Pengguna anonim
Baiat: Perbedaan antara revisi
→Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat
imported>S.j.mousavi kTidak ada ringkasan suntingan |
imported>Hindr |
||
Baris 88: | Baris 88: | ||
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat al-Quran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan Amirul Mukminin<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat al-Quran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan Amirul Mukminin<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | ||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan<ref>Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma’rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo’ (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen satu belah pihak, bukan penjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan <ref>Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma’rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo’ (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen satu belah pihak, bukan penjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | ||
===Rukun dan Syarat-syarat Baiat=== | |||
Baiat dikarenakan esensinya adalah akad, maka ia memiliki tiga rukun mendasar: yang membaiat, yang dibaiat dan subjek baiat. Sesuai esensi akadnya, menurut fikih kedua belah pihak harus memiliki kriteria-kriteria wajib, seperti baligh, dewasa dan berakal. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 85. </ref> Namun, baiat anak kecil dalam sebagian hadis-hadis Ahlusunnah juga diperbolehkan. <ref>Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222. </ref> Dalam sebagian hadis juga disyaratkan kemampuan orang yang membaiat. <ref>Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 8, hlm. 122. </ref> | |||
Termasuk syarat-syarat yang diafirmasi dalam referensi-referensi fikih adalah adanya ikhtiyar dan tidak ada pemaksaan dari setiap satu dari kedua belah pihak. <ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 133-138. </ref><ref>Ashifi, Wilayah al-Amr, hlm. 86. </ref> | |||
Sebagian referensi Ahlusunnah dikatakan bahwa baiat yang disertai dengan paksaan secara syariat dianggap rusak dan tidak sah, selain itu, dengan terpenuhinya syarat-syarat, maka hal itu dianggap efektif dan legal. <ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 139-140. </ref> | |||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Ahlusunnah=== | |||
Subjek akad baiat merupakan masalah utama yang menjadi perselisihan di kalangan kelompok Syiah dan Ahlusunnah. Dimana setelah dalam peristiwa Saqifah untuk pertama kalinya pelaksanaan baiat berlangsung pada subyek yang signifikan khilafah dan kepemimpinan umat, yang mana pada masa-masa berikutnya, para teolog Ahlusunnah bangkit dalam rangka menjelaskan dasar-dasar teologi bersandar pada fenomena tersebut. Karenanya, dalam referensi-referensi teologi mereka dipaparkan keyakinan bahwa imamah dapat diperoleh dengan ikhtiyar dan pilihan masyarakat lewat baiat atau bahkan baiat dapat berlaku hanya sebagai jalan perealisasi kepemimpinan untuk satu orang. <ref>Baqilani, al-Tamhid fi al-Rad ala al-Mulhidah al-Mu’aththalah wa al-Rafidhah wa al-Khawarij wa al-Mu’tazilah, hlm. 178. </ref> Setelah itu, para penulis fikih politik Ahlusunnah seperti Mawardi, Abu Ya’la al-Farra’, dengan mengkategorikan imamah sebagai salah satu furu’uddin, sebagai ganti dari ushul<ref>Ja’far Subhani, al-Ilahiyyat ala Huda al-Kitab wa al-Sunnah wa al-‘Aql, jld. 4, hlm. 912. </ref> , dalam karya-karyanya, syarat-syarat dan pengaruh hak-hak baiat dibahas berdasarkan perspektif teologi tersebut. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 7 ke atas. </ref> | |||
Mayoritas para fakih Ahlusunnah berpendapat baiat kelompok Ahlul Halli wal ‘Aqd menyebabkan terealisasikannya khilafah. Sebagian dari mereka, seperti al-Asy’ari berpendapat sang pembaiat untuk merealisasikan imamah adalah minimal satu orang, sebagian yang lain dua orang, sebagian berpendapat tiga orang, lima orang dan empat puluh orang. Sebagian yang lain dengan tanpa menentukan jumlah khusus, baiat mayoritas Ahlul Halli wal ‘Aqad dan sebagian yang lain, baiat seluruh mereka atau ijma’ adalah hal yang dharuri. <ref>Ibid., hlm. 33-34. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 685-687. </ref> | |||
