Pengguna anonim
Baiat: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Rezvani k (پیوند میان ویکی و حذف از مبدا ویرایش) |
imported>Ismail Dg naba Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 21: | Baris 21: | ||
Baiat adalah kalimat Arab dari kata Ba Ya 'A (ب ی ع), yang berarti, bersalaman, menggenggam tangan, seseorang mengulurkan tangan kanan ke tangan kanan lainnya guna meratifikasi akad bai' (ikrar penjualan). <ref>Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125. </ref> | Baiat adalah kalimat Arab dari kata Ba Ya 'A (ب ی ع), yang berarti, bersalaman, menggenggam tangan, seseorang mengulurkan tangan kanan ke tangan kanan lainnya guna meratifikasi akad bai' (ikrar penjualan). <ref>Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125. </ref> | ||
Sebelum Islam, di tengah-tengah masyarakat Arab sudah menjadi tradisi saat jual beli untuk memastikan akad jual beli dan menegaskan kekomitmenannya dengan isinya, sang pembeli dan penjual mengulurkan tangan kanannya dengan menepukkan tangan kanan ke pihak lainnya; amal ini disebut dengan Baiat atau Shafqah (transaksi penjualan), dan dengan berlangsungnya hal tersebut, maka muamalah (transaksi) sudah terjadi. Demikian jugaو untuk suatu kelompok atau kabilah saat melakukan perjanjian dan ketaatan dengan seorang penguasa atau kepala suku, berjabat tangan adalah hal yang sudah jamak; dan karena kemiripannya dengan baiat dalam jual beli, maka perbuatan ini juga disebut dengan baiat. <ref>Ibn Khaldun, ''Muqaddimah'', hlm. 209. </ref> | Sebelum Islam, di tengah-tengah masyarakat Arab sudah menjadi tradisi saat jual beli untuk memastikan akad jual beli dan menegaskan kekomitmenannya dengan isinya, sang pembeli dan penjual mengulurkan tangan kanannya dengan menepukkan tangan kanan ke pihak lainnya; amal ini disebut dengan Baiat atau Shafqah (transaksi penjualan), dan dengan berlangsungnya hal tersebut, maka muamalah (transaksi) sudah terjadi. Demikian jugaو untuk suatu kelompok atau kabilah saat melakukan perjanjian dan ketaatan dengan seorang penguasa atau kepala suku, berjabat tangan adalah hal yang sudah jamak; dan karena kemiripannya dengan baiat dalam jual beli, maka perbuatan ini juga disebut dengan baiat. <ref>Ibn Khaldun, ''Muqaddimah'', hlm. 209. </ref> | ||
Dengan demikian, banyak sekali para peneliti mengartikan makna terminologi baiat dalam teks dan referensi-referensi Islam dengan peletakan tangan kanan di atas tangan kanan seseorang sebagai bukti penerimaan ketaatan atau kepemimpinannya. <ref>Syahristani, ''Madkhal ila | Dengan demikian, banyak sekali para peneliti mengartikan makna terminologi baiat dalam teks dan referensi-referensi Islam dengan peletakan tangan kanan di atas tangan kanan seseorang sebagai bukti penerimaan ketaatan atau kepemimpinannya. <ref>Syahristani, ''Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh'', hlm. 155. </ref> Lambat laun, dengan adanya perubahan dan keragaman dalam variasi lahiriah baiat, kata baiat selain digeneralkan pada perbuatan di atas yang menunjukkan janji dan komitmen dimana kinerja ini merupakan kiasan dan bukti dan dalam makna yang kedua juga marak dan populer. | ||
==Makna Baiat dalam Islam== | ==Makna Baiat dalam Islam== | ||
Makna baiat yang umum dipakai dalam [[Alquran]], [[Sunah]], sejarah, teologi, [[fikih]] politik Islam adalah akad dan janji dimana seorang yang berbaiat melakukan baiat kepada seorang imam, pemimpin atau seorang lainnya dalam masalah khusus atau masalah yang lebih umum untuk mentaati dan mengikutinya, ia komitmen dan setia dengan isi janjinya. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al- | Makna baiat yang umum dipakai dalam [[Alquran]], [[Sunah]], sejarah, teologi, [[fikih]] politik Islam adalah akad dan janji dimana seorang yang berbaiat melakukan baiat kepada seorang imam, pemimpin atau seorang lainnya dalam masalah khusus atau masalah yang lebih umum untuk mentaati dan mengikutinya, ia komitmen dan setia dengan isi janjinya. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref> | ||
