Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

210 bita ditambahkan ,  8 November 2021
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Rezvani
k (پیوند میان ویکی در ویکی داده و حذف آن از مبدا ویرایش)
imported>Yuwono
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 23: Baris 23:


* '''Pendapat [[Asy'ari]]''': Para teolog Asy'ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 280. </ref>  
* '''Pendapat [[Asy'ari]]''': Para teolog Asy'ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 280. </ref>  
* '''Pendapat [[Imamiyah]] dan Mu'tazilah''': Para teolog Imamiyah dan [[Mu'tazilah]] dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk bersifat rasional dan kaidah luthf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara luthf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasāil al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref> Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk "luthf khafi" (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref> Sifat yang melekat ini (malakah) ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, dimana mampu mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhādharāt fi al-Ilāhiyyāt'', hlm. 276. </ref>, bahkan mampu mencegahnya dari memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>
* '''Pendapat [[Imamiyah]] dan Mu'tazilah''': Para teolog Imamiyah dan [[Mu'tazilah]] dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk bersifat rasional dan kaidah luthf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara luthf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasāil al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref> Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk "luthf khafi" (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref> Sifat yang melekat ini (malakah) ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, dimana mampu mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhādharāt fi al-Ilāhiyyāt'', hlm. 276. </ref>, bahkan mampu mencegahnya dari memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>


==Sumber Ishmah==
==Sumber Ishmah==
Baris 47: Baris 47:
===Domain===
===Domain===
Ishmah [[para Nabi]] memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ishmah [[para Nabi]] memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi dari [[syirik]] dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[Muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
Baris 53: Baris 53:
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Subyek hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Subyek hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.


Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan subyek-subyek hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebutkan bahwa keyakinan akan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiyah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan subyek-subyek hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syekh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebutkan bahwa keyakinan akan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiyah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kekeliruan-kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak sampai pada batas yang menyebabkan masyarakat tidak perduli pada mereka, maka tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi yang semacam ini. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jld. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kekeliruan-kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak sampai pada batas yang menyebabkan masyarakat tidak peduli pada mereka, maka tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi yang semacam ini. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jld. 1, hlm. 25-31. </ref>


===Urgensitas===
===Urgensitas===
Dengan melihat luasnya kemaksuman para Nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu akan berfungsi dengan benar apabila dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari penyimpangan dan pemalsuan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  
Dengan melihat luasnya kemaksuman [[para Nabi]], maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu akan berfungsi dengan benar apabila dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari penyimpangan dan pemalsuan yang disengaja maupun tidak disengaja. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  


Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.
Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.
Baris 187: Baris 187:
*Muthahhari. ''Wahyu wa Nubuwwat''. Teheran: Nasyr Sadra.
*Muthahhari. ''Wahyu wa Nubuwwat''. Teheran: Nasyr Sadra.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan. ''Kalam Falsafi''. Qom: Wutsuq, 1383 HS.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan. ''Kalam Falsafi''. Qom: Wutsuq, 1383 HS.
*Shaduq, Muhammad bin Ali. ''Uyun Akhbār al-Ridha (as)''. Riset: Al-Syaikh Husain al-A'lami. Beirut: Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, 1404 H.
*Shaduq, Muhammad bin Ali. ''Uyun Akhbār al-Ridha (as)''. Riset: Al-Syekh Husain al-A'lami. Beirut: Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, 1404 H.
*Subhani, Ja'far. ''Muhādharāt fi al-Ilahiyyat''. Diringkas oleh Ali Rabbani Golpaigani. Qom: Muassasah Imam Shadiq, 1428 H.
*Subhani, Ja'far. ''Muhādharāt fi al-Ilahiyyat''. Diringkas oleh Ali Rabbani Golpaigani. Qom: Muassasah Imam Shadiq, 1428 H.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husain. ''Al-Syāfi fi al-Imamah''. Teheran: Muassasah al-Shadiq, 1407 H.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husain. ''Al-Syāfi fi al-Imamah''. Teheran: Muassasah al-Shadiq, 1407 H.
Baris 196: Baris 196:
{{akhir}}
{{akhir}}
{{imamah}}
{{imamah}}
[[Category:Akidah Islam]]
[[Category:Akidah Syiah]]
[[Category:Perbedaan Teologis Syiah dan Ahlusunnah]]
[[Category:Akidah Islam]]
[[Category:Akidah Syiah]]
[[Category:Perbedaan Teologis Syiah dan Ahlusunnah]]


[[Kategori:Akidah Islam]]
[[Kategori:Akidah Islam]]
[[Kategori:Akidah Syiah]]
[[Kategori:Akidah Syiah]]
[[Kategori:Perbedaan Teologis Syiah dan Ahlusunnah]]
[[Kategori:Perbedaan Teologis Syiah dan Ahlusunnah]]
Pengguna anonim