Lompat ke isi

Ishmah: Perbedaan antara revisi

148 bita dihapus ,  31 Januari 2017
tidak ada ringkasan suntingan
imported>Hindr
Tidak ada ringkasan suntingan
imported>E.amini
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:
{{Keyakinan-keyakinan Syiah}}
{{Keyakinan-keyakinan Syiah}}
'''Ishmah (keterjagaan)'''(Bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah. Keyakinan akan ishmah para nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum [[Syiah]]. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.
'''Ishmah (keterjagaan)'''(Bahasa Arab: {{ia|العصمة}}) berarti terjauhkan dari dosa dan maksiat kepada Allah. Keyakinan akan ishmah para nabi dan imam, baik dari dosa-dosa yang sengaja maupun tidak termasuk doktrin dan keyakinan-keyakinan kelompok kaum [[Syiah]]. Ishmah dari kealpaan dan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari para maksum ini termasuk hal yang menjadi perselisihan di kalangan para ulama.


Baris 11: Baris 10:
===Makna Terminologi===
===Makna Terminologi===
Para cendekiawan muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
Para cendekiawan muslim mengetengahkan pelbagai definisi tentang ishmah. Definisi paling populer adalah interpretasi berdasarkan karunia Allah atau lutf Ilahi. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Berdasarkan hal ini, Allah memberikan ishmah kepada sebagian manusia dan dalam naungannya, pemilik ishmah selain mampu untuk berbuat dosa dan meninggalkan ketaatan, ia terjaga dari melakukan dosa dan meninggalkan ketaatan.
* Pendapat Asy’ari: Para teolog Asy’ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawaqif'', hlm. 280. </ref>  
* Pendapat Asy'ari: Para teolog Asy'ari dengan berlandaskan keyakinan keterpaksaan manusia dalam amal dan perilaku, mendefinisikan ishmah dengan tidak diciptakannya dosa dalam diri seorang maksum oleh Allah swt. <ref>Al-Iji, Mir Sayid Syarif, ''Syarh al-Mawaqif'', hlm. 280. </ref>  
* Pendapat [[Imamiyah|Imamiah]] dan Mu’tazilah: Para teolog Imamiah dan Mu’tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah lutf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara lutf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk ''lutf khafi'' (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhadharat fi al-Ilahiyyat'', hlm. 276. </ref> , bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>
* Pendapat [[Imamiyah|Imamiah]] dan Mu'tazilah: Para teolog Imamiah dan Mu'tazilah dengan berlandaskan keyakinan baik dan buruk sifatnya rasional dan kaidah lutf, ishmah adalah manusia meninggalkan dosa secara ikhtiyar, dengan perantara lutf yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. <ref>Syarif Murtadha, ''Rasail al-Syarif al-Murtadha'', hlm. 326. </ref>  Menurut [[Allamah Hilli]], ishmah termasuk ''lutf khafi'' (karunia yang lembut dan tersembunyi) yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba-Nya, dimana tak ada lagi motivasi untuk meninggalkan ketaatan dan atau melakukan maksiat dalam dirinya; meski ia memiliki kemampuan untuk melakukannya. <ref>Hilli, ''al-Bab al-Hadi ‘Asyar'', hlm. 9. </ref>  Malakah atau kesinambungan ini meski dari jenis takwa dan penjagaan, namun berada dalam tingkat yang lebih tinggi darinya, sampai pada batas mencegah pemiliknya untuk melakukan setiap tindakan buruk<ref>Rabbani Golpaigani, ''Muhadharat fi al-Ilahiyyat'', hlm. 276. </ref> , bahkan pada batas memikirkan dosa dan menyebabkan terwujudnya kadar keyakinan umum tertinggi pada mereka. <ref>Muthahhari, ''Wahyu wa Nubuwwat'', hlm. 159. </ref>


==Sumber Ishmah==
==Sumber Ishmah==
Baris 32: Baris 31:
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu''': Yang populer di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah adalah para nabi dalam mendapatkan, menjaga dan menyampaikan wahyu terjaga dari dosa dan pengkhianatan secara sengaja<ref>Jarjani, Syarh al-Mawaqif, hlm. 263. </ref>  dan kesalahan. <ref>Taftazani, Syarh al-Maqashid, jild. 5, hlm. 50. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
