Lompat ke isi

Tauhid: Perbedaan antara revisi

131 bita dihapus ,  22 Oktober 2017
tidak ada ringkasan suntingan
imported>E.amini
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>E.amini
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 12: Baris 12:
  | Artikel pilihan =
  | Artikel pilihan =
}}}}</onlyinclude>
}}}}</onlyinclude>
 
'''Tauhid''' (bahasa Arab: {{ia|التوحيد}}) berarti mengesakan Tuhan. Tauhid merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting [[Islam]]. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh [[Nabi Islam]] untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat ''La Ilaha Illallah'' (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih [[Islam]] bermuara kepada tauhid. <ref>Muthahhari, ''Asyenai ba Qur’an'', jild. 2, hlm. 98. </ref>  Kaum muslimin setiap hari dalam [[azan]] dan [[salat]] mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.
'''Tauhid''' (Bahasa Arab: {{ia|التوحيد}}) berarti mengesakan Tuhan. Tauhid merupakan pokok keyakinan yang paling mendasar dan syiar terpenting [[Islam]]. Ajaran pertama yang dijelaskan oleh [[Nabi Islam]] untuk masyarakat adalah keyakinan tentang keesaan Tuhan, yang dituangkan dengan kalimat ''La Ilaha Illallah'' (tidak ada Tuhan selain Allah). Semua ajaran-ajaran keyakinan, akhlak dan fikih [[Islam]] bermuara kepada tauhid. <ref>Muthahhari, ''Asyenai ba Qur’an'', jild. 2, hlm. 98. </ref>  Kaum muslimin setiap hari dalam [[azan]] dan [[salat]] mereka, bersaksi akan keesaan Allah Swt.


Dalam tauhid ''nazari'' (teoritis) mencakup keyakinan terhadap tauhid semua perkara Allah. Allah memiliki Dzat Esa, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi membutuhkan-Nya (tauhid af’ali/perbuatan). Adapun tauhid ''amali'' (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum Muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (''tauhid af’ali'') dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif [[Syiah]], bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah (identik) Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).
Dalam tauhid ''nazari'' (teoritis) mencakup keyakinan terhadap tauhid semua perkara Allah. Allah memiliki Dzat Esa, tidak ada serupa dan padanan bagi-Nya (tauhid dzati/pengesaan Tuhan dalam dzat), dalam perbuatan-Nya juga tidak membutuhkan kepada selain-Nya dan semua eksistensi membutuhkan-Nya (tauhid af’ali/perbuatan). Adapun tauhid ''amali'' (amal dan perbuatan kita dalam menegakkan keesaaan Tuhan) juga hanya Allah sematalah yang layak untuk disembah dan sudah semestinya kaum Muslimin melaksanakan amalan-amalan agamanya hanya untuk Allah semata (''tauhid af’ali'') dan meminta bantuan hanya kepada-Nya. Menurut perspektif [[Syiah]], bahkan sifat-sifat Allah juga tak lain adalah (identik) Dzat Allah itu sendiri (tauhid sifat/pengesaan Tuhan dalam sifat).
Baris 22: Baris 21:


==Makna Tauhid==
==Makna Tauhid==
Tauhid berasal dari kata ''wa-ha-da'', berartikan mengucapkan satu. <ref>Baihaqi, Jild. 2, hlm. 592. </ref>  Dalam Arab baru juga berartikan menyatukan. <ref>''Al-Mu’jam al-Wasit'', terkait dengan kata ''wa-ha-da''. </ref>  Kata ''wahada'' - dimana merupakan asal kata ''wâhid, wahîd, wahd'' (wahdahu, wahdaka, wahdî) yang diambil darinya - menunjukkan akan satu dan penggunaan kata-kata ini untuk Allah juga melihat makna ini. <ref>Raghib Ishfahani; Ibn Faris, Ibn Manzur, di bawah kata Ahad, dan Wahada. </ref>
Tauhid berasal dari kata "''wa-ha-da''", berartikan mengucapkan satu. <ref>Baihaqi, Jild. 2, hlm. 592. </ref>  Dalam Arab baru juga berartikan menyatukan. <ref>''Al-Mu’jam al-Wasit'', terkait dengan kata ''wa-ha-da''. </ref>  Kata ''wahada'' - dimana merupakan asal kata ''wâhid, wahîd, wahd'' (wahdahu, wahdaka, wahdî) yang diambil darinya - menunjukkan akan satu dan penggunaan kata-kata ini untuk Allah juga melihat makna ini. <ref>Raghib Ishfahani; Ibn Faris, Ibn Manzur, di bawah kata Ahad, dan Wahada. </ref>


Menurut hadis, [[Rasulullah Saw]] memakai kata tauhid dengan proposisi kalimat ''La Ilaha Illa Allah Wahdahu la Syarikalah'' dan semisalnya. <ref>Semisalnya rujuklah Ibn Babawaih, hlm. 20, h. 8, hlm. 22-23, h. 15 dan 17. </ref>  Penggunaan ini juga terdapat dalam hadis-hadis [[Imam-imam Syiah|para Imam]]. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 42, 90. </ref>
Menurut hadis, [[Rasulullah Saw]] memakai kata tauhid dengan proposisi kalimat ''La Ilaha Illa Allah Wahdahu la Syarikalah'' dan semisalnya. <ref>Semisalnya rujuklah Ibn Babawaih, hlm. 20, h. 8, hlm. 22-23, h. 15 dan 17. </ref>  Penggunaan ini juga terdapat dalam hadis-hadis [[Imam-imam Syiah|para Imam]]. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 42, 90. </ref>
Baris 28: Baris 27:
Sejak abad kedua dan seterusnya, penggunaan kata tauhid dalam makna ini dan selanjutnya, marak dalam pengisyarahan sekumpulan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan wujud, sifat dan perbuatan Allah dan dalam hadis [[Syiah]] juga dipakai dalam makna luas ini. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 56-58, 76-77, 94-98. </ref>
Sejak abad kedua dan seterusnya, penggunaan kata tauhid dalam makna ini dan selanjutnya, marak dalam pengisyarahan sekumpulan pembahasan-pembahasan yang terkait dengan wujud, sifat dan perbuatan Allah dan dalam hadis [[Syiah]] juga dipakai dalam makna luas ini. <ref>Semisalnya rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 56-58, 76-77, 94-98. </ref>


Selanjutnya, perkembangan makna ini menjadi dasar penyusunan karya buku dengan judul Kitab ''al-Tauhid'', yang membahas tentang ajaran-ajaran ini. Bahkan ilmu kalam (teologi) dinamakan dengan ''ilmu al-Tauhid'' dan terkadang ''ilmu al-Tauhid wa al-Sifat'', karena pembahasan paling mendasarnya adalah pembahasan tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Taftazani, jild. 4, hlm. 6, 11; Tahanawi, jild. 1, hlm. 22, jild. 2, hlm. 1470; Abduh, hlm. 43. D. Islam, cet,. 2, di bawah kata; ''Dāirah al-Ma’ārif al-Islāmiah'', di bawah “al-Tauhid, Ilm”. </ref>
Selanjutnya, perkembangan makna ini menjadi dasar penyusunan karya buku dengan judul Kitab ''al-Tauhid'', yang membahas tentang ajaran-ajaran ini. Bahkan ilmu kalam (teologi) dinamakan dengan ''ilmu al-Tauhid'' dan terkadang ''ilmu al-Tauhid wa al-Sifat'', karena pembahasan paling mendasarnya adalah pembahasan tauhid. <ref>Semisalnya rujuklah, Taftazani, jild. 4, hlm. 6, 11; Tahanawi, jild. 1, hlm. 22, jild. 2, hlm. 1470; Abduh, hlm. 43. D. Islam, cet,. 2, di bawah kata; ''Dāirah al-Ma’ārif al-Islāmiah'', di bawah "al-Tauhid, Ilm". </ref>


==Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam==
==Kedudukan Tauhid dalam Agama Islam==
Baris 35: Baris 34:
Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut [[syirik]] sebagai sebuah dosa tak terampuni:
Agama [[Islam]] mengenalkan tauhid sebagai pilar utama ketuhanan dan sumber kehidupan sejati dan menyebut [[syirik]] sebagai sebuah dosa tak terampuni:


<center>{{hadis|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center>
<center>{{ia|﴾إِنَّ اللّهَ لاَ یغْفِرُ أَن یشْرَکَ بِهِ وَیغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِکَ لِمَن یشَاء وَمَن یشْرِکْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَی إِثْمًا عَظِیمًا﴿}}</center>
<center> “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.<ref>Q.S. An-Nisa: 48)</ref> </center>
<center> "Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar." <ref>Q.S. An-Nisa: 48)</ref> </center>


Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin As]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref>
Dalam sebuah riwayat dari [[Amirul Mukminin as]], tauhid merupakan dasar dan asas pengetahuan Allah Swt. <ref>''Tuhaf al-Uqul'', hlm. 61, cet. Islamiyah. </ref>


Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif. Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini.
Menurut sejarah juga, dakwah [[Nabi Islam]], sejak permulaan memiliki dua aspek positif dan negatif. Aspek positifnya adalah menyeru penghambaan semata-mata kepada Allah yang Esa dan aspek negatifnya adalah menyingkirkan penyembahan berhala dan segala keyakinan yang beraromakan kesyirikan. Seluruh ajaran dan syariat didasarkan pada ajaran dua aspek ini.
Baris 90: Baris 89:


===Argumentasi Tauhid===
===Argumentasi Tauhid===
Argumentasi keesaan Tuhan, khususnya dalam rangka membahas dengan para penentang juga terlihat dalam hadis. Dalam hadis, lebih dari apapun memperhatikan tauhid ''rububi'' dan mengambil kesimpulan keesaan sang pengatur dari keteraturan penciptaan, koneksi keteraturan dan keserasian perkara. <ref>Ibid., hlm. 244, 250. </ref>  Dalam petuah panjang [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] kepada putranya juga dari satu sisi, dan mendekati argumentasi ini, menunjukkan akan keesaan Allah,<center>{{hadis|﴾لو کان لربّک شریک لاتَتک رُسُله و لرایتَ آثارَ مُلکِه و سُلطانِه﴿}}</center> <center> Jika seandainya ada sekutu bagi Tuhanmu, maka utusan-utusannya akan mendatangimu dan engkau akan melihat bekas-bekas peninggalan kekuasaannya). <ref>[[''Nahjul Balaghoh'']], surat 31. </ref> </center>
Argumentasi keesaan Tuhan, khususnya dalam rangka membahas dengan para penentang juga terlihat dalam hadis. Dalam hadis, lebih dari apapun memperhatikan tauhid ''rububi'' dan mengambil kesimpulan keesaan sang pengatur dari keteraturan penciptaan, koneksi keteraturan dan keserasian perkara. <ref>Ibid., hlm. 244, 250. </ref>  Dalam petuah panjang [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] kepada putranya juga dari satu sisi, dan mendekati argumentasi ini, menunjukkan akan keesaan Allah,<center>{{ia|﴾لو کان لربّک شریک لاتَتک رُسُله و لرایتَ آثارَ مُلکِه و سُلطانِه﴿}}</center> <center> Jika seandainya ada sekutu bagi Tuhanmu, maka utusan-utusannya akan mendatangimu dan engkau akan melihat bekas-bekas peninggalan kekuasaannya). <ref>[[''Nahjul Balaghoh'']], surat 31. </ref> </center>


Kelaziman adanya kesepadanan untuk Tuhan adalah munculnya tanda-tanda kekuatan dan kekuasaan kesepadanan tersebut dan terlihatnya kinerja-kinerjanya, dan yang lebih penting dari itu adalah adanya para nabi dari sisinya, sementara tidak ada satupun di alam semesta ini, yang keluar dari penisbatan Tuhan yang Esa, sehingga dapat diklaimkan akan bukti adanya Tuhan lain.
Kelaziman adanya kesepadanan untuk Tuhan adalah munculnya tanda-tanda kekuatan dan kekuasaan kesepadanan tersebut dan terlihatnya kinerja-kinerjanya, dan yang lebih penting dari itu adalah adanya para nabi dari sisinya, sementara tidak ada satupun di alam semesta ini, yang keluar dari penisbatan Tuhan yang Esa, sehingga dapat diklaimkan akan bukti adanya Tuhan lain.
Baris 111: Baris 110:


