Istihsan
Istihsan, yang berarti "menganggap sesuatu baik," adalah salah satu kaidah fikih dalam beberapa mazhab Ahlu Sunah, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Istihsan digunakan ketika seorang ahli fikih ingin menyimpang dari dalil fikih tertentu karena alasan kemaslahatan tertentu. Dasar utama para pendukung keabsahan istihsan adalah argumen rasional, meskipun mereka juga merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis. Para fuqaha dari Imamiyah menolak istihsan dan tidak mengakui validitas hukumnya. Di antara mazhab fikih Ahlu Sunah, Mazhab Syafi'i dan Zahiriyah adalah penentang istihsan. Para ahli hukum membandingkan istihsan dengan prinsip equity dalam sistem hukum Anglo-Saxon.[1]
Definisi
Istihsan adalah keluar dari makna dalil umum karena adanya kemaslahatan khusus atau parsial.[2] Hal ini terjadi karena kadang-kadang hukum yang dihasilkan dari dalil-dalil rasional dan qiyas bersifat kaku dan tidak fleksibel, sehingga penerapannya dapat menimbulkan kerusakan. Dengan menggunakan istihsan, hasil tersebut dilunakkan agar sesuai dengan kemaslahatan.[3] Namun, setiap mazhab fikih yang mendukung istihsan memberikan definisi yang berbeda: Hanafiyah mendefinisikan istihsan sebagai: "Dalil yang muncul dalam pikiran seorang mujtahid tetapi tidak dapat diungkapkan karena kata-kata tidak mampu mengekspresikannya."[4] Malikiyah mendefinisikan istihsan sebagai: "Bertindak berdasarkan kemaslahatan parsial dan individual dibandingkan dengan dalil umum."[5] Hanabilah mendefinisikan istihsan sebagai: "Ketika kita menyimpang dari hukum suatu masalah (yang memiliki kesamaan dengan masalah lain yang tunduk pada hukum serupa) karena alasan tertentu, itu disebut istihsan." Dengan kata lain, dua masalah yang seharusnya memiliki hukum yang sama, jika kita menyimpang dari hukum salah satunya, maka itu disebut istihsan.[6]
Contoh Penerapan Istihsan
- Jika seseorang yang bodoh (safih) membuat wasiat untuk menyumbangkan sebagian hartanya untuk amal, berdasarkan kaidah umum dalam fikih bahwa tindakan safih dalam mengelola hartanya tidak sah kecuali disahkan oleh walinya atau qaimnya, maka wasiat tersebut tidak sah. Namun, para ulama Hanafi menggunakan istihsan untuk membenarkan wasiat ini dengan alasan bahwa larangan safih mengelola hartanya dimaksudkan untuk melindungi kepentingannya selama hidupnya. Karena wasiat ini dibuat untuk setelah kematiannya, maka tidak merugikan safih, bahkan bermanfaat baginya. Oleh karena itu, dengan menyimpang dari kaidah umum, wasiat ini dianggap sah berdasarkan istihsan.[7]
- Jika seorang pencuri dihukum dengan memotong tangan kanannya, tetapi eksekutor secara keliru memotong tangan kirinya, berdasarkan qiyas, eksekutor bertanggung jawab dan harus membayar diyah. Namun, Abu Hanifah berkata: Meskipun tangan kiri dipotong secara keliru, tangan kanan yang lebih berguna tetap utuh. Oleh karena itu, demi mempertimbangkan maslahat dan berdasarkan istihsan, eksekutor tidak dianggap bertanggung jawab karena tangan kanan tidak akan dipotong lagi dalam kasus ini.[8]
Pendukung Keabsahan Istihsan
