Pengguna anonim
Ajal: Perbedaan antara revisi
→Ajal dalam Ilmu Kalam
imported>Erna |
imported>Erna |
||
Baris 19: | Baris 19: | ||
Sayyid Muhammad Husain Thabathabai telah menulis dalam penjelasan tentang dua kematian ini: Ajal Muallaq (yang ditangguhkan) adalah waktu kematian setiap manusia berdasarkan kondisi fisiknya. Ajal Musamma juga merupakan waktu dimana kematian orang itu pasti akan datang. Menurutnya, seseorang mungkin bisa hidup seratus tahun berdasarkan kondisi fisiknya, yaitu kematiannya yang tertunda; Tetapi mungkin saja kematian orang ini cepat atau lambat akan datang karena suatu sebab, dan inilah yang disebut dengan Ajal kematiannya.[12] | Sayyid Muhammad Husain Thabathabai telah menulis dalam penjelasan tentang dua kematian ini: Ajal Muallaq (yang ditangguhkan) adalah waktu kematian setiap manusia berdasarkan kondisi fisiknya. Ajal Musamma juga merupakan waktu dimana kematian orang itu pasti akan datang. Menurutnya, seseorang mungkin bisa hidup seratus tahun berdasarkan kondisi fisiknya, yaitu kematiannya yang tertunda; Tetapi mungkin saja kematian orang ini cepat atau lambat akan datang karena suatu sebab, dan inilah yang disebut dengan Ajal kematiannya.[12] | ||
==Ajal | ==Ajal Dalam Ilmu Kalam== | ||
Para teolog Muslim juga membahas tentang masalah yang berkaitan dengan keterpaksaan atau Determinisme (jabr) Iradah dan kehendak manusia yang dihubungkan dengan Ajal kematian manusia.[13] Mereka mengatakan bahwa Ash'ari yang pertama kalinya memprotes pendapat mu’tazilah tentang iradah dan kehendak manusia dengan menghubungkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ajal manusia.[14] Mereka mengatakan bahwa karena ayat-ayat tentang Ajal ini menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu sebagaimana telah ditetapkan oleh Tuhan, maka semua amal perbuatan kita harus dinisbatkan kepada Tuhan. Misalnya, dalam membunuh manusia, si pembunuh tidak memiliki kehendak bebas; Karena kematian korban (waktu kematiannya) telah ditentukan oleh Tuhan.[15] | Para teolog Muslim juga membahas tentang masalah yang berkaitan dengan keterpaksaan atau Determinisme (jabr) Iradah dan kehendak manusia yang dihubungkan dengan Ajal kematian manusia.[13] Mereka mengatakan bahwa Ash'ari yang pertama kalinya memprotes pendapat mu’tazilah tentang iradah dan kehendak manusia dengan menghubungkan dengan ayat-ayat yang berkaitan dengan Ajal manusia.[14] Mereka mengatakan bahwa karena ayat-ayat tentang Ajal ini menjelaskan kepada kita bahwa segala sesuatu sebagaimana telah ditetapkan oleh Tuhan, maka semua amal perbuatan kita harus dinisbatkan kepada Tuhan. Misalnya, dalam membunuh manusia, si pembunuh tidak memiliki kehendak bebas; Karena kematian korban (waktu kematiannya) telah ditentukan oleh Tuhan.[15] | ||
Mu'tazilah berkata: Manusia juga melakukan perbuatan salah dan karena perbuatan salah tidak dapat dinisbatkan kepada Tuhan, maka perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatannya sendiri.[16] | Mu'tazilah berkata: Manusia juga melakukan perbuatan salah dan karena perbuatan salah tidak dapat dinisbatkan kepada Tuhan, maka perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatannya sendiri.[16] |