Berdasarkan tingkatan ishmah ini, para nabi Allah menyampaikan apa-apa yang telah diwahyukan oleh Allah kepada mereka dengan tanpa kekurangan dan pengurangan, mereka tidak mengkhianatinya dan berdasarkan hikmah Ilahi, Allah memilih seseorang untuk risalah-Nya, yang yakin sama sekali tidak melakukan pengkhianatan. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I’tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam mengamalkan hukum-hukum syariat''': Menurut pendapat masyhur para teolog Syiah, para nabi dalam menjalankan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan, terjaga dari kealpaan dan dosa. <ref>Mufid, al-Nukat al-I'tiqadiyyah, hlm. 35; Hilli, Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad, hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar’i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar’i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar’i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
*'''Ishmah dalam menentukan ekstensi (mishdaq) hukum-hukum syariat''': Topik hukum syar'i adalah amal dan perilaku-perilaku, dimana salah satu dari hukum-hukum syar'i dikeluarkan untuknya. Seperti salat yang diwajibkan dan ghibah (menggunjing) yang diharamkan. Maksud dari tingkatan ishmah ini adalah para nabi dalam menentukan ekstensi hukum-hukum syar'i, meski tidak melakukan kesalahan dengan sengaja, namun apakah mereka juga terjaga dari kesalahan dan kekeliruan. Misalnya apakah nabi bisa meninggalkan salat Subuhnya karena kesalahan tidur atau lalai dan sekali atau beberapa kali meninggalkan salatnya?!.
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy’ari dan Mu’tazilah berpendapat bahwa para nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar’i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
Terkait tingkatan ishmah ini, terdapat perbedaan pendapat antara para teolog Syiah dan Ahlusunnah. Asy'ari dan Mu'tazilah berpendapat bahwa para nabi ada kemungkinan salah atau keliru dalam menentukan topik-topik hukum syar'i dan implementasi hukum-hukum Ilahi terhadap ekstensi-ekstensi luarnya. Di kalangan para ulama Syiah, Syaikh Shaduq meyakini tidak adanya kemaksuman dalam maqom ini dan menyebut keyakinan tidak adanya kelalaian nabi merupakan keyakinan ekstrem dan khusus kelompok ghulat dan mufawwidhah. <ref>Shaduq, Man La Yahdhuruhul Faqih, jild. 1, hlm. 360. </ref>  Namun pendapat masyhur Imamiah dalam hal ini adalah kemaksuman para nabi. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>  
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>
*'''Ishmah dari kesalahan dalam perkara-perkara biasa dan sehari-hari''': Maksud dari hal ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dengan sendirinya tidak terkait dengan agama dan tidak memiliki hukum wajib atau tidak wajib. Dalam hal ini jika kesalahan-kesalahan/kekeliruan mereka dalam kehidupan sehari-hari, jika tidak seukuran yang menyebabkan ketidakpedulian masyarakat, tidak hanya kita tidak memiliki dalil rasional terhadap kemaksuman mereka dalam hal ini, bahkan dalam hal ini ada riwayat-riwayat dalam referensi-referensi hadis yang menunjukkan adanya kekeliruan-kekeliruan para nabi. <ref>Kulaini, ''Ushul Kafi'', jild. 1, hlm. 25-31. </ref>


Baris 43: Baris 42:
===Argumentasi===
===Argumentasi===
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).
Di kalangan para pemikir [[Islam]], ada perbedaan pendapat tentang dalil-dalil pembuktian ishmah. Masalah penting di sini adalah setiap tingkatan-tingkatan ishmah yang ada menuntut argumentasi khusus. Sebagian tingkatan tersebut dapat dibuktikan dengan dalil rasional dan sebagian lainnya hanya dapat dibuktikan dengan dalil naqli (ayat dan riwayat).
*'''Ishmah dari syirik dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizan fi Tafsir al-Quran'', jild. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya’'', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dari syirik dan kufur, bahkan sebelum pengutusan''': Argumentasi tingkatan ishmah ini adalah terciptanya keyakinan penuh terhadap sabda-sabda para nabi dan klaim mereka dapat terealisasi jika mereka tidak melakukan kesyirikan dan kekufuran bahkan sebelum masa pengutusan mereka. <ref>Thabathabai, ''al-Mizan fi Tafsir al-Quran'', jild. 2, hlm. 138; Syarif Murtadha, ''Tanzih al-Anbiya''', hlm. 5. </ref>  
*'''Ishmah dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam pengutusan para nabi dan menyeru masyarakat dan menyalahi tujuan juga hal yang mustahil dan tidak mungkin. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  Al-Quran juga menjelaskan hal ini:
*'''Ishmah dalam mendapatkan dan menyampaikan wahyu''': Tahapan ishmah ini dapat dibuktikan lewat argumentasi rasional; karena jika ada kemungkinan salah dalam hal ini, maka akan menyalahi tujuan Allah dalam pengutusan para nabi dan menyeru masyarakat dan menyalahi tujuan juga hal yang mustahil dan tidak mungkin. <ref>Mishbah Yazdi, Rah wa Rahnema shenasi, hlm. 153 dan 154. </ref>  Al-Quran juga menjelaskan hal ini:
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
:“''Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu''”. (QS. Al-Haaqqah: 44-47)
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar’i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I’tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menjalankan hukum-hukum syariat''': Argumentasi tahapan ishmah ini adalah keyakinan terhadap ucapan dan pesan mereka bergantung pada kemaksuman mereka dari dosa-dosa dan tidakadanya kesalahan dalam perintah-perintah Allah dan pelanggaran yang disengaja maupun tidak dalam menjalankan hukum-hukum syar'i. <ref>Hilli, ''Kasyf al-Muraf fi Syarh Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 394. </ref>  
*'''Ishmah dalam menentukan topik-topik hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>
*'''Ishmah dalam menentukan topik-topik hukum syariat''': Penyebab dalam hal ini adalah bahwa masyarakat dan orang-orang berakal tidak mempercayai seseorang yang melakukan kesalahan dengan tanpa disengaja dan bahkan mereka tidak akan menyerahkan harta benda mereka kepadanya. Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang dapat percaya kepada orang semacam ini dan mengambil sumber-sumber agamanya darinya. <ref>Mufid, ''‘Adamu Sahwi al-Nabi'', hlm. 29 dan 30. </ref>


Baris 70: Baris 69:
:- Untuk mencegah pemalsuan, memerlukan adanya tempat rujukan yang menghantarkan ajaran dan hukum-hukum sahih kepada para mukallaf dan menjelaskan mereka dari penyelewengan dan mencegah perubahannya.
:- Untuk mencegah pemalsuan, memerlukan adanya tempat rujukan yang menghantarkan ajaran dan hukum-hukum sahih kepada para mukallaf dan menjelaskan mereka dari penyelewengan dan mencegah perubahannya.
:- Tempat rujukan ini tidak mungkin kitab Allah dan sunnah mutawatir; karena selain [[al-Quran]] memiliki banyak ayat-ayat ''mutasyabih'', dimana penjelasan makna sejatinya membutuhkan adanya tempat rujukan ilmiah yang dapat dipercaya, sementara ada banyak masalah yang tidak ada dalam kitab Allah dan tidak dijalankan dalam sunnah mutawatir.  
:- Tempat rujukan ini tidak mungkin kitab Allah dan sunnah mutawatir; karena selain [[al-Quran]] memiliki banyak ayat-ayat ''mutasyabih'', dimana penjelasan makna sejatinya membutuhkan adanya tempat rujukan ilmiah yang dapat dipercaya, sementara ada banyak masalah yang tidak ada dalam kitab Allah dan tidak dijalankan dalam sunnah mutawatir.  
