Baiat: Perbedaan antara revisi
imported>Hindr |
imported>Hindr |
||
Baris 73: | Baris 73: | ||
===Baiat dengan Perantara Wakil=== | ===Baiat dengan Perantara Wakil=== | ||
Baiat terkadang berlangsung melalui wakil atau pengganti, seperti dalam baiatnya para wanita dengan [[Imam Ali As]] yang menggantikan [[Rasulullah Saw]] di [[Hudaibiyah]]<ref>Syaikh Mufid, ''al-Irsyad'', hlm. 63. </ref> , baiat penduduk [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]] yang menggantikan [[Imam Husain As]]<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 64. </ref> , dan juga baiat Rasul Saw yang menggantikan [[Utsman bin Affan|Utsman]] di Hudaibiyah, sementara dipihak satunya juga diri beliau sendiri. <ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 289. </ref> Demikian juga, pasca ekspansi kawasan-kawasan di bawah kekuasaan pemerintahan [[Islam]] dan maraknya pengambilan baiat dari pihak para khalifah, masalah baiat penduduk kawasan-kawasan yang mengikuti pemerintahan pusat juga dipaparkan. Penduduk kawasan-kawasan ini biasanya berbaiat dengan penguasa setempat, wakil sang khalifah. <ref>Ibid., hlm. 289-290. </ref> | Baiat terkadang berlangsung melalui wakil atau pengganti, seperti dalam baiatnya para wanita dengan [[Imam Ali As]] yang menggantikan [[Rasulullah Saw]] di [[Hudaibiyah]]<ref>Syaikh Mufid, ''al-Irsyad'', hlm. 63. </ref> , baiat penduduk [[Kufah]] dengan [[Muslim bin Aqil]] yang menggantikan [[Imam Husain As]]<ref>Mas’udi, ''Muruj al-Dzahab'', jld. 3, hlm. 64. </ref> , dan juga baiat Rasul Saw yang menggantikan [[Utsman bin Affan|Utsman]] di Hudaibiyah, sementara dipihak satunya juga diri beliau sendiri. <ref>Qasimi, ''Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami'', jld. 1, hlm. 289. </ref> Demikian juga, pasca ekspansi kawasan-kawasan di bawah kekuasaan pemerintahan [[Islam]] dan maraknya pengambilan baiat dari pihak para khalifah, masalah baiat penduduk kawasan-kawasan yang mengikuti pemerintahan pusat juga dipaparkan. Penduduk kawasan-kawasan ini biasanya berbaiat dengan penguasa setempat, wakil sang khalifah. <ref>Ibid., hlm. 289-290. </ref> | ||
==Perubahan-perubahan Pola Baiat== | |||
Dari aspek bentuk juga baiat mengalami perubahan. Meski tradisi bersalaman dan menekan tangan masih tetap berlanjut selama beberapa masa, pada masa Bani Umayyah terkadang baiat diafirmasi dan diungkapkan dengan pengambilan sumpah (istihlaf). Hajjaj menetapkan janji-janji khusus yang dinamakan dengan Aiman al-Bai’at, yang diambil saat berbaiat dan mengandung beberapa sumpah. <ref>Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 11, hlm. 330. </ref> | |||
Menurut Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref> , baiat pada masa-masa berikutnya membentuk pola dinasti dan bahkan bersalaman dengan sang khalifah dihapus dengan dalih hal tersebut merupakan sebuah penghinaan kepada sang khalifah, kecuali tentang sebagian sanak kerabat penguasa dan baiat dilakukan dalam bentuk mencium tanah di tempat, kaki atau tangan penguasa. <ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref> | |||
Ibnu Khaldun<ref>Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209. </ref> menganggap generalisasi nama baiat dengan perbuatan ini, yang nampaknya sudah mentradisi pada masanya adalah kiasan. Katani<ref>Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223. </ref> mengabarkan sejenis baiat tertulis, yang marak pada masa-masanya dan di situ sang pembaiat menulis sebuah teks yang menyertakan penerimaan kekuasaan sang penguasa, atau memasukkan pengakuannya dalam sebuah tulisan yang sudah diberikan kesaksian. Menurut teks-teks sejarah<ref>Tarikh al-Khulafa, hlm. 26. </ref> , baiat dengan para khalifah dan penguasa di pelbagai kawasan memiliki acara dan ritual khusus. | |||
==Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat== | |||
Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah Saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian Ahlusunnah pasca baiat Saqifah telah berubah menjadi isitilah politik. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258. </ref> Meski beberapa referensi teologi dan fikih Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat. | |||
Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunnah maupun Syiah, pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan kitab dan sunnah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref><ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274. </ref> Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam surah Al-Fath ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi menddapatkan surga. <ref>Thabarsi, Jawami’ al-Jami’, di bawah ayat. </ref> | |||
Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan Islam, pembelaan atas Nabi Saw dan mentaatinya, jihad dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah Saw. | |||
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat<ref>Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26. </ref> dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat al-Quran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan Amirul Mukminin<ref>Nahjul Balaghah, khotbah 34. </ref> juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. | |||
Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan<ref>Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155. </ref><ref>Ma’rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82. </ref> dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian<ref>Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 22. </ref> dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo’ (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). <ref>Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517. </ref> Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen satu belah pihak, bukan penjanjian. <ref>Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276. </ref> | |||
==Catatan Kaki== | ==Catatan Kaki== |
Revisi per 1 Oktober 2016 18.08
Baiat (Bahasa Arab: البیعة), berarti ikatan janji kesetiaan dan ketaatan dengan Rasulullah Saw, imam As, penguasa atau khalifah. Baiat pertama dalam sirah Nabawi adalah baiat Imam Ali As dan Sayidah Khadijah Sa dengan Nabi setelah menerima Islam. Baiat ‘Aqabah pertama dan kedua berlangsung di Mekah dan dua baiat ini, khususnya baiat kedua merupakan basis hijrahnya Rasulullah Saw menuju kota Madinah.
Baiat kaum muslim dengan Rasulullah Saw berlangsung saat mereka bergerak menuju Badar di Madinah. Baiat Ridwan atau Syajarah terjadi pada tahun keenam hijriah di Hudaibiyah dan baiat para lelaki dan perempuan dengan Nabi Saw pada peristiwa Fathu Mekah pada tahun 8 Hijriah. Baiat terakhir pada masa Rasulullah Saw adalah baiat kaum muslimin dengan Imam Ali As pada hari kedelapan belas tahun kesepuluh hijriah di sebuah tempat bernama Ghadir; subjek baiat ini adalah wilayah kepemimpinan dan Imam Ali As menjadi pengganti setelah Nabi Saw.
Baiat sebelum Islam, di era Rasulullah, setelah Rasulullah dan di semua pemerintahan-pemerintahan yang mengklaim kekhilafahan Islam sangatlah marak.
Makna Etimologi dan Terminologi
Baiat adalah kalimat Arab dari kata Ba Ya ‘A (ب ی ع), yang berarti, bersalaman, menggenggam tangan, seseorang menjulurkan tangan kanan ke tangan kanan lainnya guna meratifikasi akad bai’ (ikrar penjualan). [1] Sebelum Islam, di tengah-tengah masyarakat Arab sudah menjadi tradisi saat jual beli untuk memastikan akad jual beli dan menegaskan kekomitmenannya dengan isinya, sang pembeli dan penjual mengulurkan tangan kanannya dengan menepukkan tangan kanan ke pihak lainnya; amal ini disebut dengan Baiat atau Shafqah (transaksi penjualan), dan dengan berlangsungnya hal tersebut, maka muamalah (interaksi) sudah terjadi. Demikian juga untuk suatu kelompok atau kabilah saat melakukan perjanjian dan ketaatan dengan seorang penguasa atau kepala suku, berjabat tangan adalah hal yang sudah jamak; dan karena kemiripannya dengan baiat dalam jual beli, maka perbuatan ini juga disebut dengan baiat. [2] Dengan demikian, banyak sekali para peneliti mengartikan makna terminologi baiat dalam teks dan referensi-referensi Islam dengan peletakan tangan kanan di atas tangan kanan seseorang sebagai bukti penerimaan ketaatan atau kepemimpinannya. [3] Lambat laun, dengan adanya perubahan dan keragaman dalam variasi lahiriah baiat, kata baiat selain digeneralkan pada perbuatan diatas yang menunjukkan janji dan komitmen dimana kinerja ini merupakan kiasan dan bukti dan dalam makna yang kedua juga marak dan populer.
