Haithan Sab’ah
Haithan Sab'ah (bahasa Arab:الحيطان السبعة) atau sedekah Rasulullah adalah tujuh kebun yang diberikan oleh Mukhairiq atau beberapa orang Yahudi Madinah lainnya kepada Nabi Muhammad saw, lalu Nabi mewakafkannya. Menurut sebuah riwayat, Nabi mewakafkan kebun-kebun tersebut untuk Sayidah Fatimah sa. Setelah wafatnya Nabi saw, Fatimah sa meminta Abu Bakar agar pengelolaan kebun-kebun ini, bersama ladang Khaibar dan Fadak, diserahkan kepadanya. Namun, permintaan tersebut ditolak oleh Abu Bakar.
Menurut beberapa riwayat, Imam Ali as pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab meminta agar pengelolaan Haithan Sab’ah, Fadak, dan Khaibar diserahkan kepadanya. Namun, Umar hanya menyetujui penyerahan Haithan Sab’ah. Dalam wasiatnya, Sayidah Fatimah sa menyerahkan pengelolaan kebun-kebun ini kepada Imam Ali as, Imam Hasan as, Imam Husain as, dan setelah mereka kepada keturunan tertua dari keluarga mereka di setiap generasi.
Kebun-kebun tersebut tetap berada di bawah pengelolaan keturunan Sayidah Fatimah sa hingga masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Beberapa penulis dari abad ketiga Hijriah telah mendokumentasikan deskripsi kebun-kebun ini. Namun, seiring berjalannya waktu, nama dan lokasi beberapa kebun tersebut menjadi tidak jelas.
Pendahuluan
Haithan Sab’ah adalah tujuh kebun yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw.[1] Kebun-kebun ini bernama: A'waaf, Burqah, Husni (atau Hasna), Dalal, Shafiyyah, Masyrabah Ummu Ibrahim, dan Maithab.[2] Dalam beberapa sumber, kebun-kebun ini juga disebut dengan nama lain.[3] Dikenal sebagai Hawaa’ith Rasulullah saw,[4] kebun-kebun ini terdiri dari pohon-pohon kurma terbaik di Madinah.[5]
Sebagian besar kebun ini berada di selatan Madinah, sementara Mashrabah Ummu Ibrahim terletak di tenggara Madinah.[6] Shafiyyah, Burqah, Dalal, dan Maithab berada di kawasan ‘Awali[7] atau ‘Aliyah[8], di belakang istana Marwan bin Hakam.[9] Lokasi kebun lainnya masih diperdebatkan.[10] Semua kebun, kecuali Masyrabah Ummu Ibrahim, diairi oleh air hujan[12] yang mengalir melalui Wadi Mahzur.[11]
Haithan Sab’ah tetap subur hingga masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah (99–101 H). Diriwayatkan bahwa ia dan para sahabatnya pernah menikmati kurma dari kebun-kebun tersebut.[13] Imam Syafi’i, salah satu dari empat imam mazhab Sunni (w. 204 H), menyatakan bahwa kebun-kebun ini masih ada pada zamannya.[14] Umar bin Syabbah (w. 263 H), salah satu geograf awal Madinah, memberikan deskripsi tentang kebun-kebun ini beserta lokasinya.[15]
Namun, seiring berjalannya waktu, nama dan lokasi kebun-kebun ini menjadi tidak jelas akibat pergantian pengelola.[16] Penulis dari abad ke-8 dan ke-9 Hijriah menyebutkan bahwa lokasi beberapa kebun, seperti Maithab dan Husni, sudah tidak diketahui lagi.[17] Beberapa upaya dilakukan untuk mengidentifikasi kebun-kebun ini dengan beberapa kebun terkenal pada masa mereka,[18] sementara yang lain mengkritik pandangan penulis sebelumnya.[19]
Ayub Sabri Pasya, seorang peneliti dari abad ke-13 dan ke-14 Hijriah, berpendapat bahwa kebun-kebun ini masih ada pada masanya, meskipun beberapa nama telah berubah seiring waktu.[20]