:- tempat rujukan ini juga tidak bisa ijma’; karena banyak sekali tidak adanya ijma’ dalam masalah-masalah syariat, dalam hal ini ijma’ sendiri juga tidak memiliki otoritas (''hujjiyah'').
:- tempat rujukan ini juga tidak bisa ijma'; karena banyak sekali tidak adanya ijma' dalam masalah-masalah syariat, dalam hal ini ijma' sendiri juga tidak memiliki otoritas (''hujjiyah'').
:- Ijma’ ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut [[Syiah]], qiyas juga tidak memiliki ''hujjiyah''.
:- Ijma' ini juga tidak bisa berupa qiyas; karena menurut [[Syiah]], qiyas juga tidak memiliki ''hujjiyah''.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
:- Dengan demikian hanya tersisa satu jalan dan itu adalah adanya seorang imam yang merupakan pengganti Rasulullah dan merupakan tempat penjagaan dan penjelasan syariat.
Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para nabi. <ref>Bahrani, ''Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam'', hlm. 178-179. </ref>  
Oleh karena itu, orang tersebut harus maksum dan jika tidak, maka senantiasa akan adanya kemungkinan perubahan dan penyelewengan dalam syariat dan ini tidak selaras dengan tujuan pengutusan para nabi. <ref>Bahrani, ''Qawaid al-Muram fi ‘Ilm al-Kalam'', hlm. 178-179. </ref>  
*'''Qiyas Istitsna’i''': Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
*'''Qiyas Istitsna'i''': Argumentasi ini dijelaskan lewat sebuah analogi pengecualian:
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
Jika seorang imam tidak maksum, maka ada dua kondisi. Kedua asumsi tersebut batil, dengan demikian ketidakmaksuman imam juga batil. Penjelasannya adalah kaum muslim berkewajiban mengikuti perintah-perintah imam. Sekarang jika imam tidak maksum dan dapat melakukan kesalahan atau dosa, kewajiban seorang mukallaf di hadapan amalnya tidak keluar dari dua kondisi;
:- Pertama harus mengikutinya, dimana jika demikian ia telah bekerjasama dalam kezaliman dan dosa bersamanya, sementara al-Quran memerintahkan supaya tidak bekerjasama dalam kezaliman dan dosa. <ref>QS. Al-Maidah: 2. </ref>  
:- Pertama harus mengikutinya, dimana jika demikian ia telah bekerjasama dalam kezaliman dan dosa bersamanya, sementara al-Quran memerintahkan supaya tidak bekerjasama dalam kezaliman dan dosa. <ref>QS. Al-Maidah: 2. </ref>  
:- Atau tidak harus mengikutinya. Jika demikian juga bertentangan dengan tujuan dari adanya imam dan juga perintah Allah untuk mentaati seorang imam. <ref>QS. An-Nisa: 59; Khwaja Nashiruddin Thusi, ''Tajrid al-I’tiqad'', hlm. 222; Taftazani, ''Syarh al-Maqashid'', jild. 5, hlm. 249. </ref>
:- Atau tidak harus mengikutinya. Jika demikian juga bertentangan dengan tujuan dari adanya imam dan juga perintah Allah untuk mentaati seorang imam. <ref>QS. An-Nisa: 59; Khwaja Nashiruddin Thusi, ''Tajrid al-I'tiqad'', hlm. 222; Taftazani, ''Syarh al-Maqashid'', jild. 5, hlm. 249. </ref>


====Argumentasi Naqli (Tekstual)====
====Argumentasi Naqli (Tekstual)====
Baris 96: Baris 95:
Argumentasi untuk membuktikan kemaksuman dengan ayat ini dengan dua bentuk:
Argumentasi untuk membuktikan kemaksuman dengan ayat ini dengan dua bentuk:
