Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

129 bita ditambahkan ,  5 November 2018
tidak ada ringkasan suntingan
imported>M.hazer
imported>M.hazer
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 19: Baris 19:
==Analisis Konsep==
==Analisis Konsep==
===Makna Etimologi===
===Makna Etimologi===
Ishmah, kata dasar (isim Mashdar) dari kata 'Ain Shad Mim, yang berarti penjagaan, terjaga<ref>Fayumi, hlm. 414. </ref> , kesucian, penjagaan jiwa dari [[dosa]]<ref>Dehkhoda, kata Ishmah. </ref> , sarana menahan dan sarana penjagaan. <ref>Ibn Manzur, jild. 12, hlm. 405. </ref>   
Ishmah, kata dasar (isim Mashdar) dari kata 'Ain Shad Mim, yang berarti penjagaan, terjaga<ref>Fayumi, hlm. 414. </ref> , kesucian, penjagaan jiwa dari [[dosa]]<ref>Dehkhoda, kata Ishmah. </ref> , sarana menahan dan sarana penjagaan. <ref>Ibn Manzur, jld. 12, hlm. 405. </ref>   


===Makna Terminologi===
===Makna Terminologi===
Baris 48: Baris 48:
===Domain===
===Domain===
Ishmah [[para Nabi]] memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ishmah [[para Nabi]] memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih))|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih))|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jld. 1, hlm. 25-31. </ref>


===Urgensitas===
===Urgensitas===
Baris 109: Baris 109:
Allah berfirman: “''Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 124)
Allah berfirman: “''Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 124)
:- Zalim dalam ayat ini, mencakup zalim terhadap diri sendiri, zalim kepada selainnya dan zalim dalam hak Allah. Demikian juga mencakup seseorang, yang melakukan kezaliman bahkan jika hal itu dilakukan dalam sekejap saja dari umurnya.
:- Zalim dalam ayat ini, mencakup zalim terhadap diri sendiri, zalim kepada selainnya dan zalim dalam hak Allah. Demikian juga mencakup seseorang, yang melakukan kezaliman bahkan jika hal itu dilakukan dalam sekejap saja dari umurnya.
Dengan demikian, orang yang tidak maksum akan melakukan kezaliman dan orang yang zalim tidak akan sampai pada maqom imamah. <ref>Syarif Murtadha, al-Syafi, jild. 3, hlm. 141. </ref>
Dengan demikian, orang yang tidak maksum akan melakukan kezaliman dan orang yang zalim tidak akan sampai pada maqom imamah. <ref>Syarif Murtadha, al-Syafi, jld. 3, hlm. 141. </ref>


*'''Ayat Ulil Amr'''
*'''Ayat Ulil Amr'''
:Artikel Utama: [[Ayat Ulil Amri]]
:Artikel Utama: [[Ayat Ulil Amri]]
Argumentasi untuk membuktikan kemaksuman dengan ayat ini dengan dua bentuk:
Argumentasi untuk membuktikan kemaksuman dengan ayat ini dengan dua bentuk:
:'''Bentuk pertama''': Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati seseorang dengan tanpa syarat apapun, maka orang tersebut adalah maksum yaitu terjaga dari dosa; karena jika orang tersebut tidak maksum dan kemudian memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan dosa, maka dia harus mentaatinya (karena ketaatannya adalah wajib) dan juga tidak mentaatinya (karena taat dan patuh terhadap makhluk selama hal itu menyebabkan kepatuhan kepada Tuhan, bukan sebaliknya). Dengan demikian, terjadilah pertentangan dua hal, kontradiksi, dan itu mustahil. <ref>Mudzaffar, jild. 2, hlm. 17. </ref>  
:'''Bentuk pertama''': Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati seseorang dengan tanpa syarat apapun, maka orang tersebut adalah maksum yaitu terjaga dari dosa; karena jika orang tersebut tidak maksum dan kemudian memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan dosa, maka dia harus mentaatinya (karena ketaatannya adalah wajib) dan juga tidak mentaatinya (karena taat dan patuh terhadap makhluk selama hal itu menyebabkan kepatuhan kepada Tuhan, bukan sebaliknya). Dengan demikian, terjadilah pertentangan dua hal, kontradiksi, dan itu mustahil. <ref>Mudzaffar, jjld. 2, hlm. 17. </ref>  
:'''Bentuk kedua''': Dalam ayat ini, Ulil Amri dikembalikan ke Rasul; ketaatan terhadap keduanya dengan satu kata kerja Athi'u; ketaatan terhadap rasul sama sekali tidak ada syaratnya; dengan demikian ketaatan terhadap Ulil Amri juga dengan tanpa syarat adalah wajib. Hal ini tidak masalah ketika Ulil Amri adalah seorang yang maksum. <ref>Thabarsi, jild. 2, hlm. 64. </ref>
:'''Bentuk kedua''': Dalam ayat ini, Ulil Amri dikembalikan ke Rasul; ketaatan terhadap keduanya dengan satu kata kerja Athi'u; ketaatan terhadap rasul sama sekali tidak ada syaratnya; dengan demikian ketaatan terhadap Ulil Amri juga dengan tanpa syarat adalah wajib. Hal ini tidak masalah ketika Ulil Amri adalah seorang yang maksum. <ref>Thabarsi, jld. 2, hlm. 64. </ref>
   
   
*'''Ayat Tathir'''
*'''Ayat Tathir'''
:Artikel Utama:[[Ayat Tathir]]
:Artikel Utama:[[Ayat Tathir]]
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya". (QS. Al-Ahzab: 33)
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya". (QS. Al-Ahzab: 33)
Dalam sebagian referensi-referensi Syiah dan [[Ahlusunah]] dikemukakan bahwa Rasulullah saw dalam menjelaskan ayat ini berkata, "Aku dan Ahlulbaitku adalah suci". <ref>''Dalail al-Nubuwwah'', jild. 1, hlm. 171; Imta' al-Asma', jild. 3, hlm. 208, fa Ana wa Ahlubaiti Muthahharun min al-Dzunub (Maka Saya dan Ahlulbait saya disucikan dari dosa-dosa). </ref>  Ali As juga membuktikan kesucian dari dosa Az-Zahra Sa dalam [[peristiwa Fadak]] dengan bersandar pada ayat ini. <ref>Kamil Bahai, Imad Thabari, hlm. 256. </ref>  
Dalam sebagian referensi-referensi Syiah dan [[Ahlusunah]] dikemukakan bahwa Rasulullah saw dalam menjelaskan ayat ini berkata, "Aku dan Ahlulbaitku adalah suci". <ref>''Dalail al-Nubuwwah'', jld. 1, hlm. 171; Imta' al-Asma', jld. 3, hlm. 208, fa Ana wa Ahlubaiti Muthahharun min al-Dzunub (Maka Saya dan Ahlulbait saya disucikan dari dosa-dosa). </ref>  Ali As juga membuktikan kesucian dari dosa Az-Zahra Sa dalam [[peristiwa Fadak]] dengan bersandar pada ayat ini. <ref>Kamil Bahai, Imad Thabari, hlm. 256. </ref>  
Argumentasi dengan ayat ini memerlukan beberapa pendahuluan:  
Argumentasi dengan ayat ini memerlukan beberapa pendahuluan:  
:'''Pendahuluan pertama''': Allah hanya menghendaki pensucian [[Ahlulbait as]].
:'''Pendahuluan pertama''': Allah hanya menghendaki pensucian [[Ahlulbait as]].
Baris 127: Baris 127:
:'''Pendahuluan keempat''': Irodah takwini Allah juga pasti terealisasi dan tidak akan melenceng.
:'''Pendahuluan keempat''': Irodah takwini Allah juga pasti terealisasi dan tidak akan melenceng.
:'''Pendahuluan kelima''': Kesucian yang dijelaskan dalam ayat ini sama sekali tidak ada syaratnya dan dalam bentuk mutlak dan menafikan segala bentuk kotoran dan ketidaksucian.
:'''Pendahuluan kelima''': Kesucian yang dijelaskan dalam ayat ini sama sekali tidak ada syaratnya dan dalam bentuk mutlak dan menafikan segala bentuk kotoran dan ketidaksucian.
:'''Pendahuluan keenam''': Tidak ada satu kelompokpun dari kaum muslim yang mengklaimkan ishmah orang-orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah kecuali kelompok [[Syiah]] saja, yang berkeyakinan akan kemaksuman [[Sayidah Zahra|Sayidah Zahra sa]] dan para [[12 Imam Syiah|Imam dua belas as]]. Dengan demikian, ayat ini membuktikan kemaksuman dan keterjagaan para imam Syiah dari dosa dan kesalahan. <ref>Thabathabai, jild. 16, hlm. 310-312. </ref>
:'''Pendahuluan keenam''': Tidak ada satu kelompokpun dari kaum muslim yang mengklaimkan ishmah orang-orang yang dinisbatkan kepada Rasulullah kecuali kelompok [[Syiah]] saja, yang berkeyakinan akan kemaksuman [[Sayidah Zahra|Sayidah Zahra sa]] dan para [[12 Imam Syiah|Imam dua belas as]]. Dengan demikian, ayat ini membuktikan kemaksuman dan keterjagaan para imam Syiah dari dosa dan kesalahan. <ref>Thabathabai, jld. 16, hlm. 310-312. </ref>


