Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

102 bita ditambahkan ,  30 Agustus 2016
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Akan dikerjakan}}
{{Akan dikerjakan}}


'''Ishmah (keterjagaan)'''(Bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah. Keyakinan akan ishmah para nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum Syiah. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.
'''Ishmah (keterjagaan)'''(Bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah. Keyakinan akan ishmah para nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum [[Syiah]]. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.


Keyakinan akan kebenaran setiap agama dan pengejawantahan berdasarkan ajaran-ajarannya bertopang pada pembuktian kemaksuman nabi agama tersebut. Dalam pembahasan interreligious, kemaksuman para nabi dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu dibuktikan dengan dalil rasional; namun kemaksuman dalam lingkup praktik kehidupan mereka, mayoritas bertopang pada dalil naqli.
Keyakinan akan kebenaran setiap agama dan pengejawantahan berdasarkan ajaran-ajarannya bertopang pada pembuktian kemaksuman nabi agama tersebut. Dalam pembahasan interreligious, kemaksuman para nabi dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu dibuktikan dengan dalil rasional; namun kemaksuman dalam lingkup praktik kehidupan mereka, mayoritas bertopang pada dalil naqli.
Baris 10: Baris 10:


===Makna Terminologi===
===Makna Terminologi===
Para cendekiawan muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
Para cendekiawan muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
* Pendapat Asy’ari: Para teolog Asy’ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawaqif, hlm. 280. </ref>  
* Pendapat Asy’ari: Para teolog Asy’ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawaqif'', hlm. 280. </ref>  
* Pendapat Imamiah dan Mu’tazilah: Para teolog Imamiah dan Mu’tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah lutf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara lutf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, hlm. 326. </ref>  Menurut Allamah Hilli, ishmah termasuk lutf khafi (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, al-Bab al-Hadi ‘Asyar, hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, Muhadharat fi al-Ilahiyyat, hlm. 276. </ref> , bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, Wahyu wa Nubuwwat, hlm. 159. </ref>  
* Pendapat Imamiah dan Mu’tazilah: Para teolog Imamiah dan Mu’tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah lutf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara lutf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk ''lutf khafi'' (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhadharat fi al-Ilahiyyat'', hlm. 276. </ref> , bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>  