:'''Bentuk pertama''': Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati seseorang dengan tanpa syarat apapun, maka orang tersebut adalah maksum yaitu terjaga dari dosa; karena jika orang tersebut tidak maksum dan kemudian memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan dosa, maka dia harus mentaatinya (karena ketaatannya adalah wajib) dan juga tidak mentaatinya (karena taat dan patuh terhadap makhluk selama hal itu menyebabkan kepatuhan kepada Tuhan, bukan sebaliknya). Dengan demikian, terjadilah pertentangan dua hal, kontradiksi, dan itu mustahil. <ref>Mudzaffar, jild. 2, hlm. 17. </ref>  
:'''Bentuk pertama''': Ketika Allah memerintahkan untuk mentaati seseorang dengan tanpa syarat apapun, maka orang tersebut adalah maksum yaitu terjaga dari dosa; karena jika orang tersebut tidak maksum dan kemudian memerintahkan kepada orang lain untuk melakukan dosa, maka dia harus mentaatinya (karena ketaatannya adalah wajib) dan juga tidak mentaatinya (karena taat dan patuh terhadap makhluk selama hal itu menyebabkan kepatuhan kepada Tuhan, bukan sebaliknya). Dengan demikian, terjadilah pertentangan dua hal, kontradiksi, dan itu mustahil. <ref>Mudzaffar, jild. 2, hlm. 17. </ref>  
:'''Bentuk kedua''': Dalam ayat ini, Ulil Amri dikembalikan ke Rasul; ketaatan terhadap keduanya dengan satu kata kerja Athi’u; ketaatan terhadap rasul sama sekali tidak ada syaratnya; dengan demikian ketaatan terhadap Ulil Amri juga dengan tanpa syarat adalah wajib. Hal ini tidak masalah ketika Ulil Amri adalah seorang yang maksum. <ref>Thabarsi, jild. 2, hlm. 64. </ref>
:'''Bentuk kedua''': Dalam ayat ini, Ulil Amri dikembalikan ke Rasul; ketaatan terhadap keduanya dengan satu kata kerja Athi'u; ketaatan terhadap rasul sama sekali tidak ada syaratnya; dengan demikian ketaatan terhadap Ulil Amri juga dengan tanpa syarat adalah wajib. Hal ini tidak masalah ketika Ulil Amri adalah seorang yang maksum. <ref>Thabarsi, jild. 2, hlm. 64. </ref>
   
   
*'''Ayat Tathir'''
*'''Ayat Tathir'''
:Artikel Utama:[[Ayat Tathir]]
:Artikel Utama:[[Ayat Tathir]]
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya”. (QS. Al-Ahzab: 33)
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sesuci-sucinya”. (QS. Al-Ahzab: 33)
Dalam sebagian referensi-referensi Syiah dan [[Ahlusunnah]] dikemukakan bahwa Rasulullah Saw dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Aku dan Ahlulbaitku adalah suci”. <ref>''Dalail al-Nubuwwah'', jild. 1, hlm. 171; Imta’ al-Asma’, jild. 3, hlm. 208, fa Ana wa Ahlubaiti Muthahharun min al-Dzunub (Maka Saya dan Ahlulbait saya disucikan dari dosa-dosa). </ref>  Ali As juga membuktikan kesucian dari dosa Az-Zahra Sa dalam peristiwa Fadak dengan bersandar pada ayat ini. <ref>Kamil Bahai, Imad Thabari, hlm. 256. </ref>  
Dalam sebagian referensi-referensi Syiah dan [[Ahlusunnah]] dikemukakan bahwa Rasulullah Saw dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Aku dan Ahlulbaitku adalah suci”. <ref>''Dalail al-Nubuwwah'', jild. 1, hlm. 171; Imta' al-Asma', jild. 3, hlm. 208, fa Ana wa Ahlubaiti Muthahharun min al-Dzunub (Maka Saya dan Ahlulbait saya disucikan dari dosa-dosa). </ref>  Ali As juga membuktikan kesucian dari dosa Az-Zahra Sa dalam peristiwa Fadak dengan bersandar pada ayat ini. <ref>Kamil Bahai, Imad Thabari, hlm. 256. </ref>  
Argumentasi dengan ayat ini memerlukan beberapa pendahuluan:  
Argumentasi dengan ayat ini memerlukan beberapa pendahuluan:  
:'''Pendahuluan pertama''': Allah hanya menghendaki pensucian [[Ahlulbait As]].
