Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

4 bita dihapus ,  10 November 2018
imported>M.hazer
imported>M.hazer
Baris 50: Baris 50:
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog [[muslim]] dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah [[kenabian]] tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam menerima, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok [[Syiah]] dan [[Ahlusunah]] adalah para Nabi dalam menerima, menjaga dan menyampaikan [[wahyu]] terjaga dari [[dosa]] dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, ''Syarh al-Mawāqif'', hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, ''Syarh al-Maqāshid'', jld. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang dipercaya tidak akan melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, ''Rah wa Rahnema Shenasi'', hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih))|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan [[wajib|kewajiban-kewajiban]] dan meninggalkan hal-hal yang [[haram (fikih)|diharamkan]], terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, ''al-Nukat al-I'tiqadiyyah'', hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti [[salat]] yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, [[Syaikh Shaduq]] meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, ''Man La Yahdhuruhul Faqih'', jld. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, '''Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Pengguna anonim