Lompat ke isi

Kolonialisme

Dari wikishia

Kolonialisme (bahasa Arab:استعمار) adalah dominasi paksa suatu negara atau bangsa atas negara atau bangsa lain, yang mempertahankan kondisi ketergantungan, keterbelakangan, dan posisi lebih rendah. Kolonialisme Eropa dimulai dengan pendudukan wilayah-wilayah Muslim di Afrika Utara dan kemudian meluas ke komunitas lain, termasuk kaum Syiah di Iran, Irak, dan India.

Para peneliti mencatat bahwa Iran tidak pernah secara resmi menjadi koloni, tetapi melalui perjanjian dagang yang tidak adil, negara ini berada di bawah pengaruh kekuatan kolonial. Selama Perang Dunia I, Inggris menduduki Irak dan mendirikan pemerintahan boneka di sana. Di India, pemerintahan Syiah Awadh dihancurkan oleh Perusahaan Hindia Timur Inggris. Pendudukan Palestina dan pembentukan Israel juga dianggap sebagai salah satu dampak kolonialisme.

Pembagian wilayah negara jajahan dan penguasaan sumber daya ekonominya disebut sebagai salah satu strategi utama para penjajah. Setelah Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman dipecah oleh kekuatan kolonial, yang kemudian membentuk negara-negara baru seperti Irak, Suriah, dan Lebanon. Taktik kolonial juga mencakup eksploitasi sumber daya alam, pengikatan melalui perjanjian tidak adil, perubahan budaya dan bahasa, serta pelemahan identitas lokal.

Umat Muslim menunjukkan berbagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Perlawanan ini meliputi fatwa ulama Syiah di Irak dan Iran, pembentukan organisasi anti-kolonial, pemberontakan bersenjata, revolusi, serta perjuangan kemerdekaan secara damai tanpa kekerasan.

Konsep dan Posisi Kolonialisme

Dalam istilah politik, kolonialisme berarti dominasi budaya, politik, dan ekonomi oleh bangsa yang kuat atas bangsa yang lemah, dengan mempertahankan mereka dalam kondisi ketergantungan, inferioritas, dan keterbelakangan. [1] Kolonialisme memiliki hubungan erat dengan konsep eksploitasi (pemanfaatan sepihak). [2] Bangkitnya Kekaisaran Ottoman yang memutus jalur darat antara Eropa dan Asia, [3] akumulasi modal di lembaga-lembaga gereja di Eropa, serta keinginan untuk menguasai kekayaan legendaris dari dunia timur, disebut sebagai penyebab utama bangsa Eropa mulai melakukan kolonialisme. [4]

Dikatakan bahwa bangsa Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 M tidak hanya bermotif ekonomi, tetapi juga memiliki tujuan untuk melawan perkembangan Islam saat menjajah wilayah-wilayah Muslim di Afrika Utara. [5] Berdasarkan dokumen sejarah, banyak negara Muslim dan komunitas Syiah yang berada di bawah pengaruh kolonialisme bangsa Eropa. [6] Menurut para peneliti sejarah, akibat aktivitas politik, sosial, dan budaya kekuatan kolonial di negara-negara jajahan, terjadi banyak perubahan besar di berbagai bidang. Perubahan tersebut mencakup:

  1. Geografis: penguasaan dan pemecahan wilayah negara. [7]
  2. Sosial-budaya: pelemahan nilai-nilai nasional-religius dan perubahan gaya hidup. [8]
  3. Ekonomi: penjarahan sumber daya alam dan penerapan sistem ekonomi berbasis komoditas tunggal. [9]

Cakupan Kolonialisme di Komunitas Muslim

Peneliti sejarah mengidentifikasi Sebta (sebuah kota di utara Maroko modern) sebagai wilayah Muslim pertama yang dijajah oleh bangsa Eropa. [10] Sebta, yang terletak di utara Maroko dan selatan Selat Gibraltar, kini menjadi bagian dari wilayah Spanyol.

Negara-negara Muslim seperti Aljazair, Libya, Mesir, dan Tunisia termasuk di antara wilayah-wilayah yang menjadi koloni bangsa Eropa. [11] Di antara komunitas Syiah, Iran, Irak, dan Awadh (di India) disebut sebagai masyarakat yang juga terkena dampak kolonialisme. [12]

Iran dan Perjanjian Kolonial

Iran tidak pernah secara resmi dan penuh menjadi koloni negara-negara Eropa; [butuh sumber] namun, penelitian menunjukkan bahwa sejak kedatangan kelompok pertama penjajah pada abad ke-16 M [13] hingga menjelang Revolusi Islam, [14] negara ini selalu berada di bawah pengaruh kekuatan kolonial. Berdasarkan berbagai dokumen dan korespondensi sejarah, beberapa perjanjian dagang yang ditandatangani Iran dengan perwakilan negara asing dianggap sebagai bentuk dominasi kekuatan kolonial atas negara tersebut. [15] Pada abad ke-20, dengan dukungan rakyat, Muhammad Mussadegh dan Abul Qasim Kasyani berhasil mengalihkan penguasaan minyak Iran dari kontrol Inggris dan menjadikannya milik negara. [16]

Namun, tekanan dan upaya sabotase dari Inggris dan Amerika Serikat tetap berlanjut. Pada tanggal 19 Agustus 1953 (28 Mordad 1332 Hs), pemerintahan Mussadegh digulingkan melalui kudeta yang didalangi oleh kedua negara tersebut. [17]

Pendudukan Irak oleh Pasukan Inggris

Inggris mengumumkan perang terhadap Kekaisaran Ottoman pada Perang Dunia I (1332 H/1914 M). [18] Menurut laporan, Inggris beranggapan bahwa umat Syiah akan berpihak pada mereka dan mengusir penguasa Ottoman dari Irak. [19] Namun, meskipun para ulama Syiah di Irak tidak puas dengan pemerintahan Ottoman, mereka mengeluarkan fatwa jihad melawan Inggris, karena pendudukan tanah Islam oleh kaum Kristen dianggap haram secara syar’i. [20]

Meski demikian, pasukan Inggris berhasil menguasai Irak dengan mengandalkan senjata berat, kekuatan udara [21], dan pasukan yang dikirim dari India. [22]

Runtuhnya Pemerintahan Syiah Awadh di India

Pada pertengahan abad ke-18 (1757 M hingga 1764 M), Perusahaan Hindia Timur Inggris terlibat dalam konflik dengan kerajaan-kerajaan lokal di India, termasuk kerajaan Syiah Awadh. Setelah berhasil mengalahkan mereka, perusahaan Inggris mulai memperluas pengaruhnya. Dengan memanfaatkan manipulasi politik dan pemungutan pajak yang memberatkan tuan tanah setempat, Inggris mengganggu keseimbangan hubungan antara penguasa Awadh dan para pemilik tanah, yang akhirnya memicu berbagai pemberontakan. [23][24] Selanjutnya, Inggris memberikan pinjaman besar kepada pemerintah Awadh. Sebagai imbalannya, mereka mengambil alih sebagian wilayah kerajaan dan kontrol atas hubungan luar negeri Awadh, menjadikan kerajaan ini sebagai pemerintahan yang sepenuhnya bergantung pada kekuasaan Inggris. [25] Pada tahun 1858 M, dengan alasan mengakhiri pemberontakan di wilayah tersebut, Inggris akhirnya mengakhiri pemerintahan Syiah Awadh dan menambahkan wilayah tersebut ke dalam kolonial mereka. [26]

Penguasaan Palestina

Banyak pemikir menganggap masalah penguasaan Palestina sebagai salah satu konsekuensi dari kolonialisme. [27] Mereka berpendapat bahwa kejatuhan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I dan penerapan mandat Inggris atas Palestina membuka jalan bagi pembentukan Israel. [28] Selain itu, beberapa analis juga melihat proses pembangunan pemukiman oleh rezim Zionis di wilayah Palestina sebagai contoh nyata dari penjajahan kolonial. [29] Upaya rezim ini untuk menguasai Jalur Gaza dan membangun permukiman Yahudi di wilayah tersebut juga dianggap sebagai bentuk dari penjajahan modern. [30]

Metode Perlawanan terhadap Kolonialisme

Fatwa Ulama Melawan Penjajah

"Menuntut hak-hak rakyat Irak adalah kewajiban. Mereka harus menjaga ketenangan dan keamanan saat memperjuangkan tuntutan tersebut. Namun, jika Inggris menolak memenuhi tuntutan rakyat, mereka berhak menggunakan kekuatan untuk membela diri." [31]