:'''Pendahuluan pertama''': Allah hanya menghendaki pensucian [[Ahlulbait As]].
:'''Pendahuluan kedua''': Irodah tasyri’i Allah tentang pensucian dan pembersihan para hamba tidak dikhususkan kepada seorangpun.
:'''Pendahuluan kedua''': Irodah tasyri'i Allah tentang pensucian dan pembersihan para hamba tidak dikhususkan kepada seorangpun.
:'''Pendahuluan ketiga''': Ketika irodah tasyri’i tidak dikhususkan untuk seseorang, dengan demikian irodah takwini Allah menghendaki hamba-hamba-Nya ini suci.
:'''Pendahuluan ketiga''': Ketika irodah tasyri'i tidak dikhususkan untuk seseorang, dengan demikian irodah takwini Allah menghendaki hamba-hamba-Nya ini suci.
:'''Pendahuluan keempat''': Irodah takwini Allah juga pasti terealisasi dan tidak akan melenceng.
:'''Pendahuluan keempat''': Irodah takwini Allah juga pasti terealisasi dan tidak akan melenceng.
:'''Pendahuluan kelima''': Kesucian yang dijelaskan dalam ayat ini sama sekali tidak ada syaratnya dan dalam bentuk mutlak dan menafikan segala bentuk kotoran dan ketidaksucian.
:'''Pendahuluan kelima''': Kesucian yang dijelaskan dalam ayat ini sama sekali tidak ada syaratnya dan dalam bentuk mutlak dan menafikan segala bentuk kotoran dan ketidaksucian.
Baris 119: Baris 118:
:- Dalam riwayat ini, berpegang pada kitab Allah dan Ahlulbait diperkenalkan sebagai sebab keselamatan dari kesesatan; dengan demikian sebagaimana ketaatan terhadap al-Quran menyebabkan terhidayahi dan selamat dari kesesatan, ketaatan terhadap Ahlulbait juga akan memiliki kriteria demikian dan hal ini bisa terealisasi jika para imam terjaga dari kesalahan dan dosa. <ref>Ishmah Aimmah az Didgane Aql wa Naql. </ref>
:- Dalam riwayat ini, berpegang pada kitab Allah dan Ahlulbait diperkenalkan sebagai sebab keselamatan dari kesesatan; dengan demikian sebagaimana ketaatan terhadap al-Quran menyebabkan terhidayahi dan selamat dari kesesatan, ketaatan terhadap Ahlulbait juga akan memiliki kriteria demikian dan hal ini bisa terealisasi jika para imam terjaga dari kesalahan dan dosa. <ref>Ishmah Aimmah az Didgane Aql wa Naql. </ref>


*'''Ali ma’a al-Haq wa al-Haq ma’a Ali'''
*'''Ali ma'a al-Haq wa al-Haq ma'a Ali'''
Abdur Rahman bin Abi Sa’ad dari ayahnya menukilkan bahwa kami duduk bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar di samping rumah Rasulullah, lantas Ali As memasuki majlis kami, Rasulullah Saw berkata: Apakah kalian mau saya beritahu paling baiknya kalian? Mereka menjawab, iya. Nabi berkata, paling terbaiknya kalian adalah orang yang menepati janji kalian dan memakai wewangian. Allah mencintai para hamba yang bertakwa. Perawi berkata: pada waktu itu Ali bin Abi Thalib melewati kami; lantas Rasulullah Saw bersabda, “Ini bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya”. <ref>Abu Ya’la, jild. 2, hlm. 318, hadis 1052.</ref>  <ref> ‘Asqalani, jild. 16, hlm. 147. </ref>