==Sejarah Baiat== | ==Sejarah Baiat== | ||
Baris 34: | Baris 34: | ||
Baiat pertama dalam sirah Nabawi adalah baiat [[Imam Ali as]] dan [[Sayidah Khadijah sa]] dengan Nabi saw setelah menerima Islam. <ref>Majlisi, ''Bihar al-Anwar'', jld. 65, hlm. 392-393. </ref> Kendati demikian, Ibn Syahr Asyub<ref>Ibn Syahr Asyub, ''Manaqib'', jld. 2, hlm. 21, 24. </ref>, berpendapat baiat pertama dalam sejarah Islam adalah Baiat 'Asyirah yang terjadi pada tahun ke-3 [[kenabian]] pada hari [[Hadis Yaum al-Dar|Yaum al-Dar]]. Pada hari ini, Rasulullah saw atas perintah [[Allah swt]] meminta penerimaan Islam dan baiat dari pihak [[Bani Hasyim]] dan menurut hadis-hadis [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]], hanya Imam Ali as saja, orang termuda keluarga, yang membaiat Nabi saw. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 2, hlm. 319-321. </ref> | Baiat pertama dalam sirah Nabawi adalah baiat [[Imam Ali as]] dan [[Sayidah Khadijah sa]] dengan Nabi saw setelah menerima Islam. <ref>Majlisi, ''Bihar al-Anwar'', jld. 65, hlm. 392-393. </ref> Kendati demikian, Ibn Syahr Asyub<ref>Ibn Syahr Asyub, ''Manaqib'', jld. 2, hlm. 21, 24. </ref>, berpendapat baiat pertama dalam sejarah Islam adalah Baiat 'Asyirah yang terjadi pada tahun ke-3 [[kenabian]] pada hari [[Hadis Yaum al-Dar|Yaum al-Dar]]. Pada hari ini, Rasulullah saw atas perintah [[Allah swt]] meminta penerimaan Islam dan baiat dari pihak [[Bani Hasyim]] dan menurut hadis-hadis [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]], hanya Imam Ali as saja, orang termuda keluarga, yang membaiat Nabi saw. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 2, hlm. 319-321. </ref> | ||
====Baiat | ====Baiat 'Aqabah Pertama dan Kedua==== | ||
Dua baiat penting lainnya yang terjadi di Mekah, adalah baiat 'Aqabah pertama pada tahun 12 kenabian dan [[Baiat 'Aqabah]] kedua pada tahun 13 kenabian, dimana kedua-duanya terjadi pada musim haji di tempat 'Aqabah (sebuah tempat di pertengahan jalan | Dua baiat penting lainnya yang terjadi di Mekah, adalah baiat 'Aqabah pertama pada tahun 12 kenabian dan [[Baiat 'Aqabah]] kedua pada tahun 13 kenabian, dimana kedua-duanya terjadi pada musim haji di tempat 'Aqabah (sebuah tempat di pertengahan jalan [[Makkah]] dan [[Mina]]). Dua baiat ini, khususnya baiat kedua, merupakan basis hijrahnya Nabi menuju kota Madinah. <ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 253-257. </ref> | ||
====Baiat dengan Rasulullah sebelum Perang Badar==== | ====Baiat dengan Rasulullah sebelum Perang Badar==== | ||
Baris 67: | Baris 67: | ||
===Baiat dalam Pemerintahan-pemerintahan Pengklaim Khilafah=== | ===Baiat dalam Pemerintahan-pemerintahan Pengklaim Khilafah=== | ||
Menurut pendapat Syahidi<ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 125. </ref>, tradisi baiat di seluruh pemerintahan yang memiliki klaim khilafah [[Islam]], termasuk [[Khawarij]], Fatimiyah, Umawiyah Andalusia dan bahkan Utsmaniyah sangatlah marak dan di Iran sampai beberapa waktu sangatlah marak, dimana di situ dikukuhkan pemerintahan-pemerintahan yang mengikuti khilafah Islamiyah; dan nampaknya ikut sirna dengan lengsernya kekhilafahan Abbasiah. Selain pemerintahan, tradisi baiat di tengah-tengah para penentang khalifah juga ada, seperti baiat penduduk Irak dengan Abdullah bin Zubair<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 83. </ref> ; baiat para pengikut [[Zaid bin Ali bin Husain as]] dengannya<ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 167, 171. </ref> ; baiat