Sejarah mencatat banyak contoh nyata perlawanan ulama Irak terhadap kolonialisme Inggris. Misalnya, pada era Dinasti Qajar, Sayid Muhammad Kazim Yazdi menyerukan kewajiban melawan Inggris, [32] sementara Muhammad Taqi Syirazi mengeluarkan fatwa jihad [33] dan mengharamkan umat Islam bekerja di lembaga-lembaga Inggris. [34] Menurut sejarawan, ulama seperti Akhund Khorasani [35] dan Syekh al-Syari'ah Isfahani secara langsung memimpin pemberontakan anti-Inggris. [36] Di luar Irak, ulama Iran juga bereaksi keras terhadap kehadiran pasukan asing. Misalnya, pada tahun 1329 H, Muhammad Taqi Syirazi mengeluarkan fatwa untuk melawan invasi Rusia di wilayah utara Iran. [37]

Fatwa-fatwa ini juga melampaui wilayah Syiah. Sebagai contoh, saat Italia menginvasi Libya dan pasukan Rusia serta Inggris menyerbu Iran, Sayid Muhammad Kadzim Yazdi menyatakan bahwa melawan penjajah adalah kewajiban seluruh umat Islam. [38] Menurut para sejarawan, sejumlah ulama di Iran dan Irak mendirikan organisasi anti-kolonial untuk melawan penjajahan asing. Beberapa di antaranya adalah Jami’ah Nahdhah Islamiyah, Hizb Siri Najaf, dan Hizb Siri Kadzimiyah. [39] Organisasi-organisasi ini berperan penting dalam menggalang kekuatan rakyat untuk melawan kolonialisme melalui pendekatan terorganisir, baik secara politik maupun sosial.

Penolakan terhadap Perjanjian Kolonial

Berdasarkan catatan sejarah era Qajar, sejumlah pemikir masa itu telah menyadari dampak kolonialisme, terutama yang terlihat di India. [40] Kesadaran ini mendorong ulama Syiah untuk menentang berbagai perjanjian kolonial, seperti Kontrak Reuter, yang memberikan hak istimewa kepada pihak asing dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan raya, kereta api, bendungan, serta eksploitasi sumber daya alam termasuk tambang, hutan, dan bea cukai Iran. Perjanjian lain yang ditentang keras adalah Kontrak Regie, yang memberi monopoli penuh atas perdagangan tembakau di Iran kepada perusahaan asing. [41]

Penolakan terhadap perjanjian kolonial ini mencapai puncaknya dalam Gerakan Tembakau, di mana perlawanan rakyat dipimpin oleh tokoh seperti Sayid Jamaluddin Asadabadi dan didukung oleh fatwa tegas Mirza Syirazi yang melarang penggunaan tembakau. [42]

Upaya Menumbangkan Pemerintahan Boneka

Pada tahun 1932 M/1340 H, sejumlah ulama terkemuka seperti Muhammad Husain Na'ini, Sayid Abul Hasan Isfahani, Mahdi Khalisi, dan Sayid Hasan Shadr menentang kekuasaan Raja Faisal, yang dianggap sebagai boneka Inggris. [43] Kemudian, pada tahun 1941 M, setelah Faisal berkuasa, muncul pemberontakan melawan pemerintahannya. Beberapa ulama Syiah, termasuk Sayid Abul Hasan Isfahani, Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha, dan Abdul Karim Jazairi, mengeluarkan fatwa jihad untuk mendukung pemberontakan tersebut. [44]

Revolusi dan Perjuangan Kemerdekaan Tanpa Kekerasan

Menurut para sejarawan, pada abad ke-19 Masehi, bangsa India berusaha melawan kolonialisme Inggris melalui perjuangan bersenjata; tetapi Inggris berhasil menumpas pemberontakan tersebut.[45] Setelah kegagalan perjuangan bersenjata tersebut, gerakan kemerdekaan India pada abad ke-20 Masehi, di bawah kepemimpinan Mahatma Gandhi yang mengusung prinsip tanpa kekerasan (Satyagraha), mencapai keberhasilan.[46] Di tengah perjuangan tersebut, umat Muslim di India juga menginginkan kemerdekaan dan melalui aktivitas politik dan organisasi mereka, berhasil mendirikan negara Pakistan.[47]