Abdur Rahman bin Abi Sa'ad dari ayahnya menukilkan bahwa kami duduk bersama sejumlah kaum Muhajirin dan Anshar di samping rumah Rasulullah, lantas Ali As memasuki majlis kami, Rasulullah Saw berkata: Apakah kalian mau saya beritahu paling baiknya kalian? Mereka menjawab, iya. Nabi berkata, paling terbaiknya kalian adalah orang yang menepati janji kalian dan memakai wewangian. Allah mencintai para hamba yang bertakwa. Perawi berkata: pada waktu itu Ali bin Abi Thalib melewati kami; lantas Rasulullah Saw bersabda, “Ini bersama kebenaran dan kebenaran bersamanya”. <ref>Abu Ya'la, jild. 2, hlm. 318, hadis 1052.</ref>  <ref> ‘Asqalani, jild. 16, hlm. 147. </ref>


Riwayat ini menegaskan kemaksuman [[Amirul Mukminin|Amirul Mukminin Ali As]]; karena makna ishmah tak lain adalah senantiasa bersama dengan hak dan kebenaran dan tidak keliru dalam perkataan dan perangai;
Riwayat ini menegaskan kemaksuman [[Amirul Mukminin|Amirul Mukminin Ali As]]; karena makna ishmah tak lain adalah senantiasa bersama dengan hak dan kebenaran dan tidak keliru dalam perkataan dan perangai;
Baris 139: Baris 138:
*Muassasah tahkikati Hazrat Wali Ashar As, ''Ishmate Aimmah Ahlulbait az Didgahe Aql wa Naql'' (Ishmah Para Imam Ahlulbait dalam perspektif akal dan naql)
*Muassasah tahkikati Hazrat Wali Ashar As, ''Ishmate Aimmah Ahlulbait az Didgahe Aql wa Naql'' (Ishmah Para Imam Ahlulbait dalam perspektif akal dan naql)
*Madreseh Faqahat, ''Ishmate Imam az Didgahe Aql wa Naql'' (Ishmah Imam dalam Perspektif akal dan naql)
*Madreseh Faqahat, ''Ishmate Imam az Didgahe Aql wa Naql'' (Ishmah Imam dalam Perspektif akal dan naql)
*Majma’ Jahani Syieh Shenasi, ''Ishmate Feresytegan'' (Ishmah Para Malaikat)
*Majma' Jahani Syieh Shenasi, ''Ishmate Feresytegan'' (Ishmah Para Malaikat)


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
{{Catatan Kaki}}
{{Catatan Kaki}}
<div style="{{column-count|3}}">
<references/>
</div>


==Daftar Pustaka==
==Daftar Pustaka==
{{Referensi}}
{{Referensi}}
<div style="{{column-count|2}}">
<div style="{{column-count|2}}">
*‘Asqalani, Ahmad bin Ali, al-Mathalib al-Aliyah bi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyyah, Riset. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri, Saudiyyah, Dar al-‘Ashimah/ Dar al-Ghaits, 1419 H.
*‘Asqalani, Ahmad bin Ali, al-Mathalib al-Aliyah bi Zawaid al-Masanid al-Tsamaniyyah, Riset. Sa'ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri, Saudiyyah, Dar al-‘Ashimah/ Dar al-Ghaits, 1419 H.
*Abu Ya’la, Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya’la, Riset. Husein Salim Asad, Damaskus, Dar al-Mamun lil Turats, 1404.
*Abu Ya'la, Ahmad bin Ali, Musnad Abi Ya'la, Riset. Husein Salim Asad, Damaskus, Dar al-Mamun lil Turats, 1404.
*Baihaqi, Ahmad bin Husein (458), Dalail al-Nubuwwah wa Ma’rifah Ahwal Shahib al-Syari’at, Riset. Abdul Mu’thi Qal’aji, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1405.
*Baihaqi, Ahmad bin Husein (458), Dalail al-Nubuwwah wa Ma'rifah Ahwal Shahib al-Syari'at, Riset. Abdul Mu'thi Qal'aji, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1405.
*Fayumi, Ahmad bin Muhammad, Misbah al-Munir, Qom, Dar al-Hijrah, 1414.
