Keterjagaan Al-Qur'an dari Penyimpangan

Prioritas: a, Kualitas: b
tanpa link
tanpa navbox
tanpa alih
tanpa referensi
Dari wikishia

Keterjagaan Al-Qur'an dari penyimpangan (Bahasa Arab:سلامة القرآن من التحريف) merupakan kepercayaan yang diterima oleh segenap kaum Muslimin. Berdasarkan akidah ini, Al-Qur'an yang pada zaman sekarang ini berada pada tangan kita, merupakan Al-Qur'an yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw, tidak ada sesuatu yang ditambahkan dan tidak ada pula sesuatu yang dikurangi dari Al-Qur'an. Para mufassir dan teolog dalam menolak segala macam distorsi terhadap Al-Qur'an, menggunakan argumen-argumen baik ayat-ayat atau pun riwayat-riwayat. Menurut kebanyakan para mufasir, fuqaha, periset Al-Qur'an dari kalangan mazhab Syiah, meyakini bahwa susunan dan struktur Al-Qur'an yang ada pada masa kini seperti susunan dan struktur Al-Qur'an yang ada pada masa Nabi Muhammad Saw. Sekelompok Ahlu Sunah seperti Khayat Mu’tazili dan Abu Ali Habai menuduh bahwa Syiah percaya kepada tahrif (distorsi) terhadap Al-Qur'an. Tuduhan ini mereka lontarkan setelah ditulisnya kitab Fashl al-Khitab oleh Muhaddits Nuri. Namun ulama Syiah sendiri menulis berbagai macam kitab untuk mengkritik kitab tersebut. Hadist Tsaqalain, riwayat fadhilah atas bacaan-bacaan surah-surah Al-Qur'an, fashl al-khitab Al-Qur'an jika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah agama dan tahaddi (tantangan) merupakan dalil-dalil terpenting atas tidak terjadinya distorsi terhadap Al-Qur'an.

Tahrif secara Leksikal dan Teknikal

Tahrif secara leksikal bermakna perubahan, condong, sesuatu yang dipilih, pinggir dan tepi. [1] Para mufassir menjelaskan makna tahrif secara leksikal dengan penjelasan tersebut. [2] Secara teknikal, tahrif bermakna perubahan, pembalikan dan memiliki contoh yang bermacam-macam. [3] Di antara kaum Muslimin tidak ada yang mengklaim adanya tahrif terhadap penambahan Al-Qur'an (artinya sesuatu ditambahkan terhadap Al-Qur'an) dan bersepakat menolaknya [4] namun mengenai tahrif terhadap berkurangnya ayat-ayat Al-Qur'an terdapat perbedaan pendapat dan sekelompok kaum Muslimin berkeyakinan telah terjadi pengurangan beberapa ayat atau kata-kata dari Al-Qur'an.

Dalil Al-Qur'an atas Ketiadaan Tahrif

  • Ayat ke-9 surah al-Hijr

Para mufassir dan teolog dalam menolak segala bentuk tahrif terhadap pengurangan ayat Al-Qur'an menggunakan dalil-dalil ayat-ayat dan penjelasan Al-Qur'an, misalnya dengan menggunakan ayat 9 surah al-Hijr:

انّا نَحنُ نَزَّلنا الذِّکْرَ و اِنّا لَهُ لَحافِظونَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar- benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr [15]:9)

Menurut para mufasir, yang dimaksud dengan “al-dzikra” pada ayat di atas adalah Al-Qur'an dan marja’ dhamir dalam kata “lahu” adalah kata al-dzikra. Dengan demikian, Allah Swt menekankan pemeliharaan, penjagaan dan pemeliharaan Al-Qur'an serta menjaga Al-Qur'an dari kebatilan dan kebenaran yang akan terkurangi dari Al-Qur'an.[5] Demikian juga, Zamakhsyari[6] dan Fadhl Thabarsi [7] juga menjelaskan tidak adanya distorsi Al-Qur'an baik dari sisi pengurangan maupun penambahan. Kebanyakan para mufasir dalam memaknai ayat ini adalah sama. [8]

  • Kritik dan Jawaban:

Dikatakan bahwa penyandaran terhadap ayat ini untuk menyatakan tidak adanya tahrif meniscayakan adanya problem daur (circular reasoning). Karena keniscayaan kebenaran argumen ini, keyakinan akan tidak adanya tahrif ayat ini dan pada awalnya harus dipastikan bahwa ayat ini terpelihara dari tahrif sehingga dapat digunakan sebagai sandaran. Dalam menjawab kritikan ini dijelaskan bahwa mengingat seluruh orang yang meyakini adanya distorsi terhadap al-Qur'an meyakini keabsahan apa yang kini ada dalam teks-teks Al-Qur'an sekarang ini dan menyebutkan hal-hal yang diasumsikan sebagai distorsi Al-Qur'an, mereka juga menyebut bahwa ayat ini termasuk bagian dari ayat-ayat muhkam dan tidak mengalami distorsi, oleh itu dialektika (perdebatan) tentang hal ini tertolak. [9]

  • Ayat 41 dan 42 surah Fushilat

Argumen lain adalah dengan menggunakan ayat 41 dan 42 surah Fushilat

و اِنَّهُ لَکتابٌ عَزیزٌ لایأتیهِ الباطِلُ مِنْ بَینِ یدَیهِ و لامِن خَلْفِهِ تَنزیلٌ مِنْ حَکیمٍ حمیدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS Fushshilat [41]:42).

Pada ayat di atas, “batil” sejatinya ditolak dari Al-Qur'an. Berdasarkan konteksnya, terdapat penolakan atas “batil” yang meliputi segala jenis yang bersifat batil. [10] Karena hilangnya atau berkurangnya sesuatu adalah contoh dari kebatilan, [11] maka tahrif bermakna pengurangan teks Al-Qur'an ditolak sendiri oleh Al-Qur'an bahkan sebagian orang-orang yang percaya kepada tahrif juga menerima bahwa kata-kata “batil” mencakupi segala jenis perubahan. [12] Pada dasarnya, menolak kebatilan dari Al-Qur'an adalah menolak segala jenis perubahan dalam nash-nash Al-Qur'an dan contoh yang paling jelas adalah tahrif terhadap pengurangan. [13] Secara umum, para mufassir bersepakat dalam menafsirkan ayat ini. [14] Menurut Allamah Thabathabai, [15]sifat Allah Swt dalam akhir ayat di atas “hakim dan hamid” adalah sejenis penjelasan terhadap permulaan ayat, artinya Allah Swt yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji tidak mungkin bercampur dengan kelemahan dan kekurangan.

