Lompat ke isi

Baiat: Perbedaan antara revisi

5.143 bita ditambahkan ,  1 Oktober 2016
imported>Hindr
imported>Hindr
Baris 73: Baris 73:
===Baiat dengan Perantara Wakil===
===Baiat dengan Perantara Wakil===
Baiat terkadang berlangsung melalui wakil atau pengganti, seperti dalam baiatnya para wanita dengan [[Imam Ali As]] yang menggantikan [[Rasulullah Saw]] di [[Hudaibiyah]]<ref>Syaikh Mufid, ''al-Irsyad'', hlm. 63. </ref> , baiat penduduk [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]] yang menggantikan [[Imam Husain As]]<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 64. </ref> , dan juga baiat Rasul Saw yang menggantikan [[Utsman bin Affan|Utsman]] di Hudaibiyah, sementara dipihak satunya juga diri beliau sendiri. <ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 289. </ref>  Demikian juga, pasca ekspansi kawasan-kawasan di bawah kekuasaan pemerintahan [[Islam]] dan maraknya pengambilan baiat dari pihak para khalifah, masalah baiat penduduk kawasan-kawasan yang mengikuti pemerintahan pusat juga dipaparkan. Penduduk kawasan-kawasan ini biasanya berbaiat dengan penguasa setempat, wakil sang khalifah. <ref>Ibid., hlm. 289-290. </ref>
Baiat terkadang berlangsung melalui wakil atau pengganti, seperti dalam baiatnya para wanita dengan [[Imam Ali As]] yang menggantikan [[Rasulullah Saw]] di [[Hudaibiyah]]<ref>Syaikh Mufid, ''al-Irsyad'', hlm. 63. </ref> , baiat penduduk [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]] yang menggantikan [[Imam Husain As]]<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 64. </ref> , dan juga baiat Rasul Saw yang menggantikan [[Utsman bin Affan|Utsman]] di Hudaibiyah, sementara dipihak satunya juga diri beliau sendiri. <ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 289. </ref>  Demikian juga, pasca ekspansi kawasan-kawasan di bawah kekuasaan pemerintahan [[Islam]] dan maraknya pengambilan baiat dari pihak para khalifah, masalah baiat penduduk kawasan-kawasan yang mengikuti pemerintahan pusat juga dipaparkan. Penduduk kawasan-kawasan ini biasanya berbaiat dengan penguasa setempat, wakil sang khalifah. <ref>Ibid., hlm. 289-290. </ref>
==Perubahan-perubahan Pola Baiat==
Dari aspek bentuk juga baiat mengalami perubahan. Meski tradisi bersalaman dan menekan tangan masih tetap berlanjut selama beberapa masa, pada masa Bani Umayyah terkadang baiat diafirmasi dan diungkapkan dengan pengambilan sumpah (istihlaf). Hajjaj menetapkan janji-janji khusus yang dinamakan dengan Aiman al-Bai’at, yang diambil saat berbaiat dan mengandung beberapa sumpah. <ref>Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 11, hlm. 330. </ref>
Menurut Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref> , baiat pada masa-masa berikutnya membentuk pola dinasti dan bahkan bersalaman dengan sang khalifah dihapus dengan dalih hal tersebut merupakan sebuah penghinaan kepada sang khalifah, kecuali tentang sebagian sanak kerabat penguasa dan baiat dilakukan dalam bentuk mencium tanah di tempat, kaki atau tangan penguasa. <ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref>
Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref>  menganggap generalisasi nama baiat dengan perbuatan ini, yang nampaknya sudah mentradisi pada masanya adalah kiasan. Katani<ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref>  mengabarkan sejenis baiat tertulis, yang marak pada masa-masanya dan di situ sang pembaiat menulis sebuah teks yang menyertakan penerimaan kekuasaan sang penguasa, atau memasukkan pengakuannya dalam sebuah tulisan yang sudah diberikan kesaksian. Menurut teks-teks sejarah<ref>Tarikh al-Khulafa, hlm. 26. </ref> , baiat dengan para khalifah dan penguasa di pelbagai kawasan memiliki acara dan ritual khusus.
==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat==
Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah Saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian Ahlusunnah pasca baiat Saqifah telah berubah menjadi isitilah politik. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258. </ref>  Meski beberapa referensi teologi dan fikih Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat.
Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunnah maupun Syiah, pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan kitab dan sunnah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274. </ref>    Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam surah Al-Fath ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi menddapatkan surga. <ref>Thabarsi, Jawami’ al-Jami’, di bawah ayat. </ref>
Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan Islam, pembelaan atas Nabi Saw dan mentaatinya, jihad dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah Saw.
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref>  dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat al-Quran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan Amirul Mukminin<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref>  juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat.
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan<ref>Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma’rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref>  dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 22. </ref>  dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo’ (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref>  Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen satu belah pihak, bukan penjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref>


==Catatan Kaki==
==Catatan Kaki==
Pengguna anonim