Makna Baiat dalam Islam
Makna baiat yang umum dipakai dalam al-Quran, sunnah, sejarah, teologi, fikih politik Islam adalah akad dan janji dimana seorang yang berbaiat melakukan baiat kepada seorang imam, pemimpin atau seorang lainnya dalam masalah khusus atau masalah yang lebih umum untuk mentaati dan mengikutinya, ia komitmen dan setia dengan isi janjinya. [4]
Sejarah Baiat
Sebelum Islam
Sebelum Islam, tradisi baiat untuk menerima keunggulan ketua kabilah atau pelantikan seseorang dengan sebuah posisi penting adalah hal yang marak. [5] Di antaranya adalah baiat kabilah Quraiys dan Bani Kinanah dengan Qusai bin Kilab, datuk Rasulullah Saw saat keputusannya untuk mengeluarkan Bani Khuza’ah dari kota Mekah di masa sebelum Islam.
Baiat pada Masa Rasulullah
Baiat Pertama dalam Islam
Baiat pertama dalam sirah Nabawi adalah baiat Imam Ali As dan Sayidah Khadijah Sa dengan Nabi setelah menerima Islam. [6] Kendati demikian, Ibn Syahr Asyub[7] , berpendapat baiat pertama dalam sejarah Islam adalah Baiat ‘Asyirah yang terjadi pada tahun ketiga kenabian pada hari Yaum al-Dar. Pada hari ini, Rasulullah Saw atas perintah Allah meminta penerimaan Islam dan baiat dari pihak Bani Hasyim dan menurut hadis-hadis Syiah dan Ahlusunnah, hanya Imam Ali As saja, orang termuda keluarga, yang membaiat Nabi Saw. [8]
Baiat ‘Aqabah Pertama dan Kedua
Dua baiat penting lainnya yang terjadi di Mekah, adalah baiat ‘Aqabah pertama pada tahun 12 kenabian dan baiat ‘Aqabah kedua pada tahun 13 kenabian, dimana kedua-duanya terjadi pada musim haji di tempat ‘Aqabah (sebuah tempat di pertengahan jalan Mekah dan Mina). Dua baiat ini, khususnya baiat kedua, merupakan basis hijrahnya Nabi menuju kota Madinah. [9]
Baiat dengan Rasulullah sebelum Perang Badar
Termasuk baiat yang terjadi di Madinah adalah baiat kaum muslim dengan Rasulullah Saw saat bergerak menuju Badar di permulaan hijrah. [10]
Baiat Ridwan
Baiat Ridwan atau Syajarah juga terjadi pada tahun ke-6 hijriah di Hudaibiyah. [11] Dalam ayat 10 dan 18 dari surah al-Fath, telah menyinggung baiat tersebut dan pada ayat 10, baiat dengan Rasulullah Saw disebut juga dengan baiat kepada Allah dan selain mencerca pengingkar baiat (nakts), juga menetapkan ganjaran ukhrawi bagi orang-orang yang berbaiat dan menepati janji. Dalam ayat 18, dengan mengumumkan keridhaan Ilahi akan baiat tersebut, juga menjanjikan kemenangan yang dekat kepada mereka yang berbaiat dari kaum mukmin.