  • Tahaddi

Tahaddi Al-Qur'an berarti menantang semua golongan manusia untuk membawakan seperti Al-Qur'an atau sebuah surah atau surah-surah yang dibawakan oleh seorang yang tidak belajar[16] adalah argumentasi yang digunakan oleh sebagian ulama-ulama terkemuka antara lain Allamah Thabathabai untuk menolak adanya tahrif dalam Al-Qur'an. Menurutnya, dalam banyak ayat-ayat Al-Qur'an, Al-Qur'an digambarkan dengan sifat-sifat yang baik-baik dan apabila pada ayat-ayat itu terdapat kecacatan-kecacatan maka sifat-sifat baik itu telah dilanggar. Karena sifat-sifat dan tipologi itu dalam Al-Qur'an dapat dikenali dengan sebaik-baik bentuk, oleh itu tidak ada kekurangan sedikit pun dalam Al-Qur'an.[17]


  • Riwayat-riwayat

Riwayat-riwayat juga dapat digunakan sebagai argumentasi untuk menolak tahrif Al-Qur'an. Misalnya hadis yang menyatakan tentang pentingnya riwayat dalam Al-Qur'an sehingga sesuatu yang hak dari yang tidak hak akan dapat dikenali, segala sesuatu yang sesuai dengan Al-Qur'an akan diterima dan segala sesuatu yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an akan ditolak. [18] Riwayat ini secara maknawi telah mencapai derajat mutawatir.[19] Riwayat-riwayat yang ada harus mencapai derajat mutawatir dan diakui oleh semua kaum Muslimin dan hal itu meniscayakan adanya kekuatan sanad dan teksnya yang tidak terbantahkan. Sementara itu, riwayat tahrif sanad yang cacat dan berisi ketidakvalid-an teks Al-Qur'an yang ada dan riwayat-riwayat tersebut tidak dapat disandingkan dengan teks atau matan ini. Muhaqqiq Karaki (w 940 H) menegaskan dan menyokong hal ini. Ia berkata bahwa terdapat beberapa hadis yang memerintahkan untuk menyandingkan riwayat-riwayat dengan Al-Qur'an (untuk mengecek keabsahan riwayat-riwayat tersebut). Tentu saja yang dimaksud menyandingkan di sini bukanlah pada teks yang ada sekarang ini karena kalau tidak demikian, maka akan meniscayakan kaidah "taklif mala yuthāq" (membebankan tugas yang tidak dapat dipikul). [20]

1. Hadis Tsaqalain

Salah satu hadis terpenting untuk menolak tahrif adalah hadis tsaqalain. Hadis mutawatir ini, mengandung dua argumen untuk menolak tahrif: Pertama adalah bahwa dalam hadis ini diharuskan berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan itrah Nabi Muhammad Saw dan hal ini telah ditegaskan pada semua zaman dan kepercayaan kepada tahrif menjadikan hal ini bertolak belakang dengan kandungan hadis tsaqalain. Dengan kata lain, riwayat tentang tahrif bertentangan dengan hadis tsaqalain. Yang kedua adalah bahwa kepercayaan terhadap tahrif menjadikan hujah lahir Al-Qur'an (teks Al-Qur'an sebagai hujah) dan berpegang teguh kepadanya menjadi tertolak. Hal ini dikarenakan yang dipahami dari semua teks ayat-ayat Al-Qur'an karena terdapat asumsi akan berkurangnya Al-Qur'an bisa jadi teks itu merupakan indikasi untuk memahami bagian-bagian yang ada, akan menyebabkan bagian-bagian yang ada dalam pembahasan ini akan hilang dan dengan sendirinya tidak mungkin untuk berargumen dan berdalil dengannya.

2. Hadis-hadis mengenai hukum-hukum fikih

Untuk membuktikan bahwa Al-Qur'an tidak mengalami tahrif, juga bisa digunakan hadis-hadis mengenai hukum-hukum fikih untuk berargumentasi, misalnya riwayat-riwayat mengenai kewajiban membaca suatu surah secara utuh setelah membaca surah al-Fatihah dalam salat.[21] Berdasarkan riwayat ini fukaha menilai bahwa membaca sebuah surah setelah membaca surah al-Fatihah adalah wajib dan hal ini merupakan kesepakatan diantara para fuqaha Ahlulbait As. [22] Apabila kita berkeyakinan bahwa dalam Al-Qur'an terjadi tahrif, maka tidak mungkin akan ada hukum semacam ini. Penjelasannya dalam istilah Ushuliyun adalah istiqhal yaqini meniscayakan sebuah barā’at yaqini (apabila ragu maka harus melepaskan keraguan itu) dan seorang mukalaf harus membaca sebuah surah untuk memenuhi kewajibannya. Namun dengan adanya kemungkinan tahrif, dengan tidak membaca surah apapun keyakinan akan menjalankan kewajiban tidak akan terpenuhi. Karena dengan menerima keyakinan tahrif, semua surah dalam Al-Qur'an ada kemungkinannya telah terdistorsi.

3. Riwayat Fadhilah Membaca Surah-surah Al-Qur'an

Riwayat-riwayat yang berkaitan dengan fadhilah membaca surah-surah juga menjadi dalil akan tiadanya tahrif. Dalam riwayat-riwayat yang sangat banyak, disebutkan tentang fadhilah membaca surah-surah Al-Qur'an dan mengkhatamkannya, dimana minimal riwayat-riwayat yang telah ada semenjak zaman Nabi Muhammad Saw tidak dapat diragukan. Demikian juga banyak hadis-hadis yang berasal dari para Imam As dengan kandungan seperti itu. Ibnu Babuwaih[23] di samping menegaskan kepercayaan akidah Syiah terhadap ketiadaan tahrif Al-Qur'an, dan menilai tuduhan itu sebagai kebohongan belaka, beliau juga bersandar kepada hadis ini dan menulis, “Pahala membaca surah-surah Al-Qur'an dan diperbolehkannya membaca dua surah dalam satu rakaat ketika salat nafilah, pahala mengkhatamkan Al-Qur'an, pelarangan dari pembacaan semua Al-Qur'an dalam satu malam dan tidak bolehnya mengkhatamkan semua Al-Qur'an kurang dari tiga hari adalah dalil atas kebenaran yang kami katakan.” Jadi, asumsi atas tahrif surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur'an akan menjadikan pelaksanaan hukum-hukum tidak hanya akan menemui kesulitan namun akan berhadapan dengan perintah yang mustahil dan karena Nabi Muhammad Saw dan para Imam As telah memerintahkan hal ini tentu saja telah menaruh perhatian bahwa perintah ini akan mungkin untuk dilaksanakan.

