Pengguna anonim
Baiat: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Ali al-Hadadi |
imported>Hinduwan Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 12: | Baris 12: | ||
| Artikel pilihan = | | Artikel pilihan = | ||
}}}}</onlyinclude> | }}}}</onlyinclude> | ||
'''Baiat''' (bahasa Arab: {{ia|البیعة}}), berarti ikatan janji kesetiaan dan ketaatan | '''Baiat''' (bahasa Arab: {{ia|البیعة}}), berarti ikatan janji kesetiaan dan ketaatan kepada [[Rasulullah saw]], imam as, penguasa atau khalifah. Baiat pertama dalam sirah Nabawi adalah baiat [[Imam Ali as]] dan [[Sayidah Khadijah sa]] kepada Nabi saw setelah menerima [[Islam]]. [[Baiat 'Aqabah]] pertama dan kedua berlangsung di [[Makkah]] dan dua baiat ini, khususnya baiat kedua merupakan basis [[Hijrah ke Madinah|hijrahnya Rasulullah saw]] menuju kota [[Madinah]]. | ||
Baiat kaum muslim dengan Rasulullah saw berlangsung saat mereka bergerak menuju Badar di Madinah. [[Baiat Ridwan]] atau Syajarah terjadi pada tahun ke- 6 H/628 di [[Hudaibiyah]] dan baiat para lelaki dan perempuan dengan Nabi saw pada Peristiwa [[Fathu Makkah]] pada tahun 8 H/630. Baiat terakhir pada masa Rasulullah saw adalah baiat kaum [[muslimin]] dengan Imam Ali as pada hari ke- 18 tahun ke-10 H/632 di sebuah tempat bernama [[Ghadir]]; subjek baiat ini adalah [[wilayah]] kepemimpinan dan Imam Ali as menjadi pengganti setelah Nabi saw. | Baiat kaum muslim dengan Rasulullah saw berlangsung saat mereka bergerak menuju Badar di Madinah. [[Baiat Ridwan]] atau Syajarah terjadi pada tahun ke- 6 H/628 di [[Hudaibiyah]] dan baiat para lelaki dan perempuan dengan Nabi saw pada Peristiwa [[Fathu Makkah]] pada tahun 8 H/630. Baiat terakhir pada masa Rasulullah saw adalah baiat kaum [[muslimin]] dengan Imam Ali as pada hari ke-18 tahun ke-10 H/632 di sebuah tempat bernama [[Ghadir]]; subjek baiat ini adalah [[wilayah]] kepemimpinan dan Imam Ali as menjadi pengganti setelah Nabi saw. | ||
Baiat sebelum Islam, di era Rasulullah saw, setelah Rasulullah saw dan di semua pemerintahan-pemerintahan yang mengklaim kekhilafahan Islam sangatlah marak. | Baiat, sebelum Islam, di era Rasulullah saw, setelah Rasulullah saw dan di semua pemerintahan-pemerintahan yang mengklaim kekhilafahan Islam sangatlah marak. | ||
{{Islam Vertical}} | {{Islam Vertical}} | ||
==Makna Etimologi dan Terminologi== | ==Makna Etimologi dan Terminologi== | ||
Baiat adalah kalimat Arab dari kata Ba Ya 'A (ب ی ع), yang berarti, bersalaman, menggenggam tangan, seseorang mengulurkan tangan kanan ke tangan kanan lainnya guna meratifikasi akad bai' (ikrar penjualan). <ref>Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125. </ref> | Baiat adalah kalimat Arab dari kata Ba Ya 'A (ب ی ع), yang berarti, bersalaman, menggenggam tangan, seseorang mengulurkan tangan kanan ke tangan kanan lainnya guna meratifikasi akad bai' (ikrar penjualan). <ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 125. </ref> | ||
Sebelum Islam, di tengah-tengah masyarakat Arab sudah menjadi tradisi saat jual beli untuk memastikan akad jual beli dan menegaskan | |||
Dengan demikian, banyak sekali para peneliti mengartikan makna terminologi baiat dalam teks dan referensi-referensi Islam dengan peletakan tangan kanan di atas tangan kanan seseorang sebagai bukti penerimaan ketaatan atau kepemimpinannya. <ref>Syahristani, ''Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh'', hlm. 155. </ref> Lambat laun, dengan adanya perubahan dan keragaman dalam variasi lahiriah baiat, kata baiat selain digeneralkan pada perbuatan di atas yang menunjukkan janji dan komitmen dimana kinerja ini merupakan kiasan dan bukti | Sebelum Islam, di tengah-tengah masyarakat Arab sudah menjadi tradisi saat jual beli untuk memastikan akad jual beli dan menegaskan komitmen terhadap isinya, sang pembeli dan penjual menepukkan tangan kanan ke pihak lainnya; hal ini disebut dengan Baiat atau Shafqah (transaksi penjualan), dan dengan berlangsungnya hal tersebut, maka muamalah (transaksi) sudah terjadi. Demikian juga, untuk suatu kelompok atau kabilah saat melakukan perjanjian dan ketaatan kepada seorang penguasa atau kepala suku, berjabat tangan adalah hal yang sudah umum; dan karena kemiripannya dengan baiat dalam jual beli, maka perbuatan ini juga disebut dengan baiat. <ref>Ibn Khaldun, ''Muqaddimah'', hlm. 209. </ref> | ||
Dengan demikian, banyak sekali para peneliti mengartikan makna terminologi baiat dalam teks dan referensi-referensi Islam dengan peletakan tangan kanan di atas tangan kanan seseorang sebagai bukti penerimaan ketaatan atau kepemimpinannya. <ref>Syahristani, ''Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh'', hlm. 155. </ref> Lambat laun, dengan adanya perubahan dan keragaman dalam variasi lahiriah baiat, kata baiat selain digeneralkan pada perbuatan di atas yang menunjukkan janji dan komitmen dimana kinerja ini merupakan kiasan dan bukti serta dalam makna yang kedua juga marak dan populer. | |||
==Makna Baiat dalam Islam== | ==Makna Baiat dalam Islam== | ||
Makna baiat yang umum dipakai dalam [[ | Makna baiat yang umum dipakai dalam [[Al-Qur'an]], [[Sunah]], sejarah, teologi, [[fikih]] politik Islam adalah akad dan janji dimana seorang yang berbaiat melakukan baiat kepada seorang imam, pemimpin atau seorang lainnya dalam masalah khusus atau masalah yang lebih umum untuk mentaati dan mengikutinya, ia komitmen dan setia dengan isi janjinya. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref> | ||
==Sejarah Baiat== | ==Sejarah Baiat== | ||
Baris 44: | Baris 46: | ||
====Baiat Para Wanita dengan Rasulullah dalam Fathu Makkah==== | ====Baiat Para Wanita dengan Rasulullah dalam Fathu Makkah==== | ||
