Lompat ke isi

Ulama Pewaris Para Nabi (Hadis): Perbedaan antara revisi

tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
<onlyinclude>{{#ifeq:{{{section|editorial box}}}|editorial box|{{Editorial Box
<onlyinclude>{{#ifeq:{{{section|editorial box}}}|editorial box|{{Editorial Box
  | prioritas =
  | prioritas =b
  | kualitas =
  | kualitas =b
  | link =
  | link =sudah
  | foto =
  | foto =-
  | kategori =
  | kategori =sudah
  | infobox =
  | infobox =-
  | navbox =
  | navbox =-
  | alih=
  | alih=-
  | referensi =
  | referensi =
  | Artikel bagus =
  | Artikel bagus =
Baris 13: Baris 13:
}}}}</onlyinclude>
}}}}</onlyinclude>


'''Hadis al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ''' (Ulama Pewaris Para Nabi) (bahasa Arab:{{Arabic|<big>حديث العلماء ورثة الأنبياء</big>}}), merupakan hadis dari Imam Shadiq as yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw. Hadis ini memperkenalkan ulama sebagai ahli waris para nabi. Isi hadis secara umum adalah tentang keutamaan ilmu dan pengetahuan. Dalam riwayat ini yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu-ilmu ukhrawi (akidah, akhlak dan ahkam) dan yang dimaksud dengan ''ulama'' adalah orang yang berilmu dalam urusan agama.
'''Hadis al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ''' (Ulama Pewaris Para Nabi) (bahasa Arab:{{Arabic|<big>حديث العلماء ورثة الأنبياء</big>}}), merupakan hadis dari [[Imam Shadiq as]] yang meriwayatkan sabda [[Rasulullah saw]]. Hadis ini memperkenalkan ulama sebagai ahli waris para nabi. Isi hadis secara umum adalah tentang keutamaan ilmu dan pengetahuan. Dalam riwayat ini yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu-ilmu ukhrawi (akidah, akhlak dan ahkam) dan yang dimaksud dengan ''ulama'' adalah orang yang berilmu dalam urusan agama.


Dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan ''waratsah'' (warisan) adalah warisan dalam ilmu dan pengetahuan, dan yang dimaksud dengan ''anbiyâ’'' adalah para nabi yang mempunyai risalah agama dan kitab samawi tersendiri. Menurut Muhammad Taqi Majlisi (wafat: 1071 H), para ulama merupakan pewaris ilmu para nabi, ketika ditinjau dari sudut kenabiannya, dan hal ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa para nabi juga meninggalkan warisan material. Beberapa ahli hukum juga menggunakan riwayat ini untuk membuktikan konsep ''wilayah'' (otoritas) bagi sang Faqih.
Dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan ''waratsah'' (warisan) adalah warisan dalam ilmu dan pengetahuan, dan yang dimaksud dengan ''anbiyâ’'' adalah para nabi yang mempunyai risalah agama dan kitab samawi tersendiri. Menurut [[Muhammad Taqi al-Majlisi|Muhammad Taqi Majlisi]] (w. 1071 H), para ulama merupakan pewaris ilmu para nabi, ketika ditinjau dari sudut kenabiannya, dan hal ini tidak bertentangan dengan fakta bahwa para nabi juga meninggalkan warisan material. Beberapa ahli hukum juga menggunakan riwayat ini untuk membuktikan konsep [[Wilayatul Fakih]].


Hadits ini diriwayatkan dalam berbagai sumber-sumber rujukan Syiah dan Sunni seperti ''Basâir al-Darajât'', ''al-Kâfi'', ''Sunan Ibn Mâjah'' dan ''Sunan Abu Dâwud''.
Hadis ini diriwayatkan dalam berbagai sumber-sumber rujukan [[Syiah]] dan [[Sunni]] seperti ''[[Bashair al-Darajat (buku)|Basâir al-Darajât]]'', ''[[Al-Kafi (buku)|al-Kâfi]]'', ''Sunan Ibn Mâjah'' dan ''Sunan Abu Dâwud''.


==Kedudukan dan Sanad Hadis==
==Kedudukan dan Sanad Hadis==
Hadits ''al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ'' (Ulama Pewaris Para Nabi), merupakan hadis dari Imam Shadiq as yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw. Di dalamnya Imam as memperkenalkan kepada kita bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi. [1] sebagian dari para fukaha, seperti Imam Khumeini dan Husein Ali Montazeri, menggunakan hadis ini untuk membuktikan wilayah (otoritas) seorang fakih, [2] begitu juga kepemimpinan masyarakat juga dianggap sebagai salah satu tugas para nabi, yang dilimpahkan dari mereka kepada para ulama.[3]
Hadis ''al-Ulamâu Waratsatul Anbiyâ'' (Ulama Pewaris Para Nabi), merupakan hadis dari Imam Shadiq as yang meriwayatkan sabda Rasulullah saw. Di dalamnya Imam as memperkenalkan kepada kita bahwa para ulama adalah ahli waris para nabi. [1] sebagian dari para fukaha, seperti [[Imam Khomeini]] dan Husein Ali Montazeri, menggunakan hadis ini untuk membuktikan wilayah (otoritas) seorang fakih, [2] begitu juga kepemimpinan masyarakat juga dianggap sebagai salah satu tugas para nabi, yang dilimpahkan dari mereka kepada para ulama.[3]


