Lompat ke isi

Tinta Ulama Lebih Utama daripada Darah Syuhada

Dari wikishia

Tinta Ulama Lebih Utama daripada Darah Syuhada (تِمْدادُ الْعُلَمَاءِ أَفْضَلُ مِنْ دِمَاءِ الشُّهَدَاءِ), yang berarti "tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada," adalah kalimat terkenal yang sering dikutip. Namun, asal-usul ungkapan ini sebagai hadis menjadi bahan perdebatan di kalangan ulama Syiah.

Sejarah dan Status

Kalimat tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis klasik Syiah, tetapi muncul dalam tafsir Manhaj al-Shadiqin karya Mulla Fathullah al-Kasyani (wafat: 988 H/1580 M) dan Athayyib al-Bayan oleh Sayid Abdul Husain al-Thabathaba'i (wafat: 1370 H/1951 M).[1][2]

Meskipun beberapa ulama seperti Ayatullah Burujerdi menganggapnya sebagai hadis,[3] peneliti hadis kontemporer seperti Ali Akbar Ghaffari menegaskan bahwa ungkapan ini bukanlah hadis, melainkan kesalahpahaman dari riwayat lain yang diriwayatkan oleh Syeikh Shaduq.[4]

Pembahasan tentang Keaslian Hadis "Midad al-‘Ulama..."

Kitab-kitab awal seperti Manhaj al-Shadiqin hanya mencantumkan ungkapan ini tanpa analisis sanad (rantai periwayatan).[5] Beberapa ulama modern, termasuk Murtadha Muthahhari, menyebutnya sebagai "kalimat" semata tanpa mengklaim statusnya sebagai hadis.[6]

Ali Akbar Ghaffari, seorang spesialis hadis, menunjukkan bahwa ungkapan ini kemungkinan berasal dari salah satu riwayat Imam Shadiq as yang disebutkan dalam kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih dan Al-Amali karya Syeikh Shaduq. Dalam riwayat tersebut, disebutkan bahwa pada Hari Kiamat, timbangan akan diletakkan untuk menimbang antara darah syuhada dan tinta ulama. Tinta ulama akan lebih berat karena jumlahnya yang lebih banyak dibandingkan dengan darah syuhada.[7]

Namun, Ghaffari menekankan bahwa ini tidak berarti ada keutamaan kualitatif tinta ulama atas darah syuhada. Sebaliknya, maksudnya adalah bahwa dakwah Islam lebih sering dilakukan melalui pena dan ilmu daripada melalui pertumpahan darah.[8]

Apakah Tinta Ulama Lebih Utama daripada Darah Syuhada?

Perdebatan mengenai klaim keutamaan tinta ulama atas darah syuhada berlangsung sengit di kalangan ulama:

Penentang

Murtadha Muthahhari menolak klaim bahwa tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada. Ia mempertanyakan mengapa nilai kesyahidan, yang dianggap puncak pengorbanan dalam Islam, direndahkan dengan ungkapan ini.[9] Menurutnya, darah syuhada memiliki keutamaan tersendiri yang tidak dapat diukur dengan standar material.

Ali Akbar Ghaffari juga mendukung pandangan ini dengan menyatakan bahwa ungkapan ini tidak dimaksudkan untuk menunjukkan keutamaan kualitatif tinta ulama atas darah syuhada. Sebaliknya, ia menyoroti bahwa dakwah melalui ilmu pengetahuan lebih sering digunakan daripada jihad fisik dalam sejarah Islam.[10]

Pendukung

Di sisi lain, ulama seperti Allamah Majlisi dan Ahmad bin Fahd al-Hilli mendukung klaim bahwa tinta ulama lebih utama daripada darah syuhada. Allamah Majlisi berpendapat bahwa pena ulama adalah alat untuk menyempurnakan hakikat agama, sedangkan darah syuhada hanya menjaga penampilan lahiriah agama.[11]

Ahmad bin Fahd al-Hilli menambahkan bahwa manfaat pena ulama bertahan setelah kematiannya, sementara darah syuhada tidak memiliki dampak jangka panjang yang sama.[12] Muhammad Muhsin Fayyadh Kasyani juga menyatakan bahwa pena ulama melindungi umat dari penyimpangan yang dapat mengarah pada azab neraka, sedangkan darah syuhada melindungi tubuh dan harta benda di dunia.[13]

Kontradiksi dengan Riwayat Lain

Beberapa pihak mempertanyakan bagaimana ungkapan ini dapat sesuai dengan riwayat lain yang menyebutkan bahwa tidak ada amal yang lebih mulia daripada syahadat di jalan Allah.[14] Jawaban yang diberikan adalah bahwa dalam riwayat tersebut, fokusnya adalah pada pelaku syahadat (syuhada), bukan hasil dari tindakan mereka. Oleh karena itu, syahadat tetap dianggap sebagai puncak pengorbanan individu.