Baiat Para Wanita dengan Rasulullah dalam Fathu Mekah
Baiat lainnya dari kalangan lelaki dan perempuan dengan Rasulullah Saw adalah dalam Pembukaan kota Mekah pada tahun 8 Hijriah, yang telah diisyaratkan dalam surah Al-Mumtahanah ayat 12. Dalam ayat tersebut, Rasulullah Saw diminta supaya mengambil baiat dari para wanita Mekah yang telah beriman. Subjek-subjek baiat ini dalam buku-buku tafsir, hadis dan sejarah terkenal dengan sebutan Baiat al-Nisa’ (baiat wanita), yang isinya adalah sebagai berikut: Menjauhi kesyirikan, menjaga diri dari pencurian dan kekejian, tidak membunuh anak-anaknya sendiri, tidak menisbatkan anak-anak orang lain kepada para suaminya dan tidak menentang Rasulullah Saw dalam perbuatan-perbuatan yang baik. [12]
Mekanisme Baiat Para Wanita dengan Rasulullah
Dalam sebagian hadis dituturkan bahwa pertama-tama Rasulullah memasukkan tangannya di bejana air dan kemudian para wanita mengikuti beliau. [13] Dalam riwayat lain dikemukakan baiat para wanita dilakukan dengan bersalaman di atas kain. [14] Demikian juga, menurut sebagian hadis, terkadang baiat para wanita dengan beliau semata-mata dalam bentuk ucapan dan lafaz. [15] Selain hal-hal tersebut, juga disebutkan dalam sebagian hadis akan bentuk-bentuk lain dari baiat para wanita. [16] Menurut Qasimi[17] , selain beberapa baiat para wanita yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw, termasuk baiat ‘Aqabah kedua, baiat Ridwan dan Fathu Mekah[18] , tidak ada hadis yang menuturkan tentang baiat para wanita dengan para khalifah atau para pemimpin dan nampaknya pada masa-masa berikutnya, baiat hanya diperuntukkan bagi kalangan laki-laki saja.
Baiat Kaum Muslim dengan Ali As di Ghadir Khum
Baiat terakhir pada masa Rasulullah Saw berdasarkan sebagian referensi[19] , adalah baiat kaum muslim dengan Imam Ali As pada hari kedelapan belas tahun sepuluh Hijriah, di sebuah tempat bernama Ghadir Khum; subjek baiat ini adalah wilayah kepemimpinan dan Imam Ali As menjadi pengganti setelah Rasulullah Saw.
Baiat Pasca Wafat Rasulullah Saw
Tradisi baiat pasca wafat Rasulullah Saw juga berlaku. Namun kriteria baiat-baiat tersebut adalah biasanya memilih seseorang sebagai khalifah Nabi dan penguasa Islam dan setelah itu sekelompok khusus atau masyarakat umum membaiatnya. Titik awal perubahan ini adalah peristiwa Saqifah; pada hari wafat Rasulullah Saw, pertama-pertama sejumlah masyarakat termasuk Umar bin Khattab, Abu Ubaidah al-Jarrah dan sebagian para pemimpin Muhajirin dan Anshar di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Saidah membaiat Abu Bakar dengan mengenyampingkan Sa’ad bin Ubadah dan mengokohkan kekhilafahannya, dan selanjutnya sejumlah masyarakat membaiatnya dan memaksa sebagian lainnya untuk berbaiat. [20]
Pembaiatan khalifah terkait para khalifah berikutnya, Umar bin Khattab dan Utsman juga dilakukan dengan metode semacam ini dan dalam bentuk politik. [21] Demikian juga, saat masyarakat membaiat Imam Ali As di masjid dengan penuh pemaksaan supaya memegang urusan khilafah[22] , dan pasca kesyahidannya, mereka membaiat Imam Hasan As. [23]
Baiat-baiat lain yang dilakukan dengan para imam Syiah adalah baiat sejumlah masyarakat Kufah dengan Muslim bin Aqil, sebagai ganti dari Imam Husein As[24] dan juga baiat penduduk Khurasan dengan Imam Ridha As untuk putra mahkota Makmun Abbasi. [25]
Baiat Pada Masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah
Tradisi baiat dengan khalifah berlangsung dengan perubahan-perubahan bentuk dan konten pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiah. Meski pada masa kekhalifahan para khalifah pertama, pengambilan baiat terkadang dibarengi dengan pemaksaan, namun sejak kepemimpinan Muawiyah, dimulailah perubahan-perubahan mendasar dalam unsur esensi dan bentuk baiat; sampai-sampai banyak dari para penulis Ahlusunnah juga berkeyakinan bahwa Muawiyah untuk mengokohkan kekhalifahan dirinya dan keluarganya dan juga pengambilan baiat dari masyarakat untuk dirinya dan putranya, Yazid menggunakan pelbagai faktor seperti memberlakukan kekuatan, ancaman, suapan, janji pemerintahan, menciptakan konflik dan konspirasi. [26]
Lambat laun, esensi baiat benar-benar berbaur dengan pemaksaan dan sejatinya apa yang terpaparkan adalah pengambilan baiat, bukan baiat bebas dan atau ikhtiyar[27] ; sebagaimana Yazid memerintahkan ajudannya di Madinah, Walid bin Utbah supaya menahan Imam Husain As, Ibn Zubair dan beberapa tokoh lainnya guna berbaiat dan barang siapa yang tidak berbaiat, supaya dipenggal kepalanya dan mengirimkan kepala tersebut. [28] Baiat pada masa-masa ini, juga memiliki aspek formalitas; sebagaimana pengambilan baiat juga jamak saat dimulainya pemerintaan seorang khalifah untuk mengumumkan kesetiaan terhadapnya. [29] Dan juga pada masa pemerintahan seorang khalifah untuk kekhalifahan pengganti atau para penggantinya. [30]
Berapa banyak baiat, khususnya di awal pemerintahan seorang khalifah, diiringi dengan janji, pemakaian uang dan kekayaan, sampai-sampai pengeluaran baiat al-Muqtadir Abbasi mencapai tiga juta Dinar. Selain itu, saat pengukuhan, seorang khalifah memberikan sejumlah uang sebagai rizq al-baiat kepada para pasukan. [31] Nampaknya, Raghib al-Isfahani di bawah kalimat baiat memiliki pendapat dengan arti semacam ini, yaitu memaknai baiat dengan mempersembahkan ketaatan di hadapan imbalan sedikit. Baiat khusus para pemimpin militer dan para pasukan khalifah diterangkan sejak periode kekhilafahan al-Manshur, Mahdi, dan Isa Abbasi. [32] Terkadang baiat yang diambil untuk pengganti seorang khalifah ditentang oleh khalifah itu sendiri dan menentukan pengganti lainnya. [33]
Baiat dalam Pemerintahan-pemerintahan Pengklaim Khilafah
Menurut pendapat Syahidi[34] , tradisi baiat di seluruh pemerintahan yang memiliki klaim khilafah Islam, termasuk Khawarij, Fatimiah, Umawiyah Andalusia dan bahkan Utsmaniyah sangatlah marak dan di Iran sampai beberapa waktu sangatlah marak, dimana di situ dikukuhkan pemerintahan-pemerintahan yang mengikuti khilafah Islamiyah; dan nampaknya ikut sirna dengan lengsernya kekhilafahan Abbasiah. Selain pemerintahan, tradisi baiat di tengah-tengah para penentang khalifah juga ada, seperti baiat penduduk Irak dengan Abdullah bin Zubair[35] ; baiat para pengikut Zaid bin Ali bin Husain dengannya[36] ; baiat sekelompok masyarakat dengan Muhammad bin Abdullah Nafs Zakiyah di akhir-akhir kekhilafahan Bani Umayyah dan juga pada masa al-Manshur[37] ; pengambilan baiat Abu Muslim kepada penduduk Khurasan untuk Ibrahim Imam. [38]
Shigah (Bentuk Ungkapan) Baiat
Menurut referensi sejarah dan hadis, baiat biasanya memiliki ungkapan[39], yang mengandung subjek dan biasanya pihak baiat yang melafazkannya. [40]
Macam-macam Baiat