Baiat lainnya dari kalangan lelaki dan perempuan dengan [[Rasulullah saw]] adalah dalam [[Penaklukan Kota Makkah]] pada tahun 8 H/630, yang telah diisyaratkan dalam [[Surah Al-Mumtahanah]] ayat 12. Dalam ayat tersebut, Rasulullah saw diminta supaya mengambil baiat dari para wanita Makkah yang telah beriman. Subjek-subjek baiat ini dalam buku-buku tafsir, hadis dan sejarah terkenal dengan sebutan [[Baiat al-Nisa']] (baiat wanita), yang isinya adalah sebagai berikut: Menjauhi kesyirikan, menjaga diri dari pencurian dan kekejian, tidak membunuh anak-anaknya sendiri, tidak menisbatkan anak-anak orang lain kepada para suaminya dan tidak menentang Rasulullah saw dalam perbuatan-perbuatan yang baik. <ref>Hur Amili, Wasail al-Syiah, jld. 14, hlm. 152-153. </ref> | Baiat lainnya dari kalangan lelaki dan perempuan dengan [[Rasulullah saw]] adalah dalam [[Penaklukan Kota Makkah]] pada tahun 8 H/630, yang telah diisyaratkan dalam [[Surah Al-Mumtahanah]] ayat 12. Dalam ayat tersebut, Rasulullah saw diminta supaya mengambil baiat dari para wanita Makkah yang telah beriman. Subjek-subjek baiat ini dalam buku-buku tafsir, hadis dan sejarah terkenal dengan sebutan [[Baiat al-Nisa']] (baiat wanita), yang isinya adalah sebagai berikut: Menjauhi kesyirikan, menjaga diri dari pencurian dan kekejian, tidak membunuh anak-anaknya sendiri, tidak menisbatkan anak-anak orang lain kepada para suaminya dan tidak menentang Rasulullah saw dalam perbuatan-perbuatan yang baik. <ref>Hur Amili, ''Wasail al-Syiah'', jld. 14, hlm. 152-153. </ref> | ||
=====Mekanisme Baiat Para Wanita dengan Rasulullah===== | =====Mekanisme Baiat Para Wanita dengan Rasulullah===== | ||
Dalam sebagian hadis dituturkan bahwa pertama-tama Rasulullah saw memasukkan tangannya di bejana air dan kemudian para wanita mengikuti beliau. <ref>Ibnu Jurair, Tarikh Thabari, jld. 3, hlm. 62. </ref> Dalam riwayat lain dikemukakan baiat para wanita dilakukan dengan bersalaman di atas kain. <ref>Zamakhsyari, al-Kasysyaf, dibawah surah al-Mumtananah ayat 12. </ref> Demikian juga, menurut sebagian hadis, terkadang baiat para wanita dengan beliau semata-mata dalam bentuk ucapan dan lafaz. <ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222. </ref> Selain hal-hal tersebut, juga disebutkan dalam sebagian hadis akan bentuk-bentuk lain dari baiat para wanita. <ref>Syaikh Mufid, al-Irsyad, hlm. 63. </ref> Menurut Qasimi<ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 277-278. </ref> , selain beberapa baiat para wanita yang berlangsung pada masa Rasulullah saw, termasuk [[Baiat 'Aqabah]] kedua, Baiat Ridwan dan Fathu Makkah<ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 2, hlm. 361-366. </ref>, tidak ada hadis yang menuturkan tentang baiat para wanita dengan para khalifah atau para pemimpin dan nampaknya pada masa-masa berikutnya, baiat hanya diperuntukkan bagi kalangan laki-laki saja. | Dalam sebagian hadis dituturkan bahwa pertama-tama Rasulullah saw memasukkan tangannya di bejana air dan kemudian para wanita mengikuti beliau. <ref>Ibnu Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 3, hlm. 62. </ref> Dalam riwayat lain dikemukakan baiat para wanita dilakukan dengan bersalaman di atas kain. <ref>Zamakhsyari, ''al-Kasysyaf'', dibawah surah al-Mumtananah ayat 12. </ref> Demikian juga, menurut sebagian hadis, terkadang baiat para wanita dengan beliau semata-mata dalam bentuk ucapan dan lafaz. <ref>Katani, ''Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah'', jld. 1, hlm. 222. </ref> | ||
Selain hal-hal tersebut, juga disebutkan dalam sebagian hadis akan bentuk-bentuk lain dari baiat para wanita. <ref>Syaikh Mufid, ''al-Irsyad'', hlm. 63. </ref> Menurut Qasimi<ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 277-278. </ref> , selain beberapa baiat para wanita yang berlangsung pada masa Rasulullah saw, termasuk [[Baiat 'Aqabah]] kedua, Baiat Ridwan dan Fathu Makkah<ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 2, hlm. 361-366. </ref>, tidak ada hadis yang menuturkan tentang baiat para wanita dengan para khalifah atau para pemimpin dan nampaknya pada masa-masa berikutnya, baiat hanya diperuntukkan bagi kalangan laki-laki saja. | |||
====Baiat Kaum Muslim dengan Ali As di Ghadir Khum==== | ====Baiat Kaum Muslim dengan Ali As di Ghadir Khum==== | ||
Baiat terakhir pada masa Rasulullah saw berdasarkan sebagian referensi<ref>Majlisi, Bihar, jld. 37, hlm. 133, 138, 142, 202, 203, 217. </ref> , adalah baiat kaum muslim dengan [[Imam Ali as]] pada hari ke-18 tahun 10 H/632, di sebuah tempat bernama [[Ghadir Khum]]; subjek baiat ini adalah wilayah kepemimpinan dan Imam Ali as menjadi pengganti setelah Rasulullah saw. | Baiat terakhir pada masa Rasulullah saw berdasarkan sebagian referensi<ref>Majlisi, ''Bihar'', jld. 37, hlm. 133, 138, 142, 202, 203, 217. </ref> , adalah baiat kaum muslim dengan [[Imam Ali as]] pada hari ke-18 tahun 10 H/632, di sebuah tempat bernama [[Ghadir Khum]]; subjek baiat ini adalah wilayah kepemimpinan dan Imam Ali as menjadi pengganti setelah Rasulullah saw. | ||
===Baiat Pasca Wafat Rasulullah saw=== | ===Baiat Pasca Wafat Rasulullah saw=== | ||
Tradisi baiat pasca wafat Rasulullah saw juga berlaku. Namun kriteria baiat-baiat tersebut adalah biasanya memilih seseorang sebagai khalifah Nabi saw dan penguasa Islam dan setelah itu sekelompok khusus atau masyarakat umum membaiatnya. Titik awal perubahan ini adalah [[Peristiwa Saqifah]]; pada hari wafat Rasulullah saw, pertama-pertama sejumlah masyarakat termasuk [[Umar bin Khattab]], [[Abu Ubaidah al-Jarrah]] dan sebagian para pemimpin [[Muhajirin]] dan [[Anshar]] berada di sebuah tempat bernama [[Saqifah Bani Saidah]] membaiat [[Abu Bakar]] dengan mengenyampingkan Sa'ad bin Ubadah dan mengokohkan kekhilafahannya, dan selanjutnya sejumlah masyarakat membaiatnya dan memaksa sebagian lainnya untuk berbaiat. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 288-289. </ref> | Tradisi baiat pasca wafat Rasulullah saw juga berlaku. Namun kriteria baiat-baiat tersebut adalah biasanya memilih seseorang sebagai khalifah Nabi saw dan penguasa Islam dan setelah itu sekelompok khusus atau masyarakat umum membaiatnya. Titik awal perubahan ini adalah [[Peristiwa Saqifah]]; pada hari wafat Rasulullah saw, pertama-pertama sejumlah masyarakat termasuk [[Umar bin Khattab]], [[Abu Ubaidah al-Jarrah]] dan sebagian para pemimpin [[Muhajirin]] dan [[Anshar]] berada di sebuah tempat bernama [[Saqifah Bani Saidah]] membaiat [[Abu Bakar]] dengan mengenyampingkan Sa'ad bin Ubadah dan mengokohkan kekhilafahannya, dan selanjutnya sejumlah masyarakat membaiatnya dan memaksa sebagian lainnya untuk berbaiat. <ref>Tustari, ''Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah'', jld. 6, hlm. 288-289. </ref> | ||
