Lompat ke isi

Ulama Pewaris Para Nabi (Hadis): Perbedaan antara revisi

tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 20: Baris 20:


==Kedudukan dan Sanad Hadis==
==Kedudukan dan Sanad Hadis==
Hadis ''al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ'' (Ulama Pewaris Para Nabi), merupakan hadis dari Imam Shadiq as yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw. Di dalamnya Imam as memperkenalkan kepada kita bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi. [1] sebagian dari para fukaha, seperti [[Imam Khomeini]] dan Husein Ali Montazeri, menggunakan hadis ini untuk membuktikan wilayah (otoritas) seorang fakih, [2] begitu juga kepemimpinan masyarakat juga dianggap sebagai salah satu tugas para nabi, yang dilimpahkan dari mereka kepada para ulama.[3]
Hadis ''al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ'' (Ulama Pewaris Para Nabi), merupakan hadis dari Imam Shadiq as yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw. Di dalamnya Imam as memperkenalkan kepada kita bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi.<ref>Muntazeri, ''Majmu'e-e Feqhi-e Hukumat-e Eslami,'' jld. 2, hlm. 257-258.</ref> sebagian dari para fukaha, seperti [[Imam Khomeini]] dan Husein Ali Muntazeri, menggunakan hadis ini untuk membuktikan wilayah (otoritas) seorang fakih,<ref>Khomeini, ''Welayat-e Faqih,'' hlm. 96 dan 98; Muntazeri, ''Nidzhām al-Hukm fī al-Islām,'' hlm. 157; Makarim Shirazi, ''Anwār al-Faqāhah,'' hlm. 466.</ref> begitu juga kepemimpinan masyarakat juga dianggap sebagai salah satu tugas para nabi, yang dilimpahkan dari mereka kepada para ulama.<ref>Khomeini, ''Welayat-e Faqih,'' hlm. 101 dan 102.</ref>


Hadis ini telah diriwayatkan dalam sumber-sumber rujukan terdahulu dari Syiah dan Sunni. [4] Di antara perawi Syiah yang membawakan hadis tersebut di dalam kitab-kitabnya adalah Saffâr Qomi (w. 290 H) dalam ''Basâir al-Darajât'', [5] Al-Kulaini (w. 329 H) dalam ''al-Kafi'' [6] dan [[Syekh Shaduq]] (w. 381 H) ) dalam ''[[Al-Amali Syekh Shaduq (buku)|Âmâli]]'' [7].
Hadis ini telah diriwayatkan dalam sumber-sumber rujukan terdahulu dari Syiah dan Sunni.<ref>Lihat, lihat: Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 32 dan 34; Ibn Mājah, ''Sunan Ibn Mājah,'' Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabīyah, jld. 1, hlm. 81.</ref> Di antara perawi Syiah yang membawakan hadis tersebut di dalam kitab-kitabnya adalah Saffâr Qomi (w. 290 H) dalam ''Basâir al-Darajât'',<ref>Shafar, ''Bashā'ir ad-Darajāt,'' jld. 1, hlm. 10 dan 11.</ref> Al-Kulaini (w. 329 H) dalam ''al-Kafi''<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 32 dan 34.</ref> dan [[Syekh Shaduq]] (w. 381 H) ) dalam ''[[Al-Amali Syekh Shaduq (buku)|Âmâli]].''<ref>Syekh Saduq, ''al-Amālī,'' hlm. 60.</ref>


Di antara perawi Sunni, Ibnu Majah [8] (w. 273 H), Abu Dâwud [9] (w. 275 H), Tirmidzi [10] (w. 279 H) dan Ibnu Hibân [11] (w. 354 H) ) telah memasukkan hadis ini ke dalam kitab-kitab hadis mereka.
Di antara perawi Sunni, Ibnu Majah<ref>Ibn Mājah, ''Sunan Ibn Mājah,'' Dār Iḥyā al-Kutub al-‘Arabīyah, jld. 1, hlm. 81.</ref> (w. 273 H), Abu Dâwud<ref>Abū Dāwūd, ''Sunan Abī Dāwūd,'' al-Maktabah al-Ashriyahīyah, jld. 3, hlm. 317.</ref> (w. 275 H), Tirmidzi<ref>Tirmidzī, ''Sunan Tirmidzī,'' 1998, jld. 4, hlm. 346.</ref> (w. 279 H) dan Ibnu Hibân<ref>Ibn Ḥibbān, ''Ṣaḥīḥ Ibn Ḥibbān,'' jld. 1, hlm. 289.</ref> (w. 354 H) ) telah memasukkan hadis ini ke dalam kitab-kitab hadis mereka.


