Hidhanah (Pengasuhan Anak)

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Hidhānah (bahasa Arab: حِضَانَة) adalah merawat dan mengasuh anak yang belum balig dan belum mencapai kedewasaan secara akal. Mengasuh anak meliputi berbagai permasalahan seperti mendidik, menyiapkan makanan dan pakaian yang layak.

Sesuai dengan fikih Islam, pengasuhan anak selama kedua orang tuanya masih hidup bersama merupakan tanggung jawab mereka berdua, dan bila terjadi perceraian diantara keduanya, maka menurut fatwa mayoritas fukaha maka pengasuhan anak perempuan hingga umur 7 tahun dan anak laki-laki hingga umur 2 tahun adalah tanggung jawab ibu, selebihnya tanggung jawab ayah. Menurut fukaha lain seperti Sayid Abul Qasim Khui, pengasuhan anak laki-laki hingga usia 7 tahun adalah tanggung jawab ibu.

Jika salah satu orang tua meninggal maka pengasuhan menjadi tanggung jawab orang tua yang masih hidup. Jika keduanya meninggal maka itu menjadi tanggung jawab kakek dari jalur ayah. Jika kakek sudah tidak ada maka menjadi tanggung jawab seluruh keluarga sesuai urutan pihak penerima warisan. Hidhanah anak yang lahir dari hubungan tidak halal ditanggung oleh ayah kandungnya. Masa hidhanah akan berakhir saat anak mencapai usia balig dan dewasa secara akal.

Arti Hidhanah

Hidhanah adalah sebuah istilah fikih yang berarti merawat, mengasuh dan mendidik anak serta menyiapkan makanan dan pakaian yang layak untuknya.[1] Masalah ini dikaji dalam bab nikah dan luqathah (barang temuan). [2] Tema-tema seperti masa hidhanah, penyerahan hak hidhanah, syarat-syarat pengasuh dan pengasuhan anak yatim termasuk permasalahan-permasalahan fikih Islam yang dikaji pada pembahasan hidhanah.

Masa Pengasuhan

Menurut syariat Islam, pengasuhan (hidhanah) merupakan tanggung jawab kedua orang tua selama mereka berstatus suami istri. [3] Apabila mereka bercerai maka pengasuhan anak laki-laki maupun perempuan hingga usia dua tahun ditanggung oleh ibu.[4] Adapun pengasuhan setelah usia 2 tahun terjadi perbedaan pendapat di kalangan fukaha. Menurut penuturan penulis buku Jawahir al-Kalam, kebanyakan fukaha[5] termasuk Muhaqqiq Hilli dan Allamah Hilli berkeyakinan bahwa pengasuhan anak perempuan hingga usia 7 tahun ditanggung oleh ibu dan setelah itu diserahkan kepada ayah; sementara pengasuhan anak laki-laki setelah berusia 2 tahun berpindah kepada ayah.[6]

Sebagian fukaha lain seperti penulis buku Madarik dan Sayid Abul Qasim Khui meyakini bahwa pengasuhan anak laki-laki dan perempuan hingga usia 7 tahun adalah tanggung jawab ibu, selebihnya adalah tanggung jawab ayah.[7] Hukum perdata Iran disusun sesuai dengan pandangan-pandangan fukuha ini.[8] Menurut pernyataan Allamah Hilli, Syekh Mufid meyakini pengasuhan anak perempuan hingga usia 9 tahun merupakan tanggung jawab ibu.[9]

Pada saat anak (laki-laki maupun perempuan) mencapai usia balig dan dewasa secara akal, maka masa hak pengasuhan ayah dan ibu berakhir dan ia memiliki hak memilih (ikhtiar) kehidupannya.[10]

Pertemuan dengan Anak

Sesuai dengan fatwa marja' taklid seperti Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat dan Ayatullah Nasir Makarim Syirazi, ayah atau ibu yang sedang menjadi pengasuh tidak berhak menghalangi orang tua lainnya (yang tidak mengasuh) untuk bertemu[11] serta membantu anaknya. [12]

Penyerahan Asuhan

Sejumlah besar fukaha seperti Syahid Tsani, penulis buku Riyadh al-Masail, dan penulis buku Jawahir al-Kalam meyakini bahwa Hidahanah temasuk jenis hak dan bisa diserahkan kepada orang lain.[13] Syahid Awal dalam buku al-Qawaid wa al-Fawaid menuliskan, "Apabila ibu tidak mau mengasuh anak, maka hak asuh diserahkan kepada ayah, namun apabila kedua-duanya tidak mau maka ayah harus dipaksa untuk betangggung jawab atas pengasuhan tersebut.[14]