Disebutkan dalam khutbah [[Imam Ali|Imam Ali As]] bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. <ref>Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56. </ref>  Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] dalam [[Nahjul Balaghah]]:
Disebutkan dalam khutbah [[Imam Ali|Imam Ali As]] bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. <ref>Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56. </ref>  Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] dalam [[Nahjul Balaghah]]:
“Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya.<ref>[[Nahjul Balaghah]], khutbah 1, hlm. 39. </ref>
"Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya." <ref>[[Nahjul Balaghah]], khutbah 1, hlm. 39. </ref>


Sejumlah teolog Asy’ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. <ref>Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; [[Allamah Majlisi|Majlisi]], jild. 4, hlm. 62. </ref>
Sejumlah teolog Asy’ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. <ref>Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; [[Allamah Majlisi|Majlisi]], jild. 4, hlm. 62. </ref>
Baris 173: Baris 172:


[[Al-Quran]], yang mana merupakan ajaran tauhid, dalam pelbagai ayat, menisbahkan sebagian perbuatan dan pengaruh kepada manusia, para malaikat dan sesuatu. Bahkan sebagian perkara yang luar biasa, seperti penciptaan, menghidupkan orang-orang mati, mengabarkan perihal yang gaib dan menyembuhkan penyakit yang dinisbatkan kepada seseorang (Nabi Isa as):
[[Al-Quran]], yang mana merupakan ajaran tauhid, dalam pelbagai ayat, menisbahkan sebagian perbuatan dan pengaruh kepada manusia, para malaikat dan sesuatu. Bahkan sebagian perkara yang luar biasa, seperti penciptaan, menghidupkan orang-orang mati, mengabarkan perihal yang gaib dan menyembuhkan penyakit yang dinisbatkan kepada seseorang (Nabi Isa as):
<center>{{hadis|﴾ وَ إِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْني‏ فَتَنْفُخُ فيها فَتَكُونُ طَيْراً بِإِذْني‏ وَ تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ بِإِذْني‏ وَ إِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتى‏ بِإِذْني‏﴿}}</center><center>“…dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku dan, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yangsebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, …” <ref>Q.S. Al-Maidah: 110</ref></center>
<center>{{ia|﴾ وَ إِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْني‏ فَتَنْفُخُ فيها فَتَكُونُ طَيْراً بِإِذْني‏ وَ تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَ الْأَبْرَصَ بِإِذْني‏ وَ إِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتى‏ بِإِذْني‏﴿}}</center><center>"…dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan izin-Ku dan, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yangsebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, …" <ref>Q.S. Al-Maidah: 110</ref></center>


