Lompat ke isi

Tinta Ulama Lebih Utama daripada Darah Syuhada

Dari wikishia
Tinta para ulama lebih utama daripada darah para syuhada." Tulisan khat Nastaliq, ditulis oleh Alireza Mahba'ali Tafreshi.

Tinta ulama lebih utama daripada darah para syuhada (abahsa Arab:مِدادُ العُلماءِ أفضَلُ مِن دِماءِ الشُّهداءِ) adalah sebuah ungkapan terkenal yang berarti bahwa tinta pena para ulama lebih utama daripada darah para syuhada. Ungkapan ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis awal mazhab Syiah; namun, dalam tafsir Manhaj as-Shadiqin, yang ditulis pada abad ke-10 Hijriah, ungkapan ini disebutkan sebagai sebuah hadis.

Ali Akbar Ghaffari, seorang peneliti hadis Syiah, tidak menganggap ungkapan ini sebagai hadis dan menyatakan bahwa ini adalah pemahaman yang keliru dari riwayat lain yang diriwayatkan oleh Syekh Shaduq dari Imam Ja'far Shadiq as. Menurutnya, maksud riwayat tersebut bukanlah bahwa tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada, melainkan bahwa dakwah Ilahi lebih banyak dilakukan melalui pena, tinta, argumentasi, dan bukti-bukti daripada melalui kesyahidan dan pengorbanan jiwa. Dengan demikian, riwayat tersebut tidak menunjukkan keutamaan kualitatif atau keunggulan tinta ulama dibandingkan darah syuhada.

Di sisi lain, ulama seperti Allamah al-Majlisi dan Ibnu Fahd al-Hilli, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, berpendapat bahwa tinta pena ulama memang lebih utama daripada darah syuhada. Mereka beralasan bahwa:

  • Pena ulama menyempurnakan hakikat agama, sedangkan darah syuhada menyempurnakan aspek lahiriah agama.
  • Pena ulama tetap bermanfaat setelah kematiannya, sedangkan darah syuhada tidak demikian.

Mengenai pertentangan ungkapan ini dengan riwayat lain yang menyatakan bahwa "di atas setiap kebaikan ada kebaikan yang lebih tinggi, kecuali syahid di jalan Allah", dijelaskan bahwa dalam hadis-hadis tentang keutamaan syahadah, yang menjadi fokus bukanlah amal itu sendiri, melainkan pelakunya, yaitu syahid. Sementara dalam ungkapan "Tinta para ulama...", yang menjadi fokus adalah amal dan manfaatnya bagi masyarakat.

Status

Kalimat مِدادُ العُلماءِ أفضَلُ مِن دِماءِ الشُّهداءِ؛ tinta para ulama lebih utama daripada darah para syuhada» adalah kalimat yang masyhur dan dalam sebagian sumber tafsir belakangan Syiah dinukil sebagai hadis; di antaranya, Mulla Fathullah al-Kasyani (wafat: 988 H), dalam tafsir Manhaj al-Shadiqin mencantumkan kalimat ini di antara beberapa hadis.[1] Dalam tafsir Athyab al-Bayan karya Sayid Abulhusain Thayyib (1272–1370 HS) juga dinukil sebagai hadis.[2] Terkait status hadis dari kalimat ini dan berbagai penafsiran atasnya, terdapat perdebatan di kalangan ulama Syiah.[3]

Pembahasan tentang Keaslian Hadis "Midad al-‘Ulama..."

Kitab-kitab pertama yang menukil kalimat «مِدادُ العُلماءِ أفضَلُ مِن دِماءِ الشُّهداءِ» tidak membahas sanadnya dan hanya menyebutkannya sebagai sebuah hadis.[4] Dalam pernyataan sejumlah ulama juga disebut sebagai hadis; namun tidak disertai argumen atau pembahasan ilmiah mengenainya. Sebagai contoh, dalam sebuah kutipan dari Ayatollah Burujerdi disebutkan bahwa ia menganggap kalimat ini sebagai hadis.[5] Di sisi lain, Murtadha Muthahhari dalam bukunya Hamaseh Husaini menyebut kalimat ini sebagai sebuah “ungkapan”.[6]

Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa Ali Akbar Ghafari, seorang peneliti hadis Syiah, adalah orang pertama yang secara rinci meneliti kalimat ini dari segi sanad dan isi.[7] Menurut Ghafari, kalimat «مداد العلما...» bukanlah hadis, melainkan pemahaman keliru dari riwayat lain yang terdapat dalam kitab-kitab seperti Man La Yahdhuruhu al-Faqih dan al-Amali Syekh Shaduq.[8] Riwayat yang dinukil Ghafari dari Syaikh Shaduq dari Imam Shadiq as berbunyi demikian:

إِذَا كَانَ يَوْمُ اَلْقِيَامَةِ جَمَعَ اَللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ اَلنَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَ وُضِعَتِ اَلْمَوَازِينُ فَتُوزَنُ دِمَاءُ اَلشُّهَدَاءِ مَعَ مِدَادِ اَلْعُلَمَاءِ فَيَرْجَحُ مِدَادُ اَلْعُلَمَاءِ عَلَى دِمَاءِ اَلشُّهَدَاءِ؛[9]
Ketika hari kiamat tiba, Allah ‘Azza wa Jalla mengumpulkan seluruh manusia di satu dataran yang luas, lalu timbangan ditegakkan; maka darah para syuhada dan tinta para ulama ditimbang, dan ternyata tinta para ulama lebih berat dan lebih unggul daripada darah para syuhada.[10]

Apakah Tinta Ulama Lebih Utama daripada Darah Syuhada?

Perdebatan mengenai klaim keutamaan tinta ulama atas darah syuhada berlangsung sengit di kalangan ulama:

Penentang

Murtadha Muthahhari menolak klaim bahwa tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada. Ia mempertanyakan mengapa nilai kesyahidan, yang dianggap puncak pengorbanan dalam Islam, direndahkan dengan ungkapan ini.[11] Menurutnya, darah syuhada memiliki keutamaan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan standar material.

Ali Akbar Ghaffari juga mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa ungkapan ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keutamaan kualitatif tinta ulama atas darah syuhada. Sebaliknya, ia menyoroti bahwa dakwah melalui ilmu pengetahuan lebih sering digunakan daripada jihad fisik dalam sejarah Islam.[12]

Pendukung

Di sisi lain, ulama seperti Allamah Majlisi dan Ahmad bin Fahd al-Hilli mendukung klaim bahwa tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada. Allamah Majlisi berpendapat bahwa pena ulama adalah alat untuk menyempurnakan hakikat agama, sedangkan darah syuhada hanya menjaga penampilan lahiriah agama.[13]

Ahmad bin Fahd al-Hilli menambahkan bahwa manfaat pena ulama bertahan setelah kematiannya, sementara darah syuhada tidak memiliki dampak jangka panjang yang sama.[14] Muhammad Muhsin Fayyadh Kasyani juga menyatakan bahwa pena ulama melindungi umat dari penyimpangan yang dapat mengarah pada azab neraka, sedangkan darah syuhada melindungi tubuh dan harta benda di dunia.[15]

Kontradiksi dengan Riwayat Lain

Beberapa pihak mempertanyakan bagaimana ungkapan ini dapat sesuai dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa tidak ada amal yang lebih mulia daripada syahadat di jalan Allah.[16] Jawaban yang diberikan adalah bahwa dalam riwayat tersebut, fokusnya adalah pada pelaku syahadat (syuhada), bukan hasil dari tindakan mereka. Oleh karena itu, syahadat tetap dianggap sebagai puncak pengorbanan individu.