4. Riwayat Fashl al-Khitab Al-Qur'an

Dalam riwayat para Imam yang kadang-kadang disebutkan secara jelas dan kadang-kadang dengan isyarat, ketika mereka menyelesaikan pertikaian-pertikaian dan untuk mengakhiri perselisihan itu, mereka menjadikan Al-Qur'an sebagai fashl al-khitab (mengikat) dan orang-orang yang berselisih dirujukkan ke Al-Qur'an, hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an terbebas dari tahrif. Berdasarkan sebuah laporan, Imam Hasan As ketika beliau berdialog dengan Muawiyah yang mengatakan bahwa sebagian besar Al-Qur'an telah mengalami distorsi dan telah hilang, beliau menolak perkataan itu dan dengan tegas bersabda: “Aku bersumpah dengan nama Allah bahwa perkataan itu adalah dusta belaka.” [24] Dalam riwayat dari Imam Baqir dinukilkan bahwa beliau dalam mengkritik tindakan kaum Munafik menegaskan: Huruf-huruf Al-Qur'an sifatnya tetap dan tidak berkurang namun kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran Al-Qur'an saja yang telah diubah oleh penguasa. [25]

Perhatian Kaum Muslimin dalam Menjaga Al-Qur'an dari Tahrif

Di samping penjelasan Al-Qur'an dan hadis untuk menolak adanya tahrif Al-Qur'an, dengan memperhatikan kedudukan tinggi Al-Qur'an dan adanya kepercayaan kaum Muslimin semenjak permulaan bi’tsah dan dengan adanya petunjuk dan usaha Nabi Muhammad Saw dalam melindungi semua Al-Qur'an dan menjaga teks Al-Qur'an dari segala bentuk perubahan, maka kemungkinan terjadinya tahrif atas Al-Qur'an menjadi tertolak. Hal ini dikarenakan setelah turunnya ayat-ayat Al-Qur'an, Nabi Muhammad Saw membacakan ayat-ayat untuk masyarakat dan memanggil para penulis wahyu, khususnya Imam Ali As untuk menuliskan ayat-ayat tersebut. Berdasarkan laporan-laporan sejarah, pengetahuan dan pengenalan kaum Muslim terhadap ayat-ayat Al-Qur'an sangat mendalam dan semuanya menerima bahwa yang dibacakan oleh Nabi Muhammad Saw adalah wahyu. Laporan-laporan sejarah yang jumlahnya banyak juga menjadi bukti bahwa kaum Muslimin memberikan perhatian yang serius terhadap keselamatan nash kalam Ilahi. Sebagai contoh, ketika Utsman bin Affan menghilangkan «و» dari permulaan «الّذین» dalam ayat «وَالَّذینَ یکْنِزُونَ الذَّهَبَ و الفِضَّةَ» [26] Ubay bin Ka’ab memperingatkan Utsman dan berkata: Jika «و» tidak diletakkan di tempatnya, aku tidak akan meletakkan pedangku disarungnya. [27] Contoh lainnya adalah ketika khalifah kedua dalam membaca ayat ke-100 surah Taubah:

وَالسّابِقُونَ الاَوَّلُونَ مِنَ الْمُهاجرینَ و الاَنصارِ وَالَّذینَ اتَّبَعوُهُم

kata-kata «انصار» dibaca dengan marfu’ (dhommah) dan menghilangkan huruf «و» dari permulaan «الّذین» sehingga akan menunjukkan keagungan dan kedudukan yang tinggi bagi kaum Anshar dengan syarat bahwa mereka harus mengikut kaum Muhajirin. Tindakan yang dilakukan oleh khalifah yang membangga-banggakan Muhajirin dan Anshar setelah masa Rasulullah Saw berpengaruh dan menguntungkan kaum Muhajirin. Kali ini, orang-orang seperti Ubay bin Ka’ab juga memprotes tindakan Umar dan menegaskan bahwa ayat itu tidak dibaca sebagaimana yang seharusnya dibaca. [28] Umar juga mempercayai bahwa dalam Al-Qur'an terdapat ayat had rajam (hukuman bagi pezina) sehingga ia ingin memasukkan ayat itu ke dalam Al-Qur'an namun tidak jadi karena khawatir atau takut orang banyak akan menuduhnya menambah-menambah ayat yang bukan berasal dari Al-Qur'an. [29]

Dari Ibnu Zubair juga dinukilkan bahwa Utsman bin Affan dalam menjawab pertanyaan mengapa tidak menghapus ayat 240 surah al-Baqarah yang hukumnya telah dinasakh? Khalifah Usman menjawab bahwa ia tidak akan mengubah sedikitpun dari Al-Qur'an dan tidak akan mengurangi sedikitpun darinya. [30]

Dengan demikian sangat banyak para sahabat dan kaum Mukminin telah mengetahui secara detail tentang ayat-ayat Ilahi dan Al-Qur'an tidak berubah sedikitpun dan apabila ada hal yang berubah, maka akan menyebabkan kekacauan dan kebingungan.