Sebagaimana yang kita saksikan, dalam ayat ini, kekuatan menghidupakan dan menyembuhkan bahkan penciptaan dinisbatkan kepada Nabi Isa As, dari sisi lain ditegaskan dengan kalimat bi iznihi (dengan seizin-Nya) sehingga menjadi jelas bahwa Nabi Isa As tidak melakukan perihal ini secara independen, bahkan bergantung dan butuh kepada Allah. Menurut ayat ini dan ayat-ayat lainnya, klaim terhadap seorang manusia seperti nabi atau para imam yang memiliki kekuatan melakukan hal yang luar biasa, maka tidaklah dikategorikan sebagai syirik.
Sebagaimana yang kita saksikan, dalam ayat ini, kekuatan menghidupakan dan menyembuhkan bahkan penciptaan dinisbatkan kepada Nabi Isa As, dari sisi lain ditegaskan dengan kalimat bi iznihi (dengan seizin-Nya) sehingga menjadi jelas bahwa Nabi Isa As tidak melakukan perihal ini secara independen, bahkan bergantung dan butuh kepada Allah. Menurut ayat ini dan ayat-ayat lainnya, klaim terhadap seorang manusia seperti nabi atau para imam yang memiliki kekuatan melakukan hal yang luar biasa, maka tidaklah dikategorikan sebagai syirik.
Baris 180: Baris 179:
:Sejatinya, bahwa batasan tauhid dan syirik terkait pada Allah, manusia dan dunia adalah darinya dan menuju kepadaNya. Batasan tauhid dan syirik dalam tauhid nazari adalah darinya (inna lillahi). Setiap hakikat dan setiap eksistensi selama dia dalam zat, sifat dan perbuatan, dengan khislat dan huwiyat dari-Nya, maka dia adalah benar dan sesuai dengan realita dan dengan perspektif tauhid, baik hal tersebut punya pengaruh ataupun tidak, baik memiliki pengaruh aspek supranatural ataukah tidak.
:Sejatinya, bahwa batasan tauhid dan syirik terkait pada Allah, manusia dan dunia adalah darinya dan menuju kepadaNya. Batasan tauhid dan syirik dalam tauhid nazari adalah darinya (inna lillahi). Setiap hakikat dan setiap eksistensi selama dia dalam zat, sifat dan perbuatan, dengan khislat dan huwiyat dari-Nya, maka dia adalah benar dan sesuai dengan realita dan dengan perspektif tauhid, baik hal tersebut punya pengaruh ataupun tidak, baik memiliki pengaruh aspek supranatural ataukah tidak.
:
:
:Karena Tuhan bukan hanya Tuhan supranatural, Tuhan langit, Tuhan malakut dan jabarut semata, tetapi Tuhan Alam semesta. Dia dekat dengan tabiat dan memiliki kebersamaan dan qoyyumiyah(kekal, tetap dan stabil), yang tidak memberikan aspek ketuhanan kepada supranatural dan aspek supranatural… dunia dalam aspek pandangan dunia Islam memiliki esensi “dari-Nya”.
:Karena Tuhan bukan hanya Tuhan supranatural, Tuhan langit, Tuhan malakut dan jabarut semata, tetapi Tuhan Alam semesta. Dia dekat dengan tabiat dan memiliki kebersamaan dan qoyyumiyah(kekal, tetap dan stabil), yang tidak memberikan aspek ketuhanan kepada supranatural dan aspek supranatural… dunia dalam aspek pandangan dunia Islam memiliki esensi "dari-Nya".


[[Al-Quran]] dalam beberapa ayat menisbahkan perbuatan-perbuatan mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta sedari kecil kepada para nabi, namun disertai dengan menambahkan kalimat '''bi iznihi'''. Kalimat ini menunjukkan esensi perbuatan ini '''dari-Nya''', sehingga seseorang tidak beranggapan para nabi memiliki independensi dari dirinya. Jadi, batasan tauhid nazari dan syirik nazari adalah “dari-Nya”.
[[Al-Quran]] dalam beberapa ayat menisbahkan perbuatan-perbuatan mukjizat seperti menghidupkan orang mati dan menyembuhkan orang yang buta sedari kecil kepada para nabi, namun disertai dengan menambahkan kalimat "'''bi iznihi'''". Kalimat ini menunjukkan esensi perbuatan ini "'''dari-Nya'''", sehingga seseorang tidak beranggapan para nabi memiliki independensi dari dirinya. Jadi, batasan tauhid nazari dan syirik nazari adalah "dari-Nya".
Keyakinan terhadap adanya eksistensi dimana wujudnya tidak dari-Nya adalah syirik. Keyakinan akan pengaruh eksistensi, yang mana pengaruhnya bukan dari-Nya juga syirik, baik berpengaruh, ataupun pengaruh diluar tabiat, seperti penciptaan semua langit, bumi dan atau karya kecil yang tidak penting, seperti membolak-balik daun.
Keyakinan terhadap adanya eksistensi dimana wujudnya tidak dari-Nya adalah syirik. Keyakinan akan pengaruh eksistensi, yang mana pengaruhnya bukan dari-Nya juga syirik, baik berpengaruh, ataupun pengaruh diluar tabiat, seperti penciptaan semua langit, bumi dan atau karya kecil yang tidak penting, seperti membolak-balik daun.