sekelompok masyarakat dengan [[Muhammad bin Abdullah Nafsu Zakiyah]] di akhir-akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan juga pada masa al-Manshur<ref> | Menurut pendapat Syahidi<ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 125. </ref>, tradisi baiat di seluruh pemerintahan yang memiliki klaim khilafah [[Islam]], termasuk [[Khawarij]], Fatimiyah, Umawiyah Andalusia dan bahkan Utsmaniyah sangatlah marak dan di Iran sampai beberapa waktu sangatlah marak, dimana di situ dikukuhkan pemerintahan-pemerintahan yang mengikuti khilafah Islamiyah; dan nampaknya ikut sirna dengan lengsernya kekhilafahan Abbasiah. Selain pemerintahan, tradisi baiat di tengah-tengah para penentang khalifah juga ada, seperti baiat penduduk Irak dengan Abdullah bin Zubair<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 83. </ref> ; baiat para pengikut [[Zaid bin Ali bin Husain as]] dengannya<ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 167, 171. </ref> ; baiat sekelompok masyarakat dengan [[Muhammad bin Abdullah Nafsu Zakiyah]] di akhir-akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan juga pada masa al-Manshur<ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 294, 306. </ref> ; pengambilan baiat Abu Muslim kepada penduduk Khurasan untuk Ibrahim Imam. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 7, hlm. 379 - 380. </ref> | ||
==Shigah (Bentuk Ungkapan) Baiat== | ==Shigah (Bentuk Ungkapan) Baiat== | ||
Baris 100: | Baris 100: | ||
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan [[Amirul Mukminin as]]<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan [[Amirul Mukminin as]]<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | ||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref> | Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma'rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo' (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld.1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen sebelah pihak, bukan penjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | ||
===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ||
Baiat dikarenakan esensinya adalah akad, maka ia memiliki tiga rukun mendasar: yang membaiat, yang dibaiat dan subjek baiat. Sesuai esensi akadnya, menurut fikih kedua belah pihak harus memiliki kriteria-kriteria wajib, seperti baligh, dewasa dan berakal. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 85. </ref> Namun, baiat anak kecil dalam sebagian hadis-hadis Ahlusunah juga diperbolehkan. <ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222. </ref> Dalam sebagian hadis juga disyaratkan kemampuan orang yang membaiat. <ref>Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 8, hlm. 122. </ref> | Baiat dikarenakan esensinya adalah akad, maka ia memiliki tiga rukun mendasar: yang membaiat, yang dibaiat dan subjek baiat. Sesuai esensi akadnya, menurut fikih kedua belah pihak harus memiliki kriteria-kriteria wajib, seperti baligh, dewasa dan berakal. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 85. </ref> Namun, baiat anak kecil dalam sebagian hadis-hadis Ahlusunah juga diperbolehkan. <ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222. </ref> Dalam sebagian hadis juga disyaratkan kemampuan orang yang membaiat. <ref>Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 8, hlm. 122. </ref> | ||
Termasuk syarat-syarat yang diafirmasi dalam referensi-referensi fikih adalah adanya ikhtiyar dan tidak ada pemaksaan dari setiap satu dari kedua belah pihak. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al- | Termasuk syarat-syarat yang diafirmasi dalam referensi-referensi fikih adalah adanya ikhtiyar dan tidak ada pemaksaan dari setiap satu dari kedua belah pihak. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 133-138. </ref><ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 86. </ref> | ||
