Pengguna anonim
Tauhid: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr |
imported>Hindr Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 81: | Baris 81: | ||
==Tauhid Dzati== | ==Tauhid Dzati== | ||
Tauhid Dzati merupakan tahapan pertama tauhid dan berartikan keyakinan akan keesaan dzat Allah Swt. Dzat Allah tidak berbilang dan tidak menerima dualisme, yang tidak memiliki sepadan dan serupa. <ref>Q.S. [[Surah Al-Syura|Al-Syura]]: 11; [[Surah Tauhid]]: 4. </ref> | Tauhid Dzati merupakan tahapan pertama tauhid dan berartikan keyakinan akan keesaan dzat Allah Swt. Dzat Allah tidak berbilang dan tidak menerima dualisme, yang tidak memiliki sepadan dan serupa. <ref>Q.S. [[Surah Al-Syura|Al-Syura]]: 11; [[Surah Tauhid]]: 4. </ref> | ||
Riwayat tauhid Dzat ada dua makna: salah satunya adalah simpel dan tidak memiliki bagian, dimana disebut dengan ''ahadiyyat dzat'' (Unity of the Essensi) dan lainnya adalah tidak memiliki padanan dan serupa, yang disebut dengan ''wahdaniyyat dzat'' (Onenes of Essensi). <ref>Shaduq, ''Kitab al-Tauhid'', hlm. 83 dan 144. </ref> | Riwayat tauhid Dzat ada dua makna: salah satunya adalah simpel dan tidak memiliki bagian, dimana disebut dengan ''ahadiyyat dzat'' (Unity of the Essensi) dan lainnya adalah tidak memiliki padanan dan serupa, yang disebut dengan ''wahdaniyyat dzat'' (Onenes of Essensi). <ref>Shaduq, ''Kitab al-Tauhid'', hlm. 83 dan 144. </ref> | ||
Tauhid dzat dalam terminologi teologi, filsafat, dipakai untuk dua makna: | Tauhid dzat dalam terminologi teologi, filsafat, dipakai untuk dua makna: | ||
Baris 94: | Baris 94: | ||
Penjelasannya adalah dalam makhluk semisalnya dalam sifat manusia, manusia yang tidak memiliki kehendak kerja, maka harus ditambahkan kehendak dalam dzatnya sehingga berkehendak. Yakni pertama-tama adalah jiwa manusia dan tidak ada kehendak, setelah itu terealisasikan kehendak dan jiwa memiliki kehendak. Namun Allah tidaklah demikian, dan tidak ada satu hal pun yang ditambahkan dalam dzat-Nya, sehingga sifat tersebut muncul dalam diri Allah. <ref>Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi''. </ref> | Penjelasannya adalah dalam makhluk semisalnya dalam sifat manusia, manusia yang tidak memiliki kehendak kerja, maka harus ditambahkan kehendak dalam dzatnya sehingga berkehendak. Yakni pertama-tama adalah jiwa manusia dan tidak ada kehendak, setelah itu terealisasikan kehendak dan jiwa memiliki kehendak. Namun Allah tidaklah demikian, dan tidak ada satu hal pun yang ditambahkan dalam dzat-Nya, sehingga sifat tersebut muncul dalam diri Allah. <ref>Mishbah Yazdi, ''Ma’arif Qur’an, Khuda Shenasi''. </ref> | ||
Disebutkan dalam khutbah [[Imam Ali|Imam Ali As]] bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. <ref>Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56. </ref> Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] dalam [[Nahjul Balaghah]]: | Disebutkan dalam khutbah [[Imam Ali|Imam Ali As]] bahwa dzat Allah tidak menerima sifat. <ref>Rujuklah, Kulaini, jild. 8, hlm. 139; Ibn Babawaih, hlm. 56. </ref> Poin ini dengan penjelasan lebih, terlihat dalam khutbah tauhidiyyah [[Amirul Mukminin As|Amirul Mukminin]] dalam [[Nahjul Balaghah]]: | ||
“Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya.” <ref>[[Nahjul Balaghah]], khutbah 1, hlm. 39. </ref> | “Awal agama adalah mengenal Allah (ma’rifatuhu), dan kesempurnaan mengenal-Nya adalah membenarkan-Nya, kesempurnaan membenarkan-Nya ialah mengesakan-Nya, kesempurnaan mengesakan-Nya ialah mensucikan-Nya, dan kesempurnaan mensucikan-Nya ialah menafikan sifat-sifat-Nya.” <ref>[[Nahjul Balaghah]], khutbah 1, hlm. 39. </ref> | ||
