Sa'ad bin Abi Waqqash

tanpa prioritas, kualitas: c
Dari wikishia
(Dialihkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash)
Sahabat
Sa'ad bin Abi Waqqashhttp://id.wikishia.net/view/Majma_Jahani_Ahlulbait_As
Info pribadi
Nama lengkapSa'ad bin Abi Waqqash Malik bin Wuhaib bin Abdul Manaf bin Zuhra bin Kilab al-Qurasyi al-Zuhri
JulukanAbu Ishak
Garis keturunanBani Zuhrah Quraisy
Kerabat termasyhurUmar bin Sa'ad
Muhajir/AnsharMuhajir
Tempat TinggalMekah, Madinah
Wafat/SyahadahBanyak Pendapat, tahun 54, 55, 58 H.
Tempat dimakamkanPemakaman Baqi
Informasi Keagamaan
Memeluk IslamTermasuk orang-orang pertama Memeluk Islam
Keikutsertaan dalam GhazwahDi semua perang
Hijrah keMadinah
Peran utamaSalah seorang anggota Syura Khalifah setelah Umar
Aktivitas lainPanglima Islam dalam pasukan Qadasiyah

Sa'ad bin Abi Waqqash (Bahasa Arab: سَعد بن ابی‌وَقّاص ) adalah salah seorang sahabat dan panglima jendral pasukan Islam dalam perang dengan Iran. Dia juga turut serta dalam peperangan seperti Badar dan Uhud. Sa'ad dilantik sebagai gubernur Kufah oleh Khalifah kedua dan menjadi panglima pasukan muslimin dalam perang Qadisiyyah dalam menghadapi Sasaniah.

Sebagian Ahlusunnah berdasarkan sebuah riwayat meyakini bahwa ia salah seorang dari sepuluh sahabat yang mendapat jaminan surga. Ia memiliki hubungan yang baik dengan khalifah pertama dan kedua dan menjadi salah seorang anggota dalam dewan syura enam orang yang dibentuk untuk menentukan khalifah ketiga. Pada masa kekhalifahan Imam Ali as pada awalnya ia tidak turut memberikan baiat kepadanya dan pasca pemberian baiat pun, ia tidak terlibat dalam sejumlah peperangan. Puteranya Umar Sa'ad adalah panglima pasukan Kufah dalam peristiwa Karbala.

Sa'ad bin Abi Waqqash wafat antara tahun 54 sampai 58 H dan dimakamkan di pemakaman Baqi.

Nasab

Abu Ishak, Sa'ad bin Abi Waqqash Malik bin Wuhaib bin Abdul Manaf bin Zuhra bin Kilab al-Qurasyi al-Zuhri adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. Ibunya bernama Humnah putri Abu Sufyan bin Umayyah Abdu Syams. [1]

Masuk Islam

Mengenai proses masuk Islamnya, terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan membingungkan, juga terdapat perbedaan pendapat. Dinukilkan bahwa ia adalah orang ketujuh atau yang keempat atau orang kedua yang masuk Islam. Dikutip dari pengakuannya sendiri bahwa ia masuk Islam sebelum perintah salat diwajibkan . [2] Akan tetapi dalam literatur Ahlusunnah disebutkan Khadijah sa dan Ali as adalah orang-orang pertama yang masuk Islam dan tergolong kelompok pertama yang mendirikan salat. [3]

Sa'ad melakukan hijrah ke Madinah sebelum Nabi saw meninggalkan Mekah. [4] Oleh Nabi Muhammad saw ia dipersaudarakan dengan Sa'ad bin Muadz. [5]

Karakter dan Ciri Khas

Sa'ad seseorang dengan postur tubuh yang tidak tinggi dan gemuk, kepalanya besar, rambutnya lebat dengan potongan rambut yang pendek. Ia dikenal sebagai pemuda yang serius dan berakhlak baik, terkadang mengenakan mantel bulu dan juga cincin emas dijarinya. [6]

Dalam riwayat Ahlusunnah disebutkan ia memiliki banyak keutamaan diantaranya termasuk dalam Asyarah Mubasyarah yaitu 10 sahabat yang dijamin masuk surga, [7] doanya terkabul (mustajabud du'a) [8] yang mana semuanya itu walaupun dikalangan pembesar Ahlusunnah sendiri merupakan hal yang diragukan dan menolak adanya keutamaan tersebut. Ia meriwayatkan sebanyak 271 hadis dari Nabi Muhammad saw. [9]

