La Hukma Illa Lillah

Dari wikishia

La hukma illa lillah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah) (bahasa Arab: لا حُكْمَ إِلّا لِلّه) adalah slogan kelompok Khawarij sebagai protes terhadap keputusan Hakamiyah dalam perang Shiffin. Dengan slogan ini, pada tahap pertama kelompok Khawarij menyatakan penentangannya terhadap penilaian manusia dan tidak menerima keputusan Abu Musa Asy'ari dan Amru bin Ash, yang dipilih sebagai hakim oleh Imam Ali as dan Muawiyah. Khawarij mengatakan bahwa kekuasaan dan keputusan hanyalah milik Allah swt dan tidak ada seorang pun selain-Nya yang berhak memerintah.

Imam Ali as menganggap slogan ini sebagai pernyataan yang benar, tetapi salah ditafsirkan. Dia menganggap keberadaan penguasa baik atau buruk, diperlukan untuk mengatur masyarakat.

Slogan ini bagi Khawarij tetap berlanjut setelah perang Nahrawan dan diakui sebagai salah satu prinsip keyakinan agama bagi mereka dan digunakan dalam pemberontakan berikutnya.

Sebagian peneliti menganggap persepsi yang salah, serta kebaduian Khawarij dan kurangnya pemahaman yang benar tentang Imamah dan politik, berpengaruh dalam terbentuknya persepsi menyimpang dari slogan "La hukma illa lillah".

Pengertian dan Makna

"La hukma illa lillah" adalah slogan kelompok Khawarij dalam menentang dan berkonfrontasi dengan Imam Ali as[1] yang kemudian dikenal sebagai Muhakamah lantaran penggunaan selogan ini.[2] Makna Hukum dalam selogan ini adalah "tahkim"; Artinya tidak ada yang boleh menjadi hakim selain Allah.[3] Slogan ini diambil dari kalimat Alquran "Inna al-Hukma illa lillah" yang diulang dalam beberapa ayat Alquran.[4] Kemudian, selanjutnya yang dimaksudkan dalam pernyataan kelompok Khawarij dari kata-kata tersebut adalah penafian segala bentuk pemerintahan selain pemerintahan Allah.[5]

Penerapan Pertama kali

Penggunaan pertama dari slogan "La hukma illa lillah" dilakukan oleh mereka yang memprotes penerimaan awal arbitrase dalam pertempuran Shiffin; Ketika tentara Syam (Suriah) di ambang kekalahan dalam perang, dengan tipu muslihat Amru Ash, mereka menancapkan Alquran di ujung tombak lalu menuntut hakamiyah Alquran.[6] Imam Ali as menerima hakamiyah tersebut atas desakan orang-orang di sekitarnya, sembagi mengumumkan masalah ini dalam sebuah surat kepada Muawiyah.[7] Akhirnya, sebuah dekrit ditulis dan syarat serta kedua hakimnya ditentukan.[8]

Ketika Ash'ats bin Qays Kindi membacakan teks perjanjian awal kepada berbagai kabilah, protes dengan poros utama "La hukma illah lillah" terbentuk; sebagaimana ketika dua pemuda dari suku Anzah meneriakkan slogan La hukma illa lillah dan menyerang tentara Muawiyah kemudian terbunuh di dekat tenda Muawiyah.[9] sebagian lagi berpendapat bahwa dua orang ini adalah orang pertama yang meneriakkan slogan ini.[10] Setelah kejadian ini, Asy'ats mendekati suku Murad dan membacakan kesepakatan tersebut kepada mereka juga. Saleh bin Shaqiq, salah seorang sesepuh suku, menggunakan slogan "La hukma illa lillah" dalam merespon perjanjian ini.[11] Kejadian serupa terjadi di suku Bani Rasab.[12]

