Abdullah bin Umar

Prioritas: c, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia
(Dialihkan dari Ibnu Umar)
Sahabat
Abdullahhttp://id.wikishia.net/view/Majma_Jahani_Ahlulbait_As
Info pribadi
Nama lengkapAbdullah bin Umar bin Khattab
Disebut juga denganIbnu Umar
Kerabat termasyhurHafsah (saudari)
LahirTahun ketiga Bi'tsah
Muhajir/AnsharMuhajir
Informasi Keagamaan
Memeluk IslamPermulaan Islam pada umur 10 tahun
Hijrah keMadinah

Abdullah bin Umar bin Khattab (bahasa Arab: عبدالله بن عمر بن الخطاب) atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Umar (wafat 73 H/692) adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw dan merupakan putra Khalifah Kedua. Ia masuk Islam pada usia 10 tahun bersama ayahnya dan turut melakukan hijrah ke Madinah. Literatur Ahlusunnah menyebutkan ia seseorang yang berkepribadian lemah dan berpikir sederhana, diantaranya dengan mengeluarkan pendapat tidak bolehnya melakukan protes terhadap penguasa dzalim. Ia memberikan baiatnya pada tiga khalifah pertama setelah Rasulullah saw. Khalifah Umar mengangkat ia menjadi penasehat untuk penetapan khalifah pengganti setelahnya. Dimasa Khalifah Utsman, ia ditawarkan oleh Khalifah untuk menjadi hakim, namun ia menolak tawaran tersebut.

Abdullah pada masa kekhalifahan Imam Ali as, meskipun ia sendiri mengetahui banyaknya keutamaan dan fadhilah yang dimiliki Imam Ali as namun ia tidak memberikan baiatnya. Sementara pada masa kekuasaan Yazid bin Muawiyah, ia memberikan baiat pada Yazid. Sewaktu Imam Husain as menuju ke Kufah, ia mencegah Imam Husain as dan melarangnya untuk menyulut peperangan dengan Yazid, namun Imam Husain as menolak saran tersebut. Ibnu Umar wafat pada tahun 73 H/692 dalam usia 84 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Muhajirin disebuah daerah yang bernama Fakhkh.

Kepribadian

Abdullah bin Umar bin Khattab atau Ibnu Umar adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw. Ia putra Khalifah kedua dan juga saudara salah seorang istri Rasulullah saw. [1] Kunyahnya Abdurrahman dan ia lahir pada tahun ketiga Bi'tsah. [2] Ibunya bernama Zainab bin Madz'un. Ia disebutkan masuk Islam bersama ayahnya, disaat ia masih berusia 10 tahun dan setelah itu ikut melakukan hijrah ke Madinah. Mengenai tahun ia masuk Islam terdapat beragam pendapat.[3]

Ibnu Umar sangat berhati-hati dalam hidupnya, termasuk ketika mengeluarkan fatwa.[4] Literatur Ahlusunnah menyebutnya berkepribadian lemah[5] dan berpikiran sederhana [6]diantaranya ia menghindari terjadinya konflik antara penguasa dan rakyat dengan mengeluarkan pendapat tidak bolehnya melakukan protes dan penentangan pada penguasa meskipun dzalim.[7] Ia berkata, "Aku menghindari fitnah peperangan dan siapapun yang menang, saya akan salat dibelakangnya."[8]

Disebutkan dalam peristiwa Tahkim, Abu Musa al-Asy'ari menyarankan Abdullah bin Umar untuk menjadi khalifah, namun Amru bin 'Ash menolak dengan mengatakan Ibnu Umar tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin.[9]

Pada Masa Nabi Muhammad saw

Abdullah bin Umar masih kecil saat terjadi peristiwa Perang Badar dan Perang Uhud, oleh karena itu Nabi Muhammad saw tidak mengizinkan ia untuk ikut terlibat. Perang Khandaq adalah perang pertama yang diikutinya setelah dibolehkan oleh Rasulullah saw. Ia berusia 15 tahun kala itu. Setelah Perang Khandaq, selanjutnya ia ikut serta dalam peperangan-peperangan berikutnya. [10] Literatur sejarah Ahlusunnah menyebutkan pada Perang Mutah, sewaktu ia merasa pasukan muslimin akan menerima kekalahan, ia bersama sejumlah muslimin lainnya melarikan diri dari medan perang dan kembali ke Madinah. Mengakui kesalahan, ia meminta maaf kepada Rasulullah saw dan Rasulullah pun memaafkannya. [11]

Pada Masa Tiga Khalifah Pertama

Abdullah tidak memiliki jabatan khusus dalam politik dan pemerintahan. Beberapa laporan singkat menyebutkan ia ikut dalam sejumlah peperangan. Pasca wafatnya Rasulullah saw, dimasa kekhalifahan Abu Bakar, ia tergabung dalam pasukan Usamah. Khalifah Umar diakhir-akhir masa kekuasaannya membentuk sebuah dewan syura dengan mengangkat Abdullah sebagai penasehat untuk menetapkan siapa khalifah pengganti. Namun Umar melarang Abdullah untuk menawarkan dirinya sendirinya sebagai calon khalifah pengganti ayahnya. [12] Pada masa ini, Abdullah ikut dalam Perang Nahawand dan Perang Pembebasan Mesir.[13]

Sejarah mencatat, Abdullah tidak pernah menjadi hakim. Dimasa Utsman, ia pernah ditawarkan oleh khalifah untuk menjadi hakim, namun ia menolak tawaran tersebut.[14] Yazid bin Harun menukilkan, Ibnu Umar berkata kepada masyarakat, "Aku bersama dengan orang yang lebih pandai dariku. Jika aku tahu kalian menginginkan aku menjadi hakim dan bertanya padaku mengenai beragam masalah, maka aku sendiri akan belajar."[15]

Setelah terjadi peristiwa pembunuhan Utsman. sebagian orang diantaranya Marwan bin Hakim menyarankan agar Abdullah bin Umar yang menjadi khalifah. Namun Abdullah berkata, "Jika sekalipun kelompok yang menentang kekhalifahanku hanya sedikit, aku tetap tidak akan menerima (untuk menjadi khalifah)."[16]

Pada Masa Kekhalifahan Imam Ali as

Sewaktu kekhalifahan berada di tangan Imam Ali as, Ammar Yasir meminta izin dari Imam untuk mengambil baiat dari Abdullah. Abdullah bin Umar banyak berbicara mengenai keutamaan Imam Ali as namun ia sendiri tidak memberikan baiatnya. [17] Ia lebih memilih untuk banyak beribadah dan membentuk kesalehan pribadi. Ia sendiri mengakui tidak memiliki kemampuan untuk masuk dalam urusan sosial. Oleh karena itu, Imam Ali as berkata kepada Ammar untuk meninggalkan Abdullah dengan mengatakan, "Dia adalah pribadi yang lemah."[18]. Demikian pula Imam Ali as menjawab orang-orang yang hendak memilih jalan sebagaimana Abdullah bin Umar, dengan berkata, "Abdullah tidak membantu kebenaran, dan tidak juga menghilangkan kebatilan."[19]

Ibnu Umar meski tidak membaiat Imam Ali as, ia tidak berada dalam barisan musuh Imam Ali as, dan juga tidak memberikan dukungan pada musuh Imam. [20]Sebagian riwayat Ahlusunnah menyebutkan Abdullah bin Umar pada akhir-akhir hidupnya, menyesali tidak menjadi penolong Imam Ali as. Ia dengan penuh penyesalan dan rasa sedih berkata, "Aku tidak pernah menyesal dengan tindakanku, kecuali aku memilih untuk tidak bersama Ali memerangi para penebar fitnah."[21]

Mencegah Imam Husain as dari Perang

Abdullah bin Umar diantara hak dan batil melakukan aksi diam. Ia berkata, menciderai baiat dan melakukan pemberontakan walaupun kepada penguasa yang dzalim adalah suatu tindakan yang tidak diperbolehkan. Ia berkata kepada Imam Husain as, "Aku mendengar dari Rasulullah saw berkata Husain akan terbunuh. Karena itu aku sarankan agar Imam untuk tidak menuju Kufah dan kembali ke Madinah." Namun Imam Husain as tidak menerima saran tersebut dan melanjutkan kembali perjalanannya. Pada masa ini, Abdullah memilih untuk membaiat Yazid dan meyakininya sebagai pengganti Rasulullah saw. [22]