Sejumlah teolog Asy’ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. <ref>Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; [[Allamah Majlisi|Majlisi]], jild. 4, hlm. 62. </ref> | Sejumlah teolog Asy’ari meyakini bahwa sifat Allah terpisah dari dzat-Nya, pada saat yang sama, dzat Ilahi qodim dan tidak diciptakan, perspektif ini disebut dengan qodim delapan. Sejatinya, pendapat ini melazimkan keyakinan beberapa Tuhan, yang kontras dengan ajaran-ajaran tauhid. <ref>Rujuklah, Ibn Babawaih, hlm. 140, 144; [[Allamah Majlisi|Majlisi]], jild. 4, hlm. 62. </ref> | ||
Baris 107: | Baris 107: | ||
Tauhid af’ali terbagi dalam cabang tauhid penciptaan, tauhid tasyri’i dan takwini. | Tauhid af’ali terbagi dalam cabang tauhid penciptaan, tauhid tasyri’i dan takwini. | ||
Tauhid af’ali ditegaskan dan diisyaratkan dalam banyak ayat [[Al-Quran]], seperi [[Surah Al-Ra'd|surah Al-Ra'd]] ayat 16, [[Surah Al-An'am|surah al-An’am]]: 103 dan 164, [[Surah Al-A'raf|surah al-A’raf]]: 54, [[Surah Yusuf|surah Yusuf]]: 40. | Tauhid af’ali ditegaskan dan diisyaratkan dalam banyak ayat [[Al-Quran]], seperi [[Surah Al-Ra'd|surah Al-Ra'd]] ayat 16, [[Surah Al-An'am|surah al-An’am]]: 103 dan 164, [[Surah Al-A'raf|surah al-A’raf]]: 54, [[Surah Yusuf|surah Yusuf]]: 40. | ||
==Tauhid Ibadah== | ==Tauhid Ibadah== | ||
Tauhid ibadah termasuk manifestasi tauhid nazari dan dalam arti tidak ada sesuatu yang layak disembah kecuali Allah Swt dan tidak ada Tuhan dan sesembahan selain-Nya. Dengan demikian, seluruh hamba harus melaksanakan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah dan dengan perintah-Nya. | Tauhid ibadah termasuk manifestasi tauhid nazari dan dalam arti tidak ada sesuatu yang layak disembah kecuali Allah Swt dan tidak ada Tuhan dan sesembahan selain-Nya. Dengan demikian, seluruh hamba harus melaksanakan ibadahnya hanya semata-mata untuk Allah dan dengan perintah-Nya. | ||
Bagian ini sejatinya merupakan hasil alami pembagian tauhid; karena selama keberadaan kita berasal dari Allah, ikhtiyar wujud kita juga ada di tangan-Nya, aksi independen di dunia dari-Nya, hak memerintah dan pemberi undang-undang hanya semata-mata milik-Nya, maka tidak ada tempat penyembahan lain lagi untuk selain-Nya. Segala bentuk campur tangan motivasi selain Ilahi dalam ibadah akan menyebabkan berkurangnya nilai dan kedudukan kebatilan ibadah. Menurut [[Al-Quran]], tujuan pengutusan para nabi adalah supaya para hamba melaksanakan ibadah secara ikhlas untuk Allah semata. <ref>Q.S. [[Surah Al-Bayyinah|Al-Bayyinah]]: 5. </ref> | Bagian ini sejatinya merupakan hasil alami pembagian tauhid; karena selama keberadaan kita berasal dari Allah, ikhtiyar wujud kita juga ada di tangan-Nya, aksi independen di dunia dari-Nya, hak memerintah dan pemberi undang-undang hanya semata-mata milik-Nya, maka tidak ada tempat penyembahan lain lagi untuk selain-Nya. Segala bentuk campur tangan motivasi selain Ilahi dalam ibadah akan menyebabkan berkurangnya nilai dan kedudukan kebatilan ibadah. Menurut [[Al-Quran]], tujuan pengutusan para nabi adalah supaya para hamba melaksanakan ibadah secara ikhlas untuk Allah semata. <ref>Q.S. [[Surah Al-Bayyinah|Al-Bayyinah]]: 5. </ref> | ||
[[Al-Quran]] telah mengetengahkan tauhid ibadah dalam pelbagai ayat: seperti pada ayat 102 [[Surah Al-An'am|surah Al-An’am]], ayat 2-5 [[Surah Al-Fatihah|surah Al-Hamd]], ayat 25 [[Surah Al-Anbiya|surah Al-Anbiya]]. | [[Al-Quran]] telah mengetengahkan tauhid ibadah dalam pelbagai ayat: seperti pada ayat 102 [[Surah Al-An'am|surah Al-An’am]], ayat 2-5 [[Surah Al-Fatihah|surah Al-Hamd]], ayat 25 [[Surah Al-Anbiya|surah Al-Anbiya]]. | ||
Baris 121: | Baris 121: | ||
