Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

83 bita ditambahkan ,  6 Juni 2018
tidak ada ringkasan suntingan
imported>E.amini
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>Yuwono
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 2: Baris 2:
  | prioritas =aa
  | prioritas =aa
  | kualitas =c
  | kualitas =c
  | link =
  | link =sudah
  | foto =-
  | foto =-
  | kategori =
  | kategori =sudah
  | infobox =-
  | infobox =-
  | navbox =
  | navbox =sudah
  | alih=
  | alih=sudah
  | referensi =
  | referensi =
  | Artikel bagus =
  | Artikel bagus =
Baris 13: Baris 13:
}}}}</onlyinclude>
}}}}</onlyinclude>
{{Keyakinan-keyakinan Syiah}}
{{Keyakinan-keyakinan Syiah}}
'''Ishmah (keterjagaan)'''(Bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah. Keyakinan akan ishmah para nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum [[Syiah]]. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.
'''Ishmah (keterjagaan)''' (bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari [[dosa]] dan maksiat kepada [[Allah swt]]. Keyakinan akan ishmah [[KeNabian#Para Nabi|para Nabi]] dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum [[Syiah]]. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.


Keyakinan akan kebenaran setiap agama dan pengejawantahan berdasarkan ajaran-ajarannya bertopang pada pembuktian kemaksuman nabi agama tersebut. Dalam pembahasan interreligious, kemaksuman para nabi dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu dibuktikan dengan dalil rasional; namun kemaksuman dalam lingkup praktik kehidupan mereka, mayoritas bertopang pada dalil naqli.
Keyakinan akan kebenaran setiap agama dan pengejawantahan berdasarkan ajaran-ajarannya bertopang pada pembuktian kemaksuman Nabi agama tersebut. Dalam pembahasan interreligious, kemaksuman para Nabi dalam mendapatkan dan menyampaikan [[wahyu]] dibuktikan dengan dalil rasional; namun kemaksuman dalam lingkup praktik kehidupan mereka, mayoritas bertopang pada dalil naqli.


==Analisis Konsep==
==Analisis Konsep==
===Makna Etimologi===
===Makna Etimologi===
Ishmah, kata dasar (isim Masdar) dari kata ‘Ain Shad Mim, yang berarti penjagaan, terjaga<ref>Fayumi, hlm. 414. </ref> , kesucian, penjagaan jiwa dari dosa<ref>Dehkhoda, kata Ishmah. </ref> , sarana menahan dan sarana penjagaan. <ref>Ibn Manzur, jild. 12, hlm. 405. </ref>   
Ishmah, kata dasar (isim Mashdar) dari kata 'Ain Shad Mim, yang berarti penjagaan, terjaga<ref>Fayumi, hlm. 414. </ref> , kesucian, penjagaan jiwa dari dosa<ref>Dehkhoda, kata Ishmah. </ref> , sarana menahan dan sarana penjagaan. <ref>Ibn Manzur, jild. 12, hlm. 405. </ref>   


===Makna Terminologi===
===Makna Terminologi===
Para cendekiawan muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
Para cendekiawan [[Muslim]] mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
* Pendapat Asy'ari: Para teolog Asy'ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawaqif'', hlm. 280. </ref>  
* Pendapat [[Asy'ari]]: Para teolog Asy'ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawaqif'', hlm. 280. </ref>  
* Pendapat [[Imamiyah|Imamiah]] dan Mu'tazilah: Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah lutf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara lutf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk ''lutf khafi'' (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhadharat fi al-Ilahiyyat'', hlm. 276. </ref> , bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>
* Pendapat [[Imamiyah|Imamiah]] dan Mu'tazilah: Para teolog Imamiah dan [[Mu'tazilah]] dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah luthf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara luthf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk ''luthf khafi'' (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhadharat fi al-Ilahiyyat'', hlm. 276. </ref>, bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>