Penentangan terhadap hakamiyah dengan kata kunci "La hukma illah lillah" tidak sebatas protes bahasa semata, sehingga ketika Asy'ats sampai ke suku Bani Tamim, orang-orang dari suku ini menyerangnya dengan selogan "La hukma illa lillah" dan memukul kepala kuda Asy'ats.[13] Baladzuri, penulis Ansab al-Asyraf, percaya bahwa slogan tersebut pertama kali terdengar dari suku ini;[14] tetapi Yaqubi, seorang sejarawan abad ke-3 Hijriah, percaya bahwa pertama kali ini slogan didengunkan sebelum pertemuan hakamain oleh seseorang bernama Urwa bin Adiya Tamimi.[15]

Berubah Menjadi Slogan Kelompok Khawarij

Setelah menetapkan dekrit "Tahkim" dalam perang Shiffin pada tanggal 17 Safar 37 H,[16] pasukan Imam kembali ke Kufah; Tetapi beberapa orang yang kemudian dikenal sebagai Khawarij memisahkan diri dari pasukan Imam Ali dengan slogan "La hukma illa lillah" dan tinggal di Harura dekat Kufah dan mereka menolak untuk kembali ke Kufah[17] dan bahkan mengancam jika Imam tidak tidak mengubah sikap dalam penerimaan hakimiyah atau arbitrase, maka mereka akan berlepas diri dan berperang dengannya.[18]

Dengan bersandar pada slogan "La hukma illa lillah" mereka menuntut untuk meninggalkan hakamiyah manusia dalam urusan agama,[19] membatalkan perjanjian dengan Muawiyah dan melanjutkan perang dengan dia.[20] Mereka mengklaim bahwa mereka bertobat dari dosa akibat menerima arbitrase dan menganggap Imam Ali as dan kelompok Muslim lainnya sebagai orang-orang yang berdosa dan kafir dan meminta mereka untuk bertobat, jika tidak mereka akan berperang dengan mereka.[21]

Hal ini terjadi ketika Imam Ali as sejak awal menentang penerimaan Arbitrase dan menerimanya akibat desakan dan ancaman dari para pendukungnya, termasuk mereka yang kemudian bergabung dengan Khawarij, dan setelah menerima perjanjian, dia tidak bersedia melanggar perjanjian tersebut.[22] Ibnu Kuwa, salah seorang pemimpin Khawarij, awalnya mendukung arbitrase dan merupakan salah seorang yang menolak perwakilan Abdullah bin Abbas sebagai hakim pasukan Kufah dan mendesakkan Abu Musa Asy'ari kepada Imam Ali as;[23] tetapi kemudian, bersama dengan Shabats bin Rabii Tamimi, dia adalah salah seorang yang pertama kali menyatakan kedaulatan Allah degan slogan “La hukma illa lillah”.[24]

Bedebat dengan Imam Ali as

Khawarij dalam berbagai kesempatan sering berdebat dengan Imam Ali dengan bertumpu pada slogan ini. Misalnya, ketika Abu Musa al-Asy'ari terpilih sebagai hakim, dua orang Khawarij bernama Zareh bin Al-Barj Ta'i dan Hurqush bin Zuhair Sa’di mendatangi Imam Ali as dan meneriakkan slogan "La hukma illah lillah" dan meminta Imam untuk bertobat dari tindakannya dan bergegas untuk melawan Muawiyah. Imam lantas mengingatkan pula mereka untuk memenuhi janji dan tidak menerima permintaan mereka.[25]

Dalam beberapa kasus lainnya, Khawarij melecehkan Imam Ali as dengan selogan ini; Seperti ketika Imam sedang dalam perjalanan ke masjid Kufah untuk berkhotbah, seseorang di sebelah masjid mengucapkan slogan "La hukma illa lillah" dan beberapa orang lainnya mengulangi kalimat yang sama.[26] Khawarij beberapa kali menyela pidato Imam dengan slogan ini.[27] Dan masalah ini kemudian terulang pada beberapa kesempatan.[28]

Perubahan Persepsi Terhadap Slogan

Kaum Khawarij yang pada awalnya dengan selogan "La hukma illa lillah" menganggap penghakiman dan penilaian itu eksklusif milik Tuhan, lama kelamaan menginginkan makna lain darinya dan meyakini bahwa kekuasaan dan pemerintahan hanya milik Tuhan semata dan tidak seorang pun, baik Ali as maupun Muawiyah tidak berhak memerintah. Dengan ini, mereka menuntut masyarakat tanpa pemerintah.[29]

Ayatullah Subhani, dalam bukunya al-Insaf fi Masail Dam fiha al-Hilaf, berpendapat bahwa kemestian dan perlunya pemerintahan tidak membutuhkan dalil dan burhan; sebagaimana urgensinya telah disebutkan dalam riwayat Nabi saw dan para Imam Maksum.[30] Untuk menjaga monoteisme dan kedaulatan Tuhan, mereka menganggap setiap pemerintahan manusia yang dimengeti secara keliru adalah tidak sah dan menyatakan bahwa pemerintahan hanya milik Tuhan.[31] Beberapa peneliti lainnya percaya bahwa sebagian besar Khawarij adalah dari Badui yang tidak memiliki pemahaman dasar dan benar tentang Imamah dan politik sebagai masalah yang lebih dari sekedar urusan Kabilah, dan karena itu mereka menunjukkan kecenderungan mereka dalam bentuk interpretasi keliru dari slogan "La hukma illa lillah".[32]

Reaksi Imam Ali

Menanggapi klaim bahwa dia telah menetapkan orang sebagai hakim dalam agama Tuhan, Imam Ali as mengatakan bahwa menunjuk orang untuk menghakimi berdasarkan Alquran tidak berarti menentukan orang menjadi hakim dalam agama Tuhan.[33] Ia juga mengatakan bahwa Tindakan ini tidak bisa dihindari; Karena Alquran sendiri tidak bisa berbicara. Suatu kali dalam sebuah diskusi dengan Khawarij, dia membawa Alquran bersamanya dan berkata kepadanya: "Wahai Alquran, jadilah hakim", Khawarij mengatakan bahwa Alquran tidak berbicara. Imam menjawab, bagaimana Anda mengharapkan Alquran memutuskan hukum ditengah-tengah manusia tanpa campur tangan manusia?[34]

Imam Ali as menganggap “La hukma illa lillah” sebagai perkataan yang benar, yang kemudian dimaknai keliru. Ia menantang pendapat kelompok Khawarij yang mengatakan bahwa kekuasaan itu diperuntukkan bagi Tuhan dengan permasalahan ini bahwa masyarakat terpaksa harus mempunyai pemimpin, apakah dia orang baik atau penjahat. Ia menilai keberadaan pemerintahan diperlukan untuk menciptakan ketertiban dan kemaslahatan orang-orang mukmin bahkan kafir, serta untuk mengatur urusan dan keamanan jalan-jalan.[35] Reaksi Imam terhadap selogan “La hukma illa lillah” disebutkan dalam khutbah ke-40 Nahj al-Balaghah.[36]

Meskipun diskusi Imam Ali as dengan Khawarij[37] menyebabkan kembalinya empat ribu orang[38] atau seluruh Khawarij,[39] namun setelah persoalan hakimiyah tidak membuahkan hasil, tetap saja mereka bersikeras agar Imam Ali as dianggap berdosa dan kafir, dan karena alasan ini, mereka menolak untuk bergabung dengan Imam Ali as dan tentara Kufah untuk melanjutkan perang dengan Muawiyah,[40] yang akhirnya menyebabkan perang Nahrawan dan kekalahan mereka.[41]

Penerapan Slogan tersebut Setelah Perang Nahrawan

Selogan "La hukma illa lillah" tetap menjadi salah satu simbol Khawarij yang paling penting, dan beberapa lama kemudian, Ibnu Muljam al-Muradi mengutip ungkapan yang sama ketika membunuh Imam Ali as.[42] Bertahun-tahun kemudian, slogan seperti itu juga dikenal sebagai salah satu prinsip akidah mereka.[43] Dan itu digunakan dalam pemberontakan-pemberontakan mereka.[44]