Dengan mencermati dan mengkaji ayat-ayat [[Al-Quran]], menurut [[Al-Quran]] seorang muwahhid adalah orang yang menyebut Allah Swt sebagai Tuhan dan juga sebagai khaliq (pencipta), juga pengatur semesta, pengatur syariat, Tuhan dan sesembahan dan karena meyakini ketuhanan dan keesaan dalam ketuhanan berada di akhir tahapan (tauhid uluhiyyah) dan mencakup semua tahapan qalbi (hati), dengan demikian dalam [[Islam]], ''La Ilaha Illallah''<ref>Q.S. [[Surah Muhammad|Muhammad]]: 19; [[Surah Al-Shaffat|Al-Shaffat]]: 35. </ref> merupakan syiar tauhid dan jalan kebahagiaan dan kesuksesan. | Dengan mencermati dan mengkaji ayat-ayat [[Al-Quran]], menurut [[Al-Quran]] seorang muwahhid adalah orang yang menyebut Allah Swt sebagai Tuhan dan juga sebagai khaliq (pencipta), juga pengatur semesta, pengatur syariat, Tuhan dan sesembahan dan karena meyakini ketuhanan dan keesaan dalam ketuhanan berada di akhir tahapan (tauhid uluhiyyah) dan mencakup semua tahapan qalbi (hati), dengan demikian dalam [[Islam]], ''La Ilaha Illallah''<ref>Q.S. [[Surah Muhammad|Muhammad]]: 19; [[Surah Al-Shaffat|Al-Shaffat]]: 35. </ref> merupakan syiar tauhid dan jalan kebahagiaan dan kesuksesan. | ||
Dengan ibarat lain, tauhid dalam tahapan sebelumnya meskipun hal lazim, namun tidaklah cukup, bahkan seseorang harus sampai pada tahap keyakinan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan penyembahan hanya semata-mata untuk-Nya dan dalam praktek juga tidak menyembah selain-Nya. Ini adalah batas tauhid. Oleh karenanya, selama tauhid seseorang tidak sampai pada tauhid uluhiyyah, maka tauhid orang tersebut belum sampai pada batasannya. <ref>Mishbah Yazdi, ''Khuda Shenasi dar Qur’an,'' hlm. 76. </ref> | Dengan ibarat lain, tauhid dalam tahapan sebelumnya meskipun hal lazim, namun tidaklah cukup, bahkan seseorang harus sampai pada tahap keyakinan bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan penyembahan hanya semata-mata untuk-Nya dan dalam praktek juga tidak menyembah selain-Nya. Ini adalah batas tauhid. Oleh karenanya, selama tauhid seseorang tidak sampai pada tauhid uluhiyyah, maka tauhid orang tersebut belum sampai pada batasannya. <ref>Mishbah Yazdi, ''Khuda Shenasi dar Qur’an,'' hlm. 76. </ref> | ||
Namun pembagian syirik khofi (samar), seperti penyembahan hawa nafsu, menyembah kedudukan dan riya', meskipun menurut akhlak sangatlah dicela, namun tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup kemusliman. <ref>Saidi Mehr, ''Omuzesh Kalam-e Islami'', jild. 1, hlm. 162 dan 163. </ref> | Namun pembagian syirik khofi (samar), seperti penyembahan hawa nafsu, menyembah kedudukan dan riya', meskipun menurut akhlak sangatlah dicela, namun tidak menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup kemusliman. <ref>Saidi Mehr, ''Omuzesh Kalam-e Islami'', jild. 1, hlm. 162 dan 163. </ref> | ||
Baris 129: | Baris 129: | ||
===Syirik Nazari=== | ===Syirik Nazari=== | ||
Syirik nazari memiliki bermacam bagian, diantaranya adalah: Syirik Dzati. Syirik dzati adalah orang yang mengklaimkan Tuhan lain yang sejajar dengan Allah swt. Sebagian ajaran mengklaim akan dualisme atau Trinitas atau beberapa keqodiman azali independen dari selain-Nya dan menganggap dunia memiliki multidasar, multiaksis dan multifokal. | Syirik nazari memiliki bermacam bagian, diantaranya adalah: Syirik Dzati. Syirik dzati adalah orang yang mengklaimkan Tuhan lain yang sejajar dengan Allah swt. Sebagian ajaran mengklaim akan dualisme atau Trinitas atau beberapa keqodiman azali independen dari selain-Nya dan menganggap dunia memiliki multidasar, multiaksis dan multifokal. | ||
Keyakinan terhadap multisumber alam merupakan syirik dzati dan merupakan lawan dari tauhid dzati. Keyakinan semacam ini menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah [[Islam]]. [[Islam]] menolak syirik dzati dari segala bentuk dan jenisnya. | Keyakinan terhadap multisumber alam merupakan syirik dzati dan merupakan lawan dari tauhid dzati. Keyakinan semacam ini menyebabkan keluarnya seseorang dari lingkup ahli tauhid dan ranah [[Islam]]. [[Islam]] menolak syirik dzati dari segala bentuk dan jenisnya. | ||
Baris 202: | Baris 202: | ||
[[ar:التوحيد]] | [[ar:التوحيد]] | ||
[[ur:توحید]] | [[ur:توحید]] | ||
[[Kategori:Akidah]] | |||
[[Kategori:Keyakinan]] |