Baris 201: Baris 200:


===Argumentasi Tamanu’ (saling menjatuhkan)===
===Argumentasi Tamanu’ (saling menjatuhkan)===
Argumentasi Tamanu’ termasuk argumentasi populer untuk membuktikan tauhid rububi Allah. Argumentasi ini terinspirasi dari [[surah Al-Anbiya]] ayat 22, yang mana Allah Swt berfirman,{{hadis|﴾ لَوْ كانَ فيهِما آلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتا ﴿}}“Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa”.
Argumentasi Tamanu’ termasuk argumentasi populer untuk membuktikan tauhid rububi Allah. Argumentasi ini terinspirasi dari [[surah Al-Anbiya]] ayat 22, yang mana Allah Swt berfirman,{{ia|﴾ لَوْ كانَ فيهِما آلِهَةٌ إِلاَّ اللَّهُ لَفَسَدَتا ﴿}}"Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa".
Tujuan asli argumentasi ini adalah membuktikan keesaan pengatur semesta, bukan keesaan dzat atau tauhid dalam penciptaan-Nya, meskipun tiga masalah ini tidak saling terpisahkan.
Tujuan asli argumentasi ini adalah membuktikan keesaan pengatur semesta, bukan keesaan dzat atau tauhid dalam penciptaan-Nya, meskipun tiga masalah ini tidak saling terpisahkan.


Baris 218: Baris 217:


Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. <ref>Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267. </ref>
Ungkapan Wajibul Wujud dan pembuktian tauhid dengan metode argumentasi Ibnu Sina, sangat marak setelahnya, sampai-sampai selain para filosof, mayoritas teolog Syiah juga memakai metode tersebut. <ref>Semisalnya rujuklah, Suhrawardi, jild. 1, hlm. 35, 392-393; Allamah Hilli, hlm. 35; Mir Damad, 1376 S, hlm. 267. </ref>
Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر “Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar”. <ref>Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124. </ref>
Suhrawardi juga mengetengahkan argumentasi Ibnu Sina yang menunjukkan keesaan wajib dan menggunakan ungkapan Wajibul Wujud dan juga membuktikan keesaan Wajibul Wujud dengan berpegang pada kaidah, صِرْفُ الشیءِ لایتثنّی ولایتکرّر "Sirfu Sya’i la Yatatsanna wa la Yatakar". <ref>Lihatlah, Majmu’eh Mushannifat, jild. 2, hlm. 121-124. </ref>
Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. <ref>1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47. </ref>
Demikian juga, filsafat memperhatikan kesimpelan dzat Allah dan ketidaktersusun-Nya, yang berartikan keesaan dalam tauhid dzat. Karena banyaknya Wajibul Wujud dalam bentuk apapun melazimkan sebuah pembagian dalam makna Wajibul Wujud. <ref>1376 S, hlm. 58-59; Ibid., 1403, jild. 3, hlm. 40-47. </ref>


Mulla Shadra<ref>1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38. </ref> , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) “Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha” mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.
Mulla Shadra<ref>1337 S, Safar Sewwum (tiga), jild. 1, hlm. 100-104; Ibid., 1346 S, hlm. 37-38. </ref> , dengan inovasi kaidah Basit al-Hakikah (non-composite, simple reality) "Basit al-Hakikah kullu Asy’ya wa laisa bi Syai’in minha" mengargumentasikan bahwa dzat hakikat ini adalah simpel, murni yang sempurna dan bertolak bahwa hakikat murni dan simpel dalam realita seluruh hal, maka tidak tersisakan selainnya untuk hakikat ini, sehingga menjadi dua bagi-Nya.