Catatan Kaki

  1. Noubakhti, Firq al-Syiah, hlm. 6; Asy'ari Qumi, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 5
  2. Syustari, Ihqaq al-Haq, jld. 32, hlm. 523
  3. Farahidi, Kitab al-Ain, jld. 3, hlm. 67; Azhari, Tahdzib al-Lughah, jld. 4, hlm. 70-71
  4. QS. al-An'am [6]: 57; QS. Yusuf [12]: 40, 67
  5. Makarim Syirazi, Payam-e Emam Amir al-Mukminin, jld. 5, hlm. 432
  6. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 48
  7. Minqari, Waq'ah al-Shiffin, hlm. 493-490
  8. Silakan lihat ke: Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 53-54
  9. Dinawari, Akhbar al-Thiwal, hlm. 196; Minqari, Waqiah al-Shiffin, hlm. 512
  10. Dinawari, Akhbar al-Thiwal, hlm. 196; Minqari, Waqiah al-Shiffin, hlm. 512
  11. Dinawari, Akhbar al-Thiwal, hlm. 196; Minqari, Waqiah al-Shiffin, hlm. 197
  12. Minqari, waq'ah al-Shiffin, hlm. 513
  13. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 49; Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 336; Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 393
  14. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 336
  15. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 190
  16. Minqari, Waqiah al-Shiffin, hlm. 508
  17. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 191
  18. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 72; Ibnu Maskawaih, Tajarib al-Umam, jld. 1, hlm. 555-556
  19. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 360
  20. Ja'fariyan, Hayat-e Fikri-e Siyasi-e Emaman-e Syieh, hlm. 100-101
  21. Ibnu al-Thiqthaqha, al-Fakhri, hlm. 99
  22. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 49
  23. Minqari, Waq'ah al-Shiffin, hlm. 504
  24. Dzahabi, Tarikh al-Islam, jld. 3, hlm. 554
  25. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 5, hlm. 72; Ibnu Maskawaih, Tajarib al-Umam, jld. 1, hlm. 555-556; Syustari, Ihqaq al-Haq, jld. 32, hlm. 529
  26. Thabari, al-Imam wa al-muluk, jld. 5, hlm. 73
  27. Thabari, al-Imam wa al-muluk, jld. 5, hlm. 74
  28. Ibnu Syadzan, al-Idhah, hlm. 474
  29. Makarim Syirazi, Payam-e Emam Amir al-Mukminin, jld. 2, hlm. 432
  30. Subhani, al-Inshaf, jld. 3, hlm. 433
  31. Makarim Syirazi, Payam-e Emam Amir al-Mukminin, jld. 2, hlm. 432
  32. Ja'fariyan, Hayat-e Fikri-e Siyasi-e Emaman-e Syieh, hlm. 100-102
  33. Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld. 2, hlm. 192
  34. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 7, hlm. 279
  35. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 33, hlm. 358
  36. Nahj al-Balaghah, hlm. 82
  37. Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld. 2, hlm. 191; Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 2, hlm. 353; Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 7, hlm. 280
  38. Dzahabi, Tarikh al-Umam wa al-Islam, jld. 3, hlm. 591
  39. Ibnu Khaldun, Tarikh Ibnu Khladun, jld. 2, hlm. 635
  40. Dinawari, al-Akhbar al-Thiwal, hlm. 206
  41. Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, hlm. 192-193
  42. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 7, hlm. 326
  43. Ibnu A'tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 7, hlm. 63
  44. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 6, hlm. 276; Ibnu A'tsam al-Kufi, al-Futuh, jld. 7, hlm. 61