Dasar utama para pendukung keabsahan istihsan adalah argumen rasional. Mereka menjelaskan bahwa hukum syariat didasarkan pada kemaslahatan dan kerusakan. Memperhatikan kemaslahatan dan kerusakan serta alasan di balik hukum membenarkan penggunaan qiyas. Namun, karena qiyas kadang-kadang menghasilkan hasil yang tidak diinginkan, akal menuntut agar qiyas ditinggalkan dan tindakan diambil berdasarkan kemaslahatan.[9]
Penentang Istihsan
Imamiyah menganggap istihsan seperti qiyas, yaitu tidak valid. Mirza Qumi menyebutkan empat alasan untuk menolak istihsan[10]:
- Tidak adanya dalil
- Tidak memberikan keyakinan tentang hukum syariat
- Ijma' Imamiyah atas ketidakabsahannya
- Riwayat-riwayat yang menjadi dalil penolakan istihsan
Selain itu, Syafi'iyah dan Zahiriyah juga menentang keabsahan istihsan. Muhammad bin Idris Syafi'i berkata: Metode ijtihad adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma', dan qiyas. Istihsan tidak termasuk dalam kategori ini. Jika demikian, setiap orang bisa saja memberikan pendapat tentang masalah Islam, bahkan tanpa pemahaman tentang dasar-dasar Islam. Oleh karena itu, istihsan adalah hukum yang didasarkan pada keinginan dan hawa nafsu.[11]
Daud bin Ali, pendiri Mazhab Zahiriyah, juga berpendapat: "Kebenaran adalah kebenaran, meskipun manusia tidak menerimanya. Dan kebatilan adalah kebatilan, meskipun manusia menyukainya. Oleh karena itu, istihsan adalah hawa nafsu, kesesatan, dan penyimpangan."[12]
Kritik terhadap Keabsahan Istihsan
Dalam mengkritik keabsahan istihsan, dikatakan: Seperti yang telah dibahas dalam pembahasan akal, akal secara mandiri tidak dapat menjangkau kriteria hukum. Jika tidak demikian, maka tidak perlu mengirim para rasul, dan setiap orang yang berakal dapat memahami hukum-hukum ilahi. Dengan cara ini, setiap mujtahid akan dianggap sebagai seorang nabi.[13]
Catatan Kaki
- ↑ Muhammadi, Mabani Istimbath Al-Huquq Al-Islami, hal. 254.
- ↑ Vala'i, Farhang Tasyrihi Istilahat Ushul, 1380 HS, Jilid 1, hal. 56.
- ↑ Vala'i, Farhang Tasyrihi Istilahat Ushul, 1380 HS, Jilid 1, hal. 56.
- ↑ Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, Jilid 1, hal. 281.
- ↑ Syathibi, Al-Muwafaqat, Jilid 4, hal. 205.
- ↑ Syathibi, Al-Muwafaqat, 1417 HQ/1997 M, Jilid 5, hal. 193; Jilid 4, hal. 205.
- ↑ Vala'i, Farhang Tasyrihi Istilahat Ushul, 1380 HS, Jilid 1, hal. 57.
- ↑ Vala'i, Farhang Tasyrihi Istilahat Ushul, 1380 HS, Jilid 1, hal. 57.
- ↑ Vala'i, Farhang Tasyrihi Istilahat Ushul, 1380 HS, Jilid 1, hal. 58.
- ↑ Qumi, Qawanin Al-Ushul, Jilid 2, hal. 92.
- ↑ Syafi'i, Ar-Risalah, hal. 1464 dan 1468.
- ↑ Ibn Hazm, Al-Ahkam fi Al-Ushul, Beirut, Dar Al-Afaq Al-Jadidah, Jilid 6, hal. 17.
- ↑ Ghazali, Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, Beirut, Syarikah Dar Al-Arqam bin Abi Al-Arqam, Jilid 2, hal. 239.
Daftar Pustaka
- Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, Beirut, Syarikah Dar Al-Arqam bin Abi Al-Arqam, tanpa tahun.
- Ibnu Hazm, Ali bin Ahmad, Al-Ahkam fi Al-Ushul, Kairo, Zakariya Ali Yusuf.
- Mirza Qumi, Abu Al-Qasim bin Muhammad Hasan, *Qawanin Al-Ushul*, Teheran, Maktabah Al-Ilmiyah Al-Islamiyah, 1378 HS.
- Muhammadi, Abu Al-Hasan, Mabani Istimbath Al-Huquq Al-Islami. Teheran, Lembaga Penerbitan Universitas Teheran, 1396 HS.
- Syafi'i, Muhammad bin Idris, Ar-Risalah.
- Syathibi, Ibrahim bin Musa, Al-Muwafaqat.
- Vala'i, Isa, Farhang Tashrihi Istilahat Ushul, Teheran, Nashr Ni, 1380 HS.