Ikut Serta dalam Peperangan

Ia adalah orang pertama yang dikenal menumpahkan darah musuh di jalan Islam yaitu dengan melukai 'Ubaid bin Harits [10]dan yang pertama kali pula mendirikan kekuasaan di Kufah. [11] Ia diangkat sebagai gubernur di Kufah oleh khalifah kedua namun karena mendapat protes dan penolakan dari penduduk Kufah pada tahun 21 H, ia meninggalkan jabatannya sebagai gubernur. [12]

Sa'ad turut ikut serta dalam perang Badar dan Uhud [13]dan juag dalam perang Khandaq, perang Khaibar, serta pembebasan kota Mekah. Pada saat Fathu Mekah, ia adalah salah seorang dari tiga orang yang memegang bendera kaum Muhajirin. Pada peperangan yang diikutinya beserta Nabi Muhammad saw ia tergabung dalam pasukan pemanah. [14]

Periode Pasca Wafatnya Nabi Muhammad saw

Periode Khalifah Abu Bakar dan Umar

Pasca wafatnya Nabi Muhammad saw menurut sebagian riwayat, Sa'ad adalah diantara mereka yang berkumpul di rumah Sayidah Fatimah sa. Ia bersepakat dengan Miqdad bin Aswad untuk membaiat Imam Ali as sebagai khalifah. [15]Namun kebenaran riwayat tersebut diragukan, karena ia memiliki peran dan pengaruh besar pada masa kekhalifaan Umar bin Khattab. satu-satunya alasan ia dalam beberapa waktu menolak membaiat Abu Bakar pasca peristiwa saqifah adalah keengganan Abu Bakar dan Umar untuk mengangkat Khalid bin Sa'id bin 'Ash untuk menjadi salah seorang gubernur. [16]

Reputasi Sa'ad

Reputasi Sa'ad lebih banyak pada periode kekhalifahan Umar. Ia saat itu diangkat menjadi panglima perang memimpin pasukan Islam dalam perang Qaddasiyah menghadapi kerajaan sasanian pada akhir tahun 16 H. [17]Ia juga diangkat oleh khalifah Umar sebagai salah seorang anggota Dewan Syura yang ditugaskan untuk menetapkan khalifah pengganti. Dari litetarur yang ada, ke enam orang yang berada dalam dewan syura adalah tokoh-tokoh penting dan memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. [18]

Dewan Syura Penetapan Khalifah

Anggota Syuro Enam Orang

Untuk Menentukan Khalifah Ketiga

Imam Ali as
Utsman bin Affan
Abdurrahman bin 'Auf
Sa'ad bin Abi Waqqash
Zubair bin 'Awwam
Thalhah bin Ubaidillah

Pasca khalifah Umar wafat, anggota dewan syura berkumpul. Abu Thalhah al-Anshari berdiri di depan rumah untuk mencegah orang-orang lalu lalang di tempat tersebut. Disebutkan, Amru bin Ash dan Mughairah bin Syu'bah duduk di sisi tempat rapat yang mana kehadiran keduanya diprotes oleh Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia berkata, "Apa maksud kalian duduk di tempat ini? Apa hendak mengaku kelak kalian juga adalah bagian dari syura dan turut hadir di dalamnya?"

Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa betapa penting Sa'ad bin Abi Waqqash memandang rapat syura tersebut. Nuwairi dalam kitab Nihāyah al-'Arab menulis, "Imam Ali bin Abi Thalib as dalam peristiwa tersebut sebelumnya telah bertemu dengan Sa'ad bin Abi Waqqash dan berkata, "Demi kekerabatan puteraku dengan Rasulullah saw dan demi kekerabatanku dengan pamanku Hamzah, aku bersumpah bahwa sesungguhnya jangan sampai kerjasamamu dengan Abdurrahman bin Auf akan menguntungkan Utsman bin Affan dan akan merugikan saya." [19]

Namun Sa'ad menyerahkan suaranya pada Abdurrahman bin Auf yang dengan itu akhirnya terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah yang baru. Utsman mengangkat Sa'ad untuk menjadi gubernur di Kufah, namun setelah beberapa tahun ia dipecat. Meski demikian Utsman tetap memberikan bantuan, diantaranya dia mendapatkan perkampungan di wilayah Hurmuz. [20]

Ia dalam peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman tidak terlibat apapun, meskipun dikatakan ia telah siap untuk tetap mendukung dan membela khalifah Utsman meskipun tidak memberikan pertolongan apapun. Setelah beberapa pasca kejadian, ia menyebut diri bersikap netral dalam peristiwa pembunuhan tersebut.