Daftar Pustaka

  • Asy'ari Qumi, Sa'ad bin Abdullah. al-Maqalat wa al-Firaq. Teheran: Markaz-e Intisyarat-e llmi va Farhanggi, 1360 S
  • Azhari, Muhammad bin Ahmad. Tahdzib al-Lughah. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir. Ansab al-Asyraf. Riset: Suhail Zakar dan Riyadh Zirkili. Beirut: Dar al-Fikr, 1417 HS
  • Dinawari, Ahmad bin Dawud. al-Akhbar al-Thiwal. Riset: Abdul Mun'im Amir. Qom: Penerbit al-Ridha, 1368 S
  • Dzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad. Tarikh al-Islam wa al-Wafayat al-Masyahir wa al-A'lam. Riset: Umar Abdu al-Salam Tadmuri. Beirut: Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, cet. 2, 1413 HS
  • Farahidi, Khalil bin Ahmad. Kitab al-Ain. Qom: Penerbit Hijrat, cet. 2, tanpa tahun
  • Ibnu A'tsam al-Kufi. Abu Muhammad Ahmad. al-Futuh. Riset: Ali Shiri. Beirut: Dar al-Adhwa, cet. 1, 1411 HS
  • Ibnu Hayun, Nu'man bin Muhammad Maghribi. Da'aim al-Islam wa Dzikr al-Halal wa al-Haram wa al-Qadhaya wa al-Ahkam. qom: Yayasan Alelbait, cet. 2, 1385 HS
  • Ibnu katsir, Ismail bin Umar. al-Bidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 HS
  • Ibnu Khaldun, Abdul Rahman bin Muhammad. Diwan a-Mubtada wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar. Riset: Khalil Syahadah. Beirut: dar al-Fikr, cet. 2, 1408 HS
  • Ibnu Maskawaih, Abu Ali Maskawaih al-Razi.. tajarib al-Umam. Riset: Abu al-Qasim Imami. Teheran: Surush, 1379 S
  • Ibnu Syadzan, Fadhl bin Hasan Neysyaburi. al-Idhah. Teheran: Penerbit Universitas Teheran, 1363 HS
  • Ibnu Thiqthaqa, Muhammad bin Ali. al-Fakhri. Riset: Abdul Qadir Muhammad Mayu. Beirut: Dar al-Qalam al-Arabi, 1418 HS
  • Ja'fariyan, Rasul. Hayat-e Fikri-e Siyasi-e Emaman-e Syieh. Teheran: Penerbit Ilm, 1390 S
  • Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi. Bihar al-Anwar al-Jamiah li Durar Akhbar al-Aimmah al-Athar. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 2, 1403 HS
  • Makarim Syirazi, Nashir. Payam-e Emam Amir al-Mukminin. Teheran: dar al-Kutub al-Islamiah, 1385 S
  • Mas'udi, Ali bin Husain. Muruj al-Dzahab wa Ma'adin al-Jauhar. Riset: As'ad Daghir. Qom: Dar al-Hijrah, 1409 HS
  • Minqari, Nahsr bin Muzahim. Waq'ah al-Shiffin. Riset: Abdul Salam Muhammad Harun. Kairo: Yayasan al-Arabiah al-Haditsah, cet. 2, 1382 HS
  • Noubakhti, Hasan bin Musa.Firq al-Syiah. beirut: Dar al-Adhwa, 1404 HS
  • Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad. Mufradat al-Fadz al-Quran. Riset: Dar al-Qalam, 1412 HS
  • Subhani, Ja'far. al-Inshaf fi Masail Dam fiha al-Khilaf. Qom: Yayasan Imam Shadiq, 1381 S
  • Syarif Radhi, Muhammad bin Husain. Nahj al-Balaghah. Riset: Subhi Shalih. Qom: Penerbit Hijrat, 1414 HS
  • Syustari, Qadhi Nurullah. Ihqaq al-Haq wa Izhaq al-Bathil. Qom: Perpustakaan Ayatullah Marasyi Najafi, 1409 HS
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. tarikh al-Umam wa al-Muluk. Riset: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Beirut: Dar al-Turats, 1387 HS
  • Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub. Tarikh al-Ya'qubi. Beirut: Dar Shadir, tanpa tahun