Surat kepada Muawiyah

Abdullah melalui surat kepada Muawiyah berkata, "Anda berpikir bahwa dengan saya meninggalkan Ali dan kaum Muhajirin dengan itu saya bersama dengan anda, sehingga anda berkata aku tidak membaiat Ali yang dengan itu anda mengklaim saya tidak mengindahkan perintah Rasulullah saw. Saya memilih netral dan tidak memihak dengan berkata pada diriku sendiri bahwa jika ini jalan yang benar, konsekuensi paling burukya saya tidak mendapatkan pahala. Dan jika ini jalan yang salah, dengan tidak memihak setidaknya saya terhindar dari kejahatan. Karena itu jangan mengejar saya lagi."[23] Thabari meriwayatkan, seseorang bertanya pada Abu Musa al-Asy'ari yang meminta kejelasan mengenai siapa pemimpin umat. Ia memperkenalkan Abdullah bin Umar, namun Abdullah bin Umar menolak dan berkata, "Saya memilih Muawiyah untuk menjadi pemimpin atas umat." [24]

Demikian pula, Muawiyah memesankan mengenai khalifah kepada Yazid dengan berkata, "Aku khawatir beberapa orang akan merebut kekuasan, diantaranya adalah Abdullah bin Umar." Kemudian ia melanjutkan, "Abdullah telah sibuk dengan ibadah dan kesalehan pribadi. Jika semua rakyat telah membaiatmu, maka setelah semuanya, ia juga akan memberikan baiatnya." [25]

Membaiat Yazid

Setelah kematian Muawiyah, gubernur Madinah Walid bin Utbah meminta baiat dari Abdullah untuk Yazid. Abdullah berkata, "Tidak jadi soal." Jika semua orang telah memberikan baiatnya, maka ia juga akan berbaiat, sebab itu menutup kemungkinan terjadinya pemberontakan. [26]

Waqidi berkata, "Walid bin Utbah tidak mampu mengambil baiat dari Zubair dan Husain, dan keduanya menuju Mekah pada malam hari. Di tengah perjalanan, keduanya bertemu dengan Abdullah bin Umar, yang kemudian bertanya mengenai kondisi Madinah. Keduanya menginformasikan mengenai kematian Muawiyah dan keharusan membaiat Yazid. Ibnu Umar berkata, "Takutlah kepada Allah dan jangan pecah belah kaum muslimin." Ibnu Umar pun tinggal beberapa waktu di Madinah, dan ketika mendengar kabar mengenai banyak orang-orang dari berbagai kota datang untuk membaiat Yazid, ia pun menghadap ke Walid dan menyatakan baiatnya."[27] Ia berkata, "Jika ia baik, aku ridha. Dan jia dia membawa bencana aku bersabar."[28]

Setelah beberapa lama, masyarakat mencabut baiatnya pada Yazid, Abdullah berkata kepada putra-putranya, "Baiat kita kepada Yazid, adalah baiat kepada Allah dan Rasul-NYa dan aku mendengar dari Nabi Muhammad saw, barang siapa yang mencabut baiatnya pada yang lain maka tempatnya adalah neraka. Oleh karena itu, barang siapa yang mencabut baiatnya pada Yazid, maka antara aku dan dia ada perpisahan."[29]

Mengenai baiat Abdullah bin Umar kepada al-Hajjaj, agar tidak diketahui orang banyak, ia menemui al-Hajjaj pada malam hari dan menyatakan hendak berbaiat. Hajjaj mengeluarkan kakinya dari selimut dan mengatakan agar Abdullah berbaiat dengan menjabat kakinya."[30]

Testimoni Ulama Ahlusunnah

Sosok Ibnu Umar sebagaimana ayahnya dalam pandangan Ahlusunnah, yaitu memiliki keutamaan dalam pandangan keagamaan dan kedudukan politik. Ia disebut sebagai sahabat Rasulullah saw dan putra dari Khalifah Kedua. [31] Dengan kedudukannya sebagai sahabat Nabi dan putra khalifah, ia dalam pandangan Ahlusunnah adalah seorang perawi dari hadis-hadis Nabi saw, yang juga meriwayatkan dari Abu Bakar dan Umar, sehingga memiliki kedudukan penting. [32] Ibnu Atsir juga menukilkan sejumlah keutamaan Abdullah, yang diketahuinya dari para pembesar Ahlusunnah, yang mengeluarkan fatwa setelah 600 tahun dari wafatnya Rasulullah saw. [33]

Sebagian berpendapat, Ibnu Umar hanya meriwayatkan sedikit hadis dari Rasulullah saw. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sya'bi, ia tinggal bersama dengan Ibnu Umar selama satu tahun, namun tidak satupun hadis yang ia dapat darinya. [34] Sebagian lainnya seperti Jabir bin Abdillah al-Anshari meriwayatkan hadis dari Ibnu Umar. [35] Mirza Husain Nuri dalam pembahasan mengenai tahrif Al-Qur'an, untuk menguatkan argumentasi mengenai terjadinya perubahan pada Al-Qur'an, ia bersandar pada riwayat dari Ahlusunnah yang disampaikan oleh Abdullah bin Umar. [36] Ahlusunnah meriwayatkan hadis mengenai keutamaan Ali as, [37] berbagai ragam qiraah Al-Qur'an [38], shadaqah [39] dan pembahasan lainnya dari Abdullah bin Umar.

Zuhud dan Ibadah

Menurut literatur Ahlusunnah, Abdullah bin Umar berupaya keras semua ibadah yang ia lihat dari Rasulullah saw dan yang ia dengarkan, ia kerjakan sepenuhnya. Bahkan sampai tempat dimana Nabi Muhammad saw pernah salat, ia sengaja melakukan perjalanan untuk juga salat di tempat tersebut. [40] Mengenai kezuhudannya, ia disebutkan tidak pernah meminta uang pada siapapun. Namun berkenaan dengan hadiah, ia menerimanya dari siapapun. Tidak satupun hakim yang memberikan hadiah padanya yang ia tolak. [41] Ia disebutkan pula tidak memiliki ketergantungan pada dunia dan sering melakukan haji dan banyak bersedekah. [42]

Wafat

Salim bin Abdullah bin Umar menukilkan dari ayahnya; senjata tajam salah seorang suruhan Hajjaj melukai kaki ayahnya, yang dari luka tersebut ayahnya kemudian jatuh sakit. Suatu hari Hajjaj mendatangi Abdullah bin Umar untuk menjenguknya. Abdullah berkata kepadanya, "Anda telah membunuh saya, dan telah memerintahkan beberapa orang untuk memasuki kota suci dengan membawa senjata." Abdullah bin Umar meninggal dunia karena sakit pada tahun 73 H/692 dalam usia 84 tahun. [43]

Ibnu Umar sebelum menghembuskan nafas terakhir mewasiatkan agar ia dimakamkan diluar tanah Haram. Namun wasiat tersebut tidak dilaksanakan. Hajjaj ikut menyalati jenazahnya dan memakamkannya di sebuah tempat bernama Fakhkha, di dekat Pemakaman Muhajirin. [44]