Sebagian referensi Ahlusunah dikatakan bahwa baiat yang disertai dengan paksaan secara syariat dianggap rusak dan tidak sah, selain itu, dengan terpenuhinya syarat-syarat, maka hal itu dianggap efektif dan legal. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 139-140. </ref> | Sebagian referensi Ahlusunah dikatakan bahwa baiat yang disertai dengan paksaan secara syariat dianggap rusak dan tidak sah, selain itu, dengan terpenuhinya syarat-syarat, maka hal itu dianggap efektif dan legal. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 139-140. </ref> | ||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Ahlusunah=== | ===Baiat dalam Pemikiran Politik Ahlusunah=== | ||
Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al- | Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah, hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunah seperti Mawardi, Abu Ya'la al-Farra', dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu [[furu'uddin]], sebagai ganti dari ushul<ref>Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql, jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 7 ke atas. </ref> | ||
Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang dharuri. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang dharuri. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | ||
Baris 116: | Baris 116: | ||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Ahlusunah==== | ====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Ahlusunah==== | ||
Kebanyakan para fakih dan penulis kontemporer Ahlusunah berupaya dengan menganalisis baiat sebagai sebuah akad dengan kekomitmenan kedua belah pihak (perjanjian) dan menerapkannya dengan akad dan wakil, juga menganggapnya setara dengan konsep "Kontrak sosial" karya Rousseau, yang menjadi dasar-dasar hak-hak politik dalam sistem demokrasi dan pengemukakannya serupa dengan proses pemilu dan pemungutan suara. <ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 684. </ref><ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame | Kebanyakan para fakih dan penulis kontemporer Ahlusunah berupaya dengan menganalisis baiat sebagai sebuah akad dengan kekomitmenan kedua belah pihak (perjanjian) dan menerapkannya dengan akad dan wakil, juga menganggapnya setara dengan konsep "Kontrak sosial" karya Rousseau, yang menjadi dasar-dasar hak-hak politik dalam sistem demokrasi dan pengemukakannya serupa dengan proses pemilu dan pemungutan suara. <ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 684. </ref><ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher, hlm. 232-233. </ref> | ||
Dengan demikian, baiat mayoritas masyarakat dengan sang penguasa akan menjadi suatu keharusan bagi kelompok minoritas. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> Nampaknya, Syaikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali memaparkan konsep ini dalam fikih Ahlusunah. <ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame | Dengan demikian, baiat mayoritas masyarakat dengan sang penguasa akan menjadi suatu keharusan bagi kelompok minoritas. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> Nampaknya, Syaikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali memaparkan konsep ini dalam fikih Ahlusunah. <ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher, hlm. 236. </ref> Meski di tengah-tengah kalangan Ahlusunah sendiri konsep ini juga memiliki para pengkritik. | ||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Syiah=== | ===Baiat dalam Pemikiran Politik Syiah=== | ||
Baris 124: | Baris 124: | ||