Periode Kekhalifahan Imam Ali as

Pada saat masyarakat umum berbondong-bondong memberikan baiatnya kepada Imam Ali as, Sa'ad bin Abi Waqqash menunda memberikan baiatnya. saat diminta untuk berbaiat, ia memberikan tanggapannya pada Imam Ali as, "Aku tidak akan berbaiat sampai seluruh orang berbaiat. Demi Allah aku tidak akan mengganggu (pemerintahanmu)." Imam Ali as berkata, "Biarkan dia pergi." [21]

Menyinggung pihak-pihak yang enggan membaiatnya, Imam Ali as menyampaikan khutbah, "Aku tahu orang-orang seperti Ibnu Umar, Sa'ad bin Abi Waqqas, dan Muhammad bin Maslamah telah bersikap tidak menyenangkan. Aku akan menghukumi masalah ini di antara kami atas dasar kebenaran." [22] Nampaknya, meskipun Imam Ali as tidak senang dengan pihak-pihak yang menolaknya namun beliau tidak memaksa mereka supaya berbaiat padanya. [23]

Ibnu Sa'ad menulis, "Sebenarnya di kemudian hari Sa'ad bersedia berbaiat, namun karena ia tidak menyertai Ali dalam peperangan sehingga muncul isu bahwa ia sama sekali tidak berbaiat." [24] Sa'ad sendiri memberikan berbagai alasan kenapa tidak bergabung dengan Imam Ali as dalam peperangan. Di antaranya, ia menganggap dirinya lebih layak menjadi khalifah dibanding siapapun, merasa dirinya telah banyak berjasa karena sudah banyak melakukan jihad, menurutnya dalam medan perang yang dihadapi Imam Ali as itu tidak jelas mana yang hak dan mana yang batil. Salah satu buktinya adalah dia pernah menyampaikan, "Beri aku pedang, aku jelaskan mana mukmin mana kafir!". [25]

Menurut Syaikh Mufid, alasan sebenarnya kenapa Sa'ad enggan mendukung Imam Ali as adalah rasa hasud yang dalam dirinya. Ia menulis, masalah itu berawal ketika Umar bin Khtattab menjadikannya sebagai salah satu dari 6 anggota syura. Menurut Umar ia layak menjadi khalifah. Hal itu membuatnya berpikir bahwa ia memang layak menjadi pemimpin umat. Sayangnya mimpinya itu justru menghancurkan dunia dan agamanya. Hingga akhir hayatnya dia tidak berhasil menggapai ambisinya. [26]

Saat ditanyakan mengenai pihak-pihak yang saat itu menolak untuk membaiatnya dan enggan mendukung dan berjihad bersamanya, Imam Ali as menjawab, "Mereka adalah sekelompok orang yang mengabaikan kebenaran namun juga tidak mendukung kebatilan." [27]

Perang Jamal

Sa'ad tahu bahwa Imam Ali as memiliki banyak sekali keutamaan. Itu terbukti dari sebagian pernyataan dan sikapnya. Misalnya, suatu saat di musim haji Sa'ad berjumpa dengan Muawiyah yang waktu itu telah menjadi khalifah. Muawiyah berkata buruk yang ditujukan pada Imam Ali as. Mendengar itu, Sa'ad menjawab, "Demi Allah! Seandainya aku memiliki salah satu sifat yang dimiliki Ali, itu lebih aku sukai dibanding memiliki dunia dan seisinya." Selain itu ia juga mengutip hadis-hadis yang memuji Imam Ali as.

Mendengar jawaban itu Muawiyah memprotesnya, "Lalu kenapa kau tidak mendukungnya?" Sa'ad menjawab, "Demi Allah! Aku lebih berhak menjadi khalifah dibanding kamu." Ini tandanya Sa'ad sangat berambisi menjadi khalifah. Muawiyah menjawab, "Bani Zuhrah kabilahmu sendiri pun tidak akan menyetujuinya."

