Peristiwa Tahkim

Prioritas: aa, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia

Peristiwa Tahkim atau Arbitrase (bahasa Arab: التحكيم أو تحكيم القرآن) adalah sebuah istilah untuk sebuah kejadian sejarah yang berhubungan dengan Perang Shiffin. Dalam kejadian ini Abu Musa al-Asy'ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah (pasukan Imam Ali as) dan Amru bin 'Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam (pasukan Muawiyah). Kedua perwakilan ini melakukan perundingan untuk menyelesaikan perbedaan antara kaum muslimin satu dengan lainnya dan kedua pihak sepakat untuk memberikan pendapat sesuai dengan Al-Qur'an dan hadis. Usulan perundingan diajukan dengan tipu daya Amru bin 'Ash dan Muawiyah dalam rangka menyelamatkan pasukan mereka dari pasukan Imam Ali as.

Sebenarnya Imam Ali as dari awal sudah menentang perundingan ini. Pasukan Syam ketika melihat mereka mulai terdesak dan hampir mengalami kekalahan, mereka menancapkan Al-Qur'an di ujung tombak dan meneriakkan syiar-syiar; bahwa hendaklah Al-Qur'an harus menjadi hakim bagi kedua pihak. Mengingat Amru bin 'Ash perwakilan dari Syam berhasil dan mampu mengelabui Abu Musa al-Asy'ari serta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan dengan memperkenalkan Muawiyah sebagai khalifah, maka perundingan pun tidak memberikan hasil dan hanya bisa menyelamatkan pasukan Syam dari kekalahan.

Latar Belakang

Pasukan Muawiyah mendapatkan serangan hebat dari pasukan Malik Asytar, mereka merasakan akan mendapat kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah datang menemui Amru bin 'Ash.[1] Maka dengan usulan Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, pasukan Syam menancapkan Al-Qur'an ke tombak dan meneriakan yel-yel; "Wahai penduduk Irak! Hakim antara kita adalah Tuhan. Bala tentara Syam juga datang dengan berteriak: "Wahai kelompok Arab! Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian, jika kalian terbunuh, besok siapa yang akan berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!" [2]

Kekacauan Kubu Pasukan Imam Ali as

Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Al-Qur'an ditancapkan di ujung tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana sebagian dari mereka ada yang menerima perdamaian yang diajukan oleh musuh dengan mengangkat Al-Qur'an dan kita tidak memiliki hak untuk berperang. Imam Ali as dengan tegas menentang kelompok ini dan mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain kecuali hanya tipu daya. Akan tetapi dengan terpaksa Imam Ali as menerima ajuan perdamaian Qurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran.[3]

Penunjukkan Wakil

Penduduk Syam memilih Amru bin 'Ash sebagai perwakilan mereka dalam perundingan, sementara terjadi perselisihan dalam penentuan wakil di dalam kubu pasukan Irak dan pasukan Imam Ali as. Asy'ats bin Qais al-Kindi dan sejumlah orang lainnya yang kemudian hari mereka menjadi kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi Imam Ali as mengajukan Ibnu Abbas dan Malik Asytar sebagai perwakilan namun Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abbas pun tidak bisa diterima sebab karena Amru bin 'Ash adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang Yaman. [4]

Kerangka Peristiwa Arbitrase

Kedua perwakilan mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as dari kursi kekhalifahan dan akan dipilih oleh musyawarah. Amru bin 'Ash menyuruh Abu Musa al-Asy'ari untuk mengumumkan hasil musyawarah dan Abu Musa al-Asy'ari yang pertama harus mengumumkan pengunduran Imam Ali as. Akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya mengumumkan pengunduran Muawiyah ia malah menyetujui pengumuman Abu Musa al-Asy'ari dalam pengunduran Imam Ali as dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak. [5] [6]

Menurut riwayat Ya'qubi, julukan Amirul Mukminin dilekatkan kepada Imam Ali as ketika penulisan surat perjanjian damai antara para utusan kedua pasukan, terjadilah perdebatan, dimana Asy'ats adalah termasuk salah seorang yang menginginkan julukan ini dihapus dalam surat tersebut dan Malik Asytar mengajukan protes keras.[7] Tanggal Arbitrase pun ditentukan hingga akhir bulan Ramadhan. [8] dan kota Daumatu al-Jandal ditetapkan menjadi tempat arbitrase tersebut. [9]

Isi dan kandungan dari surat perjanjian damai tersebut adalah:

  • Kedua pihak harus rela dengan apa yang diputuskan oleh Al-Qur'an dan merujuk kepadanya pada masalah-masalah yang diperdebatkan.
  • Imam Ali as dan pengikutnya harus memilih Abu Musa al-Asy'ari sebagai pengawas dan hakim. Begitu juga Muawiyah harus memilih Amru bin 'Ash.
  • Jika dalam Al-Qur'an tidak ditemukan penyelesaian dari perbedaan yang terjadi, hendaklah merujuk kepada Sunah dan perbuatan Nabi saw.
  • Tidak akan menyinggung hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan tidak mengikuti hawa nafsu.
  • Nyawa,harta dan harga diri kedua perwakilan harus terjaga selama tidak melewati batasan haknya.
  • Jika salah seorang dari kedua perwakilan meninggal dunia sebelum menjalankan tugasnya, maka pemimpin dari kedua pihak hendaklah memilih salah seorang sebagai penggantinya.
  • Jika salah satu dari pemimpin kedua kelompok meninggal dunia, maka pengikut kelompok tersebut memilih salah seorang untuk menjadi penggantinya.
  • Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang menjadi sumpahnya, maka umat berhak untuk tidak mengikutinya.
  • Mulai dari dibuatnya surat perjanjian damai sampai masa waktunya berakhir, maka nyawa, harta dan harga diri masyarakat tetap terjaga dan aman.
  • Seluruh senjata harus disimpan (tidak digunakan) sampai masa akhir perjanjian dan setiap jalan haruslah aman; dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara yang hadir maupun yang tidak hadir di waktu perjanjian damai.
  • Kedua perwakilan harus tinggal di tempat antara Irak dan Syam, selain orang-orang yang diperkenankan oleh mereka, tidak seorangpun berhak hadir di sana.
  • Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang ada pada Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw maka kaum muslimin akan melanjutkan peperangan mereka dan sama sekali tidak ada kesepakatan antara mereka. [10]

Tindakan dan Nasehat-Nasehat Imam Ali as

Imam Ali as mengutus empat ratus komandan yang dipimpin oleh Syuraih bin Hani untuk menemani Abu Musa al-Asy'ari supaya melakukan perdamaian serta mengutus Abdullah bin Abbas untuk menjadi imam salat berjamaah. Selain itu juga beliau memberikan nasehat dan pengarahan kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang keburukan Muawiyah.[11]

Hasil Arbitrasi Abu Musa

Abu Musa al-Asy'ari membuahkan hasil perundingan damai dengan kedua pemimpin yaitu Muawiyah dan Imam Ali as dan melepaskan kedudukan keduanya secara sama dan tidak lagi menjadi pemimpin. Amru bin 'Ash juga (secara dhahir) menerima masalah ini, akan tetapi untuk merealisasikan strateginya dia pertama menerima Abu Musa Asy'ari dan menjadikannya orang pertama yang mengumumkan hasil perundingan. Ibnu Abbas banyak melakukan usahanya agar Amru bin 'Ash yang pertama mengumumkan hasil perundingan, akan tetapi Abu Musa tidak mengerti peringatan yang diberikan oleh Ibnu Abbas tentang tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin 'Ash, Abu Musa berkata: "Aku dan Amru bin 'Ash sudah sepakat".[12] Abu Musa naik ke atas mimbar dan berkata: "Wahai masyarakat! Supaya kaum muslimin merasakan ketenangan dan pandangannya tidak bingung dan tidak menjadi dua kelompok, aku telah sepakat dengan Amru bin 'Ash untuk menurunkan Muawiyah dan Ali dari kursi kepemimpinan sehingga kaum muslimin dapat membentuk lembaga permusyawaratan dan memilih orang yang memiliki kelayakan dan keahlian menjadi seorang khalifah. Maka aku (sebagai perwakilan masyarakat Hijaz dan Irak) sebagaimana aku telah mengeluarkan cincin dari tanganku, aku juga akan menurunkan Ali dari kursi kepemimpinan.[13]

Kemudian dia turun dari mimbar dan giliran Amru bin 'Ash naik ke atas mimbar, dia mengumumkan: "Aku sudah mendengar apa yang telah disampaikan oleh Abu Musa Asy'ari, ia hanya memiliki hak untuk menurunkan Ali dan aku dalam masalah ini sepakat dengannya. Akan tetapi seperti halnya cincinku masih di tangan, maka aku akan menyerahkan kursi kekhalifahan ini kepada Muawiyah. Karena selain dia memiliki kelayakan dalam urusan ini, ia juga masih menjadi wali dan pengusut darah Utsman. Abu Musa marah dengan tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin 'Ash dan berkata kepadanya: "Wahai tukang tipu daya yang fasik! Sesungguhnya perumpamaanmu adalah bagaikan anjing; baik dipukul ataupun dilepaskan ia tetap menggonggong".[14] Amru bin 'Ash menjawab: "Engkau bagaikan keledai yang membawa buku (asfar)". [15] [16].

Munculnya Khawarij

Dengan demikian, tanpa ada pembicaraan tentang Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw, kejadian perundingan damai pun menjadi sumber perpecahan lain antara masyarakat Syam dan Irak.[17] Hasil terpenting dari Arbitrasi ini bagi masyarakat Syam di kemudian hari adalah masyarakat Syam menganggap Muawiyah sebagai Amirul Mukminin. [18]

Sekelompok dari pengikut Imam Ali as sejak dari awal menentang perundingan damai tersebut dan menganggap bahwa hal itu adalah langkah mundur dari agama dan keraguan dalam iman. [19]

Sebagian juga dengan alasan dua ayat Al-Qur'an (Al-Maidah: 44 dan Hujurat: 9) menginginkan berlanjutnya perang dengan Muawiyah dan menganggap kafir bagi siapa saja yang menerima perundingan damai serta hendak segera bertaubat. Mereka menginginkan Imam Ali as untuk bertobat dari kekufuran ini dan membatalkan semua syarat yang diajukan oleh Muawiyah. Akan tetapi Imam Ali as tidak menerima untuk menolak perundingan damai.

Setelah berakhirnya perang dan kembalinya Imam Ali as ke Kufah dan Muawiyah ke Syam, para penentang perundingan damai berpisah dari Imam Ali as dan pergi ke kawasan Harura' dekat dengan kota Kufah. [20]


Catatan Kaki

  1. Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 210.
  2. Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 478.
  3. Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 490.
  4. Ibnu A'tsam, Kitab al-Futuh, jld. 3, hlm. 163.
  5. Ibnu Muzahim, hal. 545.
  6. Abi Abu Sa'ad, jld 1, hal. 421.
  7. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld 2, hal. 189.
  8. Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 504.
  9. Syahidi, Tarikh-e Tahlili-ye Islam, hlm. 142.
  10. Thabari, Tarikh Thabari, jld. 3, hlm. 103-104.
  11. Abi Abu Sa'ad, Min Natsri al-Dur, jld. 1, hlm. 421.
  12. lihat: Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 255.
  13. Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256.
  14. QS. Al-A'raf; 176.
  15. QS. Al-Jumu'ah; 5.
  16. Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256
  17. Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 545; begitu juga Syahidi, Tarikh-e Tahlili-ye Islam, hlm. 143; Ibnu Abi Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, jld. 2, hlm. 256.
  18. Baladzuri, jld 2, hal. 342.
  19. Ibnu Muzahim, Waqi'ah al-Shiffin, hlm. 484; Baladzuri, Jumalun min Ansab Al-Asyraf, jld 3, hal. 111-112.
  20. Ibnu Muzahim, Waqi'ah Shiffin, hal. 513-514; Baladzuri, Jumalun min Ansab Al-Asyraf, jld. 3, hlm. 114-122; Thabari, Tarikh Thabari, jld 5, hlm. 63, 72 dan 78.

Daftar Pustaka

  • Abi Abu Sa'ad. Min Natsr al-Dar. Damaskus: Wizarah al-Tsaqafah Suriah.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Insāb al-Asyrāf. Riset: Muhammad Baqir Mahmudi. Beirut: Yayasan A'la.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Jumal min Ansāb al-Asyrāf. Beirut: cetakan Suhail Zakkar dan Riyadh Zarikli, 1417/1997.
  • Ibnu Abi Hadid. Syarh Nahj al-Balāghah. Riset: Muhammad Abdul Fadh Ibrahimi, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, 1378 S/1959 M. (arsif ada di CD Maktabah Ahlul Bayt, arsif 20)
  • Ibnu Aitsam. Al-Futuh. Beirut: Dar al-Nadwah.
  • Ibnu Muzahim, Nashr. Waqi'ah Siffin. Kairo: cetakan Abdussalam Muhammad Harun, 1382 H. Qom: cetakan Offset, 1404 H.
  • Ibnu Muzahim. Waqi'ah Shiffin. Qom: penerbit Bashirati.
  • Mas'udi. Muruj al-Dzahab. Beirut.
  • Muthahar bin Thahir. Afarinesh wa Tārikh. jld 1. Penerjemah: Muhammad Ridho Syafi'i Kadkani. Teheran: Aghah, 1374 S.
  • Syahidi, Sayid Ja'far. Tarikh Tahlil Islami sampai akhir masa bani Umayah. Teheran: Markaz Nasyr Daneshgahi, (cetakan 46), 1390 S.
  • Thabari. Tārikh Thabari. Beirut: yayasan A'la.
  • Ya'qubi, Ahmad. Tārikh Ya'qubi. Beirut, Dar Shadir.

Templat:Imam Ali as