Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

60 bita ditambahkan ,  3 Desember 2018
imported>M.hazer
imported>M.hazer
Baris 50: Baris 50:
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih)|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih)|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, ''Kasyf al-Murād fi Syarh Tajrid al-I'tiqād'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Subyek hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
 
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jld. 1, hlm. 25-31. </ref>
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan subyek-subyek hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebutkan bahwa keyakinan akan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiyah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kekeliruan-kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak sampai pada batas yang menyebabkan masyarakat tidak perduli pada mereka, maka tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi yang semacam ini. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jld. 1, hlm. 25-31. </ref>


===Urgensitas===
===Urgensitas===
Dengan melihat luasnya kemaksuman para Nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu akan berfungsi dengan benar apabila dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari penyimpangan pemalsuan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  
Dengan melihat luasnya kemaksuman para Nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu akan berfungsi dengan benar apabila dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari penyimpangan dan pemalsuan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  
 
Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.
Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.


Baris 64: Baris 66:
*'''Ishmah dalam menerima dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam mengutus para Nabi dan menyeru masyarakat, sementara menyalahi tujuan merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin pula. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  [[Alquran]] juga menjelaskan hal ini:
*'''Ishmah dalam menerima dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam mengutus para Nabi dan menyeru masyarakat, sementara menyalahi tujuan merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin pula. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  [[Alquran]] juga menjelaskan hal ini:
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Hāqqah: 44-47)
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Hāqqah: 44-47)
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Murāf fi Syarh Tajrid al-I'tiqād'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan topik-topik hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>
*'''Ishmah dalam menentukan subyek-subyek hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>


==Kemaksuman Para Imam==
==Kemaksuman Para Imam==
Pengguna anonim