Sa'ad sendiri mengakui bahwa Muawiyah menguasai rakyat secara paksa. Ia tidak menyebut Muawiyah dengan gelar 'amirul mukminin', tapi raja. Menjawab protes yang disampaikan Muawiyah ia berkata, Ketika kami mengangkatmu jadi amir (pemimpin), kamu sebenarnya sudah jadi pemimpin, tapi kamu malah mengabaikannya. [28] saat itu sikap Sa'ad bin Abi Waqqash dan orang-orang yang enggan membantu Imam Ali as itu berarti ikut memuluskan tujuan Muawiyah.

Setelah peristiwa Perang Jamal, Muawiyah mengirim surat kapada Sa'ad, isinya:

"Di kalangan Quraisy, orang yang paling layak menghakimi dan menuntut keadilan bagi Utsman adalah para anggota syura. Sebab mereka telah membuktikan kebenarannya. Mereka telah memilihnya (sebagai khalifah). Dua mitramu dalam syura sekaligus pembela Islam, Thalhah dan Zubair, telah terlebih dulu bangkit menuntut keadilan baginya. Begitu juga Aisyah, dia telah keluar rumah untuk melakukan hal yang sama. Karena itu kamu jangan nilai buruk perkara yang sudah dianggap baik orang banyak, jangan kamu tentang sesuatu yang sudah mereka terima. Kami akan serahkan urusan kekhalifahan pada Dewan Syura Islam." [29]

Sa'ad menjawab surat Muawiyah:

"Umar hanya memasukkan orang Quraisy yang memang layak menjadi khalifah ke dalam anggota syura. Di antara kami sendiri tidak ada yang merasa lebih layak, kami bersepakat dalam menentukan siapa yang akan maju. Bedanya, segala hal yang kami miliki juga dimiliki Ali. Namun yang dia miliki itu tidak kami memiliki. Ini adalah hal yang tidak kami sukai sejak awal. Adapun tentang Thalhah dan Zubair, seandainya mereka tetap di rumah sebenarnya itu lebih baik. Semoga Allah mengampuni atas yang dilakukan Ummul Mukminin. [30]

Perang Siffin

Setelah perang Shiffin dan peristiwa Hakamiyat, Muawiyah mengirim surat untuk para tokoh Qaidin,(yaitu; mereka yang tidak berpartisipasi dalam perang dan tidak berpihak pada siapapun) termasuk Sa'ad. Dia memberitahukan bahwa perang telah selesai, Abu Musa al-Asy'ari dan Amru bin Ash telah pergi ke Daumatul Jandal. Pada kesempatan itu Sa'ad juga diminta menyusul mereka. Para tokoh Qaidin pun hadir di Daumatul Jandal. Di sana Sa'ad menyampaikan, "Aku adalah orang yang paling layak dalam urusan ini (kekhalifahan) dibanding siapapun, sebab aku tidak terlibat dalam pembunuhan Utsman dan kerusuhan yang terjadi setelahnya." [31]

Sa'ad sama sekali tidak pernah menolong Imam Ali as dalam peperangan. Hal itu tentu membuka peluang lebih lebar bagi Muawiyah dalam meraih kemenangan. Sayid al-Humairi dalam penggalan syairnya menyinggung tentang masalah ini. Ia berkata, "Kaum Sa'ad telah melenceng dari jalur Tuhan yang benar, mereka membiarkan orang hina menjadi pemimpin mereka. Jika bukan karena lemahnya Bani Zuhrah, dia tidak akan menjadi pemimpin" [32]

Sa'ad menyampaikan pada Muawiyah alasannya tidak ikut dalam Perang Jamal: "Perumpamaanku dan umat itu seperti orang-orang yang berada di dalam tempat gelap. salah seorang menyuruh untanya supaya duduk di tanah, lalu memintanya untuk menunjukkan jalan terang (maksud: tidak mampu membedakan antara yang haq dan batil, penj)." Untuk mengejek Sa'ad, Muawiyah menyebutkan Surah al-Hujurat: 9 dan berkata, "Kamu itu tidak ikut perang dengan orang yang menzalimi ataupun dengan yang dizalimi." Sa'ad hanya diam ketika menerima ejekan itu. [33]