Syarat Pengasuh

Menurut syariat Islam, pengasuh (laki-laki maupun perempuan) harus muslim, berakal sehat dan merdeka (bukan budak). [15] Demikian juga selain berakal juga memiliki kemampuan untuk menjaga dan melakukan pengasuhan pada anak. [16]

Menurut fatwa fukaha, pengasuhan oleh ibu hanya terjadi jika tidak menikah dengan laki-laki lain. [17]. Penulis Jawahir Kalam berkata bahwa fukaha ijma dalam masalah ini. [18] Poin lain dalam masalah ini adalah ibu yang menjaga anak bisa mengambil upah dari ayahnya. [19]

Pengasuhan Anak Yatim

Jika salah satu orang tua meninggal maka Hidhanah menjadi tanggung jawab orang tua yang masih hidup.[20]Jika keduanya meninggal atau tidak ada maka Hidhanah menjadi hak kakek dari jalur ayah.[21] Jika kakek tidak ada maka itu menjadi tanggung jawab seluruh keluarga (sesuai urutan pihak penerima warisan).Namun sebagian yang lain seperti Yusuf Bahrani seorang fakih abad 12 H dan penulis Jawahir Kalam berpendapat, "Hak pengasuhan berada di tangan keluarga laki-laki."[22]

Menurut sebagian fukaha, jika kakek dari jalur ayah tidak ada maka hakim syar'i berhak menggunakan harta milik sang anak guna menyediakan pengasuh untuknya. Jika sang anak tidak memiliki harta maka kewajiban pengasuhan ditanggung oleh seluruh kaum Muslimin sebagai wajib kifayah.[23]

Pengasuhan Anak Hasil Hubungan Tidak Halal

Menurut para fukaha, tanggung jawab pengasuhan anak yang lahir dari hubungan tidak halal diemban oleh ayah dan ibu kandungnya, meski demikian dia tetap tidak berhak mendapat warisan dari keduanya. [24]

Ada dua pendapat terkait pengasuhan anak temuan. Satu pendapat meyakini, anak temuan harus diserahkan ke hakim syari. [25] Pendapat lain berkeyakinan, pihak penemu bertanggung jawab untuk mengasuhnya, kecuali dia tidak mampu melakukannya. [26]

Catatan Kaki

  1. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 283
  2. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh Muthabiq Mazhab Ahlulbait, jld. 3, hlm. 309
  3. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh Muthabiq Mazhab Ahlulbait, jld. 3, hlm. 309
  4. Allamah Hilli, Qawaid al-Ahkam, jld. 4, hlm. 102
  5. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 290
  6. Muhaqqiq Hilli, Syarayi' al-Islam, jld. 2, hlm. 289; Allamah Hilli, Qawaid al-Ahkam, jld. 3, hlm. 102
  7. Amili, Nihayah al-Maram, jld. 8, hlm. 167; Khui, Mabani Minhaj al-Shalihin, jld. 2, hlm. 285
  8. Lihat: Manshur, Qanuni Madani, hlm. 205
  9. Allamah Hilli, Qawaid al-Ahkam, jld. 3, hlm. 102
  10. Allamah Hilli, Qawaid al-Ahkam, jld. 3, hlm. 101 dan 102; Imam Khomaini, Tahrir al-Wasilah, jld. 2, hlm. 313
  11. Makarim Syirazi, Istiftaat Jadid, jld. 2, hlm. 362
  12. Bahjat, Risalah Taudhih al-Masail', hlm. 393 dan 394
  13. Syahid Tsani, al-Raudhah al-Bahiyah, jld. 5, hlm. 464; Thabathabai, Riyadh al-Masail, jld. 12; Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 4, hlm. 162; jld. 31, hlm. 283 dan 284
  14. Syahid Awal, al-Qawaid wa al-Fawaid, jld. 1, hlm. 396
  15. Risalah Taudhih al-Masail Maraji', hlm. 894
  16. Sistani, Minhaj al-Shalihin, jld. 3, hlm. 121 dan 122
  17. Muhaqqiq Hilli, Syara’i al-Islam, jld. 2, hlm. 290; Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 292
  18. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 292
  19. Sistani, Minhaj al-Shalihin, jld. 3, hlm. 122
  20. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 293
  21. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 295
  22. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 31, hlm. 295 dan 296; Bahrani, al-Hadaiq al-Nadhirah, jld. 25, hlm. 97
  23. Al-Bahrani, al-Hadaiq al-Nadzirah, jld. 25, hlm. 97
  24. Makarim Syirazi, Istiftaat Jadid, jld. 3, hlm. 266
  25. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 38, hlm. 174
  26. Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 38, hlm. 175

Daftar Pustaka

  • Al-Bahrānī, Yūsuf. Al-Hadāʾiq al-Nādzirah fī Ahkām al-'Itrah al-Thāhirah. Beirut: Dār al-Adwāʾ, 1985.
  • