Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

10 bita ditambahkan ,  6 Juni 2018
imported>Yuwono
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Yuwono
Baris 42: Baris 42:
Ismah para Nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ismah para Nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah keNabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah keNabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para Nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan Ahlusunah adalah para Nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan [[Ahlusunah]]. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>


Pengguna anonim