Wafat

Sa'ad meninggal di istananya di daerah Atiq yang berjarak beberapa mil dari Madinah. Jenazahnya dibawa ke Madinah untuk dimakamkan di pemakaman Baqi. saat itu Marwan bin Hakam ikut mensalatinya. [34]

Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan dan saat umur berapa ia wafat. Sebagian menyebutkan ia wafat pada tahun 54, 55 dan 58 H pada usia 58, 74 dan 83. [35] Menurut sebagian pendapat, Sa'ad dibunuh Muawiyah karena berusaha menghalangi rencananya untuk menjadikan Yazid sebagai putra mahkota. Abul Faraj Isfahani dalam Maqatil al-Thalibiyyin berkata, "Ketika Muawiyah ingin meminta baiat dari masyarakat untuk Yazid, Muawiyah merencanakan sesuatu. Diam-diam dia mengirim rucun untuk Imam Hasan as dan Sa'ad bin Abi Waqas. Keduanya meninggal selang beberapa hari." [36]

Harta yang ditinggalkan Sa'ad sekitar 250.000 dirham. Disebutkan, dia pernah membayar zakat sebanyak 5000 dirham. [37]

Catatan Kaki

  1. Ibnu Abdul Bar, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 171; Ibnu Atsir, usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 307; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 137; Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzhib, hlm. 282; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 309; Thusi, Rijāl, hlm. 20; Ibnu Hajar, Tahdzhibut Tahdzhib, jld. 3, hlm. 419; Bukhari, Kitāb al-Tārikh al-Kābir, jld. 4, hlm. 43; Zirikli, al-A'lām, jld. 3, hlm. 78.
  2. Lihat: Ibnu Abdul Barr, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 171; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 307; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 21 dan 139 Mizzi, Tahdzhibul Kamāl, jld. 10, hlm. 309; Bukhari, Kitāb al-Tārikh al-Kabir, jld. 4, hlm. 43.
  3. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 21-22.
  4. Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 419.
  5. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 140.
  6. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 143; Zirikli, al-A'lām, jld. 3, hlm. 78.
  7. Ibnu Abdul Barr, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 171; Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzhib, hlm. 282; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 309; Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, hlm. 282; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 309, Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 420; Bukhari, Kitāb al-Tārikh al-Kabir, jld. 4, hlm. 43; Nuwairi, Nihāyah al-Arab, jld. 20, hlm. 233; Zirikli, al-A'lām, jld. 3, hlm. 78.
  8. Nuwairi, Nihāyah al-Arab, jld. 20, hlm. 233; Ibnu Abdul Bar, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 171.
  9. Ibnu Hazm, Asmā al-Shahābah al-Rawāh, hlm. 48.
  10. Ibnu Sa'ad, Thabaqāt, jld. 3, hlm. 123; Ibnu Abdul Bar, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 172; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 140; Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzhib, hlm. 282; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 310; Zirikli, al-A'lām, jld. 3, hlm. 78.
  11. Ibnu Abdul Bara, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 172; Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 419.
  12. Ibnu Abdul Barr, al-Isti'ab, jld. 2, hlm. 172; Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 419; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 311; Lih. Baladzuri, Futuhul Buldān, hlm. 270-271.
  13. Ibnu Sa'ad, Thabaqāt, jld. 3, hlm. 123; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 307.
  14. Ibnu Abdul Barr, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 171-172; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 307; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 140-141.
  15. Syarh Ibnu Abil Hadid, jld. 2, hlm. 56.
  16. Tārikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 12.
  17. Baladzuri, Futuhul Buldān, hlm. 252; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 308; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 310, 312.