Menurut para fakih Syiah, meski untuk kewajiban menjalankan akad baiat dapat bersandar pada argumentasi kelaziman menepati akad atau syarat seperti Aufu bil 'Uqud , namun argumentasi ini sendiri tidak dapat melegalisasi subjek akad itu sendiri dan hanya menunjukkan kelaziman menepati syarat-syarat akad yang legal. <ref>Ibid., hlm. 164. </ref><ref>Khalkhali, Hakimiyyat dar Islam, hlm. 580. </ref> | Menurut para fakih Syiah, meski untuk kewajiban menjalankan akad baiat dapat bersandar pada argumentasi kelaziman menepati akad atau syarat seperti Aufu bil 'Uqud , namun argumentasi ini sendiri tidak dapat melegalisasi subjek akad itu sendiri dan hanya menunjukkan kelaziman menepati syarat-syarat akad yang legal. <ref>Ibid., hlm. 164. </ref><ref>Khalkhali, Hakimiyyat dar Islam, hlm. 580. </ref> | ||
Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk "menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi". Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al- | Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk "menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi". Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan [[Umar bin Khattab]] dan [[Utsman bin Affan]]. <ref>Ja'far Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma'alim al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi 'Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> Pendapat Ahlusunah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasulullah saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | ||
Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca [[Peristiwa Saqifah]], [[Imam Ali as]], [[Bani Hasyim]] dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan [[Abu Bakar]] dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref> | Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca [[Peristiwa Saqifah]], [[Imam Ali as]], [[Bani Hasyim]] dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan [[Abu Bakar]] dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | ||
Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali as saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> | Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali as saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> | ||
Sebagian penulis [[Ahlusunah]]<ref>Katib, Tathawwur al-Fikri al-Siasi al- | Sebagian penulis [[Ahlusunah]]<ref>Katib, Tathawwur al-Fikri al-Siasi al-Syi'i, hlm. 14-15. </ref> dengan bersandar pada sebagian khotbah dan surat-surat ''[[Nahjul Balaghah]]''<ref>Termasuk khotbah 8, 137, 172, 218 dan surat 1, 6, 7, 54. </ref> yang mana di situ berbicara tentang kelaziman baiat masyarakat, bahkan terhadap mereka yang tidak berbaiat, mengklaim bahwa beliau dan juga Imam Hasan as menerima penetapan [[imamah]] dengan baiat. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 265. </ref> | ||
Namun, para peneliti Syiah meragukan pendapat tersebut, karena imamah tidak dibuktikan dengan baiat, selain itu termasuk dari urgensi teologi Syiah, juga hal yang ditegaskan dan diafirmasi oleh Ali as sendiri. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 2, 105, 144 dan surat 28, 62 dan hikmah 147. </ref> Dengan argumentasi ini dan argumentasi-argumentasi lainnya<ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 523-525. </ref> harus menyandingkan hadis-hadis tersebut dengan debat (jadal) dan diskusi (munadzarah) yang dimaksudkan guna membungkam dan memuaskan. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amar, hlm. 95. </ref> | Namun, para peneliti Syiah meragukan pendapat tersebut, karena imamah tidak dibuktikan dengan baiat, selain itu termasuk dari urgensi teologi Syiah, juga hal yang ditegaskan dan diafirmasi oleh Ali as sendiri. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 2, 105, 144 dan surat 28, 62 dan hikmah 147. </ref> Dengan argumentasi ini dan argumentasi-argumentasi lainnya<ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 523-525. </ref> harus menyandingkan hadis-hadis tersebut dengan debat (jadal) dan diskusi (munadzarah) yang dimaksudkan guna membungkam dan memuaskan. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amar, hlm. 95. </ref> | ||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Syiah==== | ====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Syiah==== | ||