==Sumber Ishmah==
==Sumber Ishmah==
Dalam definisi ishmah, mayoritas cendekiawan mengisyaratkan kemampuan dan ikhtiyar manusia maksum dalam meninggalkan dosa. Sekarang ini dikemukakan pertanyaan, faktor apa atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang-orang maksum dengan ikhtiyarnya meninggalkan dosa dan atau terjauhkan dari segala kesalahan dan kealpaan? Dengan kata lain apa sumber dan muara kemaksuman? Ada banyak pendapat dalam menjawab hal ini, diantaranya adalah:
Dalam definisi ishmah, mayoritas cendekiawan mengisyaratkan kemampuan dan ikhtiyar manusia maksum dalam meninggalkan dosa. Sekarang ini dikemukakan pertanyaan, faktor apa atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang-orang maksum dengan ikhtiyarnya meninggalkan dosa dan atau terjauhkan dari segala kesalahan dan kealpaan? Dengan kata lain apa sumber dan muara kemaksuman? Ada banyak pendapat dalam menjawab hal ini, diantaranya adalah:
* Sebab-sebab Empat Lutf: Sekelompok ulama Islam yang menginterpretasikan ishmah dengan luth Ilahi menganggap empat sebab sebagai sumber lutf tersebut dan keseluruhannya menyebabkan kemunculan ismah:
* '''Sebab-sebab Empat Lutf''': Sekelompok ulama [[Islam]] yang menginterpretasikan ishmah dengan luth Ilahi menganggap empat sebab sebagai sumber lutf tersebut dan keseluruhannya menyebabkan kemunculan ismah:
#Sosok maksum dari aspek ruh atau tubuh memiliki kriteria dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang menyebabkan adanya malakah menjauhi dosa pada dirinya.
#Sosok maksum dari aspek ruh atau tubuh memiliki kriteria dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang menyebabkan adanya malakah menjauhi dosa pada dirinya.
#Bagi maksum, pengetahuan terhadap akibat-akibat buruk dosa dan nilai ketaatan diperoleh dari Allah.
#Bagi maksum, pengetahuan terhadap akibat-akibat buruk dosa dan nilai ketaatan diperoleh dari Allah.
#Pengetahuan ini semakin bertambah besar seiring dengan turunnya wahyu secara berkesinambungan dan atau ilham.
#Pengetahuan ini semakin bertambah besar seiring dengan turunnya wahyu secara berkesinambungan dan atau ilham.
#Sosok maksum tidak hanya sekedar melakukan hal-hal yang wajib, bahkan ditegur juga dalam meninggalkan hal-hal yang bersifat lebih utama, sampai merasa sama sekali tidak ada bentuk kelalaian dan pengabaian tentangnya. <ref>Hilli, Kasyf al-Murad, hlm. 494.</ref>  
#Sosok maksum tidak hanya sekedar melakukan hal-hal yang wajib, bahkan ditegur juga dalam meninggalkan hal-hal yang bersifat lebih utama, sampai merasa sama sekali tidak ada bentuk kelalaian dan pengabaian tentangnya. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Murad'', hlm. 494.</ref>  
* Ilmu dan pengetahuan akan akibat dosa: Sebagian berpendapat sumber ishmah manusia-manusia suci adalah karena mereka memiliki ilmu hudhuri terhadap batin dosa, dampak dan akibat-akibat buruk darinya serta dampak-dampak baik dari perbuatan-perbuatan baik, seolah-olah mereka melihatnya, karenanya mereka sama sekali tidak berhasrat untuk melakukan sekecil maksiatpun. <ref>Ray Syahri, hlm. 210.</ref>  
* '''Ilmu dan pengetahuan akan akibat dosa''': Sebagian berpendapat sumber ishmah manusia-manusia suci adalah karena mereka memiliki ilmu hudhuri terhadap batin dosa, dampak dan akibat-akibat buruk darinya serta dampak-dampak baik dari perbuatan-perbuatan baik, seolah-olah mereka melihatnya, karenanya mereka sama sekali tidak berhasrat untuk melakukan sekecil maksiatpun. <ref>Ray Syahri, hlm. 210.</ref>  
* Irodah dan pilihan: Pendapat lain tentang sumber ishmah bahwa ishmah adalah merupakan malakah takwa, yang diperoleh manusia karena pengulangan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi dosa-dosa, namun tingkat malakah ini dalam ishmah lebih tinggi dari takwa. Pengulangan amal-amal baik membutuhkan irodah dan pilihan, dengan demikian faktor utama ishmah kembali pada irodah dan pilihan manusia maksum sendiri. Pendapat ini bahkan ilmu sempurna terhadap hakikat-hakikat alam dan keburukan-keburukan dosa merupakan hasil dari irodah kuat orang-orang maksum. <ref>Ibid., hlm. 215. </ref>  
* '''Irodah dan pilihan''': Pendapat lain tentang sumber ishmah bahwa ishmah adalah merupakan malakah takwa, yang diperoleh manusia karena pengulangan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi dosa-dosa, namun tingkat malakah ini dalam ishmah lebih tinggi dari takwa. Pengulangan amal-amal baik membutuhkan irodah dan pilihan, dengan demikian faktor utama ishmah kembali pada irodah dan pilihan manusia maksum sendiri. Pendapat ini bahkan ilmu sempurna terhadap hakikat-hakikat alam dan keburukan-keburukan dosa merupakan hasil dari irodah kuat orang-orang maksum. <ref>Ibid., hlm. 215. </ref>  
* Ilmu dan irodah: Sebagian cendekiawan Islam berpendapat rahasia ishmah para maksum terletak pada dua unsur, ilmu tentang hakikat dan kesempurnaan serta irodah yang kuat untuk sampai kepadanya, karena manusia jika bodoh maka ia tidak akan mengenal kesempurnaan sejati dan menaruh kesempurnaan khayal sebagai ganti dari kesempurnaan sejati dan dengan tanpa adanya irodah yang lazim, akan menjadi sasaran hawa nafsunya dan tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendaki. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 119. </ref>  
* '''Ilmu dan irodah''': Sebagian cendekiawan Islam berpendapat rahasia ishmah para maksum terletak pada dua unsur, ilmu tentang hakikat dan kesempurnaan serta irodah yang kuat untuk sampai kepadanya, karena manusia jika bodoh maka ia tidak akan mengenal kesempurnaan sejati dan menaruh kesempurnaan khayal sebagai ganti dari kesempurnaan sejati dan dengan tanpa adanya irodah yang lazim, akan menjadi sasaran hawa nafsunya dan tidak akan sampai pada tujuan yang dikehendaki. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 119. </ref>  
* Sekumpulan faktor-faktor tabiat, kemanusiaan dan Ilahi: Sebagian peneliti kontemporer berpendapat bahwa ishmah bukanlah akibat satu faktor, namun ada beberapa akibat Alami (yakni warisan, lingkungan dan keluarga), kemanusiaan (yakni perasaan dan pengetahuan, irodah dan pilihan, akal dan malakah nafsani) dan lutf atau karunia khusus Allah swt. <ref>Qadrdan Qaramaliki, hlm. 388-390. </ref>  
* '''Sekumpulan faktor-faktor tabiat, kemanusiaan dan Ilahi''': Sebagian peneliti kontemporer berpendapat bahwa ishmah bukanlah akibat satu faktor, namun ada beberapa akibat Alami (yakni warisan, lingkungan dan keluarga), kemanusiaan (yakni perasaan dan pengetahuan, irodah dan pilihan, akal dan malakah nafsani) dan lutf atau karunia khusus Allah swt. <ref>Qadrdan Qaramaliki, hlm. 388-390. </ref>  


==Ishmah Para Nabi==
==Ishmah Para Nabi==
===Domain===
===Domain===
Ismah para nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ismah para nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*Ishmah dari syirik dan kufur: Terkait kemaksuman para nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para nabi baik sebelum dan setelah kenabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para nabi baik sebelum dan setelah kenabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu: Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
*Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syar’i: Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I’tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I’tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, hlm. 394. </ref>  
*Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syar’i: Topik hukum syar’i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar’i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar’i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar’i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar’i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar’i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy’ari dan Mu’tazilah berpendapat bahwa para nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar’i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para nabi. <ref>Mufid, ‘Adamu Sahwi al-Nabi, hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy’ari dan Mu’tazilah berpendapat bahwa para nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar’i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para nabi. <ref>Mufid, ‘Adamu Sahwi al-Nabi, hlm. 29 dan 30. </ref>  
*Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari: Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para nabi. <ref>Kulaini, Ushul Kafi, jild. 1, hlm. 25-31. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para nabi. <ref>Kulaini, Ushul Kafi, jild. 1, hlm. 25-31. </ref>  


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
Pengguna anonim