Pembaiatan khalifah terkait para khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan [[Utsman]] juga dilakukan dengan metode semacam ini dan dalam bentuk politik. <ref>Mas'udi, Muruj al- | Pembaiatan khalifah terkait para khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan [[Utsman]] juga dilakukan dengan metode semacam ini dan dalam bentuk politik. <ref>Mas'udi, ''Muruj al-Dzaha''b, jld. 2, hlm. 312, 340. </ref> Demikian juga, saat masyarakat membaiat Imam Ali as di [[masjid]] dengan penuh pemaksaan supaya memegang urusan khilafah<ref>Zuhaili, ''al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi'', jld. 6, hlm. 692. </ref>. Dan pasca kesyahidannya mereka membaiat Imam Hasan as. <ref>Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 4, hlm. 28. </ref> | ||
Baiat-baiat lain yang dilakukan dengan [[para Imam Syiah]] adalah baiat sejumlah masyarakat [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]], sebagai ganti dari [[Imam Husain as]]<ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 64. </ref> dan juga baiat penduduk Khurasan dengan [[Imam Ridha as]] sebagai putra mahkota Makmun Abbasi. <ref>Majlisi, Bihar, jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186. </ref> | Baiat-baiat lain yang dilakukan dengan [[para Imam Syiah]] adalah baiat sejumlah masyarakat [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]], sebagai ganti dari [[Imam Husain as]]<ref>Mas'udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 64. </ref> dan juga baiat penduduk Khurasan dengan [[Imam Ridha as]] sebagai putra mahkota Makmun Abbasi. <ref>Majlisi, Bihar, jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186. </ref> | ||
====Baiat Pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah==== | ====Baiat Pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah==== | ||
Tradisi baiat dengan khalifah berlangsung dengan perubahan-perubahan bentuk dan konten pada masa [[Bani Umayyah]] dan Bani Abbasiah. Meski pada masa kekhalifahan para khalifah pertama, pengambilan baiat terkadang dibarengi dengan pemaksaan, namun sejak kepemimpinan [[Muawiyah]], dimulailah perubahan-perubahan mendasar dalam unsur esensi dan bentuk baiat; sampai-sampai banyak dari para penulis [[Ahlusunah]] juga berkeyakinan bahwa Muawiyah untuk mengokohkan kekhalifahan dirinya dan keluarganya dan juga pengambilan baiat dari masyarakat untuk dirinya dan putranya, [[Yazid]] dengan menggunakan pelbagai faktor seperti memberlakukan kekuatan, ancaman, suapan, janji pemerintahan, menciptakan konflik dan konspirasi. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlusunah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 60-61. </ref> | Tradisi baiat dengan khalifah berlangsung dengan perubahan-perubahan bentuk dan konten pada masa [[Bani Umayyah]] dan Bani Abbasiah. Meski pada masa kekhalifahan para khalifah pertama, pengambilan baiat terkadang dibarengi dengan pemaksaan, namun sejak kepemimpinan [[Muawiyah]], dimulailah perubahan-perubahan mendasar dalam unsur esensi dan bentuk baiat; sampai-sampai banyak dari para penulis [[Ahlusunah]] juga berkeyakinan bahwa Muawiyah untuk mengokohkan kekhalifahan dirinya dan keluarganya dan juga pengambilan baiat dari masyarakat untuk dirinya dan putranya, [[Yazid]] dengan menggunakan pelbagai faktor seperti memberlakukan kekuatan, ancaman, suapan, janji pemerintahan, menciptakan konflik dan konspirasi. <ref>Abdul Majid, ''al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlusunah wa al-'Aqd al-Ijtima'i'', hlm. 60-61. </ref> | ||
Lambat laun, esensi baiat benar-benar berbaur dengan pemaksaan dan sejatinya apa yang terpaparkan adalah pengambilan baiat, bukan baiat bebas dan atau ikhtiyar<ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref> ; sebagaimana Yazid memerintahkan ajudannya di [[Madinah]], Walid bin Utbah supaya menahan Imam Husain as, [[Ibnu Zubair]] dan beberapa tokoh lainnya guna berbaiat padanya. Dan barang siapa yang tidak berbaiat, supaya dipenggal kepalanya dan mengirimkan kepala tersebut. <ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 5, hlm. 338. </ref> Baiat pada masa-masa ini, juga memiliki aspek formalitas; sebagaimana pengambilan baiat juga jamak saat dimulainya pemerintahan seorang khalifah untuk mengumumkan kesetiaan terhadapnya. <ref>Ibid., jld. 7, hlm. 311, 471, jld. 6, hlm. 423. </ref> Dan juga pada masa pemerintahan seorang khalifah untuk kekhalifahan pengganti atau para penggantinya. <ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 4, hlm. 210-211. </ref> | Lambat laun, esensi baiat benar-benar berbaur dengan pemaksaan dan sejatinya apa yang terpaparkan adalah pengambilan baiat, bukan baiat bebas dan atau ikhtiyar<ref>Katani, ''Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah'', jld. 1, hlm. 223. </ref> ; sebagaimana Yazid memerintahkan ajudannya di [[Madinah]], Walid bin Utbah supaya menahan Imam Husain as, [[Ibnu Zubair]] dan beberapa tokoh lainnya guna berbaiat padanya. Dan barang siapa yang tidak berbaiat, supaya dipenggal kepalanya dan mengirimkan kepala tersebut. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 5, hlm. 338. </ref> Baiat pada masa-masa ini, juga memiliki aspek formalitas; sebagaimana pengambilan baiat juga jamak saat dimulainya pemerintahan seorang khalifah untuk mengumumkan kesetiaan terhadapnya. <ref>Ibid., jld. 7, hlm. 311, 471, jld. 6, hlm. 423. </ref> Dan juga pada masa pemerintahan seorang khalifah untuk kekhalifahan pengganti atau para penggantinya. <ref>Mas'udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 4, hlm. 210-211. </ref> | ||