Masyrabah Ummu Ibrahim
(Lihat juga artikel utama: Masyrabah Ummu Ibrahim)
Masyrabah Ummu Ibrahim adalah salah satu dari tujuh kebun yang dihadiahkan kepada Nabi Muhammad saw.[21] Kebun ini dikenal dengan nama tersebut setelah Mariah al-Qibthiyah, salah satu istri Nabi, tinggal di tempat ini dan melahirkan putranya, Ibrahim.[22] Nabi Muhammad saw pernah melaksanakan salat di kebun ini,[23] dan kemudian sebuah masjid dibangun di lokasi tersebut dengan nama yang sama.[24] Dalam beberapa riwayat, disarankan untuk melaksanakan salat di tempat ini.[25] Saat ini, lokasi kebun tersebut telah berubah menjadi sebuah kompleks pemakaman.[26] Dikatakan bahwa makam Hamidah Barbariyyah, ibu dari Imam Musa al-Kazim as, dan Najmah, ibu dari Imam Ali Ridha as, berada di tempat ini.[27]
Pemilik Haithan Sebelumnya
Beberapa penulis berpendapat bahwa pemilik Haithan tersebut adalah Mukhairiq, seorang Yahudi.[28] Umar bin Abdul Aziz mengklaim bahwa ia mendengar informasi ini dari para tokoh besar dari kalangan Muhajirin dan Anshar di Madinah.[29] Sebagian juga menyatakan bahwa hal ini sudah dikenal luas di kalangan para sejarawan.[30] Mukhairiq adalah seorang ilmuwan Yahudi dari suku Bani Nadir[32] atau Bani Qainuqa'[33], yang pada perang Uhud datang menemui Nabi Muhammad saw dan setelah memeluk Islam[34], ia gugur sebagai syahid.[35] Sebelum syahid[36] atau saat menjelang kematiannya,[37] ia mewasiatkan seluruh hartanya untuk Nabi Muhammad saw.[38] Beberapa riwayat lain menyebutkan bahwa Mukhairiq, sebelum meninggal, memberikan seluruh hartanya sebagai hadiah kepada Nabi saw.[39]
Lihat juga: Mukhairiq
Muhammad bin Umar al-Waqidi, seorang sejarawan dari abad ke-2 dan ke-3 Hijriah, berpendapat bahwa kebun-kebun yang disebutkan tersebut merupakan bagian dari harta suku Bani Nadir yang diperoleh dalam perang Bani Nadir. Nabi Muhammad saw kemudian membagikan harta milik Mukhairiq kepada umat Islam setelah kembali dari perang Uhud.[40] Namun, sebagian pihak berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw membagikan harta Bani Nadir di antara para Muhajirin dan dua orang miskin dari kalangan Anshar.[41] Ada juga yang berpendapat bahwa terjadi perbedaan pendapat mengenai kepemilikan Haithan Sab’ah, apakah itu termasuk harta suku Bani Nadir atau Bani Quraizah.[42]
Beberapa sejarawan mengidentifikasi pemilik Haithan tersebut sebagai individu atau suku tertentu. Misalnya, kebun A'waaf dianggap milik seorang Yahudi dari suku Bani Quraizah bernama Khunafah.[44] Kebun Burqah dan Maithab dianggap sebagai bagian dari harta Zubair bin Batta, juga dari suku Bani Quraizah.[45] Sebagian lainnya mengatakan bahwa Burqah adalah milik suku Bani Nadir.[46] Kebun Dalal dan Husni disebut-sebut sebagai harta milik suku Bani Tha'labah.[47]
Dikatakan bahwa kebun Dalal adalah milik seorang wanita dari Bani Nadir Dimana Salman al-Farsi merupakan budaknya. Salman membuat kesepakatan bahwa ia akan dibebaskan setelah menghidupkan kebun tersebut, dan Nabi Muhammad saw membantu dalam proses tersebut.[48] Beberapa sumber menyebut kebun ini sebagai Maithab,[49] sementara yang lainnya berpendapat bahwa Burqah dan Maithab diperbaiki oleh Salman al-Farsi.[50]
