Pengguna anonim
Baiat: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Ali al-Hadadi Tidak ada ringkasan suntingan |
imported>Ali al-Hadadi Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 93: | Baris 93: | ||
==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat== | ==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat== | ||
Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian [[Ahlusunah]] pasca baiat [[Saqifah]] telah berubah menjadi | Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian [[Ahlusunah]] pasca baiat [[Saqifah]] telah berubah menjadi istilah politik. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258. </ref> Meski beberapa referensi teologi dan [[fikih]] Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat. | ||
Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunah maupun [[Syiah]], pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan [[Alquran]] dan sunah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274. </ref> Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi mendapatkan [[surga]]. <ref>Thabarsi, Jawami' al-Jami', di bawah ayat. </ref> | Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunah maupun [[Syiah]], pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan [[Alquran]] dan sunah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274. </ref> Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam [[Surah Al-Fath]] ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi mendapatkan [[surga]]. <ref>Thabarsi, Jawami' al-Jami', di bawah ayat. </ref> | ||
Baris 99: | Baris 99: | ||
Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa [[Rasulullah saw]], meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan [[Islam]], pembelaan atas Nabi saw dan mentaatinya, [[jihad]] dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah saw. | Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa [[Rasulullah saw]], meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan [[Islam]], pembelaan atas Nabi saw dan mentaatinya, [[jihad]] dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah saw. | ||
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi | Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat Alquran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi perjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan [[Amirul Mukminin as]]<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam golongan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | ||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma'rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo' (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld.1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen sebelah pihak, bukan | Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila 'Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma'rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo' (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai', jld.1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen sebelah pihak, bukan perjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | ||
===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | ||
Baris 111: | Baris 111: | ||
Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah, hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunah seperti Mawardi, Abu Ya'la al-Farra', dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu [[furu'uddin]], sebagai ganti dari ushul<ref>Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql, jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 7 ke atas. </ref> | Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]]. Dimana setelah dalam [[Peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu'aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu'tazilah, hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunah seperti Mawardi, Abu Ya'la al-Farra', dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu [[furu'uddin]], sebagai ganti dari ushul<ref>Ja'far Subhani, al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql, jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 7 ke atas. </ref> | ||
Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang | Mayoritas para [[Fukaha|fakih]] Ahlusunah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal 'Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy'ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan [[imamah]] adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal 'Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma' adalah hal yang mendesak. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | ||
Sebagian Ahlusunah secara ambigu menganggap baiat sekelompok Ahlul Halli wal 'Aqd sudah cukup. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 268. </ref> Sebagian para [[fakih]] Ahlusunah berpendapat terlaksananya khilafah hanya dengan baiat. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-35. </ref><ref> Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 683-684. </ref> Sejumlah fakih kontemporer selain menyaratkan baiat tersebut, juga menganggap baiat umum masyarakat sebagai rukun utama pengukuhan kekhilafahan dan baiat memiliki tiga tahapan: pencalonan seseorang untuk khilafah, baiat khusus atau sughra dan baiat umum atau kubra. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 73-105. </ref> Mawardi menurutkan tahapan dan pendahuluan-pendahuluan baiat lebih secara mendetail. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-37. </ref> | Sebagian Ahlusunah secara ambigu menganggap baiat sekelompok Ahlul Halli wal 'Aqd sudah cukup. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 268. </ref> Sebagian para [[fakih]] Ahlusunah berpendapat terlaksananya khilafah hanya dengan baiat. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-35. </ref><ref> Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 683-684. </ref> Sejumlah fakih kontemporer selain menyaratkan baiat tersebut, juga menganggap baiat umum masyarakat sebagai rukun utama pengukuhan kekhilafahan dan baiat memiliki tiga tahapan: pencalonan seseorang untuk khilafah, baiat khusus atau sughra dan baiat umum atau kubra. <ref>Abdul Majid, al-Bai'ah 'inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-'Aqd al-Ijtima'i, hlm. 73-105. </ref> Mawardi menurutkan tahapan dan pendahuluan-pendahuluan baiat lebih secara mendetail. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-37. </ref> | ||
Baris 144: | Baris 144: | ||
==Daftar pustaka== | ==Daftar pustaka== | ||
{{ref}} | {{ref}} | ||
*Al- | *Al-Qur'an | ||
*Abdul Karim Khatib | *Abdul Karim Khatib. ''Al-Khilafah wa al-Imamah''. Beirut, 1393/1975. | ||
*Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi | *Abdul Qahir bin Thahir al-Baghdadi. ''Kitab Ushuluddin''. Istanbul: 1346/1928, Beirut: cet. Offset, 1401/1981. | ||
* | *Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. ''Tarikh al-Khulafa''. cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Mesir, 1378/1959. | ||
*Ahmad bin Muhammad Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir lil Rafi'i, Beirut, Bi Ta. | *Ahmad bin Muhammad Fayumi, al-Mishbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir lil Rafi'i, Beirut, Bi Ta. | ||
*Ahmad Fuad Abdul Jawad Abdul Majid, al-Baiah 'inda Mufakkiri Ahlissunnah wa al-Aqd al-Ijtima'i fi al-Fikr al-Siasi al-Hadis, Dirasah Muqaranah fi al-falsafah al-Siyasiyah, Kairo, 1998. | *Ahmad Fuad Abdul Jawad Abdul Majid, al-Baiah 'inda Mufakkiri Ahlissunnah wa al-Aqd al-Ijtima'i fi al-Fikr al-Siasi al-Hadis, Dirasah Muqaranah fi al-falsafah al-Siyasiyah, Kairo, 1998. |