==Sumber Ishmah==
==Sumber Ishmah==
Dalam definisi ishmah, mayoritas cendekiawan mengisyaratkan kemampuan dan ikhtiyar manusia maksum dalam meninggalkan dosa. Sekarang ini dikemukakan pertanyaan, faktor apa atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang-orang maksum dengan ikhtiyarnya meninggalkan dosa dan atau terjauhkan dari segala kesalahan dan kealpaan? Dengan kata lain apa sumber dan muara kemaksuman? Ada banyak pendapat dalam menjawab hal ini, diantaranya adalah:
Dalam definisi ishmah, mayoritas cendekiawan mengisyaratkan kemampuan dan ikhtiyar manusia maksum dalam meninggalkan dosa. Sekarang ini dikemukakan pertanyaan, faktor apa atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan orang-orang maksum dengan ikhtiyarnya meninggalkan dosa dan atau terjauhkan dari segala kesalahan dan kealpaan? Dengan kata lain apa sumber dan muara kemaksuman? Ada banyak pendapat dalam menjawab hal ini, diantaranya adalah:
* '''Sebab-sebab Empat Lutf''': Sekelompok ulama [[Islam]] yang menginterpretasikan ishmah dengan luth Ilahi menganggap empat sebab sebagai sumber lutf tersebut dan keseluruhannya menyebabkan kemunculan ismah:
* '''Empat sebab munculnya Luthf''': Sekelompok ulama [[Islam]] yang menginterpretasikan ishmah dengan luthf Ilahi menganggap empat sebab sebagai sumber lutf tersebut dan keseluruhannya menyebabkan kemunculan ismah:
#Sosok maksum dari aspek ruh atau tubuh memiliki kriteria dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang menyebabkan adanya malakah menjauhi dosa pada dirinya.
#Sosok maksum dari aspek ruh atau tubuh memiliki kriteria dan keistimewaan-keistimewaan khusus yang menyebabkan adanya malakah menjauhi dosa pada dirinya.
#Bagi maksum, pengetahuan terhadap akibat-akibat buruk dosa dan nilai ketaatan diperoleh dari Allah.
#Bagi maksum, pengetahuan terhadap akibat-akibat buruk dosa dan nilai ketaatan diperoleh dari [[Allah]].
#Pengetahuan ini semakin bertambah besar seiring dengan turunnya wahyu secara berkesinambungan dan atau ilham.
#Pengetahuan ini semakin bertambah besar seiring dengan turunnya wahyu secara berkesinambungan dan atau ilham.
#Sosok maksum tidak hanya sekedar melakukan hal-hal yang wajib, bahkan ditegur juga dalam meninggalkan hal-hal yang bersifat lebih utama, sampai merasa sama sekali tidak ada bentuk kelalaian dan pengabaian tentangnya. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Murad'', hlm. 494.</ref>  
#Sosok maksum tidak hanya sekedar melakukan hal-hal yang wajib, bahkan ditegur juga dalam meninggalkan hal-hal yang bersifat lebih utama, sampai merasa sama sekali tidak ada bentuk kelalaian dan pengabaian tentangnya. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Murad'', hlm. 494.</ref>  
Baris 40: Baris 40:
==Ishmah Para Nabi==
==Ishmah Para Nabi==
===Domain===
===Domain===
Ismah para nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
Ismah para Nabi memiliki tingkatan dan domain yang luas dan di setiap tingkatan ini menjadi pembahasan di kalangan para pemikir dan teolog. Pembahasan mencakup keterjagaan para Nabi di hadapan syirik dan kufur sampai keterjagaan mereka dari kesalahan.
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para nabi baik sebelum dan setelah kenabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur''': Terkait kemaksuman para Nabi dari syirik dan kufur tidak ada perbedaan di kalangan mazhab serta para teolog muslim dan semuanya sepakat bahwa para Nabi baik sebelum dan setelah keNabian tidak pernah melakukan kemusyrikan atau kekufuran dan tidak akan pernah sama sekali. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para Nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para Nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para Nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para Nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah Nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para Nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian Nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para Nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para Nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>


===Urgensitas===
===Urgensitas===
Dengan melihat luasnya kemaksuman para nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para nabi dalam bagian aktivitas kenabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu apabila memiliki efesiensi lazim dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari pemalsuan dan plagiarism. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  
Dengan melihat luasnya kemaksuman para Nabi, maka dapat dijelaskan urgensi setiap bagian dari ishmah. Ishmah terkait dengan wahyu (penerimaan dan penyampaian wahyu) karena jika para Nabi dalam bagian aktivitas keNabiannya tidak terjaga dari kesalahan, dosa dan pengkhianatan, maka apakah ada jaminan bahwa Nabi tidak akan keliru dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat atau tidak melakukan pengkhianatan. Wahyu apabila memiliki efesiensi lazim dari tahap penurunannya sampai tahap penyampaian kepada masayarakat terjaga dari pemalsuan dan plagiarism. Jika tidak demikian, maka keyakinan masyarakat akan sirna dan tujuan dari pengutusan para Nabi dan pelbagai agama akan hilang. <ref>Mishbah Yazdi, ''Omuzesh ‘Aqaid'', hlm. 193-194. </ref>  
Ishmah para nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para nabi.
Ishmah para Nabi dalam bagian-bagian lainnya dan keluasan ishmah sangatlah penting, karena jika para Nabi tidak terjaga dari kesalahan dan dosa yang disengaja, maka keyakinan masyarakat terhadap pesan Ilahi akan hilang dan hasilnya adalah menyimpang dari tujuan pengutusan para Nabi.