Hadis ini telah diriwayatkan dalam sumber-sumber rujukan terdahulu dari Syiah dan Sunni. [4] Di antara perawi Syiah yang membawakan hadis tersebut di dalam kitab-kitabnya adalah Saffâr Qomi (meninggal: 290 H) dalam ''Basâir al-Darajât'', [5] Al-Kulaini (meninggal: 329 H) dalam ''al-Kafi'' [6] dan Syeikh Shaduq (meninggal: 381 H) ) dalam Âmâli [7].
Hadis ini telah diriwayatkan dalam sumber-sumber rujukan terdahulu dari Syiah dan Sunni. [4] Di antara perawi Syiah yang membawakan hadis tersebut di dalam kitab-kitabnya adalah Saffâr Qomi (w. 290 H) dalam ''Basâir al-Darajât'', [5] Al-Kulaini (w. 329 H) dalam ''al-Kafi'' [6] dan [[Syekh Shaduq]] (w. 381 H) ) dalam ''[[Al-Amali Syekh Shaduq (buku)|Âmâli]]'' [7].


Di antara perawi Sunni, Ibnu Majah [8] (wafat: 273 H), Abu Dâwud [9] (wafat: 275 H), Tirmidzi [10] (wafat: 279 H) dan Ibnu Hibân [11] (wafat: 354 H) ) telah memasukkan hadis ini ke dalam kitab-kitab hadis mereka.
Di antara perawi Sunni, Ibnu Majah [8] (w. 273 H), Abu Dâwud [9] (w. 275 H), Tirmidzi [10] (w. 279 H) dan Ibnu Hibân [11] (w. 354 H) ) telah memasukkan hadis ini ke dalam kitab-kitab hadis mereka.


==Matan Hadis==
==Matan Hadis==
Baris 33: Baris 33:


==Menelaah Beberapa Ungkapan Hadis==
==Menelaah Beberapa Ungkapan Hadis==
Dalam Hadis ''Al-Ûlamâ’ Waratsatul Anbiyâ’'', diperkenalkan bahwa para ulama sebagai ahli waris para Nabi. [18] Mirza Nâini (wafat: 1315 H) mengemukakan bahwa istilah ‘''Ulama'' dalam hadis yang dimaksud adalah para imam yang maksum as, [19] Namun, sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa ‘''Ulama'' disini adalah para ilmuwan agama.[20] Sayyid Mohammad Shâdiq Rouhani (meninggal: 1401 H.) berdasarkan konteks tema hadis yang sedang berbicara tentang pahala untuk memperoleh ilmu, menganggap bahwa tidak mungkin makna ''ulama'' yang dimaksud hadis adalah khusus untuk para imam maksum as. [21]
Dalam Hadis ''Al-Ûlamâ’ Waratsatul Anbiyâ’'', diperkenalkan bahwa para ulama sebagai ahli waris para Nabi. [18] Mirza Nâini (w. 1315 H) mengemukakan bahwa istilah ‘''Ulama'' dalam hadis yang dimaksud adalah para imam yang maksum as, [19] Namun, sebagian ulama lainnya menyebutkan bahwa ‘''Ulama'' disini adalah para ilmuwan agama.[20] Sayid Muhammad Shâdiq Rouhani (w. 1401 H.) berdasarkan konteks tema hadis yang sedang berbicara tentang pahala untuk memperoleh ilmu, menganggap bahwa tidak mungkin makna ''ulama'' yang dimaksud hadis adalah khusus untuk para imam maksum as. [21]


Maksud dari ''anbiyâ'' (para nabi) dalam hadis ini dianggap sebagai nabi - nabi yang memiliki risalah agama dan kitab samawi tersendiri. [22] Mereka itu adalah Adam as, Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as dan Muhammad saw. [23] Faidh Kâshâni (wafat: 1091 H), seorang fakih, muhadis dan ahli tafsir Syiah, menganggap bahwa ''‘Ulama'' yang dimaksud hadis adalah putra-putra spiritual para nabi yang mewarisi dari para nabi makanan rohani yaitu ilmu dan pengetahuan.[24]
Maksud dari ''anbiyâ'' (para nabi) dalam hadis ini dianggap sebagai nabi-nabi yang memiliki risalah agama dan kitab samawi tersendiri. [22] Mereka itu adalah [[Adam as]], [[Nuh as]], [[Ibrahim as]], [[Musa as]], [[Isa as]] dan [[Muhammad saw]]. [23] Faidh Kâshâni (w. 1091 H), seorang fakih, muhadis dan ahli tafsir Syiah, menganggap bahwa ''‘Ulama'' yang dimaksud hadis adalah putra-putra spiritual para nabi yang mewarisi dari para nabi makanan rohani yaitu ilmu dan pengetahuan.[24]