Berapa banyak baiat, khususnya di awal pemerintahan seorang khalifah, diiringi dengan janji, pemakaian uang dan kekayaan, sampai-sampai pengeluaran baiat al-Muqtadir Abbasi mencapai tiga juta Dinar. Selain itu, saat pengukuhan, seorang khalifah memberikan sejumlah uang sebagai rizq al-baiat kepada para pasukan. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 286. </ref> Nampaknya, Raghib al-Isfahani di bawah kalimat baiat memiliki pendapat dengan arti semacam ini, yaitu memaknai baiat dengan mempersembahkan ketaatan di hadapan imbalan sedikit. Baiat khusus para pemimpin militer dan para pasukan khalifah diterangkan sejak periode kekhilafahan al-Manshur, Mahdi, dan Isa Abbasi. <ref>Ibid., hlm. 290-291. </ref> Terkadang baiat yang diambil untuk pengganti seorang khalifah ditentang oleh khalifah itu sendiri dan menentukan pengganti lainnya. <ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 8, hlm. 9.</ref> | Berapa banyak baiat, khususnya di awal pemerintahan seorang khalifah, diiringi dengan janji, pemakaian uang dan kekayaan, sampai-sampai pengeluaran baiat al-Muqtadir Abbasi mencapai tiga juta Dinar. Selain itu, saat pengukuhan, seorang khalifah memberikan sejumlah uang sebagai rizq al-baiat kepada para pasukan. <ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 286. </ref> Nampaknya, Raghib al-Isfahani di bawah kalimat baiat memiliki pendapat dengan arti semacam ini, yaitu memaknai baiat dengan mempersembahkan ketaatan di hadapan imbalan sedikit. Baiat khusus para pemimpin militer dan para pasukan khalifah diterangkan sejak periode kekhilafahan al-Manshur, Mahdi, dan Isa Abbasi. <ref>Ibid., hlm. 290-291. </ref> Terkadang baiat yang diambil untuk pengganti seorang khalifah ditentang oleh khalifah itu sendiri dan menentukan pengganti lainnya. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 8, hlm. 9.</ref> | ||
===Baiat dalam Pemerintahan-pemerintahan Pengklaim Khilafah=== | ===Baiat dalam Pemerintahan-pemerintahan Pengklaim Khilafah=== | ||
Menurut pendapat Syahidi<ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 125. </ref>, tradisi baiat di seluruh pemerintahan yang memiliki klaim khilafah [[Islam]], termasuk [[Khawarij]], Fatimiyah, Umawiyah Andalusia dan bahkan Utsmaniyah sangatlah marak dan di Iran sampai beberapa waktu sangatlah marak, dimana di situ dikukuhkan pemerintahan-pemerintahan yang mengikuti khilafah Islamiyah; dan nampaknya ikut sirna dengan lengsernya kekhilafahan Abbasiah. Selain pemerintahan, tradisi baiat di tengah-tengah para penentang khalifah juga ada, seperti baiat penduduk Irak dengan Abdullah bin Zubair<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 83. </ref> ; baiat para pengikut [[Zaid bin Ali bin Husain as]] dengannya<ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 167, 171. </ref> ; baiat sekelompok masyarakat dengan [[Muhammad bin Abdullah Nafsu Zakiyah]] di akhir-akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan juga pada masa al-Manshur<ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 294, 306. </ref> ; pengambilan baiat Abu Muslim kepada penduduk Khurasan untuk Ibrahim Imam. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 7, hlm. 379 - 380. </ref> | Menurut pendapat Syahidi<ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 125. </ref>, tradisi baiat di seluruh pemerintahan yang memiliki klaim khilafah [[Islam]], termasuk [[Khawarij]], Fatimiyah, Umawiyah Andalusia dan bahkan Utsmaniyah sangatlah marak dan di Iran sampai beberapa waktu sangatlah marak, dimana di situ dikukuhkan pemerintahan-pemerintahan yang mengikuti khilafah Islamiyah; dan nampaknya ikut sirna dengan lengsernya kekhilafahan Abbasiah. Selain pemerintahan, tradisi baiat di tengah-tengah para penentang khalifah juga ada, seperti baiat penduduk Irak dengan Abdullah bin Zubair<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 83. </ref> ; baiat para pengikut [[Zaid bin Ali bin Husain as]] dengannya<ref>Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 167, 171. </ref> ; baiat sekelompok masyarakat dengan [[Muhammad bin Abdullah Nafsu Zakiyah]] di akhir-akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan juga pada masa al-Manshur<ref>Mas'udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 294, 306. </ref> ; pengambilan baiat Abu Muslim kepada penduduk Khurasan untuk Ibrahim Imam. <ref>Ibn Jurair, ''Tarikh Thabari'', jld. 7, hlm. 379 - 380. </ref> | ||
==Shigah (Bentuk Ungkapan) Baiat== | ==Shigah (Bentuk Ungkapan) Baiat== | ||
Baris 73: | Baris 77: | ||
==Macam-macam Baiat== | ==Macam-macam Baiat== | ||
Sebagaimana dari arti etimologi baiat, perbuatan ini biasanya dalam bentuk penyodoran tangan atau menekan dengan tangan kanan; menurut sebagian ahli bahasa; jika dalam bentuk sumpah (half) dan ta'aqud (mengadakan perjanjian) juga marak dengan metode yang demikian dan karenanya sumpah disebut dengan Yamin. Alasan penamaan baiat dengan shafaqah juga karena hal-hal tersebut. <ref>Ibid., jld. 2, hlm. 266, jld. 27, hlm. 68. </ref> Dalam sirah Rasul juga baiat kaum laki-laki dikabarkan demikian. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 8, 137, 170, 229. </ref> | Sebagaimana dari arti etimologi baiat, perbuatan ini biasanya dalam bentuk penyodoran tangan atau menekan dengan tangan kanan; menurut sebagian ahli bahasa; jika dalam bentuk sumpah (half) dan ta'aqud (mengadakan perjanjian) juga marak dengan metode yang demikian dan karenanya sumpah disebut dengan Yamin. Alasan penamaan baiat dengan shafaqah juga karena hal-hal tersebut. <ref>Ibid., jld. 2, hlm. 266, jld. 27, hlm. 68. </ref> Dalam sirah Rasul juga baiat kaum laki-laki dikabarkan demikian. <ref>''Nahjul Balaghah'', khotbah 8, 137, 170, 229. </ref> | ||
Sebagian para mufasir berpendapat kalimat ''Yadullah fauqa Aidihim'' dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 mengisyaratkan perealisasian baiat dengan bersalaman. <ref>Allamah Thabathabai, ''al-Mizan'', di bawah kata. </ref> Meski demikian, dalam hadis-hadis juga disebutkan bentuk-bentuk lain untuk baiat. <ref>Majlisi, ''Bihar'', jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186. </ref> Demikian juga, terkadang baiat terealisasi hanya dengan mengumumkan keridhaan orang yang berbaiat, dengan tanpa bersalaman. <ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 127. </ref> | Sebagian para mufasir berpendapat kalimat ''Yadullah fauqa Aidihim'' dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 mengisyaratkan perealisasian baiat dengan bersalaman. <ref>Allamah Thabathabai, ''al-Mizan'', di bawah kata. </ref> Meski demikian, dalam hadis-hadis juga disebutkan bentuk-bentuk lain untuk baiat. <ref>Majlisi, ''Bihar'', jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186. </ref> Demikian juga, terkadang baiat terealisasi hanya dengan mengumumkan keridhaan orang yang berbaiat, dengan tanpa bersalaman. <ref>Syahidi, ''Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam'', hlm. 127. </ref> | ||
Baris 87: | Baris 91: | ||
==Perubahan-perubahan Pola Baiat== | ==Perubahan-perubahan Pola Baiat== | ||
Dari aspek bentuk juga baiat mengalami perubahan. Meski tradisi bersalaman dan menekan tangan masih tetap berlanjut selama beberapa masa, pada masa Bani Umayyah terkadang baiat diafirmasi dan diungkapkan dengan pengambilan sumpah (istihlaf). Hajjaj menetapkan janji-janji khusus yang dinamakan dengan Aiman al-Bai'at, yang diambil saat berbaiat dan mengandung beberapa sumpah. <ref>Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 11, hlm. 330. </ref> | Dari aspek bentuk juga baiat mengalami perubahan. Meski tradisi bersalaman dan menekan tangan masih tetap berlanjut selama beberapa masa, pada masa Bani Umayyah terkadang baiat diafirmasi dan diungkapkan dengan pengambilan sumpah (istihlaf). Hajjaj menetapkan janji-janji khusus yang dinamakan dengan Aiman al-Bai'at, yang diambil saat berbaiat dan mengandung beberapa sumpah. <ref>Ibn Qudamah, ''al-Mughni'', jld. 11, hlm. 330. </ref> | ||
Menurut Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref>, baiat pada masa-masa berikutnya membentuk pola dinasti dan bahkan bersalaman dengan sang khalifah dihapus dengan dalih hal tersebut merupakan sebuah penghinaan kepada sang khalifah, kecuali tentang sebagian sanak kerabat penguasa dan baiat dilakukan dalam bentuk mencium tanah di tempat, kaki atau tangan penguasa. <ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref> | |||
Menurut Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, ''Muqaddimah'', hlm. 209. </ref>, baiat pada masa-masa berikutnya membentuk pola dinasti dan bahkan bersalaman dengan sang khalifah dihapus dengan dalih hal tersebut merupakan sebuah penghinaan kepada sang khalifah, kecuali tentang sebagian sanak kerabat penguasa dan baiat dilakukan dalam bentuk mencium tanah di tempat, kaki atau tangan penguasa. <ref>Katani, ''Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah'', jld. 1, hlm. 223. </ref> | |||
Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref> menganggap generalisasi nama baiat dengan perbuatan ini, yang nampaknya sudah mentradisi pada masanya adalah kiasan. Katani<ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref> mengabarkan sejenis baiat tertulis, yang marak pada masa-masanya dan di situ sang pembaiat menulis sebuah teks yang menyertakan penerimaan kekuasaan sang penguasa, atau memasukkan pengakuannya dalam sebuah tulisan yang sudah diberikan kesaksian. Menurut teks-teks sejarah<ref>Tarikh al-Khulafa, hlm. 26. </ref> , baiat dengan para khalifah dan penguasa di pelbagai kawasan memiliki acara dan ritual khusus. | Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, ''Muqaddimah'', hlm. 209. </ref> menganggap generalisasi nama baiat dengan perbuatan ini, yang nampaknya sudah mentradisi pada masanya adalah kiasan. Katani<ref>Katani, ''Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah'', jld. 1, hlm. 223. </ref> mengabarkan sejenis baiat tertulis, yang marak pada masa-masanya dan di situ sang pembaiat menulis sebuah teks yang menyertakan penerimaan kekuasaan sang penguasa, atau memasukkan pengakuannya dalam sebuah tulisan yang sudah diberikan kesaksian. Menurut teks-teks sejarah<ref>''Tarikh al-Khulafa'', hlm. 26. </ref> , baiat dengan para khalifah dan penguasa di pelbagai kawasan memiliki acara dan ritual khusus. | ||
==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat== | ==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat== | ||
Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian [[Ahlusunah]] pasca baiat [[Saqifah]] telah berubah menjadi istilah politik. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258. </ref> Meski beberapa referensi teologi dan [[fikih]] Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat. | Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian [[Ahlusunah]] pasca baiat [[Saqifah]] telah berubah menjadi istilah politik. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258. </ref> Meski beberapa referensi teologi dan [[fikih]] Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat. | ||
Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunah maupun [[Syiah]], pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan [[Alquran]] dan sunah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274. </ref> Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi mendapatkan [[surga]]. <ref>Thabarsi, Jawami' al-Jami', di bawah ayat. </ref> | Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunah maupun [[Syiah]], pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan [[Alquran]] dan sunah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 273-274. </ref> Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi mendapatkan [[surga]]. <ref>Thabarsi, ''Jawami' al-Jami''', di bawah ayat. </ref> | ||
Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa [[Rasulullah saw]], meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan [[Islam]], pembelaan atas Nabi saw dan mentaatinya, [[jihad]] dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah saw. | Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa [[Rasulullah saw]], meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan [[Islam]], pembelaan atas Nabi saw dan mentaatinya, [[jihad]] dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah saw. | ||