Tuduhan Tahrif kepada Kaum Syiah

Boleh jadi, Abul Hasan Abdul Rahim bin Muhammad, yang terkenal dengan Khayath Mu’tazili (w. 300 H) merupakan ulama yang pertama kali menuliskan dalam kitabnya[31]tuduhan tahrif terhadap Syiah. Apabila dicermati, ucapannya adalah perkataan yang berlebihan karena nampaknya tidak seorang pun yang menerima pendapat ini. Berdasarkan laporan Ibnu Thawus, [32] teolog Mu’tazilah lain bernama Abu Ali Jubayi (w. 303) meyakini bahwa kaum rawafidh percaya tahrif secara mutlak (yang meliputi penambahan, pengurangan dan perubahan). Abul Hasan Asy’ari (w. 334) dalam Makalah Islamiyin[33] tentang tuduhan tahrif kepada Syiah, membagi kaum Syiah ke dalam dua golongan dan menegaskan bahwa segolongan dari mereka tidak menerima tahrif. Qadhi Abdul Jabbar[34] juga mengatakan tentang hal ini dan menulis bahwa Imamiyah yang termasuk golongan rafidhah percaya bahwa surah al-Ahzab seukuran dengan seekor unta. Menarik bahwa riwayat yang menukilkan tentang kurangnya surah al-Ahzab secara mutlak tidak hanya berasal dari kalangan Syiah dan semua jalur sanad riwayatnya secara resmi berasal dari kalangan Ahlu Sunah.[35] Penegasan Qadhi Abdul Jabbar atas Syiah Imamiyah dari kalangan rawafidh juga diucapkan oleh Baqillani (w. 403). Ia dalam “Nakt al-Intishar” [36] dari satu sisi menuding kepada kaum rawafidh yang secara terang-terangan meyakini adanya tahrif, namun dari sisi lain berkata bahwa kebanyakan Syiah berdasarkan perkataan para Maksum, percaya akan tidak adanya penambahan dan pengurangan pada teks Al-Qur'an. Dalam lanjutan penilaiannya, Ibnu Hazam (w. 456) dalam “al-Ashl” [37]menulis bahwa Imamiyah semenjak zaman terdahulu hingga sekarang percaya bahwa telah terjadi perubahan pada Al-Qur'an, baik penambahan maupun pengurangan.

Muhaddits Nuri Pada kurun akhir, penerbitan kitab Muhadits Nuri dengan judul “Fashl al-Khitab” menjadikan tuduhan tahrif yang diyakini kaum Syiah menjadi lebih keras. Pembahasan mengenai tahrif atau tiadanya tahrif Al-Qur'an serta tanggapan ulama-ulama Syiah karena menjawab pendapat-pendapat Muhadist Nuri yang ditulis dalam kitabnya. Para ulama Syiah telah menulis banyak kitab untuk menjawab tulisannya. [38] Sebagian ulama Ahlusunnah karena kejujurannya dan juga karena mengetahui bahwa kebanyakan pendapat ulama Syiah tidak meyakini adanya tahrif Al-Qur'an, mengatakan bahwa Syiah tidak percaya kepada tahrif dan menyatakan bahwa Syiah tidak bersalah. [39]

Pandangan Ulama-ulama Syiah Menurut pendapat kebanyakan ulama Islam, baik dari kalangan mufassir, fuqaha dan peneliti Al-Qur'an, bentuk Al-Qur'an yang ada pada masa kini seperti urutan dan struktur yang ada pada zaman Nabi Muhammad Saw. Sebagian ulama-ulama yang berpendapat demikian di antaranya adalah: Abul Qasim Abdul Hay bin Ahmad Balkhi Khurasani (w. 319), [40] Abu Bakar Anbari (w. 328), [41] Sayid Murtadha Alamul Huda, [42] Hakim Jasyumi (w. 494), [43] Mahmud bin Hamzah Kermani (w. kira-kira pada tahun 505) [44] Fadhl bin Hasan Thabarsi (w. 548) [45]Sayid Ibnu Thawus, (w. 664) [46] Sayid Abdul Husain Syarafuddin, (w. 1377) [47] Ayatullah Husain Thabathabai Burujerdi (w. 134) [48] dan Ayatullah Khui. (w. 1412) [49]

Para ulama Syiah menegaskan bahwa menurut akal tidak dapat diterima bahwa Rasulullah Saw membiarkan sebuah kitab yang dinilai sebagai mukjizat agama dan dastur yang mengandung ajaran suluk maknawi pribadi, kemasyarakatan, merupakan dalil dan dasar agama Islam namun kemudian membiarkannya dan tidak mengumpulkan, menyusun dan melindungi semua isinya. [50] Sebagian dari mereka, seperti Ayatullah Khui, menyampaikan laporan adanya pengumpulan Al-Qur'an setelah masa Nabi tidaklah cukup untuk menjawab klaim atas pengumpulan Al-Qur'an pada masa khulafa dan menegaskan bahwa pengumpulan Al-Qur'an terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw karena tidak ada kemungkinan yang lainnya. Sebagian yang lainnya, seperti Ayatullah Burujerdi dan Mirza Mahdi Puya riwayat yang menjadi dasar pengumpulan Al-Qur'an terjadi pada masa setelah Nabi Saw, menilainya sebagai riwayat palsu dan dibuat-buat. Ia meniliai bahwa orang-orang telah memalsukan riwayat tersebut dengan motivasi yang beragam. Menurut para ulama ini, pengumpulan Al-Qur'an tersebut pasti sama persis sebagaimana Al-Qur'an yang ada pada masa kini. Pada masa Rasulullah Saw telah dilakukan pengumpulan dan penetapan surah-surah Al-Qur'an. Singkatnya, pendapat ini entah diterima atau tidak, menunjukkan dalil dan bukti-bukti bahwa pada dasarnya Al-Qur'an telah ditetapkan dan dikumpulkan pada masa Nabi sehingga kelemahan pendapat bahwa Al-Qur'an itu tersebar (tidak dikumpulkan) tersebut tidak berdasar. Berdasarkan hal ini, menyandarkan pandangan kepada pandangan ini untuk membuktikan adanya tahrif Al-Qur'an adalah tidak berdasar dan tertolak.

Ayatullah Burujerdi Ayatullah Burujerdi menegaskan bahwa apabila seseorang mengetahui keadaan masyarakat Islam pada waktu itu dan sejarah Islam secara benar dan juga mengetahui berbagai kontribusi dan upaya kaum Muslimin dalam menjaga dan melestarikan semua Al-Qur'an maka mustahil ia menerima pendapat bahwa telah terjadi distorsi pada Al-Qur'an. [51]

Imam Khomeini Imam Khomeini menolak gagasan adanya tahrif dalam Al-Qur'an. Ia beralasan bahwa sebagai tambahan atas keyakinan Syiah terhadap al-Qur’an yang sekarang ini, jika diandaikan ada yang kurang dari teks al-Qur’an dari pihak Syiah, maka tentu saja akan digunakan dan dilaporkan dalam perdebatan Imam Ali, Fatimah al-Zahra, dan sahabat-sahabat setia para imam seperti Salman, Miqdad dan Abu Dzar. [52]

Kritikan atas Orang-orang Yang Meyakini Tahrif

Nama Para Imam dalam Al-Qur'an

Berdasarkan pandangan orang-orang yang menerima adanya tahrif Al-Qur'an, kebanyakan tahrif terkait dengan ayat-ayat mengenai para Imam As. Misalnya dikatakan bahwa nama-nama para Imam yang secara gamblang disebutkan dalam Al-Qur'an telah dihapus. Imam Shadiq As secara tegas menolak pandangan ini dan dalam riwayat dengan sanad sahih, beliau menjelaskan bahwa ayat-ayat dari Al-Qur'an hanya menyebutkan secara umum hukum-hukum mengenai mereka dan penjelasanya ada di dalam hadis. [53]

Riwayat-riwayat Tahrif

Di pihak lain, orang-orang yang percaya kepada tahrif berdasarkan riwayat-riwayat yang ada, berusaha untuk membuktikan pendapatnya sendiri, padahal riwayat-riwayat yang secara lahir banyak ini, baik dari sisi sanad maupun kandungannya sudah diteliti oleh para ulama. Menurut Ayatullah Burujerdi, bagian dari kebanyakan riwayat ini menurut nukilan dari Ahmad bin Muhammad Sara[54] dari sisi sanad riwayatnya tidak dapat diterima dan perawi dan muhaditsnya lebih dikenal dengan akidah yang salah dan orang yang dhaif dalam madzhab. Menurut tulisan Mahdi Burujerdi[55] semua riwayat yang dilaporkan dalam kitab “Fasl al-Khitab” karangan Muhadits Nuri dalam 12 makalah itu dan setelah menelaah secara mendalam, menunjukkan bahwa dalam banyak riwayat-riwayat yang ada, tidak berkaitan secara langsung dengan masalah tahrif dan kebanyakannya karena perbedaan cara membaca atau penjelasan, tafsir, perbandingan dan takwil. Singkatnya, dengan memperhatikan adanya perawi dengan sifat-sifat ghuluw, dusta, bohong maka sudah pasti akan terjadi kedustaan dan kebohongan dalam riwayat-riwayat yang dibawakan. [56] Terdapat riwayat-riwayat yang sangat jelas tentang kurangnya Al-Qur'an baik dalam sumber rujukan Syiah dan Sunni, biasanya dari sisi sanad, riwayat-riwayat itu tidak dapat diterima kebenarannya dan kebanyakannya riwayat-riwayat itu terkait dengan kata-kata dan kalimat-kalimat dari sisi yang mencakup penafsiran dan penakwilannya, bukan pada teks Al-Qur'an. [57] Di antara riwayat-riwayat itu, dalam kitab al-Kafi[58] dikatakan bahwa Al-Qur'an memiliki 17 ribu ayat. Riwayat ini dapat dikritik dan ditolak dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Pada naskah kitab “al-Kafi” yang dipegang oleh Faidh Kasyani, ia sendiri dalam syarah yang ditulisnya menuliskan angka 7 ribu.[59] Dengan demikian, riwayat tersebut menggambarkan akan banyaknya jumlah ayat, bukan merupakan jumlah angkanya secara tepat. Berdasarkan perkataan Ibnu Babuwaih[60] kemungkinan yang dimaksud dengan “had wa hudud” (ukuran dan ukuran-ukuran) wahyu adalah bukan Al-Qur'an.

2. Dalam hal yang sangat penting ini, tidak mungkin untuk bersandar kepada khabar wakhid (perawi tidak memenuhi syarat tawatur), karena riwayat itu berlawanan dengan kuatnya dalil atas tidak terjadinya tahrif dalam Al-Qur'an yang ada dalam qiraat Al-Qur'an dan telah ditegaskan untuk beramal berdasarkah hadis ini.[61]

Mushaf Imam Ali As dan Masalah Tahrif

Pada masa sekarang ini, penulis Ahlusunnah berusaha menuduh Syiah meyakini adanya tahrif Al-Qur'an karena di kalangan Syiah terdapat Mushaf Imam Ali. [62] Namun para ulama Syiah semenjak dahulu dengan teliti dan hati-hati menjelaskan bahwa Mushaf Imam Ali As adalah kumpulan dari tafsir, takwil, penjelasan, keterangan, muhkam, mutasyabih yang disertai dengan contoh-contohnya. Dengan kata lain, Mushaf Imam Ali As adalah wahyu yang mengandung penjelasan, bukan wahyu Qurani. Berdasarkan perkataan Syaikh Mufid, [63] yang tertulis dalam Mushaf Imam Ali As tidak ada dalam Al-Qur'an yang ada pada zaman sekarang. Dalam Mushaf Ali mencakupi pembahasan mengenai takwil ayat-ayat dan penafsirannya berdasarkan batinnya, bukan kalam Ilahi yang merupakan Al-Qur'an sebagai mukjizat. Menurut Ayatullah Khui, [64] dalam mushaf Imam Ali As terdapat tambahan-tambahan, dan jika hal itu benar, pasti tambahan-tambahan itu bukan Al-Qur'an.

Riwayat Fusthath dan Masalah Tahrif

Riwayat yang terkenal dengan riwayat fusthath juga merupakan argumen yang digunakan dalam hal tahrif. Dalam riwayat ini dituliskan bahwa ketika Imam Zaman Ajs muncul, beliau akan mendirikan tenda-tenda untuk mengajar Al-Qur'an berdasarkan apa yang diajarkan Allah Swt dan hal ini akan membuat sulit bagi orang-orang yang telah terbiasa membaca Al-Qur'an sebagaimana yang tertera dalam karena hal itu tidak sesuai dengan yang ada pada Al-Qur'an yang ada. [65] Terdapat pula riwayat lain dengan kandungan yang sama. Dengan adanya riwayat ini, orang-orang tergiring untuk menetapkan adanya tahrif dalam Al-Qur'an yang ada pada masa kini, namun para ulama telah menjawab tuduhan itu. [66] Dalam riwayat ini terdapat kata “ta’lif” (ditulis) bukan “tartib” (urutan) dan terdapat lafadz “ala ma anzalallah” bukan lafadz yang lain.

Tahrif-tahrif yang Tidak Sengaja

Terkait dengan tahrif-tahrif yang tidak disengaja, orang-orang yang percaya kepada tahrif, kebanyakan meyakini berkaitan dengan pengumpulan Al-Qur'an. Menurut mereka, Al-Qur'an yang ada pada zaman Nabi Saw tersebar dan tidak ada penyatuan dan penyusuan sama sekali sehingga terdapat kemungkinan bahwa ada ayat Al-Qur'an yang tercecer karena tidak adanya informasi dari pengumpul Al-Qur'an, terlepas dari apa yang memotivasi tindakan mereka.[67]

Di samping bahwa keyakinan terhadap pengumpulan Al-Qur'an yang tidak terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw tidak berarti meyakini adanya tahrif Al-Qur'an, para peneliti Al-Qur'an, berdasarkan penelitian barunya dan berdasarkan dalil-dalil yang valid, petunjuk-petunjuk dan catatan-catatan sejarah tidak meragukan tentang pengumpulan Al-Qur'an pada masa Nabi Muhammad Saw. Dengan penegasan dan anjuran Rasulullah Saw semua ayat yang turun ditulis dan dikumpulkan kemudian beliau mengumpulkan ayat-ayat dan surah-surah itu. [68] Terdapat sebuah riwayat juga yang menunjukkan bahwa pengumpulan Al-Qur'an terjadi setelah zaman Nabi Muhammad Saw, namun riwayat ini berdasarkan telaah, analisa sanad dan kandungan isinya ternyata palsu dan mengandung kontroversi politik. [69]

Catatan Kaki

  1. Farahidi, Ibnu Duraid, Jauhari, terkait dengan klausul “harf”.
  2. Silahkan lihat: Thusi, al-Tebyān, jld. 3, hlm. 213, jld. 7, hlm. 296’ Zamakhsyari, jld. 1, hlm. 516.
  3. Silahkan lihat: Khui, al-Bayān fi Tafsir Al-Qur'an, hlm. 197-198; Ma’rifat, hlm. 13-16.
  4. Khui, al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, hlm. 200.
  5. Zujaj, jld. 3, hlm. 174; Ibnu Abi Hatim, jld. 7, hlm. 2258.
  6. Terkait dengan ayat 9 surah Hijr.
  7. Terkait dengan ayat 9 surah Hijr.
  8. Silahkan lihat: Shan’ani, jld. 1, hlm. 299; Fahr al-Razi, jld. 19, hlm. 160; Qurthubi, jld. 1, hlm. 84; Ibnu Katsir, jld. 2, hlm. 547; Faidz Kasyani, 1419, jld. 3, hlm. 102; Thabathabai, jld. 12, hlm. 101.
  9. Khui, al-Bayān di Tafsir al-Qurān, hlm. 207; Ma’rifat, hlm. 47.
  10. Khui, al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, hlm. 210.
  11. Silahkan lihat: Ibnu Manzur, terkait dengan klausul “batil”.
  12. Silahkan lihat: Nuri, hlm. 361.
  13. Khui, al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, hlm. 210, Ma’rifat, hlm. 49-50.
  14. Silahkan lihat: Thusi, al-Tebyān, jld. 9, hlm. 131-132; Fahr al-Razi, jld. 9, hlm. 568; Maraghi, jld. 24, hlm. 138.
  15. Terkait dengan ayat 42.
  16. Qs al-Baqarah: 23; Yunus: 38 dan Hud: 13.
  17. Thabathabai, jld. 2, hlm. 105-107; Silahkan lihat: Burujerdi, hlm. 107-162; Husaini Milani, hlm. 15-34; Ma’rifat, hlm. 60-78.
  18. Silahkan lihat: Kulaini, jld. 1, hlm. 69.
  19. Silahkan lihat: Anshari, hlm. 110-111.
  20. Burujerdi, hlm. 116-118.
  21. Silahkan lihat: Kulaini, jld. 3, hlm. 313.
  22. Thusi, al-Khilaf, jld. 1, hlm. 336; Allamah Hilli, jld. 1, hlm. 142.
  23. Ibnu Babuwaih, al-I’tiqādat al-Imāmiyyah, hlm. 84.
  24. Sulaim bin Qais Halali, jld. 2, hlm. 848; Ahmad Thabarsi, jld. 2, hlm. 7; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 33, hlm. 271.
  25. Silahkan lihat: Kulaini, jld. 8, hlm. 58.
  26. Qs Taubah: 34.
  27. Silahkan lihat: Suyuthi, jld. 3, hlm. 232.
  28. Thabari, jld. 11, hlm. 7; Suyuthi, jld. 3, hlm. 269.
  29. Malik bin Anas, jld. 2, hlm. 824.
  30. Bukhari Ja’fi, jld. 4, hlm. 160-161.
  31. Mu’tazili, hal 37-38, 166, 231.
  32. Ibnu Thawus, hlm. 255.
  33. Mawalat al-Islamiyin, hlm. 47.
  34. Qadhi Abdul Jabbar, hlm. 601.
  35. Silahkan lihat: Suyuthi, jld. 5 hlm. 179-180; Askari, jld. 1, hlm. 106-107.
  36. Qadhi Abdul Jabbar, hlm. 240-241.
  37. Ibnu Hazam, jld. 5, hlm. 40.
  38. Silahkan lihat: Ma’rifat, hlm. 59-78; Husaini Milani, hlm. 15-34.
  39. Silahkan lihat: Dehlawi, hlm. 354.
  40. Ibnu Thawus, hlm. 315.
  41. Zarkasyi, jld. 1, hlm. 260.
  42. Alamul Huda, hlm. 363, Fadzl Thabarsi, jld. 1, hlm. 84.
  43. Zarzur, hlm. 415-416.
  44. Zarkasyi, jld. 1, hlm. 259-260.
  45. Fadhl Thabarsi, jld. 1, hlm. 84.
  46. Ibnu Thawus, hlm. 315.
  47. Syarafuddin, hlm. 28.
  48. Muntadheri, hlm. 428.
  49. Khui, al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, hlm. 239-247.
  50. Ibnu Thawus, hlm. 315, Syarafuddin, hlm. 28.
  51. Muntadzeri, hlm. 482-483.
  52. Imam Khomeini, jld. 1, hlm. 245-247.
  53. Silahkan lihat: Kafi, jld. 1, hlm. 286-288.
  54. Silahkan lihat: Khui, Mu’jam Rijāl al-Hadits, jld. 2, hlm. 282-284.
  55. Burujerdi, hlm. 69-106.
  56. Silahkan lihat: Mazandarani, jld. 1, hlm. 198; Balaghi, jld. 1 hlm. 65-66.
  57. Silahkan lihat: Muhammadi, hlm. 144.
  58. Kulaini, jld. 2, hlm. 634.
  59. Silahkan lihat: Faidh Kasyani, al-Wāfi, jld. 9, hlm. 1780-1781.
  60. Al-I’tiqādāt al-Imāmiyyah, hlm. 84-85.
  61. Silahkan lihat: Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 12, hlm. 525.
  62. Qafari, jld. 1, hlm. 202; Malallah, hlm. 57-115.
  63. Awāil al-Maqālāt, hlm. 81.
  64. Al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, hlm. 225.
  65. Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 386.
  66. Ma’rifat, hlm. 269-271.
  67. Silahkan lihat: Nuri, hlm. 97-98.
  68. Silahkan lihat: Amili, hlm. 94-99; Ramyār, hlm. 280-295.
  69. Silahkan lihat: Muntadzeri, hlm. 483-484, Sistani, hlm. 89.