Dalam masalah tauhid sifat yakni entitas dzat dan sifat, juga diketengahkan beberapa hal dalam filsafat dan pandangan Syiah diterima. Para filosof setelah Ibnu Sina, mengetengahkan tauhid sifat dari aspek kontras pandangan filsafat dengan pendapat masyhur teolog dalam masalah ini. Khajah Nasiruddin Thusi<ref>Hlm. 45-53. </ref>  menjelaskan pendapat Asy’ari, yang mendasarkan penambahan sifat pada dzat, yang mengakibatkan penerimaan qodim delapan. Dari sisi lain diketengahkan pendapat Mu’tazilah yang mendasarkan pada penggantian dzat dari sifat dan menjelaskan pendapat filsafat dihadapan dua pendapat masyhur teolog ini.
Dalam masalah tauhid sifat yakni entitas dzat dan sifat, juga diketengahkan beberapa hal dalam filsafat dan pandangan Syiah diterima. Para filosof setelah Ibnu Sina, mengetengahkan tauhid sifat dari aspek kontras pandangan filsafat dengan pendapat masyhur teolog dalam masalah ini. Khajah Nasiruddin Thusi<ref>Hlm. 45-53. </ref>  menjelaskan pendapat Asy’ari, yang mendasarkan penambahan sifat pada dzat, yang mengakibatkan penerimaan qodim delapan. Dari sisi lain diketengahkan pendapat Mu’tazilah yang mendasarkan pada penggantian dzat dari sifat dan menjelaskan pendapat filsafat dihadapan dua pendapat masyhur teolog ini.
Baris 249: Baris 248:
Adapun apa yang ada di alam wujud, kesemuanya adalah manifestasi dan gambar dari wujud-Nya. Tentunya ungkapan gambar bukanlah ungkapan yang tepat; namun diketengahkan hanya untuk pendekatan logika saja. Para arif mengatakan, ketika manusia sampai pada tingkatan tauhid tertinggi, apa yang mereka lihat, seolah-olah melihat ke cermin, dimana wujud Allah termanifestasikan disitu. Kastrah (majemuk) yang dilihat di dunia ini, adalah kastrah cermin. Cermin beragam dan cahaya yang termanifestasi dalam semua cermin ini adalah satu cahaya, cermin bukanlah cahaya, namun penunjuk cahaya tersebut.
Adapun apa yang ada di alam wujud, kesemuanya adalah manifestasi dan gambar dari wujud-Nya. Tentunya ungkapan gambar bukanlah ungkapan yang tepat; namun diketengahkan hanya untuk pendekatan logika saja. Para arif mengatakan, ketika manusia sampai pada tingkatan tauhid tertinggi, apa yang mereka lihat, seolah-olah melihat ke cermin, dimana wujud Allah termanifestasikan disitu. Kastrah (majemuk) yang dilihat di dunia ini, adalah kastrah cermin. Cermin beragam dan cahaya yang termanifestasi dalam semua cermin ini adalah satu cahaya, cermin bukanlah cahaya, namun penunjuk cahaya tersebut.


{{hadis|﴾اللَّهُ نُورُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكاةٍ فيها مِصْباحٌ ﴿}}“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus”. (QS. An-Nur: 35).
{{ia|﴾اللَّهُ نُورُ السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكاةٍ فيها مِصْباحٌ ﴿}}"Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus". (QS. An-Nur: 35).


Ini adalah tingkatan tertinggi yang diraih oleh manusia dalam perspektif tauhid.
Ini adalah tingkatan tertinggi yang diraih oleh manusia dalam perspektif tauhid.
Baris 275: Baris 274:


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
<div style="{{column-count|2}}">
{{ck}}
<references/>
</div>


==Daftar Pustaka==
==Daftar Pustaka==
<div style="{{column-count|1}}">
{{ref}}
*Al-Qur’an
*Al-Qur’an
*Ibnu Babuwaih, al-Tauhid, cet. Hasyim Huseini Tehrani, Qom, 1375 S.
*Ibnu Babuwaih, al-Tauhid, cet. Hasyim Huseini Tehrani, Qom, 1375 S.
Baris 287: Baris 284:
*Saidi Mehr, Muhammad, Omuzesy-e Kalame Islami, Qom, Thaha, 1383.
*Saidi Mehr, Muhammad, Omuzesy-e Kalame Islami, Qom, Thaha, 1383.
*Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khuda Shenasi dar Qur’an, Qom, Mu’assasah Omuzesyi wa Pazuhesyi Imam Khomeini, 1384.
*Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Khuda Shenasi dar Qur’an, Qom, Mu’assasah Omuzesyi wa Pazuhesyi Imam Khomeini, 1384.
 
{{akhir}}


[[fa:توحید]]
[[fa:توحید]]
Pengguna anonim