Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

75 bita ditambahkan ,  14 September 2016
imported>Hindr
imported>Hindr
Baris 65: Baris 65:
==Argumentasi==
==Argumentasi==
===Argumentasi Rasional===
===Argumentasi Rasional===
*'''Argumentasi Tasalsul''': dalam ini menjelaskan bahwa keberadaan imam meruakan lutf Allah swt; dengan arti selain dari mereka tidak ada yang maksum dan supaya dapat memahami manakah jalan yang benar dan perkara yang keliru harus merujuk pada imam. Sekarang jika imam tersebut juga tidak maksum da nada kemungkinan salah pada dirinya, untuk menghilangkan kesalahannya maka ia harus merujuk ke imam lainnya dan ini terus berlanjut dan sama sekali kesalahan dan kekeliruan akan hilang. <ref>Syarif Murtadha, al-Syafi fi al-Imamah, jild. 1, hlm. 289-290. </ref>  
*'''Argumentasi ''Tasalsul''''': Dalam hal ini dijelaskan bahwa keberadaan imam merupakan lutf atau karunia Allah swt; dengan arti selain dari mereka tidak ada yang maksum dan supaya dapat memahami manakah jalan yang benar dan perkara yang keliru harus merujuk pada imam. Sekarang jika imam tersebut juga tidak maksum dan ada kemungkinan salah pada dirinya, untuk menghilangkan kesalahannya maka ia harus merujuk ke imam lainnya dan ini terus berlanjut dan sama sekali kesalahan dan kekeliruan akan hilang. <ref>Syarif Murtadha, ''al-Syafi fi al-Imamah'', jld. 1, hlm. 289-290. </ref>  
*'''Menjaga dan menjelaskan agama''': argumentasi ini tersusun dari beberapa pendahuluan:
*'''Menjaga dan menjelaskan agama''': Argumentasi ini tersusun dari beberapa pendahuluan:
:- Agama yang dibawa oleh Rasulullah Saw akan terus utuh sampai hari kiamat dan mengamalkan berdasarkan dengannya adalah wajib dan melanggarnya adalah haram.
:- Agama yang dibawa oleh [[Rasulullah Saw]] akan terus utuh sampai hari kiamat dan mengamalkan berdasarkan dengannya adalah wajib dan melanggarnya adalah haram.
:- Untuk mencegah pemalsuan, memerlukan adanya tempat rujukan yang menghantarkan ajaran dan hukum-hukum sahih kepada para mukallaf dan menjelaskan mereka dari penyelewengan dan mencegah perubahannya.
:- Untuk mencegah pemalsuan, memerlukan adanya tempat rujukan yang menghantarkan ajaran dan hukum-hukum sahih kepada para mukallaf dan menjelaskan mereka dari penyelewengan dan mencegah perubahannya.
:- Tempat rujukan ini tidak mungkin kitab Allah dan sunnah mutawatir; karena disamping al-Quran memiliki banyak ayat-ayat mutasyabih, dimana penjelasan makna sejatinya membutuhkan adanya tempat rujukan ilmiah yang dapat dipercaya, sementara ada banyak masalah yang tidak ada dalam kitab Allah dan tidak dijalankan dalam sunnah mutawatir.  
:- Tempat rujukan ini tidak mungkin kitab Allah dan sunnah mutawatir; karena selain [[al-Quran]] memiliki banyak ayat-ayat ''mutasyabih'', dimana penjelasan makna sejatinya membutuhkan adanya tempat rujukan ilmiah yang dapat dipercaya, sementara ada banyak masalah yang tidak ada dalam kitab Allah dan tidak dijalankan dalam sunnah mutawatir.  
:- tempat rujukan ini juga tidak bisa ijma’; karena banyak sekali tidak adanya ijma’dalam masalah-masalah syar’i, dalam hal ini ijma’ sendiri juga tidak memiliki otoritas (hujjiyyah).
:- tempat rujukan ini juga tidak bisa ijma’; karena banyak sekali tidak adanya ijma’ dalam masalah-masalah syariat, dalam hal ini ijma’ sendiri juga tidak memiliki otoritas (''hujjiyah'').
:- Ijma’ ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut Syiah, qiyas juga tidak memiliki hujjiyyah.
:- Ijma’ ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut [[Syiah]], qiyas juga tidak memiliki ''hujjiyah''.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat hafalan dan penjelasan syariat.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
Orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para nabi. <ref>Bahrani, Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam, hlm. 178-179. </ref>  
Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para nabi. <ref>Bahrani, ''Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam'', hlm. 178-179. </ref>  
*'''Qiyas Istitsna’i''': argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
*'''Qiyas Istitsna’i''': Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf dihadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
:- Pertama harus mengikutinya, dimana jika demikian ia telah bekerjasama dalam kezaliman dan dosa bersamanya, sementara al-Quran memerintahkan supaya tidak bekerjasama dalam kezaliman dan dosa. <ref>QS. Al-Maidah: 2. </ref>  
:- Pertama harus mengikutinya, dimana jika demikian ia telah bekerjasama dalam kezaliman dan dosa bersamanya, sementara al-Quran memerintahkan supaya tidak bekerjasama dalam kezaliman dan dosa. <ref>QS. Al-Maidah: 2. </ref>  
:- Atau tidak harus mengikutinya. Jika demikian juga bertentangan dengan tujuan dari adanya imam dan juga perintah Allah untuk mentaati seorang imam. <ref>QS. An-Nisa: 59; Khwaja Nashiruddin Thusi, Tajrid al-I’tiqad, hlm. 222; Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 249. </ref>
:- Atau tidak harus mengikutinya. Jika demikian juga bertentangan dengan tujuan dari adanya imam dan juga perintah Allah untuk mentaati seorang imam. <ref>QS. An-Nisa: 59; Khwaja Nashiruddin Thusi, ''Tajrid al-I’tiqad'', hlm. 222; Taftazani, ''Syarh al-Maqashid'', jild. 5, hlm. 249. </ref>


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
Pengguna anonim