  18. Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 308; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 311; Mufid, al-Jamal, hlm. 97; Ya'qubi, Tārikh, jld. 2, hlm. 160.
  19. Nuwairi, Nihāyah al-Arab, jld. 4, hlm. 323.
  20. Terj. Futuhul Buldān, hlm. 391.
  21. Mufid, al-Jamal, hlm. 131.
  22. Mufid, al-Irsyād, jld. 1, hlm. 286.
  23. Mufid, al-Jamal, hlm. 111.
  24. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt, jld. 3. Hlm. 24.
  25. Ibnu Abdul Bar, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 173; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 309; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 143; Mufid, al-Jamal, hlm. 95.
  26. Mufid, al-Jamal, hlm. 52.
  27. Ibnu Abdul Bara, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 173; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 313.
  28. Ya'qubi, Tārikh, jld. 2. hlm. 144.
  29. Ya'qubi, Tārikh, jld. 2. hlm. 187.
  30. Ya'qubi, Tārikh, jld. 2. hlm. 187; Lih. Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 309.
  31. Lih. Baladzuri, Futuhul Buldān, jld. 2, hlm. 344; Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 2, hlm. 250-251.
  32. Murujudz Dzahab, jld. 2, hlm. 19.
  33. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, jld. 2 hlm. 263-264.
  34. Ibnu Abdul Bara, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 173; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 310; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 147; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 313; Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 420; Bukhari, Kitāb al-Tārikh al-Kabir, jld. 4, hlm. 43.
  35. Ibnu Abdul Bar, al-Isti'āb, jld. 2, hlm. 173-174; Ibnu Atsir, Usdul Ghābah, jld. 2, hlm. 310; Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 148; Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzhib, hlm. 282; Mizzi, Tahdzhib al-Kamāl, jld. 10, hlm. 313-314; Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, jld. 3, hlm. 420; Zirikli, al-A'lām, jld. 3, hlm. 78.
  36. Maqātil al-Thālibin, jld. 1, hlm. 13.
  37. Ibnu Sa'ad, al-Thābaqāt al-Kubra, jld. 3, hlm. 149.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, riset: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Kitab Khaneh Hadhrat Ayatullah al-Uzhma Mara'asyi Najafi, Qom.
  • Ibnu Atsir, Usdul Ghābah fi Ma'rifah al-Shahābah, Dar al-Ma'rifah, Beirut, 1422 H, 2001.
  • Ibnu Hajar, Taqrib al-Tahdzhib, riset: Khalil Ma'mun Syaiha, Dar al-Ma'rifah, Beirut, 1422 H/2001.
  • Ibnu Hajar, Tahdzhib al-Tahdzhib, Dar al-Fikr, Beirut, 1404 H/1984.
  • Ibnu Hazm, Asmā al-Shahābah al-Rawāh wa Mālikal Wāhid min al-'Adad, riset: sayid Kasrawi Hasan, Dar al-Kutub al-'Ilmiah, Beirut, 1412 H/1992.
  • Ibnu Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, Dar al-Fikr, Beirut, 1405 H/1985.
  • Ibnu Abdul Bara al-Qurthubi, al-Isti'āb fi Ma'rifah al-ashhāb, riset: Ali Muhammad Ma'wadh dan Adil Ahmad Abdul Maujud, Dar al-Kutub al-'Ilmiah, Beirut, 1415 H/1995.
  • Bukhari, Muhammad bin Ibrahim, al-Tārikh al-Kabir, Dar al-Fikr lil Thabā'a wa al-Nahsr al-Tauzi', Beirut.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya, Futuhul Buldān, Dar wa Maktabah al-Hilāl, Beirut.
  • Baladzuri, Futuh al-Buldan, terj. Muhammad Tawakkul, Nahsr Nuqre, Tehran, 1337 S.
  • Zirikli, Khair al-Din, al-A'lām Qāmus Tarājim li Asyhur al-Rijāl wa al-Nisā min al-'Arab wa al-Musta'ribin wa al-Mustasyriqin, Dar al-'Ilm lil Malayin, Beirut, 1992.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan, Rijāl, riset: sayid Muhammad Shadiq Bahar al-'Ulum, Maktabah al-Haidariyah fi al-Najaf, Najaf, 1381 H/1961.
  • Mizzi, Yusuf, Tahdzhib al-Kamāl fi Asma' al-Rijāl, riset; Basyar 'Awad Ma'ruf, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1409 H/1998.
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad, al-Irsyād fi Ma'rifah Hujaj Allah 'ala al-'Ibād, terj. Hasyim Rasuli, Islamiah, Tehran.
  • Mufid, al-Jamal wa al-Nusrah li sayid al-'Itrah fi Harb al-Bashrah, riset: Ali Mir Syarifi, Seminar Syaikh Mufid, Qom.