==Matan Hadis==
==Matan Hadis==
Hadis “Ulama Pewaris Para Nabi”, disebutkan dalam kitab ''al-Kafi'' dengan dua sumber berbeda: yang pertama adalah riwayat Qaddâh [12] yang dianggap ''muwatsaq'', [13] dan yang lainnya adalah riwayat Abul Bakhtari. [14], yang meskipun dinilai ''dhoif'' secara sanad, [15] tetapi sebagian ulama menerimanya karena kesahihan isinya. [16] Matan hadis Qaddâh dari Imam Shadiq as, yang meriwayatkannya dari Nabi saw, adalah sebagai berikut: [17]
Hadis “Ulama Pewaris Para Nabi”, disebutkan dalam kitab ''al-Kafi'' dengan dua sumber berbeda: yang pertama adalah riwayat Qaddâh<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 34.</ref> yang dianggap ''muwatsaq'',<ref>Makarim Shirazi, ''Anwār al-Faqāhah,'' hlm. 466.</ref> dan yang lainnya adalah riwayat Abul Bakhtari,<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 32.</ref> yang meskipun dinilai ''dhoif'' secara sanad,<ref>Majlisi, ''Mir'āh al-‘Uqūl,'' jld. 1, hlm. 103.</ref> tetapi sebagian ulama menerimanya karena kesahihan isinya.<ref>Mazandarānī, ''Syarh al-Kāfī,'' jld. 2, hlm. 29.</ref> Matan hadis Qaddâh dari Imam Shadiq as, yang meriwayatkannya dari Nabi saw, adalah sebagai berikut:<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 34.</ref>
<center>{{Arabic|<big>مَنْ سَلَکَ طَرِیقاً یَطْلُبُ فِیهِ عِلْماً سَلَکَ اللَّهُ بِهِ طَرِیقاً إِلَی الْجَنَّةِ وَ إِنَّ الْمَلَائِکَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِهِ وَ إِنَّهُ یَسْتَغْفِرُ لِطَالِبِ الْعِلْمِ مَنْ فِی السَّمَاءِ وَ مَنْ فِی الْأَرْضِ حَتَّی الْحُوتِ فِی الْبَحْرِ وَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَی الْعَابِدِ کَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَی سَائِرِ النُّجُومِ لَیْلَةَ الْبَدْرِ وَ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِیَاءَِ إِنَّ الْأَنْبِیَاء لَمْ یُوَرِّثُوا دِینَاراً وَ لَا دِرْهَماً وَ لَکِنْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر</big>}}</center>
<center>{{Arabic|<big>مَنْ سَلَکَ طَرِیقاً یَطْلُبُ فِیهِ عِلْماً سَلَکَ اللَّهُ بِهِ طَرِیقاً إِلَی الْجَنَّةِ وَ إِنَّ الْمَلَائِکَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِهِ وَ إِنَّهُ یَسْتَغْفِرُ لِطَالِبِ الْعِلْمِ مَنْ فِی السَّمَاءِ وَ مَنْ فِی الْأَرْضِ حَتَّی الْحُوتِ فِی الْبَحْرِ وَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَی الْعَابِدِ کَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَی سَائِرِ النُّجُومِ لَیْلَةَ الْبَدْرِ وَ إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِیَاءَِ إِنَّ الْأَنْبِیَاء لَمْ یُوَرِّثُوا دِینَاراً وَ لَا دِرْهَماً وَ لَکِنْ وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ مِنْهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِر</big>}}</center>


Baris 33: Baris 33:


==Menelaah Beberapa Ungkapan Hadis==
==Menelaah Beberapa Ungkapan Hadis==
Dalam Hadis ''Al-Ûlamâ’ Waratsatul Anbiyâ’'', diperkenalkan bahwa para ulama sebagai ahli waris para Nabi. [18] Mirza Nâini (w. 1315 H) mengemukakan bahwa istilah ‘''Ulama'' dalam hadis yang dimaksud adalah para imam yang maksum as, [19] Namun, sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa ‘''Ulama'' disini adalah para ilmuwan agama.[20] Sayid Muhammad Shâdiq Rouhani (w. 1401 H.) berdasarkan konteks tema hadis yang sedang berbicara tentang pahala untuk memperoleh ilmu, menganggap bahwa tidak mungkin makna ''ulama'' yang dimaksud hadis adalah khusus untuk para imam maksum as. [21]
Dalam Hadis ''Al-Ûlamâ’ Waratsatul Anbiyâ’'', diperkenalkan bahwa para ulama sebagai ahli waris para Nabi.<ref>Muntazeri, ''Majmu'e-e Feqhi-e Hukumat-e Eslami,'' jld. 2, hlm. 257-258.</ref> Mirza Nâini (w. 1315 H) mengemukakan bahwa istilah ‘''Ulama'' dalam hadis yang dimaksud adalah para imam yang maksum as,<ref>Na'ini, ''Munyah at-Thālib,'' jld. 1, hlm. 326.</ref> Namun, sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa ‘''Ulama'' disini adalah para ilmuwan agama.<ref>Qaqzwini, ''ash-Shāfī,'' jld. 1, hlm. 293; Khomeini, ''Welayat-e Faqih,'' hlm. 98.</ref> Sayid Muhammad Shâdiq Rouhani (w. 1401 H.) berdasarkan konteks tema hadis yang sedang berbicara tentang pahala untuk memperoleh ilmu, menganggap bahwa tidak mungkin makna ''ulama'' yang dimaksud hadis adalah khusus untuk para imam maksum as.<ref>Ruhānī, ''Fiqh ash-Ṣhādiq (as),'' jld. 16, hlm. 176.</ref>


Maksud dari ''anbiyâ'' (para nabi) dalam hadis ini dianggap sebagai nabi-nabi yang memiliki risalah agama dan kitab samawi tersendiri. [22] Mereka itu adalah [[Adam as]], [[Nuh as]], [[Ibrahim as]], [[Musa as]], [[Isa as]] dan [[Muhammad saw]]. [23] Faidh Kâshâni (w. 1091 H), seorang fakih, muhadis dan ahli tafsir Syiah, menganggap bahwa ''‘Ulama'' yang dimaksud hadis adalah putra-putra spiritual para nabi yang mewarisi dari para nabi makanan rohani yaitu ilmu dan pengetahuan.[24]
Maksud dari ''anbiyâ'' (para nabi) dalam hadis ini dianggap sebagai nabi-nabi yang memiliki risalah agama dan kitab samawi tersendiri.<ref>Qaqzwini, ''ash-Shāfī,'' jld. 1, hlm. 293.</ref> Mereka itu adalah [[Adam as]], [[Nuh as]], [[Ibrahim as]], [[Musa as]], [[Isa as]] dan [[Muhammad saw]].<ref>Qaqzwini, ''ash-Shāfī,'' jld. 1, hlm. 293.</ref> Faidh Kâshâni (w. 1091 H), seorang fakih, muhadis dan ahli tafsir Syiah, menganggap bahwa ''‘Ulama'' yang dimaksud hadis adalah putra-putra spiritual para nabi yang mewarisi dari para nabi makanan rohani yaitu ilmu dan pengetahuan.<ref>Faidh Kāshānī, ''al-Wāfī,'' jld. 1, hlm. 142.</ref>


==Apakah Para Nabi Tidak Mewarisi Harta?==
==Apakah Para Nabi Tidak Mewarisi Harta?==
Dalam lanjutan hadis "Ulama Pewaris Para Nabi", disebutkan bahwa [[para nabi]] tidak mewariskan dirham atau dinar; Sebaliknya warisan mereka adalah ilmu dan pengetahuan, dan oleh karena itu ahli waris mereka adalah para ulama. [25] Menurut keyakinan [[Mulla Shadra]] (W. 1050 H), seorang arif dan filosof Syiah, maksud dari "tidak mewarisi dirham dan dinar" adalah para nabi dari sisi kenabian mereka tidak memiliki warisan material, tetapi bukan berarti tidak sama sekali memiliki warisan harta. [26]
Dalam lanjutan hadis ''Ulama Pewaris Para Nabi'', disebutkan bahwa [[para nabi]] tidak mewariskan dirham atau dinar; Sebaliknya warisan mereka adalah ilmu dan pengetahuan, dan oleh karena itu ahli waris mereka adalah para ulama.<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 32 dan 34.</ref> Menurut keyakinan [[Mulla Shadra]] (W. 1050 H), seorang arif dan filosof Syiah, maksud dari ''tidak mewarisi dirham dan dinar'' adalah para nabi dari sisi kenabian mereka tidak memiliki warisan material, tetapi bukan berarti tidak sama sekali memiliki warisan harta.<ref>Mulla Shadra, ''Syarh Ushūl al-Kāfī,'' jld. 2, hlm. 41.</ref>