Beberapa peneliti telah membandingkan pendekatan tanpa kekerasan Gandhi dengan metode Imam Khomeini dalam Revolusi Islam Iran. [48] Imam Khomeini, dalam banyak pidato dan tulisan-tulisannya, menganggap kolonialisme sebagai penyebab perampokan kekayaan nasional, ketergantungan ekonomi, kehancuran budaya dan nilai-nilai lokal, penentangan terhadap agama, serta penyebaran perpecahan sektarian. [49] Ia juga menganggap Dinasti Pahlevi sebagai boneka kolonial. [50] Namun, menurut para peneliti, Imam Khomeini dalam metode perjuangannya tidak mempercayai gerakan bersenjata. [51]

Metode Kolonialisme

Penguasaan atau Pemecahan Wilayah

Salah satu metode awal kolonialisme adalah dengan menguasai suatu wilayah. [52] Sebagai contoh, penjajah Portugis pada abad ke-16 M berhasil menguasai pulau-pulau seperti Hormuz dan Bahrain. [53] Selain itu, dilaporkan bahwa pada awal abad ke-20, 90 persen wilayah Afrika berada di bawah penjajahan. [54] Penjajah Eropa juga menduduki dan memecah wilayah Kekaisaran Ottoman, menciptakan negara-negara baru seperti Irak, Suriah, dan Lebanon. [55] Proses ini berlanjut setelah Perang Dunia II dengan berdirinya negara Israel. [56] Di Iran pada masa Dinasti Qajar, Inggris, untuk mempertahankan kekuasaannya atas India dan bersaing dengan Prancis serta Rusia, menyerang pulau-pulau di Teluk Persia. Kemudian Inggris melalui Perjanjian Paris, memisahkan Afghanistan dari Iran. [57]

Perubahan Budaya Lokal

Mengubah budaya lokal di wilayah jajahan dianggap sebagai salah satu metode dominasi kolonial. [58] Selain itu, disebutkan bahwa promosi perilaku amoral, pelemahan nilai-nilai lokal, dan perubahan sistem nilai moral adalah contoh perubahan budaya yang dilakukan oleh penjajah. [59] Sebagai contoh, Inggris di India berupaya memantapkan bahasa Hindi, sementara umat Muslim menginginkan bahasa Urdu dipertahankan. Karena itu, umat Muslim India mendirikan institusi untuk mempromosikan bahasa Urdu. [60] Prancis juga mencoba menyebarluaskan bahasa Prancis di Lebanon dan Suriah serta memperkenalkan gaya hidup Eropa di wilayah tersebut. [61]

Kolonialisme Ekonomi

Metode kolonialisme ekonomi meliputi eksploitasi sumber daya alam dan pemungutan pajak dari para pedagang serta saudagar. [62] Sebagai contoh, tujuan penjajah di pulau-pulau Teluk Persia adalah memungut pajak dari pedagang Teluk Persia, menguasai pelayaran di Samudra Hindia, dan mengontrol pendapatan dari penangkapan mutiara. [63] Selain itu, selama Perang Dunia II, Rusia dan Inggris menduduki wilayah utara dan selatan Iran, menguasai kepentingan ekonomi, perdagangan, dan militer di daerah tersebut. [64]

Beberapa metode kolonialisme tidak langsung meliputi penerapan sistem pertanian yang bergantung pada satu komoditas, menciptakan ketergantungan sistem produksi jajahan pada negara penjajah, serta pemaksaan sistem pembangunan. [65] Sebagai contoh, menurut para peneliti, penyebab mengapa kontrak-kontrak asing pada masa Dinasti Qajar menjadikan Iran berada dalam kondisi yang hampir seperti jajahan adalah karena ekspor bahan mentah mengalami peningkatan pesat, sementara ekspor produk buatan Iran justru menurun. [66] Selain itu, salah satu tindakan pertama yang dilakukan oleh penjajah Inggris di India dan Bangladesh adalah merusak industri dan pertanian lokal, serta memaksa penduduk setempat untuk menjual bahan mentah. [67] Kebijakan ini, dikatakan, mengarah pada kelaparan besar, dan contohnya, antara tahun 1880 M hingga 1920 M, lebih dari seratus juta orang India meninggal akibat kelaparan yang disebabkan oleh kebijakan ini. [68]

Catatan Kaki

Daftar Pustaka