Sebagaimana dari arti etimologi baiat, perbuatan ini biasanya dalam bentuk penyodoran tangan atau menekan dengan tangan kanan; menurut sebagian ahli bahasa; jika dalam bentuk sumpah (half) dan ta’aqud (kontrak) juga marak dengan metode yang demikian dan karenanya sumpah disebut dengan Yamin. Alasan penamaan baiat dengan shafaqah juga karena hal-hal tersebut. [41] Dalam sirah Rasul juga baiat kaum laki-laki dikabarkan demikian. [42]
Sebagian para mufasir berpendapat kalimat Yadullah fauqa Aidihim dalam surah Al-Fath ayat 10 mengisyaratkan perealisasian baiat dengan bersalaman. [43] Meski demikian, dalam hadis-hadis juga disebutkan bentuk-bentuk lain untuk baiat. [44] Demikian juga, terkadang baiat terealisasi hanya dengan mengumumkan keridhaan orang yang berbaiat, dengan tanpa bersalaman. [45]
Baiat Khusus dan Baiat Umum
Ibn Syahr Asyub[46] dalam sebuah pembagian global, membagi baiat-baiat Rasulullah Saw menjadi dua macam: baiat khusus dan baiat umum; baiat khusus untuk sekelompok khusus, seperti dua baiat Anshar di ‘Aqabah dan baiat Asyirah; dan baiat umum untuk kesemuanya, seperti baiat Syajarah. [47]
Baiat Bersyarat
Terkadang baiat sifatnya bersyarat, yakni di situ terdapat kekomitmenan yang disyaratkan untuk keuntungan orang yang melakukan baiat. Namun terkadang subjek utama baiat juga diungkapkan dengan syarat. [48] Nampaknya dalam sirah Nabawi Saw, hanya baiat ‘Asyirah yang di dalamnya ada syarat kekhilafahan dan kewashian yaitu salah satu baiat yang bersyarat. [49] Dalam baiat sebagian para khalifah juga terlihat syarat-syarat seperti syarat mengamalkan apa yang ada dalam kitab Allah dan sunnah Nabawi. [50]
Baiat dengan Perantara Wakil
Baiat terkadang berlangsung melalui wakil atau pengganti, seperti dalam baiatnya para wanita dengan Imam Ali As yang menggantikan Rasulullah Saw di Hudaibiyah[51] , baiat penduduk Kufah dengan Muslim bin Aqil yang menggantikan Imam Husain As[52] , dan juga baiat Rasul Saw yang menggantikan Utsman di Hudaibiyah, sementara dipihak satunya juga diri beliau sendiri. [53] Demikian juga, pasca ekspansi kawasan-kawasan di bawah kekuasaan pemerintahan Islam dan maraknya pengambilan baiat dari pihak para khalifah, masalah baiat penduduk kawasan-kawasan yang mengikuti pemerintahan pusat juga dipaparkan. Penduduk kawasan-kawasan ini biasanya berbaiat dengan penguasa setempat, wakil sang khalifah. [54]
Perubahan-perubahan Pola Baiat
Dari aspek bentuk juga baiat mengalami perubahan. Meski tradisi bersalaman dan menekan tangan masih tetap berlanjut selama beberapa masa, pada masa Bani Umayyah terkadang baiat diafirmasi dan diungkapkan dengan pengambilan sumpah (istihlaf). Hajjaj menetapkan janji-janji khusus yang dinamakan dengan Aiman al-Bai’at, yang diambil saat berbaiat dan mengandung beberapa sumpah. [55] Menurut Ibnu Khaldun[56] , baiat pada masa-masa berikutnya membentuk pola dinasti dan bahkan bersalaman dengan sang khalifah dihapus dengan dalih hal tersebut merupakan sebuah penghinaan kepada sang khalifah, kecuali tentang sebagian sanak kerabat penguasa dan baiat dilakukan dalam bentuk mencium tanah di tempat, kaki atau tangan penguasa. [57]
Ibnu Khaldun[58] menganggap generalisasi nama baiat dengan perbuatan ini, yang nampaknya sudah mentradisi pada masanya adalah kiasan. Katani[59] mengabarkan sejenis baiat tertulis, yang marak pada masa-masanya dan di situ sang pembaiat menulis sebuah teks yang menyertakan penerimaan kekuasaan sang penguasa, atau memasukkan pengakuannya dalam sebuah tulisan yang sudah diberikan kesaksian. Menurut teks-teks sejarah[60] , baiat dengan para khalifah dan penguasa di pelbagai kawasan memiliki acara dan ritual khusus.