Sebagian Ahlusunnah secara ambigu menganggap baiat sekelompok Ahlul Halli wal ‘Aqd sudah cukup. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 268. </ref> Sebagian para fakih Ahlusunnah berpendapat terlaksananya khilafah hanya dengan baiat. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-35. </ref><ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 683-684. </ref> Sejumlah fakih kontemporer selain menyaratkan baiat tersebut, juga menganggap baiat umum masyarakat sebagai rukun utama pengukuhan kekhilafahan dan baiat memiliki tiga tahapan: pencalonan seseorang untuk khilafah, baiat khusus atau sughra dan baiat umum atau kubra. <ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 73-105. </ref> Mawardi menurutkan tahapan dan pendahuluan-pendahuluan baiat lebih secara mendetail. <ref>Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 33-37. </ref> | |||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Ahlusunnah==== | |||
Kebanyakan para fakih dan penulis kontemporer Ahlusunnah berupaya dengan menganalisis baiat sebagai sebuah akad dengan kekomitmenan kedua belah pihak (perjanjian) dan menerapkannya dengan akad dan wakil, juga menganggapnya setara dengan konsep “Kontrak sosial” karya Rousseau, yang menjadi dasar-dasar hak-hak politik dalam sistem demokrasi dan pengemukakannya serupa dengan proses pemilu dan pemungutan suara. <ref>Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 684. </ref><ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu’asher, hlm. 232-233. </ref> | |||
Dengan demikian, baiat mayoritas masyarakat dengan sang penguasa akan menjadi suatu keharusan bagi kelompok minoritas. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> Nampaknya, Syaikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali memaparkan konsep ini dalam fikih Ahlusunnah. <ref>Inayah, Andisyeh Siyasi dar Islame Mu’asher, hlm. 236. </ref> Meski di tengah-tengah kalangan Ahlusunnah sendiri konsep ini juga memiliki para pengkritik. | |||
===Baiat dalam Pemikiran Politik Syiah=== | |||
Menurut Syiah, baiat tidak dapat dilakukan untuk setiap urusan, dan jikalau sekiranya kita asumsikan baiat adalah akad, maka subjek akad baiat harus legal dan diperbolehkan. Semisalnya, para teolog Syiah berpendapat masalah imamah dan khilafah Rasulullah Saw termasuk salah satu topik yang tidak dapat dibuktikan dengan baiat oleh sekelompok masyarakat atau seluruh masyarakat, namun dengan dalil-dalil logika dan tekstual yang banyak, seorang imam harus dinashkan dan keimamahannya ditentukan oleh Allah melalui Nabi Saw. <ref>Muzaffar, Dalail al-Shidq, jld. 2, hlm. 25-32. </ref> | |||
Menurut para fakih Syiah, meski untuk kewajiban menjalankan akad baiat dapat bersandar pada argumentasi kelaziman menepati akad atau syarat seperti Aufu bil ‘Uqud , namun argumentasi ini sendiri tidak dapat melegalisasi subjek akad itu sendiri dan hanya menunjukkan kelaziman menepati syarat-syarat akad yang legal. <ref>Ibid., hlm. 164. </ref><ref>Khalkhali, Hakimiyyat dar Islam, hlm. 580. </ref> | |||
Demikian juga, menurut para cendekiawan Syiah, esensi baiat di era Rasulullah Saw dengan mempertimbangkan makna etimologinya dan juga dengan melihat kewajiban mentaati Rasulullah Saw, dengan argumentasi rasional dan tekstual, bukanlah sebuah ketentuan, akan tetapi semata-mata aspek penegasan dan dalam rangka afirmasi praktis iman kepada beliau serta komitmen terhadap kelaziman-kelaziman iman, dan menurut ungkapan sebagian orang dilakukan untuk “menciptakan motivasi baru untuk kemenangan dan ketaatan kepada Nabi”. Dengan demikian, pokok legalitas dan ketetapan maqom wilayah Rasulullah Saw dan bahkan kelaziman mengikuti beliau tidak bertopang pada baiat. <ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 526. </ref><ref>Makarim, Anwar al-Faqahat, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 518-519. </ref> Sebagaimana aspek afirmasi baiat ini sangat terlihat mencolok sekali terkait baiat-baiat yang dilakukan dengan para khalifah, khususnya kekhilafahan yang ditetapkan dengan himbauan atau penentuan oleh sang khalifah sebelumnya, seperti kekhilafahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. <ref>Subhani, Mafahim al-Quran fi Ma’alim al-Hukumah al-Islamiyyah, hlm. 263. </ref><ref>Kazem Haeri, Wilayah al-Amr fi ‘Ashr al-Ghaibah, hlm. 209. </ref> pendapat Ahlusunnah ini diambil dari tradisi baiat dengan para ketua kabilah di Arab sebelum Islam dan atau bersandar pada klaim pemilihan semua atau sebagian para pengganti Rasul Saw dengan cara baiat; sementara tidak satupun dari dua hal tersebut dapat dijadikan sandaran. | |||
