Tawasul dengan Orang Meninggal

Prioritas: c, Kualitas: b
Dari wikishia
Kematian hingga Kiamat
Ihtidhar
Sakratul Maut
Pencabutan Nyawa
Pemakaman
Mandi Mayat dan Salat Jenazah
Pengafanan dan Pengguburan
Talqin
Malam Pertama di Alam Kubur
Salat Wahsyah
Pertanyaan Malaikat dalam kuburan
Azab Kubur
Ziarah Kubur
Tawassul dengan orang wafat
Barzah
Kiamat Sughra
Tiupan Sangkakala
Kiamat
Hari Kebangkitan
Mizan
Syafa'at
Shirath
Surga atau Neraka
Tema yang terkait
Izra'il
Badan Barzah
Kehidupan di Alam Barzah
Tajassum al-A'mal
Kekal

Tawasul kepada orang-orang meninggal (bahasa Arab:التوسل بالأموات) adalah menjadikan para pembesar agama yang telah wafat seperti para maksumin dengan kedudukannya di sisi Allah swt sebagai wasilah untuk terpenuhinya hajat. Tawasul dengan orang wafat adalah salah satu akidah kaum muslimin khususnya Muslim Syiah yang dibangun dari keyakinan mengenai adanya sama' al-mauta (yaitu kemampuan orang-orang yang telah wafat untuk mendengar dan berkomunikasi dengan orang-orang yang masih hidup) dan kehidupan alam barzakh. Dalam literatur Syiah dan Sunni terdapat riwayat mengenai praktik tawasul Ahlulbait dan sebagian sahabat kepada Nabi Muhammad saw setelah wafatnya. Sementara kelompok Wahabi dan Ibnu Taimiyah tidak membolehkan tawasul kepada orang wafat. Dalam pandangan ulama kaum Muslimin, mereka tidak membedakan antara tawasul kepada wali-wali Allah di saat hidupnya dan wafatnya. sebagaimana di zaman kehidupan Nabi saw dan wali-wali Allah yang lain, orang-orang bisa memohon kepada mereka untuk mendo'akannya dan memintakan ampun dan setelah mereka wafat juga masih bisa memohon kepadanya.

Defenisi

Tawasul kepada orang wafat adalah menjadikan para pembesar agama yang telah wafat seperti para maksumin dengan kedudukannya di sisi Allah swt sebagai wasilah untuk terpenuhinya hajat.[1]

Sama' al-Mauta dan Kehidupan di Alam Barzakh Tawasul kepada orang-orang yang telah wafat bisa dibenarkan ketika keyakinan terhadap kehidupan "alam barzakh" dan "sama' al-mauta" diterima dan orang-orang hidup bisa berhubungan dengan para arwah yang ada di alam barzakh dan mereka juga bisa mendengar suara orang-orang yang hidup.[2]

Dalil Keabsahan Tawasul dengan Orang Wafat

Untuk mengetahui keabsahan dan legitimasi dari dibolehkannya tawasul kepada orang-orang wafat dapat merujuk pada ayat-ayat Alquran, sirah Ahlulbait dan sirah kaum muslimin.

Kesaksian Alquran Sebagai dalil umum dibolehkannya tawasul kepada orang-orang wafat dapat bersandar pada ayat 64 dari surah an-Nisa, yang memotivasi kaum mukminin untuk memohonkan ampunan Allah swt melalui perantaraan Nabi Muhammad saw. Ayat tersebut berlaku secara umum baik saat Nabi Muhammad saw masih hidup atau setelah meninggal dunia.[3]Demikian pula pada surah al-Maidah ayat 35 yang membolehkan tawasul secara mutlak yang dengan kemutlakan tersebut, ayat ini bisa dijadikan dalil kebolehan bertawassul kepada arwah orang-orang mukmin dan anbiyah setelah kematian mereka.[4]

Sirah Imam-Imam Syiah Berdasarkan sebagian literatur, imam-imam Syiah bertawasul kepada Nabi Muhammad saw setelah wafatnya beliau. Imam Ali as[5] dan Imam Husain as[6] bertawasul kepada Nabi Muhammad saw. Imam Sajjad as tidak membedakan bertawasul dengan 14 Maksumin as baik disaat mereka masih hidup dan disaat mereka telah meninggal dunia. [7][catatan 1]} Demikian pula dengan doa-doa ma'tsur dari Ahlulbait as seperti doa Sari' al-Ijabah, menunjukkan tawasul kepada orang-orang saleh setelah kematiannya adalah sesuatu yang disarankan.[8]