Meski mayoritas para fakih Imamiyah kontemporer mengklaim baiat pada masa kehadiran [[para Imam Maksum]] sifatnya hanya afirmasi, namun sebagian dari mereka dalam menganalisa mekanisme fungsi Wilayatul Fakih di era [[Kegaiban|kegaiban imam maksum]], mengklaimkan baiat lebih memiliki peran dari sekedar afirmasi, yakni sebuah aspek ketentuan. Namun sebagian para fakih tidak membedakan antara baiat pada masa kehadiran seorang Maksum atau pada masa kegaibannya. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al- | Meski mayoritas para fakih Imamiyah kontemporer mengklaim baiat pada masa kehadiran [[para Imam Maksum]] sifatnya hanya afirmasi, namun sebagian dari mereka dalam menganalisa mekanisme fungsi Wilayatul Fakih di era [[Kegaiban|kegaiban imam maksum]], mengklaimkan baiat lebih memiliki peran dari sekedar afirmasi, yakni sebuah aspek ketentuan. Namun sebagian para fakih tidak membedakan antara baiat pada masa kehadiran seorang Maksum atau pada masa kegaibannya. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 519. </ref> | ||
Selain itu, sebagian para fakih kontemporer berkeyakinan tercapainya sejenis wilayah dan legalitas masyarakat dengan baiat di era ghaibah. Sekelompok dari mereka<ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 575-576. </ref> menganggap baiat sebagai akad wikalah lazim, yang subjeknya adalah pengukuhan wilayah dan pemberian wewenang. Dengan berdasarkan hal ini, berpengaruh pada pemilihan dan baiat mayoritas, dan bahkan terhadap minoritas yang tidak berbaiat dan wajib dijalankan. Penjelasan baiat sebagai akad wikalah dan juga kelaziman akad semacam ini menjadi ajang perdebatan dan kritikan. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al- | Selain itu, sebagian para fakih kontemporer berkeyakinan tercapainya sejenis wilayah dan legalitas masyarakat dengan baiat di era ghaibah. Sekelompok dari mereka<ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 575-576. </ref> menganggap baiat sebagai akad wikalah lazim, yang subjeknya adalah pengukuhan wilayah dan pemberian wewenang. Dengan berdasarkan hal ini, berpengaruh pada pemilihan dan baiat mayoritas, dan bahkan terhadap minoritas yang tidak berbaiat dan wajib dijalankan. Penjelasan baiat sebagai akad wikalah dan juga kelaziman akad semacam ini menjadi ajang perdebatan dan kritikan. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517-518. </ref> | ||
==Catatan Kaki== | ==Catatan Kaki== | ||
Baris 148: | Baris 148: | ||
*Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, Kitab Ushuluddin, Istanbul 1346/1928, cet. Offset Beirut 1401/1981. | *Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi, Kitab Ushuluddin, Istanbul 1346/1928, cet. Offset Beirut 1401/1981. | ||
*Abdur Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mesir, 1378/1959. | *Abdur Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mesir, 1378/1959. | ||
*Ahmad bin Muhammad Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir lil | *Ahmad bin Muhammad Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir lil Rafi'i, Beirut, Bi Ta. | ||
*Ahmad Fuad Abdul Jawad Abdul Majid, al-Baiah | *Ahmad Fuad Abdul Jawad Abdul Majid, al-Baiah 'inda Mufakkiri Ahlissunnah wa al-Aqd al-Ijtima'i fi al-Fikr al-Siasi al-Hadis, Dirasah Muqaranah fi al-falsafah al-Siyasiyah, Kairo, 1998. | ||
