Rafidhi

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa navbox
Dari wikishia
(Dialihkan dari Rofidhi)

Rafidhi (bahasa Arab: رافضي) adalah kata Arab dan gelar hinaan untuk sekelompok prajurit Zaid bin Ali bin al-Husain yang meninggalkan Zaid sendirian di medan perang. Sebagian Ahlusunah dengan nada menghina menyebut semua orang Syiah dengan Rafidhi. Sebab, mereka (Syiah) meninggalkan keimanan kepada kekhilafahan tiga khalifah. Muslim Syiah dengan bersandar kepada sebagian hadis memandang kerafidhahan dengan makna tersebut sebagai pujian untuk dirinya.

Semantik

Rafidhi adalah bentuk isim fail (yang disertai dengan Ya' nisbat) berasal dari huruf "ra-fa-dhad" dan bermakna orang yang meninggalkan pemimpin, komandan atau ketuanya, dan kata Rawafidh adalah jamaknya.[1]

Abu al-Hasan al-Asy'ari (W. 330 H/942) meyakini Rafidhah adalah Imamiyah itu sendiri dan merupakan salah satu golongan Syiah. Ia berkata, oleh karena itu mereka disebut Rafidhah yang menolak (meninggalkan) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar.[2]

Imam Syafi'i dalam bait syairnya berkata: Bila cinta keluarga Muhammad dianggap Rafidhah maka saksikanlah wahai manusia dan jin! Sesungguhnya aku adalah Rafidhi.[3]

Jakfar Subhani meyakini bahwa Rafidhi sebuah istilah politik dan digunakan untuk orang-orang yang menentang pemerintahan zamannya. Karena orang-orang Syiah setelah periode Rasulullah saw tidak menaati pemerintahan-pemerintahan berikutnya maka mereka dikenal dengan nama ini (Rafidhah).[4]

Sejarah

Menurut sebagai ahli bahasa, pada asalnya Rafidhah adalah gelar yang dilabelkan kepada sekelompok Syiah. Pada mulanya mereka pengikut Zaid bin Ali, namun setelah Zaid melarang mereka mengutuk dan mencaci sahabat dan Syekhain (Abu Bakar dan Umar), maka mereka meninggalkannya. Gelar ini di kemudian hari digunakan untuk setiap orang dari mazhab ini yang membolehkan mengutuk dan mencaci sahabat.[5] Kisah ini memiliki beberapa keambiguan, di antaranya:

  • Menyebarnya istilah ini sebelum kebangkitan Zaid
  • Keberadaan istilah ini dalam hadis-hadis Syiah

Menyebarnya Kata Ini Sebelum Zaid

Pada Zaman Muawiyah

  • Muawiyah dalam sebuah surat kepada Amr bin Ash menamakan para pengkiut Marwan yang menentang Imam Ali as dengan 'Rafidhah Basrah'. Dari ungkapan ini jelas bahwa setiap orang yang menentang sebuah pemerintahan, baik pemerintahan yang benar atau batil disebut Rafidhah. Demikian pula karena Muawiyah memberi nama Rafidhah kepada orang-orang yang berpikiran sama dengannya, maka dapat disimpulkan bahwa kata ini pada zaman itu tidak berkonotasi negatif.[6]
  • Ibnu A'tsam melaporkan surat Muawiyah kepada Amr Ash bahwa Muawiyah mengatakan 'Rafidhah penduduk Basrah' kepada pengdukung dan pengkiut Imam Ali as. [7]

Pada Zaman Imam Baqir as

Al-Barqi dalam al-Mahāsin menukil dua hadis bahwa kata ini sebelum terjadi kebangkiatan Zaid sudah menyebar pada masa Imam Baqir as.

  • Abu al-Jarud berkata: seorang lelaki berkata kepada Imam Baqir as: Wahai putra Rasulullah! Mereka menyebut kami (Syaih) orang Rafidhah. Beliau sambil menunjuk dadanya berkata:
Saya juga Rafidhah (beliau mengulangi perkataan ini tiga kali).[8]
  • Abu Bashir berkata: kepada Imam Baqir as aku berkata: Jiwaku menjadi tebusanmu, mereka melabelkan sebuah nama kepada kami dimana dengan nama tersebut para penguasa dan gubernur menghalalkan nyawa, harta dan menyakiti kami. Berliau berkata: apa nama itu? Aku menjawab: Rafidhi.