===Argumentasi===
===Argumentasi===
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).
*'''Ishmah dari syirik dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizan fi Tafsir al-Quran'', jild. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya''', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para Nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizan fi Tafsir al-Quran'', jild. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya''', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam pengutusan para nabi dan menyeru masyarakat dan menyalahi tujuan juga hal yang mustahil dan tidak mungkin. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  Al-Quran juga menjelaskan hal ini:
*'''Ishmah dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam pengutusan para Nabi dan menyeru masyarakat dan menyalahi tujuan juga hal yang mustahil dan tidak mungkin. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  Al-Quran juga menjelaskan hal ini:
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
Baris 63: Baris 63:
==Kemaksuman Para Imam==
==Kemaksuman Para Imam==
===Urgensitas===
===Urgensitas===
Dengan bertolak bahwa imam adalah pengganti nabi dan tempat rujukan ilmiah dalam hukum-hukum syariat dan pengetahuan-pengetahuan agama, tafsir Al-Quran dan sunnah Nabawi, maka sudah semestinya mereka terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga masyarakat dapat mempercayai kepribadiannya dan ucapan-ucapannya. Jika tidak demikian, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dan menyimpang dari tujuan tentang penentuan imam sebagai pemberi petunjuk manusia.
Dengan bertolak bahwa imam adalah pengganti Nabi dan tempat rujukan ilmiah dalam hukum-hukum syariat dan pengetahuan-pengetahuan agama, tafsir Al-Quran dan sunnah Nabawi, maka sudah semestinya mereka terjaga dari dosa dan kesalahan, sehingga masyarakat dapat mempercayai kepribadiannya dan ucapan-ucapannya. Jika tidak demikian, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dan menyimpang dari tujuan tentang penentuan imam sebagai pemberi petunjuk manusia.


===Domain===
===Domain===
Baris 85: Baris 85:
:- Ijma' ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut [[Syiah]], qiyas juga tidak memiliki ''hujjiyah''.
:- Ijma' ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut [[Syiah]], qiyas juga tidak memiliki ''hujjiyah''.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para nabi. <ref>Bahrani, ''Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam'', hlm. 178-179. </ref>  
Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para Nabi. <ref>Bahrani, ''Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam'', hlm. 178-179. </ref>  
*'''Qiyas Istitsna'i''': Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
*'''Qiyas Istitsna'i''': Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
Baris 96: Baris 96:
“''Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 124)
“''Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak berlaku untuk orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 124)


Ayat ini mengisyaratkan saat [[Nabi Ibrahim As]] berhasil dalam menjalankan ujian-ujian Ilahi. Pada saat itu, dia yang sebelumnya telah memangku maqom nubuwah atau kenabian dan termasuk [[Ulul Azmi]], sampai pada maqom imamah. Argumentasi para teolog dan para mufasir [[Imamiyah|Imamiah]] adalah sebagai berikut:
Ayat ini mengisyaratkan saat [[Nabi Ibrahim As]] berhasil dalam menjalankan ujian-ujian Ilahi. Pada saat itu, dia yang sebelumnya telah memangku maqom nubuwah atau keNabian dan termasuk [[Ulul Azmi]], sampai pada maqom imamah. Argumentasi para teolog dan para mufasir [[Imamiyah|Imamiah]] adalah sebagai berikut:
:- Orang yang melakukan dosa adalah zalim; karena melanggar hukum-hukum Ilahi:
:- Orang yang melakukan dosa adalah zalim; karena melanggar hukum-hukum Ilahi:
“''Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 229)
“''Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim''”. (QS. Al-Baqarah: 229)
Pengguna anonim