Amalan Sahabat Dalam sumber periwayatan Ahlusunah juga disebutkan mengenai amalan sejumlah sahabat yang mempraktikkan tawasul kepada Nabi Muhammad saw setelah wafatnya. Sebagian diantaranya sebagai berikut:

  • Tawasul Aisyah kepada Nabi Muhammad saw dan kuburannya untuk mengatasi kelaparan dan musim kering yang berkepanjangan. [9]
  • Seorang laki-laki di masa kekhalifahan Usman dengan saran dan petunjuk Usman bin Hunaif yang menyarankan padanya untuk bertawasul kepada Nabi Muhammad saw.[10][catatan 2]}
  • Tawasul Bilal bin Harits kepada Nabi Muhammad saw untuk mendatangkan hujan.[11]
  • Juga terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Malik bin Anas dalam dialognya dengan Mansur dawaniqi (khalifah kedua Abbasiyah) tentang bagaimana mengajarkan tata cara berziarah dan bertawasul kepada Nabi Muhammad saw.[12]

Pandangan Ahlusunah Mayoritas ulama Ahlusunah membolehkan bertawasul dengan orang yang telah wafat khususnya pembesar-pembesar agama. diantaranya adalah :

  • Samhudi dari kalangan ulama bermazhab Syafi'i pada abad 10 H menulis catatan mengenai orang-orang yang melakukan tawasul kepada Nabi Muhammad saw yang dirangkumnya dalam kitab "Wafa al-Wafa bi akhbari dar al-Mustafa". beliau berkeyakinan bahwa istighatsa, syafaat dan tawasul kepada Nabi Muhammad saw di sisi Allah swt adalah termasuk pekerjaan para nabi dan sirah orang-orang yang shaleh dan dilaksanakan setiap saat. baik sebelum penciptaan maupun setelah penciptaannya, baik dalam keadaan hidup di dunia maupun ada di alam barzakh. [13]
  • Abu Ali al-Khalal berkata, "Setiap aku mendapatkan kesulitan, aku menziarahi makam Imam Kazhim as dan bertawasul kepadanya hingga kesulitan-kesulitanku teratasi."[14]
  • juga dinukil dari Muhammad bin Idris al-Syafi'i bahwa beliau menganjurkan untuk menjadikan kuburan Imam Kazhim as sebagai obat penyafaat.[15]
  • Alusi dalam tafsirnya setelah menukil sebagian laporan sejarah dan riwayat-riwayat pada bab tawasul dan analisanya yang begitu panjang maka ia sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada masalah bertawasul kepada Allah swt melalui maqam Nabi Muhammad saw, baik di saat masih hidup atau pun di saat sudah wafat. setelah beliau mendalami pembahasan ini, beliau mengakui bahwa bertawasul kepada Allah swt melalui maqam yang bukan nabi adalah tidak masalah, sepanjang ia memiliki maqam yang sesungguhnya di sisi Allah swt.[16]
  • Asqalani setelah menukil peristiwa permintaan Umar bin Khatthab kepada Ibnu Abbas untuk berdo'a dan meminta hujan mengakui bahwa meminta syafaat kepada ahli kebaikan khususnya kepada ahlul bait adalah hal yang mustahab.[17]

Pandangan Wahabi

Kaum Wahabi berpendapat bahwa bertawasul kepada orang-orang yang telah wafat adalah sesuatu yang tidak dibolehkan. Ibnu Taimiyah ( dimana orang-orang pengikut paham wahabi bersandar pada pandangan-pandangannya) menerima tawasul dengan doa Nabi Muhammad saw dan orang-orang saleh hanya pada masa hidupnya dan tawasul kepada mereka setelah wafatnya adalah bentuk kesyirikan. [18]

