Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

72 bita ditambahkan ,  5 November 2018
imported>M.hazer
imported>M.hazer
Baris 47: Baris 47:
==Ishmah Para Nabi==
==Ishmah Para Nabi==
===Domain===
===Domain===
Ismah para Nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi di hadapan [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ishmah [[para Nabi]] memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah keNabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan Ahlusunah adalah para Nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, [[Kenabian#Para Nabi|para Nabi]] dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih))|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan [[Ahlusunah]]. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>


Baris 61: Baris 61:


===Argumentasi===
===Argumentasi===
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli ([[ayat]] dan riwayat).
*'''Ishmah dari [[syirik]] dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para Nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizan fi Tafsir al-Quran'', jild. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya''', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dari [[syirik]] dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para Nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizān fi Tafsir al-Quran'', jld. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya''', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam pengutusan para Nabi dan menyeru masyarakat dan menyalahi tujuan juga hal yang mustahil dan tidak mungkin. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  Alquran juga menjelaskan hal ini:
*'''Ishmah dalam menerima dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam mengutus para Nabi dan menyeru masyarakat, sementara menyalahi tujuan merupakan hal yang mustahil dan tidak mungkin pula. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  [[Alquran]] juga menjelaskan hal ini:
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Hāqqah: 44-47)
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan topik-topik hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>
*'''Ishmah dalam menentukan topik-topik hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>
Pengguna anonim