Namun, dalam konteks ungkapan "Midad al-‘Ulama," fokusnya adalah pada dampak sosial dan kontribusi terhadap keberlangsungan agama. Dengan kata lain, meskipun syahadat memiliki nilai spiritual tertinggi, pengaruh ilmu ulama dianggap lebih luas dan berkelanjutan dalam masyarakat.[17]

Catatan Kaki

  1. Al-Kasyani, Manhaj al-Shadiqin, 1336 Syamsiah, jil. 9, hlm. 206.
  2. Thayyib, Athyab al-Bayan, 1378 Syamsiah, jil. 14, hlm. 302.
  3. Untuk contoh, lihat: Muthahhari, Hamaseh-ye Husaini, 1390 HS, jil. 2, hlm. 226; Ghafari, Talkhish Maqbas al-Hidayah, 1360 HS, hlm. 247–248.
  4. Lihat: al-Kasyani, Manhaj al-Shadiqin, 1336 Syamsiah, jil. 9, hlm. 206; Thayyib, Athyab al-Bayan, 1378 Syamsiah, jil. 14, hlm. 302.
  5. Husaini Thehrani, Mathla’ al-Anwar, 1431 H, jil. 3, hlm. 396.
  6. Muthahhari, Hamaseh Husaini, 1390 Syamsiah, jil. 2, hlm. 226.
  7. Jadi, “Penilaian Kredibilitas Sanad dan Dalalah Hadis”, hlm. 199.
  8. Lihat: Ghafari, Talkhish Maqbas al-Hidayah, 1360 Syamsiah, hlm. 247.
  9. Syaikh Shaduq, *Man La Yahdhuruhu al-Faqih*, 1404 H, jil. 4, hlm. 398; Syaikh Shaduq, Al-Amali, 1376 Syamsiah, hlm. 168.
  10. Balaghi dan Ghafari, *Terjemah dan Teks Man La Yahdhuruhu al-Faqih*, 1367 Syamsiah, jil. 6, hlm. 345.
  11. Muthahhari, Hamaseh Husaini, 1390 HS, Jilid 2, hlm. 226.
  12. Ghaffari, Talkhis Mawaqib al-Huda, 1360 Sy, hlm. 247.
  13. Majlisi, Raudhah al-Muttaqin, 1406 H, Jilid 13, hlm. 108.
  14. Ibn Fahd al-Hilli, Idda al-Da’i, 1407 H, hlm. 77.
  15. Fayyadh Kasyani, Al-Wafi, 1406 H, Jilid 1, hlm. 145.
  16. Kulaini, Al-Kafi, 1363 Sy, Jilid 2, hlm. 349.
  17. «Jawaban atas Pertanyaan», Majalah Pasdare Islam, 1 Dey 1364 HS, hlm. 62.

Daftar Pustaka

  • Fayyadh Kasyani, Muhammad Muhsin bin Syah Murtadha. Al-Wafi. Isfahan: Perpustakaan Imam Amir al-Mu’minin as, 1406 H.
  • Ghaffari, Ali Akbar. Talkhis Mawaqib al-Huda. Nasyr Shaduq, 1360 Sy.
  • Ibnu Fahd al-Hilli, Ahmad bin Muhammad. Idda al-Da’i wa Najah al-Sa’i. tanpa tempat, Dar al-Kutub al-Islami, 1407 H.
  • Jaddi, Husain dan lainnya. «Validasi Sanad dan Makna Hadis: (Yarjuh Midad al-Ulama ‘ala Dimaa’ al-Syuhada) dari Sumber Sunni dan Syiah», Majalah Hadis dan Pemikiran, Edisi 29, 1399 HS.
  • Kasyani, Fathullah. Manhaj al-Shadiqin fi al-Izham al-Mukhalifin. Teheran: Muhammad Hasan Ilmi, 1336HS.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1363 HS.
  • Majlisi, Muhammad Taqi. Raudhah al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Qom: Muassasah Farhanggi Islami Kushanpur, 1406 H.
  • Muthahhari, Murtadha. Hamaseh Husaini. Teheran: Nasyr Sadra, 1390 HS.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-Amali. Teheran: Kitabchi, Cetakan Ke-6, 1376 Sy.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari. Qom: Dar al-Fikr, Cetakan Kedua, 1413 H.
  • Thabathaba'i, Sayid Abdul Husain. Athyab al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Teheran: Nasyr al-Islam, 1378 HS.
  • «Jawaban atas Pertanyaan», Majalah Pasdare Islam, Edisi 49, 1 Dey 1364 HS.