Pembahasan Teologi dan Fikih Baiat
Kalimat baiat pasca wafatnya Rasulullah Saw memiliki makna dan warna politik dan bahkan menurut keyakinan sebagian Ahlusunnah pasca baiat Saqifah telah berubah menjadi isitilah politik. [61] Meski beberapa referensi teologi dan fikih Ahlusunah menyebut dampak-dampak penting baiat dengan para penguasa, namun sangat sedikit sekali menyinggung dan mengulas tentang esensi baiat.
Dalam referensi-referensi terakhir fikih, baik fikih Ahlusunnah maupun Syiah, pelbagai pendapat tentang esensi hak-hak baiat telah dituangkan. Mayoritas dari mereka dengan memperhatikan makna etimologi baiat dan dengan terinspirasi dari keserupaannya dengan akad jual beli, maka mereka menyebut baiat dengan akad, yang mencakup kekomitmenan dua belah pihak dan secara istilah fikih dan hukum adalah akad muawwidh (pengganti). Menurut mereka, kekomitmenan sang pembaiat dalam akad baiat adalah dalam urusan-urusan seperti mengikuti dan mentaati yang dibaiat, mengikuti perintah-perintahnya, setia dengannya, komitmen yang dibaiat terhadap perintah berdasarkan kitab dan sunnah, menyokong sang pembaiat, memanajemen secara jujur urusan-urusan sang pembaiat dan lain-lain. [62][63] Sebagian cendekiawan menganggap makna baiat dalam surah Al-Fath ayat 10 adalah menjual jiwa dan raga demi menddapatkan surga. [64]
Dengan perenungan baiat-baiat yang pernah terjadi pada masa Rasulullah Saw, meski menegaskan esensi akad baiat, dari sisi lain menunjukkan bahwa semua itu sesuai dengan akad baiat, kekomitmenan seperti komitmen dengan Islam, pembelaan atas Nabi Saw dan mentaatinya, jihad dengan orang-orang kafir dan lain-lain, semata-mata diemban oleh sang pembaiat dan sama sekali tidak ada komitmen timbal balik dari pihak Rasulullah Saw.
Namun dalam sebuah hadis, berbicara tentang hak-hak timbal balik sang pembaiat dan yang dibaiat[65] dan maksud dari hak-hak sang pembaiat, dengan bersandar pada hadis tersebut dan ayat-ayat al-Quran adalah kemenangan dan ganjaran Ilahi, yang sejatinya merupakan hasil dan buah dari pelaksanaan sang pembaiat terhadap isi penjanjian dirinya, bukan pengganti kesepakatan dalam akad baiat. Dalam ucapan Amirul Mukminin[66] juga dituturkan pelaksanaan baiat hanya dalam gologan hak-hak penguasa terhadap masyarakat. Nampaknya dengan berdasarkan pada analisis ini, banyak sekali para peneliti menganggap makna baiat dengan janji ketaatan atau pencurahan ketaatan[67][68] dan sebagian yang lain berpendapat bahwa baiat adalah akad yang tidak bisa diganti (ghair muawwadh) dan menyerupai akad hibah atau pemberian[69] dan bahkan sebagian yang lain mengelompokkannya dalam kategori îqo’ (sebuah akad yang hanya dilakukan sepihak saja). [70] Sebagian para penulis juga menganggap baiat mengandung sebuah komitmen satu belah pihak, bukan penjanjian. [71]
Catatan Kaki
- ↑ Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125.
- ↑ Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209.
- ↑ Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155.