Muhammad Taqi Majlisi (W. 1071 H), salah satu ahli hadis Syiah, juga meyakini bahwa hal terbesar yang diraih para nabi di dunia ini adalah ilmu dan hikmah. Oleh karena itu, mereka mewarisi ilmu dan hikmah tersebut dan ahli waris mereka adalah para ulama. [27] Menurutnya, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka juga mempunyai warisan berupa fisik. Oleh karena itu, [[Ahlulbait as]] adalah ahli waris Rasulullah saw, baik secara rohani maupun fisik.[28]
Muhammad Taqi Majlisi (W. 1071 H), salah satu ahli hadis Syiah, juga meyakini bahwa hal terbesar yang diraih para nabi di dunia ini adalah ilmu dan hikmah. Oleh karena itu, mereka mewarisi ilmu dan hikmah tersebut dan ahli waris mereka adalah para ulama.<ref>Majlisi, ''Mir'āh al-‘Uqūl,'' jld. 1, hlm. 103.</ref> Menurutnya, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka juga mempunyai warisan berupa fisik. Oleh karena itu, [[Ahlulbait as]] adalah ahli waris Rasulullah saw, baik secara rohani maupun fisik.<ref>Majlisi, ''Mir'āh al-‘Uqūl,'' jld. 1, hlm. 103.</ref>


==Keutamaan Ilmu dan Pengetahuan==
==Keutamaan Ilmu dan Pengetahuan==
Menurut Imam Khomeini, kandungan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi” secara umum adalah tentang keutamaan dan keunggulan ilmu dan ulama.[29] Kulaini Dalam kitabnya ''al-Kafi'' juga menyebutkan hal yang serupa pada bagian kitabnya yang berjudul ''Tsawâb ‘Âlim Wa Muta’allim'' (Pahala Seorang Ulama dan Pencari Ilmu.) [30]
Menurut Imam Khomeini, kandungan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi” secara umum adalah tentang keutamaan dan keunggulan ilmu dan ulama.<ref>Imām Khomeini, ''Syarh Chahar Hadis,'' hlm. 412.</ref> Kulaini Dalam kitabnya ''al-Kafi'' juga menyebutkan hal yang serupa pada bagian kitabnya yang berjudul ''Tsawâb ‘Âlim Wa Muta’allim'' (Pahala Seorang Ulama dan Pencari Ilmu.)<ref>Kulaini, ''al-Kāfī,'' jld. 1, hlm. 34.</ref>


Imam Khomeini, dalam kitab Empat Puluh Hadis, dengan merujuk pada tujuan memperoleh ilmu, membagi ilmu menjadi duniawi dan ukhrawi, serta mengatakan bahwa meskipun setiap ilmu mengarah pada kesempurnaan dan kehormatan, [31] tetapi yang dimaksud dengan ilmu dalam hadis ini adalah ilmu-ilmu ukhrawi.[32] Beliau memperkenalkan pengertian ilmu-ilmu ukhrawi tersebut sebagai ilmu - ilmu tentang Tuhan (akidah), tahdzibunnafs (pembersihan diri dan akhlak), adab dan sunan (ahkam) dan menganggap ilmu-ilmu tersebut sebagai penyebab kebahagiaan di akhirat.[33]
Imam Khomeini, dalam kitab Empat Puluh Hadis, dengan merujuk pada tujuan memperoleh ilmu, membagi ilmu menjadi duniawi dan ukhrawi, serta mengatakan bahwa meskipun setiap ilmu mengarah pada kesempurnaan dan kehormatan,<ref>Mazandarānī, ''Syarh al-Kāfī,'' jld. 2, hlm. 54.</ref> tetapi yang dimaksud dengan ilmu dalam hadis ini adalah ilmu-ilmu ukhrawi.<ref>Imām Khomeini, ''Syarh Chahar Hadis,'' hlm. 412.</ref> Beliau memperkenalkan pengertian ilmu-ilmu ukhrawi tersebut sebagai ilmu - ilmu tentang Tuhan (akidah), tahdzibunnafs (pembersihan diri dan akhlak), adab dan sunan (ahkam) dan menganggap ilmu-ilmu tersebut sebagai penyebab kebahagiaan di akhirat.<ref>Imām Khomeini, ''Syarh Chahar Hadis,'' hlm. 412.</ref>


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
confirmed
286

suntingan