==Apakah Para Nabi Tidak Mewarisi Harta?==
==Apakah Para Nabi Tidak Mewarisi Harta?==
Dalam lanjutan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi”, disebutkan bahwa para nabi tidak mewariskan dirham atau dinar; Sebaliknya warisan mereka adalah ilmu dan pengetahuan, dan oleh karena itu ahli waris mereka adalah para ulama. [25] Menurut keyakinan Mula Shadra (wafat: 1050 H), seorang arif dan filosof Syiah, maksud dari “tidak mewarisi dirham dan dinar” adalah para nabi dari sisi kenabian mereka tidak memiliki warisan material, tetapi bukan berarti tidak sama sekali memiliki warisan harta. [26]
Dalam lanjutan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi”, disebutkan bahwa [[para nabi]] tidak mewariskan dirham atau dinar; Sebaliknya warisan mereka adalah ilmu dan pengetahuan, dan oleh karena itu ahli waris mereka adalah para ulama. [25] Menurut keyakinan [[Mulla Shadra]] (w. 1050 H), seorang arif dan filosof Syiah, maksud dari “tidak mewarisi dirham dan dinar” adalah para nabi dari sisi kenabian mereka tidak memiliki warisan material, tetapi bukan berarti tidak sama sekali memiliki warisan harta. [26]


Mohammad Taqi Majlisi (wafat: 1071 H), salah satu ahli hadis Syiah, juga meyakini bahwa hal terbesar yang diraih para nabi di dunia ini adalah ilmu dan hikmah. Oleh karena itu, mereka mewarisi ilmu dan hikmah tersebut dan ahli waris mereka adalah para ulama. [27] Menurutnya, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka juga mempunyai warisan berupa fisik. Oleh karena itu, Ahlulbait as adalah ahli waris Rasulullah saw, baik secara rohani maupun fisik.[28]
Muhammad Taqi Majlisi (wafat: 1071 H), salah satu ahli hadis Syiah, juga meyakini bahwa hal terbesar yang diraih para nabi di dunia ini adalah ilmu dan hikmah. Oleh karena itu, mereka mewarisi ilmu dan hikmah tersebut dan ahli waris mereka adalah para ulama. [27] Menurutnya, hal ini tidak bertentangan dengan kenyataan bahwa mereka juga mempunyai warisan berupa fisik. Oleh karena itu, [[Ahlulbait as]] adalah ahli waris Rasulullah saw, baik secara rohani maupun fisik.[28]


==Keutamaan Ilmu dan Pengetahuan==
==Keutamaan Ilmu dan Pengetahuan==
Menurut Imam Khumeini, kandungan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi” secara umum adalah tentang keutamaan dan keunggulan ilmu dan ulama.[29] Kulaini Dalam kitabnya ''al-Kafi'' juga menyebutkan hal yang serupa pada bagian kitabnya yang berjudul ''Tsawâb ‘Âlim Wa Muta’allim'' (Pahala Seorang Ulama dan Pencari Ilmu.) [30]
Menurut Imam Khomeini, kandungan hadis “Ulama Pewaris Para Nabi” secara umum adalah tentang keutamaan dan keunggulan ilmu dan ulama.[29] Kulaini Dalam kitabnya ''al-Kafi'' juga menyebutkan hal yang serupa pada bagian kitabnya yang berjudul ''Tsawâb ‘Âlim Wa Muta’allim'' (Pahala Seorang Ulama dan Pencari Ilmu.) [30]


Imam Khomeini, dalam kitab Empat Puluh Hadits, dengan merujuk pada tujuan memperoleh ilmu, membagi ilmu menjadi duniawi dan ukhrawi, serta mengatakan bahwa meskipun setiap ilmu mengarah pada kesempurnaan dan kehormatan, [31] tetapi yang dimaksud dengan ilmu dalam hadis ini adalah ilmu-ilmu ukhrawi.[32] Beliau memperkenalkan pengertian ilmu-ilmu ukhrawi tersebut sebagai ilmu - ilmu tentang Tuhan (akidah), tahdzibunnafs (pembersihan diri dan akhlak), adab dan sunan (ahkam) dan menganggap ilmu-ilmu tersebut sebagai penyebab kebahagiaan di akhirat.[33]
Imam Khomeini, dalam kitab Empat Puluh Hadis, dengan merujuk pada tujuan memperoleh ilmu, membagi ilmu menjadi duniawi dan ukhrawi, serta mengatakan bahwa meskipun setiap ilmu mengarah pada kesempurnaan dan kehormatan, [31] tetapi yang dimaksud dengan ilmu dalam hadis ini adalah ilmu-ilmu ukhrawi.[32] Beliau memperkenalkan pengertian ilmu-ilmu ukhrawi tersebut sebagai ilmu - ilmu tentang Tuhan (akidah), tahdzibunnafs (pembersihan diri dan akhlak), adab dan sunan (ahkam) dan menganggap ilmu-ilmu tersebut sebagai penyebab kebahagiaan di akhirat.[33]


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
Baris 54: Baris 54:


{{akhir}}
{{akhir}}
[[Kategori:Hadis-hadis Nabi saw]]
[[Kategori:Hadis-hadis Masyhur]]
confirmed, templateeditor
1.937

suntingan