- ↑ Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517.
- ↑ Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125.
- ↑ Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 65, hlm. 392-393.
- ↑ Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 2, hlm. 21, 24.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 2, hlm. 319-321.
- ↑ Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 253-257.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 65, hlm. 395.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, Thabari, jld. 2, hlm. 632-633.
- ↑ Hur Amili, Wasail al-Syiah, jld. 14, hlm. 152-153.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 3, hlm. 62.
- ↑ Zamakhsyari, al-Kasysyaf, dibawah surah al-Mumtananah ayat 12.
- ↑ Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222.
- ↑ Syaikh Mufid, al-Irsyad, hlm. 63.
- ↑ Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 277-278.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 2, hlm. 361-366.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 37, hlm. 133, 138, 142, 202, 203, 217.
- ↑ Tustari, Bahju al-Shibaghah fi Syarh Nahjul Balaghah, jld. 6, hlm. 288-289.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 312, 340.
- ↑ Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, jld. 6, hlm. 692.
- ↑ Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 4, hlm. 28.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 64.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186.
- ↑ Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlusunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 60-61.
- ↑ Katani, Nidzam al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 5, hlm. 338.
- ↑ Ibid., jld. 7, hlm. 311, 471, jld. 6, hlm. 423.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 4, hlm. 210-211.
- ↑ Qasimi, Nidzam al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 286.
- ↑ Ibid., hlm. 290-291.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 8, hlm. 9.
- ↑ Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 125.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 83.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 167, 171.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 294, 306.
- ↑ Ibn Jurair, Tarikh Thabari, jld. 7, hlm. 379 - 380.
- ↑ Berartikan sebuah kalimat tertentu; seperti shigah pernikahan dll.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26, jld. 21, hlm. 98, 113, jld. 65, hlm. 392-393, 395.
- ↑ Ibid., jld. 2, hlm. 266, jld. 27, hlm. 68.
- ↑ Nahjul Balaghah, khotbah 8, 137, 170, 229.
- ↑ Allamah Thabathabai, al-Mizan, di bawah kata.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 49, hlm. 144, 146, jld. 64, hlm. 184-186.
- ↑ Syahidi, Baiat wa Ceguneghi-e on dar Tarikhe Islam, hlm. 127.
- ↑ Ibn Syahr Asyub, Manaqib, jld. 2, hlm. 21.
- ↑ Meibudi, Baiat wa Naqsye-e on dar Hukumate Islami, hlm. 183-186.
- ↑ Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 222.
- ↑ Ibn Syahar Asyub, Manaqib, jld. 2, hlm. 25.
- ↑ Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 8, hlm. 122.
- ↑ Syaikh Mufid, al-Irsyad, hlm. 63.
- ↑ Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 3, hlm. 64.
- ↑ Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 289.
- ↑ Ibid., hlm. 289-290.
- ↑ Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 11, hlm. 330.
- ↑ Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209.
- ↑ Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223.
- ↑ Ibn Khaldun, Muqaddimah, hlm. 209.
- ↑ Katani, Nizham al-Hukumah an-Nabawiyyah, jld. 1, hlm. 223.
- ↑ Tarikh al-Khulafa, hlm. 26.
- ↑ Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 257-258.
- ↑ Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517.
- ↑ Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 273-274.
- ↑ Thabarsi, Jawami’ al-Jami’, di bawah ayat.
- ↑ Majlisi, Bihar, jld. 19, hlm. 26.
- ↑ Nahjul Balaghah, khotbah 34.
- ↑ Syahristani, Madkhal ila ‘Ilm al-Fiqh, hlm. 155.
- ↑ Ma’rifah, Wilayat Faqih, hlm. 82.
- ↑ Abdul Majid, al-Bai’ah ‘inda Mufakkiri Ahlussunnah wa al-‘Aqd al-Ijtima’i, hlm. 22.
- ↑ Makarim, Anwar al-Faqahah, kitab al-Bai’, jld. 1, hlm. 517.
- ↑ Qasimi, Nizham al-Hukmi fi al-Syariah wa al-Tarikh al-Islami, jld. 1, hlm. 276.