Daftar Pustaka

  • Al-Quran
  • Ibnu Abi Hatim, Tafsir al-Qurān al-Adzim, cet. As'ad Muhammad Tayib, Seida, 1419/1999.
  • Ibnu Babuwaih, al-I'tiqādāt al-Imāmiyah, Qum, 1413.
  • Ibnu Babuwaih, al-Tauhid, cet. 8, Husaini, Tehrani, Qum, 1357.
  • Ibnu Jazm, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa wa al-Nahl, cet. Muhammad Ibrahim Nashr wa Abdurahman Umairah, Beirut, 1405/1985.
  • Ibnu Hallakan.
  • Ibnu Duraid, Kitab Jumhurah al-Lughah, cet. Ramzi Munir Ba'albaki, Beirut, 1987-1988.
  • Ibnu Sa'ad.
  • Ibnu Syadzab, al-Aidhah, cet. Jalaluddin Muhaddits Armui, Tehran, 1363 S.
  • Ibnu Thawus, Sa'd al-Su'ud li Nufus, Qum, 1422.
  • Ibnu ‘Asyur, Tafsr al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis, 1984.
  • Ibnu Katsir, Tafsir al-Qurān al-Adhim, cet. Muhammad Ibrahim Bana, Beirut, 1419.
  • Ibnu Mandzur.
  • Ibnu Nadim.
  • Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hisyam, cet. Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Qahirah, 1383/1963.
  • Ali bin Ismail Asy'ari, Kitāb Maqālāt al-Islāmiyin wa Ikhtilāf al-Mushillin, cet. Halmut Reiter, Wisbadan, 1400/1980.
  • Murtadha bin Muhammad Amin Anshari, Farāid al-Ushul, cet. Abdullah Nurani, Qum, 1365 S.
  • Ali bin Husain Irwani, al-Ushul fi Ilm al-Ushul, cet. Muhammad Kadhim Rahman Sitayesy, Qum, 1422.
  • Al-Quran, cet. Muhammad Za'lul Salam, Iskandariyah, tanpa tahun.
  • Muhammad bin Ismail Bukhari Ja'fi, Sahih al-Bukhāri, Damisyq, 1410.
  • Mahdi Burujerdi, Burhān ala ‘Adam Tahrif al-Qurān, cet. Bu Dzar Jumhur Musthafawi, Tehran, 1374.
  • Muhammad Jawad Balaghi, Ala Rahmān fi Tafsir al-Qurān, Qum, 1420.
  • Ali bin Muhammad Bayadhi, al-Shirāth al-Mustaqim ila Mustahaqqi al-Taqdim, cet. Muhammad Baqir Bahbudi, Tehran, 1384.
  • Ismail bin Hamad Jauhari, al-Sihah, Tāj al-Lughah wa Sehah al-Arabiyah, cet. Ahmad Abdul Ghafur Athar, Qahirah, 1376, cet. Offset Beirut, 1407.
  • Abdullah bin Abdullah Haskani, Syawāhid al-Tanzil li Qawāid al-Tafdhil, cet. Muhammad Baqir Mahmudi, Tehran, 1411/1990.
  • Ali Husaini Milani, al-Tahqiq ‘an al-Qurān al-Syarif, Qum, 1417.
  • Mahmud bin Ali Hamshi Razi, Al-Munqidz min al-Taqlid, Qum, 1412-1414.
  • Khatib Baghdadi.
  • Ruhullah Khomeini, Rahbar Inqilab wa Bunyangudzar Jumhuri Islami Iran, Anwār al-Hidayah fi al-Ta'liqah ala al-Kifāyah, jld. 1, Qum, 1415.
  • Abul Qasim Khui, al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, Qum, 1418.
  • Abul Qasim Khui, Mu'jam Rijal al-Hadits, Beirut, 1403/1983, cet. Offset Qum, tanpa tahun.
  • Abdurahim bin Muhammad Hayath, al-Intishār wa al-Rad ala bin al-Rāwandi al-Malhad, cet. Muhammad Hijazi, Beirut, 1988.
  • Abdullah bin Abdurahmah Darimi, Sunan Darimi, cet. Muhammad Ahmad Dahman, Damisyq, tanpa tahun.
  • Rahmatullah bin Khalil Rahman Dehlawi, Idhār lil Haq, Beirut, 1993.
  • Mahmud Ramyar, Tārikh Qurān, Tehran, 1362 S.
  • Ibrahim bin Seri Zujaj, Ma'āni al-Qurān wa A'rābah, Abdul Jalil Ubdah Syalbi, Beirut, 1408/1988.
  • Adnan Muhammad Zarzo, al-Hakim al-Jamsyi wa Minhajah fi Tāfsir, Beirut, 1398.
  • Muhammad bin Bahadir Zarkasyi, al-Burhān fi Ulumul Qurān, cet. Yusuf Abdurahman Mas'asyllli, Jamal Hamdi Dzahab, Ibrahim Abdullah Kirdi, Beirut, 1410/1990.
  • Zamakhsyari.
  • Zaid bin Ali, Musnad Imām Zaid, Beirut, 1401.
  • Abdullah bin Sulaiman Subhastani, Kitāb al-Mushahif, Beirut, 1405/1985.
  • Sulaim bin Qais Halali, Kitāb Sulaim bin Qais, cet. Muhammad Baqir Anshari Zanjani, Qum, 1373 S.
  • Ali Sistani, Ajwabah al-Masāil al-Diniyah, Damisyq, tanpa tahun.