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi perjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan [[Amirul Mukminin as]]<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam golongan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, ''Bihar'', jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi perjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan [[Amirul Mukminin as]]<ref>''Nahjul Balaghah'', khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam golongan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | ||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma'rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo' (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld.1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen sebelah pihak, bukan perjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | |||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, ''Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh'', hlm. 155. </ref><ref>Ma'rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, ''al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i'', hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo' (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai''', jld.1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen sebelah pihak, bukan perjanjian. <ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 276. </ref> | |||
===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ||
Karena esensi baiat adalah akad, maka ia memiliki tiga rukun mendasar: yang membaiat, yang dibaiat dan subjek baiat. Sesuai esensi akadnya, menurut fikih kedua belah pihak harus memiliki kriteria-kriteria wajib, seperti baligh, dewasa dan berakal. <ref>Ashifi, ''Wilayah al-Amr'', hlm. 85. </ref> Namun, baiat anak kecil dalam sebagian hadis-hadis Ahlusunah juga diperbolehkan. <ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222. </ref> Dalam sebagian hadis juga disyaratkan kemampuan orang yang membaiat. <ref>Bukhari, ''Shahih Bukhari'', jld. 8, hlm. 122. </ref> | |||
Termasuk syarat-syarat yang diafirmasi dalam referensi-referensi fikih adalah adanya ikhtiyar dan tidak ada pemaksaan dari setiap satu dari kedua belah pihak. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 133-138. </ref><ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 86. </ref> | Termasuk syarat-syarat yang diafirmasi dalam referensi-referensi fikih adalah adanya ikhtiyar dan tidak ada pemaksaan dari setiap satu dari kedua belah pihak. <ref>Abdul Majid, ''al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i'', hlm. 133-138. </ref><ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 86. </ref> | ||
Sebagian referensi Ahlusunah dikatakan bahwa baiat yang disertai dengan paksaan secara syariat dianggap rusak dan tidak sah, selain itu, dengan terpenuhinya syarat-syarat, maka hal itu dianggap efektif dan legal. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 139-140. </ref> | Sebagian referensi Ahlusunah dikatakan bahwa baiat yang disertai dengan paksaan secara syariat dianggap rusak dan tidak sah, selain itu, dengan terpenuhinya syarat-syarat, maka hal itu dianggap efektif dan legal. <ref>Abdul Majid, ''al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i'', hlm. 139-140. </ref> | ||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Ahlusunah=== | ===Baiat dalam Pemikiran Politik Ahlusunah=== | ||
Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah, hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunah seperti Mawardi, Abu Ya'la al-Farra', dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu [[furu'uddin]], sebagai ganti dari ushul<ref>Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql, jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 7 ke atas. </ref> | Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, ''al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah'', hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunah seperti Mawardi, Abu Ya'la al-Farra', dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu [[furu'uddin]], sebagai ganti dari ushul<ref>Ja'far Subhani, ''al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql'', jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, ''al-Ahkam al-Sulthaniyyah'', hlm. 7 ke atas. </ref> | ||
Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang mendesak. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang mendesak. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, ''al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi'', jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | ||
Sebagian Ahlusunah secara ambigu menganggap baiat sekelompok Ahlul Halli wal 'Aqd sudah cukup. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 268. </ref> Sebagian para [[fakih]] Ahlusunah berpendapat terlaksananya khilafah hanya dengan baiat. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-35. </ref><ref> Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 683-684. </ref> Sejumlah fakih kontemporer selain menyaratkan baiat tersebut, juga menganggap baiat umum masyarakat sebagai rukun utama pengukuhan kekhilafahan dan baiat memiliki tiga tahapan: pencalonan seseorang untuk khilafah, baiat khusus atau sughra dan baiat umum atau kubra. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 73-105. </ref> Mawardi | Sebagian Ahlusunah secara ambigu menganggap baiat sekelompok Ahlul Halli wal 'Aqd sudah cukup. <ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 268. </ref> Sebagian para [[fakih]] Ahlusunah berpendapat terlaksananya khilafah hanya dengan baiat. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-35. </ref><ref> Zuhaili, ''al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi'', jld. 6, hlm. 683-684. </ref> Sejumlah fakih kontemporer selain menyaratkan baiat tersebut, juga menganggap baiat umum masyarakat sebagai rukun utama pengukuhan kekhilafahan dan baiat memiliki tiga tahapan: pencalonan seseorang untuk khilafah, baiat khusus atau sughra dan baiat umum atau kubra. <ref>Abdul Majid, ''al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i'', hlm. 73-105. </ref> Mawardi mengurutkan tahapan dan pendahuluan-pendahuluan baiat lebih secara mendetail. <ref>Mawardi, ''al-Ahkam al-Sulthaniyyah'', hlm. 33-37. </ref> | ||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Ahlusunah==== | ====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Ahlusunah==== | ||