*Ahmad Katib, Tathawwur al-Fikri al- | *Ahmad Katib, Tathawwur al-Fikri al-Syi'i, London, 1997. | ||
*Ali bin Husein Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, Tehran, 1410. | *Ali bin Husein Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, Tehran, 1410. | ||
*Ali bin Husein | *Ali bin Husein Mas'udi, Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jauhar, cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mesir, 1384-1385/1964-1965. | ||
*Ali bin Muhammad Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut, 1410/1990. | *Ali bin Muhammad Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayah al-Diniyyah, Beirut, 1410/1990. | ||
*Dzafir al-Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, Beirut, 1405/1985. | *Dzafir al-Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, Beirut, 1405/1985. | ||
*Fadhl bin Hasan Thabarsi, | *Fadhl bin Hasan Thabarsi, Jawami' al-Jami' fi Tafsir al-Quran al-Majid, Tabriz, 1379. | ||
*Fadhl bin Hasan Thabarsi, | *Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran, cet. Hasyim Rasuli Mahallati dan Fadhlullah Yazdi Thabathabai, Beirut, 1408/1988. | ||
*Hamid Inayah, Andisyeh Siasi dar Islame | *Hamid Inayah, Andisyeh Siasi dar Islame Mu'asher, terj. Bahauddin Khorramshani, Tehran 1362 S. | ||
*Hamid Inayah, Sairi dar Andisyeh Siasi Arab, Tehran, 1370 S. | *Hamid Inayah, Sairi dar Andisyeh Siasi Arab, Tehran, 1370 S. | ||
*Husein Ali Muntazeri, Dirasat fi Wilayat al-Faqih wa Fiqh al-Daulah al-Islamiyyah, Qom, 1409 -1411. | *Husein Ali Muntazeri, Dirasat fi Wilayat al-Faqih wa Fiqh al-Daulah al-Islamiyyah, Qom, 1409 -1411. | ||
*Husein bin Muhammad Raghib Isfahani, Mufradat Alfadz al-Quran, cet. Shafwan Adnan Dawudi, Damaskus, 1412/1992. | *Husein bin Muhammad Raghib Isfahani, Mufradat Alfadz al-Quran, cet. Shafwan Adnan Dawudi, Damaskus, 1412/1992. | ||
*Ibn Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, cet. Tahir Ahmad Zawi dan Dr. Mahmud Muhammad at-Thanahi, Kairo, 1383, 1385/1963 1965. | *Ibn Atsir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis wa al-Atsar, cet. Tahir Ahmad Zawi dan Dr. Mahmud Muhammad at-Thanahi, Kairo, 1383, 1385/1963 1965. | ||
*Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, al-Juz al-Awwal min Kitab al- | *Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, al-Juz al-Awwal min Kitab al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar, Beirut, 1391/1971. | ||
*Ibn Manzur, Lisan al- | *Ibn Manzur, Lisan al-'Arab, Qom 1363 S. | ||
*Ibn Qudamah, al-Mughni, Beirut, 1404/1983. | *Ibn Qudamah, al-Mughni, Beirut, 1404/1983. | ||
*Ibn Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, cet. Hasyim Rasuli Mahallati, Qom, 1379. | *Ibn Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib, cet. Hasyim Rasuli Mahallati, Qom, 1379. | ||
* | *Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat 'ala Hadyi al-Kitab wa al-Sunanh wa al-'Aql, karya Hassan Muhammad Makki al-Amili, jld. 4, Qom, 1412. | ||
* | *Ja'far Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma'alim al-Hukumah al-Islamiyyah, qom, 1364 S. | ||
* | *Ja'far Syahidi, Baiat wa Ceguneghiy-e on dar Tarikhe Islam, Kaihan Andisyeh, no. 26, Mehr dan Aban, 1368. | ||
*Kazem Haeri, Asas al-Hukumah al-Islamiyyah: Dirasat Istidlaliyyah, Muqaranah baina al-Dimukrathiyyah wa al-Syura wa Wilayah al-Faqih, Beirut, 1399/1979. | *Kazem Haeri, Asas al-Hukumah al-Islamiyyah: Dirasat Istidlaliyyah, Muqaranah baina al-Dimukrathiyyah wa al-Syura wa Wilayah al-Faqih, Beirut, 1399/1979. | ||
*Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi Ashr al-Ghaibah, Qom 1414. | *Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi Ashr al-Ghaibah, Qom 1414. | ||
*Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al- | *Khalil bin Ahmad Farahidi, Kitab al-'Ain, cet. Mahdi Makhzumi dan Ibrahim Samerrai, Qom, 1405. | ||