Lalu beliau berkata:

Tujuh puluh orang laki-laki dari prajurit Firaun meninggalkan dia (rafdh) dan bergabung dengan Musa as. Mereka dalam agama lebih kokoh daripada orang lain dari kaum Musa dan mencintai Harun melebihi kecintaan mereka kepada selainnya. Kemudian Musa as menggelari mereka dengan Rafidhah, diwahyukan kepada Musa agar supaya nama ini dicatat dalam Taurat untuk mereka dimana Aku yang memilih nama ini buat mereka. Kemudian Imam as berkata: Allah memberikan nama ini pula kepada kalian (Syiah). [9]

Dalam Hadis-hadis Syiah

  • Dikabarkan kepada Imam Shadiq as bahwa Ammar Duhni pada suatu hari memberikan kesaksian di pengadilan Ibnu Abi Laila (hakim Kufah), hakim berkata kepadanya: "Hai Ammar! Kami mengenalmu, kamu adalah seorang 'Rafidhah', maka kesaksianmu tidak bisa diterima, pergilah". Ammar berdiri dengan tubuh gemetar dan menangis.

Ibnu Abi Laila berkata: "Hai Ammar! Engkau adalah seorang ilmuan, jika engkau tidak suka dengan nama ini, tinggalkan mazhabmu ini dan saat itu engkau akan menjadi saudara kami".

Ammar berkata:

Tidak! Perkara tidak seperti yang engkau bayangkan, namun aku menangis untuk diriku dan dirimu; adapun tangisannku untuk diriku karena engkau menisbatkan aku kepada kedudukan yang tinggi dimana aku sendiri tidak layak untuknya; engkau memanggil aku Rafidhi padahal Imam Shadiq as bersabda: "Orang pertama yang dipanggil dengan nama ini adalah para penyihir Firaun dimana ketika mereka mengetahui kebenaran nabi Musa as meninggalkan perintah Firaun dan agamanya lalu bergabung dengan Musa as serta menerima setiap penyiksaan terhadap dirinya, kemudian Firaun menyebut mereka Rafidhi dimana mereka menolak agama Firaun. Jadi, Rafidhi adalah orang yang menolak segala sesuatu yang buruk di sisi Tuhan. Adapun tangisannku untuk dirimu karena engkau telah berani memandang sebaik-baik nama sebagai seburuk-buruk nama, bagaimana engkau di hari Kiamat kelak akan menjawab Tuhan atas kesalahan besarmu ini?

Setelah Imam Shadiq as mendengar cerita ini berkata:

"Andaikata Ammar memiliki dosa yang lebih besar daripada langit dan bumi niscaya akan terhapus dengan perkataan-perkataannya ini dan perbuatannya itu sebegitu besar pengaruhnya dalam memperbanyak kabajikan-kebajikannya dimana setiap kebajikan yang paling kecil lebih besar 1000 kali lipat daripada dunia."

Catatan Kaki

  1. Ibnu Manzhur, jld.7, hlm.157; Farahidi, jld.7, hlm.29
  2. Al-Asy'ari, Maqālāt al-Islāmiyin, hlm.87
  3. Diwan Syafii, hlm.55
  4. Subahani, Buhutsun fi al-Milal wa al-Nihal, jld.1, hlm.123
  5. Fayyumi, hlm.232
  6. Nashr bin Muzahim, Waq'atu Shiffin, hlm.34; Ya'kubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld.2, hlm.184
  7. Ibnu A'tsam, al-Futuh, jld.2, hlm.510
  8. Al-Barqi, al-Mahāsin, jld.1, hlm.15
  9. Barqi, al-Mahāsin, jld.1, hlm.157

Daftar Pustaka

  • Abul Hasan Asya'ari, Ali bin Ismail. Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mushallīn. Riset Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid. Kairo: Maktabah an-Nihdhah al-Mishriyyah, 1369 H.
  • Barqi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mahāsin. Riset Jalaluddin Muhaddits. Qom: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1371 H.
  • Dekhudo, Ali Akbar. Farhang-e Lughat.
  • Husaini Dasyti, Sayid Mushthafa. Ensiklopedia Ma'ārif wa Ma'ārīf. Jld. 5.
  • Ibnu A'tsam al-Kufi, Ahmad bin A'tsam. Kitāb al-Futūh. Cet I. Riset Ali Syiri. Beirut: Dar al-Adhwa',1411 H.
  • Ibnu Manzhur, Muhammad bin Mukrim. Lisān al-'Arāb. Beirut: Dar ash-Shadir 2003.
  • Minqari, Nashr bin Muzahim. Waq'ah Shiffīn. Cet II. Riset Abdus Salam Muhammad Harun. Kairo: al-Muassisah al-'Arabiyyah al- Haditsah, 1382 H. Cetak offset Qom: Mansyurat-e Maktabah al-Mar'asyi an-Najafi, 1404 H.
  • Qayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbāh al-Munīr. Qom: Dar al-Hijrah.
  • Subhani, Ja'far. Buhūts fī al-Milal wa an-Nihal. Qom: Muassisah an-Nasyr al-Islami, 1420 H.
  • Syafi'i, Muhammad bin Idris. Diwān al-Imam asy-Syafi'ī. Cet. IV. Daru Ihya' at-Turats al-'Arabi, 1402 H.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ya'qub. ‘‘Tārīkh al-Ya'qubi. Beirut: Dar ash-Shadir.