*Fayumi, Ahmad bin Muhammad, Misbah al-Munir, Qom, Dar al-Hijrah, 1414.
*Hilli, al-Bab al-Hadi Asyar, Tehran, Muassasah Muthalaat Islami, 1365.
*Hilli, al-Bab al-Hadi Asyar, Tehran, Muassasah Muthalaat Islami, 1365.
Baris 162: Baris 158:
*Mudzaffar, Muhammad Hasan, Dalail al-Shidq, Maktabah al-Dzujaj, Tehran.
*Mudzaffar, Muhammad Hasan, Dalail al-Shidq, Maktabah al-Dzujaj, Tehran.
*Muhammadi Ray, Muhammad, Falsafah Wahyu wa Nubuwwat, Qom, Intisyarat Daftar Tablighat, 1367.
*Muhammadi Ray, Muhammad, Falsafah Wahyu wa Nubuwwat, Qom, Intisyarat Daftar Tablighat, 1367.
*Muqrizi (845), Ahmad bin Ali, Imta’ al-Asma’ bima lin Nabi min al-Ahwal wa al-Amwal wa al-Hufdat wa al-Mata’, Riset. Muhamamd Abdul Hamid al-Numaisi, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1420.
*Muqrizi (845), Ahmad bin Ali, Imta' al-Asma' bima lin Nabi min al-Ahwal wa al-Amwal wa al-Hufdat wa al-Mata', Riset. Muhamamd Abdul Hamid al-Numaisi, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1, 1420.
*Muthahhari, Wahyu wa Nubuwwat, Theran, Nasyr Sadra.
*Muthahhari, Wahyu wa Nubuwwat, Theran, Nasyr Sadra.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan, Kalam Falsafi, Qom, Wutsuq, 1383.
*Qadrdan Qaramaliki, Muhammad Hasan, Kalam Falsafi, Qom, Wutsuq, 1383.
*Shaduq, Muhammad bin Ali, Uyun Akhbar al-Ridha (As), Riset. Al-Syaikh Husein al-A’lami, Beirut, Muassasah al-A’lami lil Mathbu’at, 1404.
*Shaduq, Muhammad bin Ali, Uyun Akhbar al-Ridha (As), Riset. Al-Syaikh Husein al-A'lami, Beirut, Muassasah al-A'lami lil Mathbu'at, 1404.
*Subhani, Ja’far, Muhadharat fi al-Ilahiyyat, talkhis, Ali Rabbani Golpaigani, Qom, Muassasah Imam Shadiq, 1428.
*Subhani, Ja'far, Muhadharat fi al-Ilahiyyat, talkhis, Ali Rabbani Golpaigani, Qom, Muassasah Imam Shadiq, 1428.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husein, al-Syafi fi al-Imamah, Muassasah al-Shadiq, Tehran, 1407 H.
*Syarif Murtadha, Ali bin Husein, al-Syafi fi al-Imamah, Muassasah al-Shadiq, Tehran, 1407 H.
*Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, Qom, Dar al-Kutub, 1405.
*Syarif Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, Qom, Dar al-Kutub, 1405.
*Thabari, Imaduddin, Kamil Bahai, Murtadhawi, Tehran, 1383 S, cet. 1.
*Thabari, Imaduddin, Kamil Bahai, Murtadhawi, Tehran, 1383 S, cet. 1.
*Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayan, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
*Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayan, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut.
*Thabathabai, Muhammad bin Hussein, al-Mizan, Qom, Nasyr Islami, 1417 H.
*Thabathabai, Muhammad bin Hussein, al-Mizan, Qom, Nasyr Islami, 1417 H.
 
{{akhir}}
[[ar:العصمة]]
[[ar:العصمة]]
[[en:Infallibility]]
[[en:Infallibility]]
Baris 179: Baris 175:
[[fa:عصمت]]
[[fa:عصمت]]


[[Kategori:Keyakinan-keyakinan Syiah]]
[[Kategori:Keyakinan Syiah]]
Pengguna anonim