Bantahan Menurut kelompok pendukung tawasul, antara tawasul kepada orang yang masih hidup dengan orang yang telah wafat dari kalangan wali-wali Allah tidak memiliki perbedaan. Sebagaimana di masa hidup Rasulullah saw dan para waliyullah lainnya, seseorang bisa meminta kepada mereka untuk didoakan dan memintakan ampunan maka setelah mereka wafat, hal tersebut tetap bisa dilakukan. [19] Berkenaan dengan hal ini, ayat وَلَوْأنَّهُمْ إذْ ظَلَمُوا أنْفُسَهُمْ جَاءُوک فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّاباً رَحیماً (Qs. an-Nisa: 64) bisa dijadikan sandaran bahwa meminta kepada Rasulullah saw untuk memohonkan ampunan Allah swt, dapat dilakukan baik ketika Rasulullah saw masih hidup atau setelah wafatnya.[20]

Sirah kaum muslimin dari sejumlah sahabat juga menunjukkan praktik tawasul dengan orang yang telah wafat adalah sesuatu yang boleh. [21]

Catatan Kaki

  1. Subhani, Bahuts Qur'aniyah fi al-Tauhid wa al-Syirk, hlm.93
  2. Subhani, Bahuts Qur'aniyah fi al-Tauhid wa al-Syirk, hlm.111
  3. Nawawi, al-Majmu', jld.8, hlm.274
  4. Lih. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld.4, hlm.365
  5. Untuk contoh, lih. Nahjul Balaghah, hikmah 353, hlm.479
  6. Ibnu A'tsam al-Kufi, al-Futuh, jld.5, hlm.19
  7. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.84, hlm.285
  8. Al-Kulaini, al-Kafi, jld.2, hlm.583
  9. Darami, Sunan al-Darami, jld.1, hlm.227
  10. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld.4, hlm.195
  11. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld.4, hlm.195
  12. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld. 4, hlm. 195
  13. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld.4, hlm.195
  14. Baghadadi, Tarikh Baghdad, jld.1, hlm.133
  15. Ka'bi, Al-Imam Musa al-Kazhim as sirah wa tarikh, hlm.261
  16. Alusi, Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Quran al-Azhim, jld.3, hlm.297
  17. Al-Asqalani, Fathu al-Bari, jld.2, hlm.497
  18. Ibnu Taimiyah, Majmu'ah al-Fatawa, jld.1, hlm.159
  19. Lih. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld.4, hlm.196-197
  20. Lih. Ibnu Taimiyah, Majmu'ah al-Fatawa, jld. 1, hlm. 159
  21. Lih. Samhudi, Wafa al-Wafa, jld.4, hlm.195-197

Daftar Pustaka

  • Darimi, Abdullah bin Abdurrahman. Sunan ad-Dārimī. Cet I. Riset Husain Salim Asad ad-Darani. Arab Saudi: Dar al-Mughni li an-Nasyr wa at-Tauzi', 1412 H.
  • Ibnu A'tsam al-Kufi, Ahmad bin A'tsam. Al-Futūh. Cet I. Beirut: Dar al-Adhwa',141 H.
  • Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmū'atul Fatāwā. Riset Syeikh Abdurrahman bin Qasim. Madinah: Majma'ul Malik Fahd li Thaba'ah al-Mushhaf as-Syarif, 1416 H.
  • Khatib Baghdadi, Ahmad bin Ali. Tārīkh Baghdād. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1417 H.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Tehran: Entesyarat-e Islamiyyah, 1362 HS (1983).
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār al-Jāmi'ah li Dhurar Akhbār al-Aimmah al-Athhār. Cet III. Beirut: Daru Ihya` at-Turats al-Arabi,1403 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Tafsīr Nemūne. Cet. XLI. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah. 1380 HS (2001).
  • Nahj al-Balāghah. Riset Azizullah 'Atharudi. Tehran: Bunyad-e Nahjul Balaghah, 1413 H.
  • Nawawi, Muhyiddin bin Syaraf. Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr, 1421 H.
  • Samhudi, Ali bin Abdullah. Wafā al-Wafā bi Akhbāri Daru al-Musthafā. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2006.
  • Syusytari, Qadhi Nurullah. Ihqāq al-Haq wa Izhāq al-Bāthil. Cet. I Dengan pengantar dari Ayatullah Mar`asyi Najafi. Jld. 23. Qom: Ketabkhone (perpustakaan) Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1409 H.
  • Thabrani, Sulaiman bin Ahmad Al-Mu'jam al-Kabīr.Riset Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Cet. II. Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyyah, 1406.


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "catatan", tapi tidak ditemukan tag <references group="catatan"/> yang berkaitan