Ardibili, diantara fukaha Ahlusunnah juga memiliki pandangan-pandangan yang berbeda. [32]


Baris 37: Baris 45:
'''Teori Berurutan'''
'''Teori Berurutan'''


Fatwa kelompok fukaha lain seperti Syaikh Thusi, Ibnu Zahra, Ibnu Barraj, Abu Shalah al-Halabi, penulis ar-Riyadh, penulis Jawahir dan Sayid Abul Qasim Khui menyebutkan hukumannya secara berurutan; yaitu bergantung pada jenis sanksi, satu atau beberapa hukuman yang dapat diterapkan dari hukuman yang ada pada ayat. [34] Oleh Ayatullah Khui, hukuman secara tartib menjelaskannya seperti ini: barangsiapa yang sekedar mengangkat senjata untuk menakuti masyarakat, maka hukumannya adalah dikeluarkan atau diasingkan dari tanah asalnya; barangsiapa yang selain mengangkat senjata juga menimbulkan kerusakan, maka hukumannya pertama adalah qisas setelah itu diasingkan; jika mengangkat senjata dan merampas harta masyarakat, tangan dan kakinya dipotong; barangsiapa dengan mencabut senjata, dia membunuh satu atau beberapa orang, namun tidak mengambil harta, maka akan dibunuh. Barangsiapa selain membunuh, juga mengambil harta, awal tangan kanannya dipotong, setelah itu dia diserahkan kepada keluarga yang dibunuhnya sampai mereka bisa mengambil hartanya kembali dan kemudian dia dibunuh. Jika keluarga yang dibunuh memaafkan, maka hakim yang menerapkan hukuman mati padanya. [35]
Fatwa kelompok fukaha lain seperti Syaikh Thusi, Ibnu Zahra, Ibnu Barraj, Abu Shalah al-Halabi, penulis ar-Riyadh, penulis Jawahir dan Sayid Abul Qasim Khui menyebutkan hukumannya secara berurutan; yaitu bergantung pada jenis sanksi, satu atau beberapa hukuman yang dapat diterapkan dari hukuman yang ada pada ayat.[34] Oleh Ayatullah Khui, hukuman secara tartib menjelaskannya seperti ini: barangsiapa yang sekedar mengangkat senjata untuk menakuti masyarakat, maka hukumannya adalah dikeluarkan atau diasingkan dari tanah asalnya; barangsiapa yang selain mengangkat senjata juga menimbulkan kerusakan, maka hukumannya pertama adalah [[Kisas]] setelah itu diasingkan; jika mengangkat senjata dan merampas harta masyarakat, tangan dan kakinya dipotong; barangsiapa dengan mencabut senjata, dia membunuh satu atau beberapa orang, namun tidak mengambil harta, maka akan dibunuh. Barangsiapa selain membunuh, juga mengambil harta, awal tangan kanannya dipotong, setelah itu dia diserahkan kepada keluarga yang dibunuhnya sampai mereka bisa mengambil hartanya kembali dan kemudian dia dibunuh. Jika keluarga yang dibunuh memaafkan, maka hakim yang menerapkan hukuman mati padanya. [35]


Dalam hukum perdata Islam Iran, hukuman atas tindakan muharib diterapkan salah satu dari empat hukuman mati, salib, potong tangan kanan dan kaki kiri dan pengasingan. [36]
Dalam hukum perdata Islam Iran, hukuman atas tindakan muharib diterapkan salah satu dari empat hukuman mati, salib, potong tangan kanan dan kaki kiri dan pengasingan. [36]
Baris 44: Baris 52:
Menurut fatwa fukaha Syiah, jika muharib melakukan pertaubatan sebelum ditangkap, maka hukuman muharibah tidak diterapkan padanya, namun hak-hak yang telah dirampasnya harus dikembalikan. Yaitu, jika seseorang membunuh, atau melakukan kejahatan kepada orang lain, atau mencuri milik orang lain, dan tidak ada pemaafan oleh pemilik hak, maka diterapkan qisas atasnya atau diyah atau membayar ganti rugi, namun jika bertaubatnya setelah ditangkap, maka hukuman tetap akan berlaku. [37] Fukaha Syiah ijma’ dalam masalah ini. [38]
Menurut fatwa fukaha Syiah, jika muharib melakukan pertaubatan sebelum ditangkap, maka hukuman muharibah tidak diterapkan padanya, namun hak-hak yang telah dirampasnya harus dikembalikan. Yaitu, jika seseorang membunuh, atau melakukan kejahatan kepada orang lain, atau mencuri milik orang lain, dan tidak ada pemaafan oleh pemilik hak, maka diterapkan qisas atasnya atau diyah atau membayar ganti rugi, namun jika bertaubatnya setelah ditangkap, maka hukuman tetap akan berlaku. [37] Fukaha Syiah ijma’ dalam masalah ini. [38]


