Pengguna anonim
Baiat: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>M.hazer Tidak ada ringkasan suntingan |
imported>Ismail Dg naba Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 53: | Baris 53: | ||
===Baiat Pasca Wafat Rasulullah Saw=== | ===Baiat Pasca Wafat Rasulullah Saw=== | ||
Tradisi baiat pasca wafat Rasulullah Saw juga berlaku. Namun kriteria baiat-baiat tersebut adalah biasanya memilih seseorang sebagai khalifah Nabi dan penguasa Islam dan setelah itu sekelompok khusus atau masyarakat umum membaiatnya. Titik awal perubahan ini adalah peristiwa Saqifah; pada hari wafat Rasulullah Saw, pertama-pertama sejumlah masyarakat termasuk Umar bin Khattab, Abu Ubaidah al-Jarrah dan sebagian para pemimpin Muhajirin dan Anshar di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah membaiat Abu Bakar dengan mengenyampingkan Sa’ad bin Ubadah dan mengokohkan kekhilafahannya, dan selanjutnya sejumlah masyarakat membaiatnya dan memaksa sebagian lainnya untuk berbaiat. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 288-289. </ref> | Tradisi baiat pasca wafat Rasulullah Saw juga berlaku. Namun kriteria baiat-baiat tersebut adalah biasanya memilih seseorang sebagai khalifah Nabi dan penguasa Islam dan setelah itu sekelompok khusus atau masyarakat umum membaiatnya. Titik awal perubahan ini adalah peristiwa Saqifah; pada hari wafat Rasulullah Saw, pertama-pertama sejumlah masyarakat termasuk Umar bin Khattab, Abu Ubaidah al-Jarrah dan sebagian para pemimpin Muhajirin dan Anshar di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah membaiat [[Abu Bakar]] dengan mengenyampingkan Sa’ad bin Ubadah dan mengokohkan kekhilafahannya, dan selanjutnya sejumlah masyarakat membaiatnya dan memaksa sebagian lainnya untuk berbaiat. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 288-289. </ref> | ||
Pembaiatan khalifah terkait para khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan Utsman juga dilakukan dengan metode semacam ini dan dalam bentuk politik. <ref>Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 312, 340. </ref> Demikian juga, saat masyarakat membaiat Imam Ali As di masjid dengan penuh pemaksaan supaya memegang urusan khilafah<ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 692. </ref> , dan pasca kesyahidannya, mereka membaiat Imam Hasan As. <ref>Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 4, hlm. 28. </ref> | Pembaiatan khalifah terkait para khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan Utsman juga dilakukan dengan metode semacam ini dan dalam bentuk politik. <ref>Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 312, 340. </ref> Demikian juga, saat masyarakat membaiat Imam Ali As di masjid dengan penuh pemaksaan supaya memegang urusan khilafah<ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 692. </ref> , dan pasca kesyahidannya, mereka membaiat Imam Hasan As. <ref>Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 4, hlm. 28. </ref> | ||
Baris 126: | Baris 126: | ||
Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah Saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah Saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk “menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi”. Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah Saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. <ref>Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma’alim al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi ‘Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> pendapat Ahlusunnah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasul Saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah Saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah Saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk “menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi”. Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah Saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. <ref>Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma’alim al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi ‘Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> pendapat Ahlusunnah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasul Saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | ||
Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunnah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca peristiwa Saqifah, Imam Ali As, Bani Hasyim dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan Abu Bakar dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunnah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca peristiwa Saqifah, Imam Ali As, Bani Hasyim dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan [[Abu Bakar]] dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | ||
Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali As saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> | Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali As saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> |