*Louis | *Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, Beirut, 1982-1983, cet. Offset Tehran, 1362 S. | ||
*Muhammad Abdul Hayy bin Abdul Kabir Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah al-Musamma al-Taratib al-Idariyyah, Beirut, Bi Ta. | *Muhammad Abdul Hayy bin Abdul Kabir Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah al-Musamma al-Taratib al-Idariyyah, Beirut, Bi Ta. | ||
*Muhammad Ahmad Qurthubi, al- | *Muhammad Ahmad Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Quran, jld. 9, juz 18, Kairo, 1387/1967, cet. Offset Tehran, 1364 S. | ||
*Muhammad Ali Syahristani, Madkhal ila Ilm al-Fiqh, London, 1416/1996. | *Muhammad Ali Syahristani, Madkhal ila Ilm al-Fiqh, London, 1416/1996. | ||
*Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi Majlisi, Bihar al-Anwar, Beirut, 1403/1983, jld. 29, 30, cet. Abduz Zahra Alawiyyah, Beirut, Bi Ta. | *Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi Majlisi, Bihar al-Anwar, Beirut, 1403/1983, jld. 29, 30, cet. Abduz Zahra Alawiyyah, Beirut, Bi Ta. | ||
*Muhammad bin al-Tayyib al-Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad | *Muhammad bin al-Tayyib al-Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad 'ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah, cet. Mahmud Muhammad al-Khudhairi dan Muhammad Abdul Hadi Abu Raidah, Kairo, 1366/1967. | ||
*Muhammad bin Ismail Bukhari | *Muhammad bin Ismail Bukhari Ja'fari, Shahih al-Bukhari, Istanbul, 1401/1981. | ||
*Muhammad bin Jurair Thabari, Tarikh al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, cet. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Beirut, 1382-1387/1962-1967. | *Muhammad bin Jurair Thabari, Tarikh al-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, cet. Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, Beirut, 1382-1387/1962-1967. | ||
*Muhammad bin Muhammad Mufid, al-Irsyad, Qom, Bi Ta. | *Muhammad bin Muhammad Mufid, al-Irsyad, Qom, Bi Ta. | ||
*Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf | *Muhammad bin Umar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf 'an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, Beirut, Bi Ta. | ||
*Muhammad bin | *Muhammad bin Ya'qub Kulaini, al-Kafi, cet. Ali Akbar Ghaffari, Beirut, 141. | ||
*Muhammad Fakir Mibadi, Baiat wa Naqsye-e on dar Hukumate Islami, Hukumat Islami, tahun 2, no. 3, Poiz, 1376. | *Muhammad Fakir Mibadi, Baiat wa Naqsye-e on dar Hukumate Islami, Hukumat Islami, tahun 2, no. 3, Poiz, 1376. | ||
*Muhammad Hadi | *Muhammad Hadi Marifah, Wilayate Faqih, Qom, 1377 S. | ||
*Muhammad Hasan Hur Amili, Wasail al-Syiah ila Tahshil Masail al-Syariah, cet. Abdurrahim Rabbani Syirazi, Beirut, 1404/1983. | *Muhammad Hasan Hur Amili, Wasail al-Syiah ila Tahshil Masail al-Syariah, cet. Abdurrahim Rabbani Syirazi, Beirut, 1404/1983. | ||
*Muhammad Hasan Muzaffar, Dalail al-Shidq, Beirut, Bi Ta. | *Muhammad Hasan Muzaffar, Dalail al-Shidq, Beirut, Bi Ta. | ||
Baris 193: | Baris 193: | ||
*Mustafa Bagha, Buhuts fi Nidzam al-Islami, Damaskus, 1403/1983. | *Mustafa Bagha, Buhuts fi Nidzam al-Islami, Damaskus, 1403/1983. | ||
*Nahjul Balaghah, cet. Subhi Saleh, Beirut, Tarikh Muqaddimah 1387, cet. Offset Qom, Bi Ta. | *Nahjul Balaghah, cet. Subhi Saleh, Beirut, Tarikh Muqaddimah 1387, cet. Offset Qom, Bi Ta. | ||
*Nasir Makarim Syirazi, Anwar al-Faqahah, Kitab al- | *Nasir Makarim Syirazi, Anwar al-Faqahah, Kitab al-Bai', juz. 1, Qom, 1411. | ||
*Wahbah Mustafa Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, Damaskus, 1404/1984. | *Wahbah Mustafa Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, Damaskus, 1404/1984. | ||
{{akhir}} | {{akhir}} | ||
[[Kategori:Imamah]] | [[Kategori:Imamah]] |