Pandangan ini, bersumber dari ayat setelah ayat muharibah yang menyebutkan, إِلَّا الَّذِینَ تٰابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَیهِمْ artinya “kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka” [39] Barangsiapa yang sebelum ditangkap telah lebih dulu bertaubat maka dia dikecualikan dari hukuman. [40] Sejumlah riwayat juga disebutkan menegaskan pendapat ini. Diantaranya, sebuah hadis dari Imam Shadiq as yang menyebutkan, “Jika muharib sebelum ditangkap telah bertaubat melalui hakim, maka tidak akan dihukum.” [41]
Pandangan ini, bersumber dari ayat setelah ayat muharibah yang menyebutkan, {{ia|إِلَّا الَّذِینَ تٰابُوا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَقْدِرُوا عَلَیهِمْ}} artinya "Kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka" [39] Barangsiapa yang sebelum ditangkap telah lebih dulu bertaubat maka dia dikecualikan dari hukuman. [40] Sejumlah riwayat juga disebutkan menegaskan pendapat ini. Diantaranya, sebuah hadis dari Imam Shadiq as yang menyebutkan, “Jika muharib sebelum ditangkap telah bertaubat melalui hakim, maka tidak akan dihukum.” [41]


==Ayat Muharibah==
==Ayat Muharibah==
Sumber rujukan utama fukaha dalam menetapkan hukum muharibah adalah ayat 33 surah al-Maidah. [42] Ayat tersebut berbunyi:إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِینَ یحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَیسْعَوْنَ فِی الْأَرْضِ فَسَادًا أَن یُقَتَّلُوا أَوْ یُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَیدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ یُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ yang artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” [43]
Sumber rujukan utama fukaha dalam menetapkan hukum muharibah adalah ayat 33 surah al-Maidah. [42] Ayat tersebut berbunyi:{{ia|إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِینَ یحَارِبُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَیسْعَوْنَ فِی الْأَرْضِ فَسَادًا أَن یُقَتَّلُوا أَوْ یُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَیدِیهِمْ وَأَرْجُلُهُم مِّنْ خِلَافٍ أَوْ یُنفَوْا مِنَ الْأَرْضِ}} yang artinya: "Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” [43]


Disebutkan dalam ''Tafsir al-Amtsal'', sya’n nuzul ayat mengisahkan masuk Islamnya sekelompok musyrikin yang dikarenakan iklim Madinah tidak cocok buat mereka, sehingga Nabi Muhammad saw memerintahkan agar mereka pindah ke daerah yang iklimnya lebih sesuai buat mereka. Karena daerah itu adalah tempat penggembalaan unta, suatu hari orang-orang ini memotong tangan dan kaki penggembala Muslim, mencuri unta dan meninggalkan Islam. Ayat itu diturunkan tentang orang-orang ini dan menjelaskan hukuman atas mereka.[44]
Disebutkan dalam ''Tafsir al-Amtsal'', sya’n nuzul ayat mengisahkan masuk Islamnya sekelompok musyrikin yang dikarenakan iklim Madinah tidak cocok buat mereka, sehingga [[Nabi Muhammad saw]] memerintahkan agar mereka pindah ke daerah yang iklimnya lebih sesuai buat mereka. Karena daerah itu adalah tempat penggembalaan unta, suatu hari orang-orang ini memotong tangan dan kaki penggembala [[Muslim]], mencuri unta dan meninggalkan Islam. Ayat itu diturunkan tentang orang-orang ini dan menjelaskan hukuman atas mereka.[44]


Dalam kitab-kitab fikih, dari ayat ini disebutkan baik dalam konteks jenis hukuman muharib maupun bentuk-bentuknya.[45]
Dalam kitab-kitab fikih, dari ayat ini disebutkan baik dalam konteks jenis hukuman muharib maupun bentuk-bentuknya.[45]
Pengguna anonim