Catatan Kaki

  1. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shahabah, jld. 3, hlm. 236
  2. Ibnu Hajar, al-Ashabah, jld. 4, hlm. 156
  3. Ibnu Abd al-Barr, al-Isti'ab fi Ma'rifah al-Ashhab, jld. 3, hlm. 950
  4. Ibnu Abd al-Barr, al-Isti'ab fi Ma'rifah al-Ashhab, jld. 3, hlm. 951
  5. Ibnu Qutaibah al-Dainuwari, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 73
  6. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 4, hlm. 6
  7. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 4, hlm. 164
  8. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 4, hlm. 133
  9. Nashr bin Mazahim, Waqi'ah Shiffin, hlm. 542
  10. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shabah, jld. 3, hlm. 237
  11. Ibnu Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, jld. 4, hlm. 248
  12. Al-Thabari, Tarikh, jld. 4, hlm. 229
  13. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma'rifah al-Shabah, jld. 3, hlm. 236
  14. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 4, hlm. 109
  15. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 4, hlm. 108
  16. Ibnu Abd al-Barr, al-Isti'ab, jld. 3, hlm. 953
  17. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 73
  18. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 73
  19. Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, hlm. 521
  20. Ibnu 'Atsam, al-Futuh, jld. 2, hlm. 529
  21. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 238
  22. Shaduq, Amali, hlm. 153
  23. Ibnu 'Atsam, al-Futuh, jld. 2, hlm. 529
  24. Al-Thabari, Tarikh, jld. 5, hlm. 58
  25. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 4, hlm. 6
  26. Al-Thabari, Tarikh, jld. 5, hlm. 342
  27. Al-Thabari, Tarikh, jld. 5, hlm. 343
  28. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat, jld. 4, hlm. 164
  29. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat, jld. 4, hlm. 164
  30. Al-Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 10, hlm. 447
  31. Ja'fariyan, Ta'tsir Maudhu'ghiriha-e Syakhsi dar Fiqh-e Siyasi Ahl-e Sunnah, hlm. 54
  32. Ibnu Hajar, al-Ashabah, jld. 4, hlm. 156
  33. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 238
  34. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat, jld. 4, hlm. 108
  35. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 239
  36. Ja'fariyan, Afsaneh Ta'rif-e Qur'an, hlm. 128
  37. Tehrani, Imam Syenasi, jld. 2, hlm. 183
  38. Ja'fariyan, Afsaneh Tahrif-e Qur'an, hlm. 131
  39. Thabathabai, al-Mizan, jld. 2, hlm. 653
  40. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 237
  41. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 4, hlm. 112
  42. Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, jld. 3, hlm. 238
  43. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat, jld. 4, hlm. 168
  44. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat, jld. 4, hlm. 169

Daftar Pustaka

  • 'Asqalani, Ibnu Hajar.Al-Ishābah fī Tamyīz ash-Shahābah. Cet. I. Riset 'Adil Ahmad 'Abdul Maujud. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1415 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya.Kitāb Jumal min Ansāb al-Asyrāf. Cet. I. Riset Suhail Zakkar dan Riyadh Zirikli. Beirut: Dar al-Fikr, 1417 H.
  • Dinawari, Ibnu Qutaibah.Al-Imāmah wa as-Siyāsah. Cet. I. Riset Ali Syiri. Beirut: Dar al-Adhwa, 1410 H.
  • Ibnu 'Abdil Barr, Yusuf bin Abdullah.Al-Istī'āb fī Ma'rifah al-Ashhāb. Cet I. Diedit oleh Ali Muhammad al-Bajawi. Beirut: Dar al-Jil, 1412 H.
  • Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari.Al-Kāmil fī At-Tārīkh. Beirut: Dar ash-Shadir, 1385 H.
  • Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad al-Jazari.Usd al-Ghābah fī Ma'rifah ash-Shahābah. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.
  • Ibnu Katsir, Ismail bin Umar.Al-Bidāyah wa An-Nihāyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H.
  • Ibnu Sa'ad.At-Thabaqāt al-Kubrā. Riset Muhammad Abdul Qodir Atha'. Cet I. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 H.
  • Ja'fariyan, Rasul.Afsāne-ye Tahrīf-e Qur'ān. Cet. I. Diterjemahkan oleh Mahmud Syarifi. Tehran: Entesyarat-e Amir Kabir, 1382 HS (2003).
  • Ja'fariyan, Rasul.Ta'tsīr-e Mauze'gīrīhā-ye Syakhshī dar Fiqh-e Siyāsī Ahle Sunnat. Majalah Keihan-e Andisye. No. 53, 1378 H.
  • Kufi, Ahmad bin A'tsam.Kitāb al-Futūh. Cet I. Riset Ali Syiri. Beirut: Dar al-Adhwa', 1411 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali.Al-Āmāli. Cet. VI. Tehran: Ketabci, 1376 HS (1997).
  • Syarif ar-Radhi, Muhammad bin Husain.Nahj al-Balāghah. Diedit oleh Shubhi Shalih. Qom: Hejrat, 1414 H.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir.Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Cet. II. Riset Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Beirut: Daru Ihya' at-Turats, 1387 H.