Kebanyakan para fakih dan penulis kontemporer Ahlusunah berupaya dengan menganalisis baiat sebagai sebuah akad dengan kekomitmenan kedua belah pihak (perjanjian) dan menerapkannya dengan akad dan wakil, juga menganggapnya setara dengan konsep "Kontrak sosial" karya Rousseau, yang menjadi dasar-dasar hak-hak politik dalam sistem demokrasi dan pengemukakannya serupa dengan proses pemilu dan pemungutan suara. <ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 684. </ref><ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher, hlm. 232-233. </ref> | Kebanyakan para fakih dan penulis kontemporer Ahlusunah berupaya dengan menganalisis baiat sebagai sebuah akad dengan kekomitmenan kedua belah pihak (perjanjian) dan menerapkannya dengan akad dan wakil, juga menganggapnya setara dengan konsep "Kontrak sosial" karya Rousseau, yang menjadi dasar-dasar hak-hak politik dalam sistem demokrasi dan pengemukakannya serupa dengan proses pemilu dan pemungutan suara. <ref>Zuhaili, ''al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi'', jld. 6, hlm. 684. </ref><ref>Inayah, ''Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher'', hlm. 232-233. </ref> | ||
Dengan demikian, baiat mayoritas masyarakat dengan sang penguasa akan menjadi suatu keharusan bagi kelompok minoritas. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> Nampaknya, Syaikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali memaparkan konsep ini dalam fikih Ahlusunah. <ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher, hlm. 236. </ref> Meski di tengah-tengah kalangan Ahlusunah sendiri konsep ini juga memiliki para pengkritik. | Dengan demikian, baiat mayoritas masyarakat dengan sang penguasa akan menjadi suatu keharusan bagi kelompok minoritas. <ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 276. </ref> Nampaknya, Syaikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali memaparkan konsep ini dalam fikih Ahlusunah. <ref>Inayah, ''Andisyeh Siyasi dar Islame Mu'asher'', hlm. 236. </ref> Meski di tengah-tengah kalangan Ahlusunah sendiri konsep ini juga memiliki para pengkritik. | ||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Syiah=== | ===Baiat dalam Pemikiran Politik Syiah=== | ||
Menurut Syiah, baiat tidak dapat dilakukan untuk setiap urusan, dan jikalau sekiranya kita asumsikan baiat adalah akad, maka subjek akad baiat harus legal dan diperbolehkan. Semisalnya, para teolog [[Syiah]] berpendapat masalah imamah dan khilafah Rasulullah saw termasuk salah satu topik yang tidak dapat dibuktikan dengan baiat oleh sekelompok masyarakat atau seluruh masyarakat, namun dengan dalil-dalil logika dan tekstual yang banyak, seorang imam harus dinashkan dan keimamahannya ditentukan oleh [[Allah swt]] melalui Nabi saw. <ref>Muzaffar, Dalail al-Shidq, jld. 2, hlm. 25-32. </ref> | Menurut Syiah, baiat tidak dapat dilakukan untuk setiap urusan, dan jikalau sekiranya kita asumsikan baiat adalah akad, maka subjek akad baiat harus legal dan diperbolehkan. Semisalnya, para teolog [[Syiah]] berpendapat masalah imamah dan khilafah Rasulullah saw termasuk salah satu topik yang tidak dapat dibuktikan dengan baiat oleh sekelompok masyarakat atau seluruh masyarakat, namun dengan dalil-dalil logika dan tekstual yang banyak, seorang imam harus dinashkan dan keimamahannya ditentukan oleh [[Allah swt]] melalui Nabi saw. <ref>Muzaffar, ''Dalail al-Shidq'', jld. 2, hlm. 25-32. </ref> | ||
Menurut para fakih Syiah, meski untuk kewajiban menjalankan akad baiat dapat bersandar pada argumentasi kelaziman menepati akad atau syarat seperti Aufu bil 'Uqud , namun argumentasi ini sendiri tidak dapat melegalisasi subjek akad itu sendiri dan hanya menunjukkan kelaziman menepati syarat-syarat akad yang legal. <ref>Ibid., hlm. 164. </ref><ref>Khalkhali, Hakimiyyat dar Islam, hlm. 580. </ref> | |||
Menurut para fakih Syiah, meski untuk kewajiban menjalankan akad baiat dapat bersandar pada argumentasi kelaziman menepati akad atau syarat seperti Aufu bil 'Uqud , namun argumentasi ini sendiri tidak dapat melegalisasi subjek akad itu sendiri dan hanya menunjukkan kelaziman menepati syarat-syarat akad yang legal. <ref>Ibid., hlm. 164. </ref><ref>Khalkhali, ''Hakimiyyat dar Islam'', hlm. 580. </ref> | |||
Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk "menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi". Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan [[Umar bin Khattab]] dan [[Utsman bin Affan]]. <ref>Ja'far Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma'alim al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi 'Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> Pendapat Ahlusunah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasulullah saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk "menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi". Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, ''Dirasat'', jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahat'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan [[Umar bin Khattab]] dan [[Utsman bin Affan]]. <ref>Ja'far Subhani, ''Mafahim al-Quran fi Ma'alim al-Hukumah al-Islamiyyah'', hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi 'Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> Pendapat Ahlusunah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasulullah saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | ||
Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca [[Peristiwa Saqifah]], [[Imam Ali as]], [[Bani Hasyim]] dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan [[Abu Bakar]] dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas'udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, ''al-Khilafah wa al-Imamah'', hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca [[Peristiwa Saqifah]], [[Imam Ali as]], [[Bani Hasyim]] dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan [[Abu Bakar]] dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, ''al-Syafi fi al-Imamah'', jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas'udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | ||
Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali as saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> | Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, ''Tarikh al-Khulafa'', hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali as saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, ''Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah'', jld. 6, hlm. 257. </ref> | ||
Sebagian penulis [[Ahlusunah]]<ref>Katib, Tathawwur al-Fikri al-Siasi al-Syi'i, hlm. 14-15. </ref> dengan bersandar pada sebagian khotbah dan surat-surat ''[[Nahjul Balaghah]]''<ref>Termasuk khotbah 8, 137, 172, 218 dan surat 1, 6, 7, 54. </ref> yang mana di situ berbicara tentang kelaziman baiat masyarakat, bahkan terhadap mereka yang tidak berbaiat, mengklaim bahwa beliau dan juga Imam Hasan as menerima penetapan [[imamah]] dengan baiat. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 265. </ref> | Sebagian penulis [[Ahlusunah]]<ref>Katib, ''Tathawwur al-Fikri al-Siasi al-Syi'i'', hlm. 14-15. </ref> dengan bersandar pada sebagian khotbah dan surat-surat ''[[Nahjul Balaghah]]''<ref>Termasuk khotbah 8, 137, 172, 218 dan surat 1, 6, 7, 54. </ref> yang mana di situ berbicara tentang kelaziman baiat masyarakat, bahkan terhadap mereka yang tidak berbaiat, mengklaim bahwa beliau dan juga Imam Hasan as menerima penetapan [[imamah]] dengan baiat. <ref>Qasimi, ''Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 265. </ref> | ||
Namun, para peneliti Syiah meragukan pendapat tersebut, karena imamah tidak dibuktikan dengan baiat, selain itu termasuk dari urgensi teologi Syiah, juga hal yang ditegaskan dan diafirmasi oleh Ali as sendiri. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 2, 105, 144 dan surat 28, 62 dan hikmah 147. </ref> Dengan argumentasi ini dan argumentasi-argumentasi lainnya<ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 523-525. </ref> harus menyandingkan hadis-hadis tersebut dengan debat (jadal) dan diskusi (munadzarah) yang dimaksudkan guna membungkam dan memuaskan. <ref>Ashifi, Wilayah al- | Namun, para peneliti Syiah meragukan pendapat tersebut, karena imamah tidak dibuktikan dengan baiat, selain itu termasuk dari urgensi teologi Syiah, juga hal yang ditegaskan dan diafirmasi oleh Ali as sendiri. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 2, 105, 144 dan surat 28, 62 dan hikmah 147. </ref> Dengan argumentasi ini dan argumentasi-argumentasi lainnya<ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai''', jld. 1, hlm. 523-525. </ref> harus menyandingkan hadis-hadis tersebut dengan debat (jadal) dan diskusi (munadzarah) yang dimaksudkan guna membungkam dan memuaskan. <ref>Ashifi, ''Wilayah al-Amr'', hlm. 95. </ref> | ||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Syiah==== | ====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Syiah==== | ||
Meski mayoritas para fakih Imamiyah kontemporer mengklaim baiat pada masa kehadiran [[para Imam Maksum]] sifatnya hanya afirmasi, namun sebagian dari mereka dalam menganalisa mekanisme fungsi Wilayatul Fakih di era [[Kegaiban|kegaiban imam maksum]], mengklaimkan baiat lebih memiliki peran dari sekedar afirmasi, yakni sebuah aspek ketentuan. Namun sebagian para fakih tidak membedakan antara baiat pada masa kehadiran seorang Maksum atau pada masa kegaibannya. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 519. </ref> | Meski mayoritas para fakih Imamiyah kontemporer mengklaim baiat pada masa kehadiran [[para Imam Maksum]] sifatnya hanya afirmasi, namun sebagian dari mereka dalam menganalisa mekanisme fungsi Wilayatul Fakih di era [[Kegaiban|kegaiban imam maksum]], mengklaimkan baiat lebih memiliki peran dari sekedar afirmasi, yakni sebuah aspek ketentuan. Namun sebagian para fakih tidak membedakan antara baiat pada masa kehadiran seorang Maksum atau pada masa kegaibannya. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 519. </ref> | ||
Selain itu, sebagian para fakih kontemporer berkeyakinan tercapainya sejenis wilayah dan legalitas masyarakat dengan baiat di era ghaibah. Sekelompok dari mereka<ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 575-576. </ref> menganggap baiat sebagai akad wikalah lazim, yang subjeknya adalah pengukuhan wilayah dan pemberian wewenang. Dengan berdasarkan hal ini, berpengaruh pada pemilihan dan baiat mayoritas, dan bahkan terhadap minoritas yang tidak berbaiat dan wajib dijalankan. Penjelasan baiat sebagai akad wikalah dan juga kelaziman akad semacam ini menjadi ajang perdebatan dan kritikan. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517-518. </ref> | Selain itu, sebagian para fakih kontemporer berkeyakinan tercapainya sejenis wilayah dan legalitas masyarakat dengan baiat di era ghaibah. Sekelompok dari mereka<ref>Muntazeri, ''Dirasat'', jld. 1, hlm. 575-576. </ref> menganggap baiat sebagai akad wikalah lazim, yang subjeknya adalah pengukuhan wilayah dan pemberian wewenang. Dengan berdasarkan hal ini, berpengaruh pada pemilihan dan baiat mayoritas, dan bahkan terhadap minoritas yang tidak berbaiat dan wajib dijalankan. Penjelasan baiat sebagai akad wikalah dan juga kelaziman akad semacam ini menjadi ajang perdebatan dan kritikan. <ref>Makarim, ''Anwar al-Faqahah'', kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517-518. </ref> | ||
==Catatan Kaki== | ==Catatan Kaki== |