=====Riwayat=====
=====Riwayat=====
*'''Hadis Tsaqalain'''
*'''Hadis Tsaqalain'''
:Artikel Utama:[[Hadis Tsaqalain]]
:Artikel Utama:[[Hadis Tsaqalain]]
[[Rasulullah saw]] bersabda, "Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu: Kitabullah (Alquran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (Alquran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh". <ref>Ibn Hanbal, jild. 3, hlm. 59, hadis 11578. </ref>  
[[Rasulullah saw]] bersabda, "Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian, yang apabila kalian berpegang teguh kepadanya, niscaya kalian tidak akan tersesat sepeninggalku. Salah satunya lebih agung daripada yang lainnya, yaitu: Kitabullah (Alquran), ia adalah tali yang terbentang dari langit ke bumi, dan keturunanku Ahlulbaitku. Keduanya (Alquran dan Ahlulbait) tidak akan pernah berpisah sehingga berjumpa denganku di telaga Haudh". <ref>Ibn Hanbal, jld. 3, hlm. 59, hadis 11578. </ref>  
Hadis ini dari beberapa aspek membuktikan kemaksuman Ahlulbait:
Hadis ini dari beberapa aspek membuktikan kemaksuman Ahlulbait:
:- Dalam riwayat ini, Rasulullah saw mewajibkan ketaatan mutlak dan tanpa syarat dari Alquran dan Ahlulbait untuk semua kaum [[Muslim]]. Perintah akan ketaatan mutlak merupakan bukti kemaksuman seseorang yang ditaati; karena mustahil Allah memerintahkan ketaatan mutlak kepada seseorang, yang ada kemungkinan salah dan keliru dalam ucapan-ucapan orang tersebut dan bisa jadi melanggar kitab Allah dan rasul-Nya.
:- Dalam riwayat ini, Rasulullah saw mewajibkan ketaatan mutlak dan tanpa syarat dari Alquran dan Ahlulbait untuk semua kaum [[Muslim]]. Perintah akan ketaatan mutlak merupakan bukti kemaksuman seseorang yang ditaati; karena mustahil Allah memerintahkan ketaatan mutlak kepada seseorang, yang ada kemungkinan salah dan keliru dalam ucapan-ucapan orang tersebut dan bisa jadi melanggar kitab Allah dan rasul-Nya.
Baris 139: Baris 139:


*'''Ali ma'a al-Haq wa al-Haq ma'a Ali'''
*'''Ali ma'a al-Haq wa al-Haq ma'a Ali'''
Abdurrahman bin Abi Sa'ad dari ayahnya menukilkan bahwa kami duduk bersama sejumlah kaum [[Muhajirin]] dan [[Anshar]] di samping rumah Rasulullah, lantas Ali as memasuki majlis kami, Rasulullah saw berkata: Apakah kalian mau saya beritahu paling baiknya kalian? Mereka menjawab, iya. Nabi berkata, paling terbaiknya kalian adalah orang yang menepati janji kalian dan memakai wewangian. Allah mencintai para hamba yang bertakwa. Perawi berkata: pada waktu itu Ali bin Abi Thalib melewati kami; lantas Rasulullah saw bersabda, "Ini bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya." <ref>Abu Ya'la, jild. 2, hlm. 318, hadis 1052.</ref>  <ref> ‘Asqalani, jild. 16, hlm. 147. </ref>
Abdurrahman bin Abi Sa'ad dari ayahnya menukilkan bahwa kami duduk bersama sejumlah kaum [[Muhajirin]] dan [[Anshar]] di samping rumah Rasulullah, lantas Ali as memasuki majlis kami, Rasulullah saw berkata: Apakah kalian mau saya beritahu paling baiknya kalian? Mereka menjawab, iya. Nabi berkata, paling terbaiknya kalian adalah orang yang menepati janji kalian dan memakai wewangian. Allah mencintai para hamba yang bertakwa. Perawi berkata: pada waktu itu Ali bin Abi Thalib melewati kami; lantas Rasulullah saw bersabda, "Ini bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya." <ref>Abu Ya'la, jld. 2, hlm. 318, hadis 1052.</ref>  <ref> ‘Asqalani, jld. 16, hlm. 147. </ref>


Riwayat ini menegaskan kemaksuman [[Amirul Mukminin|Amirul Mukminin Ali as]]; karena makna ishmah tak lain adalah senantiasa bersama dengan hak dan kebenaran dan tidak keliru dalam perkataan dan perangai;
Riwayat ini menegaskan kemaksuman [[Amirul Mukminin|Amirul Mukminin Ali as]]; karena makna ishmah tak lain adalah senantiasa bersama dengan hak dan kebenaran dan tidak keliru dalam perkataan dan perangai;
Baris 164: Baris 164:


==Daftar Pustaka==
==Daftar Pustaka==
{{Referensi}}
{{{Referensi}}
<div style="{{column-count|2}}">
<*‘Asqalani, Ahmad bin Ali. ''Al-Mathālib al-Āliyah bi Zawāid al-Masānid al-Tsamaniyyah''. Riset: Sa'ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Saudiyyah: Dar al-‘Ashimah/ Dar al-Ghaits, 1419 H.
*‘Asqalani, Ahmad bin Ali, al-Mathalib al-Aliyah bi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyyah, Riset. Sa'ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri, Saudiyyah, Dar al-‘Ashimah/ Dar al-Ghaits, 1419 H.
*Abu Ya'la, Ahmad bin Ali. ''Musnad Abi Ya'la''. Riset: Husain Salim Asad. Damaskus: Dar al-Mamun lil Turats, 1404 H.
*Abu Ya'la, Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya'la, Riset. Husein Salim Asad, Damaskus, Dar al-Mamun lil Turats, 1404.
*Baihaqi, Ahmad bin Husain (458). ''Dalāil al-Nubuwwah wa Ma'rifah Ahwāl Shahib al-Syari'at''. Riset: Abdul Mu'thi Qal'aji. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1405 H.
*Baihaqi, Ahmad bin Husein (458), Dalail al-Nubuwwah wa Ma'rifah Ahwal Shahib al-Syari'at, Riset. Abdul Mu'thi Qal'aji, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1405.
*Fayumi, Ahmad bin Muhammad. ''Mishbāh al-Munir''. Qom: Dar al-Hijrah, 1414 H.
*Fayumi, Ahmad bin Muhammad, Misbah al-Munir, Qom, Dar al-Hijrah, 1414.
*Hilli. ''Al-Bab al-Hadi 'Asyar''. Teheran: Muassasah Muthalaat Islami, 1365 HS.
*Hilli, al-Bab al-Hadi Asyar, Tehran, Muassasah Muthalaat Islami, 1365.
*Hilli. ''Kasyf al-Murad''. Qom: Muassasah Nasyre Islami, cet. 4, 1413 H.  
*Hilli, Kasyf al-murad, Qom, Muassasah Nasyre Islami, 1413, cet. 4.
*Ibn Hanbal, Ahmad.''Musnad Ahmad bin Hanbal''. Mesir: Muassasah Qurthubah.
*Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, Mesir, Muassasah Qurthubah.
*Ibn Mandzur. ''Lisan al-Arab''. Editor: Mirdamadi. Beirut: Darul Fikr, 1414 H.
*Ibn Mandzur, Lisan al-Arab, Editor. Mirdamadi, Beirut, Darul Fikr, 1414.
*Iji, Mir Sayid Syarif. ''Syarh al-Mawāqif''. Qom: Offset, Syarif Radhi, 1325 HS.
*Iji, Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawaqif, Offset, Qom, Syarif Radhi, 1325.
*Makarim Syirazi, Nasir. ''Tafsir Nemuneh''. Teheran: Dar al-Kutub al-Islami, 1374 HS.
*Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, Tehran, Dar al-Kutub al-Islami, 1374.
*Mudzaffar, Muhammad Hasan. ''Dalāil al-Shidq''. Teheran: Maktabah al-Dzujaj.
*Mudzaffar, Muhammad Hasan, Dalail al-Shidq, Maktabah al-Dzujaj, Tehran.
*Muhammadi Ray, Muhammad. ''Falsafah Wahyu wa Nubuwwat''. Qom: Intisyarat Daftar Tablighat, 1367 HS.
*Muhammadi Ray, Muhammad, Falsafah Wahyu wa Nubuwwat, Qom, Intisyarat Daftar Tablighat, 1367.
*Muqrizi (845), Ahmad bin Ali. ''Imta' al-Asma' bima li an-Nabi min al-Ahwāl wa al-Amwāl wa al-Hafadah wa al-Mata'''. Riset: Muhamamd Abdul Hamid al-Numaisi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1420 H.
*Muqrizi (845), Ahmad bin Ali, Imta' al-Asma' bima lin Nabi min al-Ahwal wa al-Amwal wa al-Hufdat wa al-Mata', Riset. Muhamamd Abdul Hamid al-Numaisi, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1420.
*Muthahhari. ''Wahyu wa Nubuwwat''. Teheran: Nasyr Sadra.
*Muthahhari, Wahyu wa Nubuwwat, Theran, Nasyr Sadra.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan. ''Kalam Falsafi''. Qom: Wutsuq, 1383 HS.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan, Kalam Falsafi, Qom, Wutsuq, 1383.
*Shaduq, Muhammad bin Ali. ''Uyun Akhbār al-Ridha (as)''. Riset: Al-Syaikh Husain al-A'lami. Beirut: Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, 1404 H.
*Shaduq, Muhammad bin Ali, Uyun Akhbar al-Ridha (As), Riset. Al-Syaikh Husein al-A'lami, Beirut, Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, 1404.
*Subhani, Ja'far. ''Muhādharāt fi al-Ilahiyyat''. Diringkas oleh Ali Rabbani Golpaigani. Qom: Muassasah Imam Shadiq, 1428 H.
*Subhani, Ja'far, Muhadharat fi al-Ilahiyyat, talkhis, Ali Rabbani Golpaigani, Qom, Muassasah Imam Shadiq, 1428.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husain. ''Al-Syāfi fi al-Imamah''. Teheran: Muassasah al-Shadiq, 1407 H.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husein, al-Syafi fi al-Imamah, Muassasah al-Shadiq, Tehran, 1407 H.
*Syarif Murtadha.''Rasāil al-Syarif al-Murtadha''. Qom: Dar al-Kutub, 1405 H.
*Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, Qom, Dar al-Kutub, 1405.
*Thabari, Imaduddin. ''Kamil Bahai''.Teheran: Murtadhawi, cet.1, 1383 HS.
*Thabari, Imaduddin, Kamil Bahai, Murtadhawi, Tehran, 1383 S, cet. 1.
*Thabarsi, Fadhl bin Hasan. ''Majma' al-Bayān''. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi.
*Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayan, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
*Thabathabai, Muhammad bin Husain. ''Al-Mizān fi tafsir al-Quran''. Qom: Nasyr Islami, 1417 H.
*Thabathabai, Muhammad bin Hussein, al-Mizan, Qom, Nasyr Islami, 1417 H.
{{akhir}}
{{akhir}}
{{imamah}}
{{imamah}}
Pengguna anonim