Namun, dalam konteks ungkapan "Midad al-‘Ulama," fokusnya adalah pada dampak sosial dan kontribusi terhadap keberlangsungan agama. Dengan kata lain, meskipun syahadat memiliki nilai spiritual tertinggi, pengaruh ilmu ulama dianggap lebih luas dan berkelanjutan dalam masyarakat.[15]

Catatan Kaki

  1. Kasyani, Manhaj al-Shadiqin, 1336 Sy, Jilid 9, hlm. 206.
  2. Thabathaba'i, Athayyib al-Bayan, 1378 Sy, Jilid 14, hlm. 302.
  3. Husaini Tehrani, Matali’ al-Anwar, 1431 H, Jilid 3, hlm. 396.
  4. Ghaffari, Talhis Mawaqib al-Huda, 1360 Sy, hlm. 247.
  5. Kasyani, Manhaj al-Shadiqin, 1336 Sy, Jilid 9, hlm. 206; Thabathaba'i, Athayyib al-Bayan, 1378 Sy, Jilid 14, hlm. 302.
  6. Muthahhari, Hamaseh Husaini, 1390 Sy, Jilid 2, hlm. 226.
  7. Ghaffari, Talhis Mawaqib al-Huda, 1360 Sy, hlm. 247.
  8. Fathahi Zadeh, Mabani va Roshaha-ye Naqd-e Hadis, 1389 Sy, hlm. 52.
  9. Muthahhari, Hamaseh Husaini, 1390 Sy, Jilid 2, hlm. 226.
  10. Ghaffari, Talhis Mawaqib al-Huda, 1360 Sy, hlm. 247.
  11. Majlisi, Raudhat al-Muttaqin, 1406 H, Jilid 13, hlm. 108.
  12. Ibn Fahd al-Hilli, Idda al-Da’i, 1407 H, hlm. 77.
  13. Fayyadh Kasyani, Al-Wafi, 1406 H, Jilid 1, hlm. 145.
  14. Kulaini, Al-Kafi, 1363 Sy, Jilid 2, hlm. 349.
  15. «Jawaban atas Pertanyaan», Majalah Pasdare Islam, 1 Dey 1364 Sy, hlm. 62.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Fahd al-Hilli, Ahmad bin Muhammad, Idda al-Da’i wa Najah al-Sa’i, tanpa tempat, Dar al-Kutub al-Islami, 1407 H.
  • «Jawaban atas Pertanyaan», Majalah Pasdare Islam, Edisi 49, 1 Dey 1364 Sy.
  • Jaddi, Husain dan lainnya, «Validasi Sanad dan Makna Hadis: (Yarjuh Midad al-Ulama ‘ala Dimaa’ al-Shuhada) dari Sumber Sunni dan Syiah», Majalah Hadis dan Pemikiran, Edisi 29, 1399 Sy.
  • Syeikh Shaduq, Muhammad bin Ali, Al-Amali, Tehran, Kitabchi, Cetakan Ke-6, 1376 Sy.
  • Syeikh Shaduq, Muhammad bin Ali, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari, Qom, Dar al-Fikr, Cetakan Kedua, 1413 H.
  • Thabathaba'i, Sayid Abdul Husain, Athayyib al-Bayan fi Tafsir al-Quran, Tehran, Nashr al-Islam, 1378 Sy.
  • Ghaffari, Ali Akbar, Talhis Mawaqib al-Huda, Nashr Shaduq, 1360 Sy.
  • Fayyadh Kasyani, Muhammad Muhsin bin Shah Murtadha, Al-Wafi, Isfahan, Perpustakaan Imam Amir al-Mu’minin as, 1406 H.
  • Kasyani, Fathullah, Manhaj al-Shadiqin fi al-Izham al-Mukhalifin, Tehran, Muhammad Hasan Ilmi, 1336 Sy.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kafi, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1363 Sy.
  • Majlisi, Muhammad Taqi, Raudhat al-Muttaqin fi Syarh Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Qom, Muassasah Farhangi Islami Kushanpur, 1406 H.
  • Muthahhari, Murtadha, Hamaseh Husaini, Tehran, Nashr Sadra, 1390 Sy.