Sanggahan-sanggahan lain para cendekiawan Imamiah terkait adanya pemaksaan atau sedikit pemaksaan dalam beberapa baiat masyarakat dengan para khalifah bersandar pada realita-realita sejarah, dimana bahkan sebagian ulama Ahlusunnah sendiri juga menerimanya. <ref>Khatib, al-Khilafah wa al-Imamah, hlm. 409-412. </ref> Dengan argumentasi hadis dan banyak sejarah, pasca peristiwa Saqifah, Imam Ali As, Bani Hasyim dan sejumlah pemuka sahabat tidak berbaiat dengan Abu Bakar dan mereka berbaiat beberapa waktu kemudian, itupun dilakukan dengan pemaksaan. <ref>Alamul Huda, al-Syafi fi al-Imamah, jld. 2, hlm. 12, 151. </ref><ref>Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 307-309. </ref> | |||
Terlepas dari itu, salah satu pendiri baiat menamai baiat tersebut sebagai kinerja yang tidak diduga-duga dan tanpa adanya manajemen (faltah) dan tidak mengizinkan untuk mengulanginya. <ref>Suyuthi, Tarikh al-Khulafa, hlm. 67. </ref> Hanya pada masa kekhilafahan Imam Ali As saja dilakukan baiat secara bebas, dan bahkan dengan adanya pemaksaan para sahabat beliau, Imam tidak mau menerima pengambilan baiat secara paksa dan menurut referensi sejarah, sejumlah orang tidak melakukan baiat, dengan tanpa pengurangan hak-hak sosial atau antipati. <ref>Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 257. </ref> | |||
Sebagian penulis Ahlusunnah<ref>Katib, Tathawwur al-Fikri al-Siasi al-Syi’i, hlm. 14-15. </ref> dengan bersandar pada sebagian khotbah dan surat-surat Nahjul Balaghah<ref>Termasuk khotbah 8, 137, 172, 218 dan surat 1, 6, 7, 54. </ref> yang mana di situ berbicara tentang kelaziman baiat masyarakat, bahkan terhadap mereka yang tidak berbaiat, mengklaim bahwa beliau As dan juga Imam Hasan As menerima penetapan imamah dengan baiat. <ref>Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 265. </ref> | |||
Namun, para peneliti Syiah meragukan pendapat tersebut, karena imamah tidak dibuktikan dengan baiat, selain itu termasuk dari urgensi teologi Syiah, juga hal yang ditegaskan dan diafirmasi oleh Ali As sendiri. <ref>Nahjul Balaghah, khotbah 2, 105, 144 dan surat 28, 62 dan hikmah 147. </ref> Dengan argumentasi ini dan argumentasi-argumentasi lainnya<ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 523-525. </ref> harus menyandingkan hadis-hadis tersebut dengan debat (jidal) dan diskusi (munadzarah) yang dimaksudkan guna membungkam dan memuaskan. <ref>Ashifi, Wilayah al-Amar, hlm. 95. </ref> | |||
====Baiat dalam Pemikiran Politik Baru Syiah==== | |||
Meski mayoritas para fakih Imamiah kontemporer mengklaim baiat pada masa kehadiran para maksum As sifatnya hanya afirmasi, namun sebagian dari mereka dalam menganalisa mekanisme fungsi Wilayatul Fakih di era keghaiban imam maksum, mengklaimkan baiat lebih memiliki peran dari sekedar afirmasi, yakni sebuah aspek ketentuan. Namun sebagian para fakih tidak membedakan antara baiat pada masa kehadiran seorang maksum atau pada masa kegaibannya. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 519. </ref> | |||
Selain itu, sebagian para fakih kontemporer berkeyakinan tercapainya sejenis wilayah dan legalitas masyarakat dengan baiat di era ghaibah. Sekelompok dari mereka<ref>Muntazeri, Dirasat, jld. 1, hlm. 575-576. </ref> menganggap baiat sebagai akad wikalah lazim, yang subjeknya adalah pengukuhan wilayah dan pemberian wewenang. Dengan berdasarkan hal ini, berpengaruh pada pemilihan dan baiat mayoritas, dan bahkan terhadap minoritas yang tidak berbaiat dan wajib dijalankan. Penjelasan baiat sebagai akad wikalah dan juga kelaziman akad semacam ini menjadi ajang perdebatan dan kritikan. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517-518. </ref> | |||
==Catatan Kaki== | ==Catatan Kaki== |