Wakaf oleh Nabi Muhammad saw
Menurut para sejarawan, Nabi Muhammad saw mewakafkan ketujuh kebun tersebut.[51] Kebun-kebun ini juga dikenal dengan sebutan "Shadaqat Rasulullah" (sedekah-sedekah Rasulullah).[52] Beberapa pihak berpendapat bahwa sebagian besar, bahkan seluruh sedekah Nabi saw[53], adalah Haithan Sab'ah milik Mukhairiq.[54] Wakaf ini dilakukan 22 bulan setelah Hijrah[55] atau pada tahun ketujuh Hijriah.[56]
Dalam kitab Qurb al-Asnad dan al-Kafi, terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Ali Ridha as ketika menjawab pertanyaan Ahmad bin Abi Nashr Bazanti, menyatakan bahwa Haithan Sab'ah tersebut merupakan wakaf dari Nabi Muhammad saw untuk Fatimah sa. Nabi Muhammad saw menggunakan sebagian hasilnya untuk menjamu tamu-tamu dan kebutuhan mendesak lainnya.[57] Dalam riwayat lain, Imam Ja'far al-Sadiq as menyebutkan bahwa sedekah-sedekah Rasulullah saw ditujukan untuk keluarga Bani Hashim dan Bani Muttalib.[58] Selain itu, beberapa sumber juga mencatat bahwa Nabi Muhammad saw memberikan Fadak dan A'wali kepada Fatimah sa.[59] A'wali dianggap sebagai wilayah yang luas, yang mencakup Haithab Sab'ah tersebut.[60]
Nasib Kebun-kebun Setelah Nabi Muhammad saw
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, Fatimah sa meminta kepada Abu Bakar agar Fadak dan Haithan diberikan kepadanya. Namun, Abu Bakar menolak permintaannya.[61] Penolakan ini menyebabkan Fatimah sa merasa marah.[62] Abu Bashir meriwayatkan dari Imam al-Baqir as bahwa Fatimah sa mewasiatkan agar pengelolaan Haithan Sab'ah tersebut diberikan kepada Imam Ali as, kemudian kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, serta selanjutnya kepada keturunan terbesar dari keluarganya di setiap zamannya. Riwayat serupa juga disampaikan dari Imam Ja'far al-Sadiq as.[63]
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Imam Ali as dan Abbas bin Abdul Muthalib menuntut agar mereka diberikan pengelolaan Fadak, Khaibar, dan Haithan. Namun, Umar hanya menyetujui untuk menyerahkan pengelolaan Haithan Sab'ah kepada mereka.[64] Kebun-kebun ini kemudian diwariskan kepada keturunan Fatimah sa.[65] Dalam riwayat lain, Imam Ali as meminta agar pengelolaan kebun-kebun tersebut diserahkan kepadanya, namun Abbas juga mengklaim haknya atas kebun-kebun tersebut dan Fadak. Ketika perselisihan ini memanas, Imam Ali as meminta agar kebun-kebun tersebut tetap dikelola oleh khalifah, untuk menghindari eskalasi konflik lebih lanjut.[66] Dalam riwayat dari Imam Ali Ridha as, Abbas akhirnya mencabut klaimnya setelah Imam Ali as bersaksi bahwa kebun-kebun tersebut adalah wakaf untuk Fatimah sa.[67]
Setelah masa Imam Ali as, pengelolaan Haithan Sab'ah dilanjutkan oleh Imam Hasan as, kemudian Imam Husain as, dan selanjutnya oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Setelah itu, pengelolaan beralih kepada Hasan al-Mutsanna, putra Imam Hasan as, hingga akhirnya keluarga Bani Abbas merebut kebun-kebun ini dari keturunan Fatimah sa dan mengelolanya sendiri.[68]