Suyuthi.

  • Abdul Husain Syarafuddin, Ajwabah Masāil Jarallah, Cet. Abdul Zahra Yasara, Qum, 1416/1995.
  • Nurullah bin Syarifuddin Susytar, Ahqāq al-Haq wa Azhaq al-Bathil, Editor: Syahabuddin Mar'asyi, cet. Mahmud Mar'asyi, Qum, tanpa tahun.
  • Muhammad bin Abdul Karim Syahrestani, Mafātih al Asrār wa Mashābih al-Abrār, cet. Muhammad Ali Adzar Syab, Tehran, 1417/1997.
  • Muhammad bin Husain Shafar Qumi, Bashāir al-Darajāt fi Fadhāil Ali Muhammad Saw, cet. Muhsin Kuceh Baghi Tabrizi, Qum, 1404.
  • Abdul Razaq bin Hamam Shan'ani, Tafsir al-Quraā al-Aziz, cet. Abdul Mu'thi Qal'ah Ji, Beirut, 1411.
  • Thabathabai.
  • Ahmad bin Ali Thabarsi, al-Ihtijāj, cet. Muhammad Baqir Musawi Khurasan, Beirut, tanpa tahun.
  • Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, cet. Hasyim Rasuli Mahalati wa Fadhlullah Yazdi Thabathabai, Beirut, 1408/1988.
  • Thabari, Jāmi'.
  • Muhammad bin Hasan Thusi, al-Tebyān fi Tafsir al-Qurān, cet. Ahmad Habib Qushair Amili, Beirut, tanpa tahun.
  • Muhammad bin Hasan Thusi, al-Khālaf, Qum, 1407.
  • Ja'far Murtadha Amili, Haqāiq Hammah Haul al-Qurān al-Karim, Qum, 1410.
  • Murtadha Askari, al-Qurān al-Karim wa Riwyat al-Mudaristin, Tehran, 1373-1376 S.
  • Hasan bin Yusuf Allamah Hilli, Mukhtalif al-Syiah fi Ahkām al-Syari'ah, jld. 1, Qum, 1371 S.
  • Ali bin Husain Alamul Huda, al-Dzahirāh fi Ilmu al-Kalām, cet. Ahmad Husaini, Qum, 1400.
  • Tsamar Hasyim Habib Amidi, Defā an al-Kāfi, Qum, 1416.
  • Muhammad Fadhil Muwakhidi Lannggarani, Madkhal al-Tafsir, tanpa tahun, 1413.
  • Muhammad bin Amru Fakr Razi, Tafsir al-Kabir, Beirut, 1417/1997.
  • Khalil bin Ahmda Farahidi, Kitāb al-Ain, cet. Ahdi Makzumi wa Ibrai Samarai, Qum, 1405.
  • Muhammad bin Syah Murtadha Faidh Kasyani, Kitab al-Shāfi fi Tafsir Al-Qur'an, cet. Muhsin Husaini Amini Tehran, 1419 H.
  • Muhammad bin Syah Murtadha Faidh Kasyani, Kitab al-Wāfi, Isfahan, 1365-1374 S.
  • Qadhi Abdul Jabar bin Ahmad, Syarah al-Ushul al-Khasah, cet. Abdul Karim Utsman, Qahirah, 1408 H.
  • Muhammad bin Ahmda Qurthubi, al-Jami' li Ahkām al-Qurān, cet. Hisaym Samir Bukhari, Beirut, 1416.
  • Sayit Qutub, Fi Dzilal al-Qurān, Beirut, 1400 H.
  • Nashir bin Abdullah Qafari, Ushul Madzhab al-Syiah al-Imamiyyah al-Itsna Asyarā, tanpa tempat, 1994.
  • Ali bin Ibrahim Qumi, Tafsir al-Qumi, cet. Taib Musawi Jazairi, Qum, 1404. Kulaini.
  • Muhammad Saleh bin Ahmad Mazandarani, Syarah Ushul Kafi, Editor: Abul Hasan Sya'rani, cet. Ali Asyur, Beirut, 1421/2000.
  • Muhamad Malallah, al-Syi'ah al-Itsna Asyariyah wa Tahrif al-Qurān, tanpa tahun.
  • Malik bin Anas, al-Muwathhā, cet. Muhammad Fuad Abdul Baqi, Beirut, 1406.
  • Muhammad Baqir Taqi Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 33 cet. Muhammad Baqir Mahmudi, Tehran, 1368 H.
  • Muhammad Baqir Taqi Majlisi, Mirah al-Uqul fi Syarah Akhbār Ali al-Rasul, Jld. 5, cet. 8, Rasuli jld. 12, cet. Ja'far Husaini, Tehran, 1363 S.
  • Fathullah Muhammadi, Salamah al-Qurān min al-Tahrif, Tehran, 1378 S.
  • Husain Mudarisi Thabathabai dan Muhammad Kadzim Rahmati, Barrasi Setizeh hai Dirin Darbāreye Tahrif al-Qurān, Haft Oseman, Tahun ke-3, no. 11, Musim Semi 1380 S.
  • Ahmad Musthafa Maraghi, Tafsir al-Marāghi, Beirut, 1985.
  • Muhammad Hadi Ma'rifat, Siyānah al-Qurān min al-Tahrif, Qum, 1413 H.
  • Muhammad bin Muhammad Mufid, al-Irsyād fi Ma'rifah Hujajullah alal ‘Ibad, Qum, 1413.
  • Muhammad bin Mufid, Awāil al-Maqālāt, cet. Ibrahim Anshari, Qum, 1413.
  • Muhammad bin Muhammad Mufid, al-Masāil al-Saruyah, cet. Saib Abdul Hamid, Qum, 1413.
  • Ahmad bin Muhammad Muqadas Ardebili, Majma' al-Faidah wa al-Burhān fi Syarah Irsyād al-Adzhan, 1362 S.
  • Husain Ali Muntadzwri, Nihāyah al-Ushul, Taqrirat Dars Ayatullah Burujerdi, Qum, 1415.
  • Muhammad Ali Mahdawi Rad, Ali wa Quran, Aineh Pazuhesy, tahun 11, vol. 11, (Bahman dan Isfand 1379)
  • Husain bin Muhammad Taqi Nuri, Fashl Khitāb fi Takhrif al-Kitab Rabbil al-Arbab, cet. Sanggi, Tehran, 1298.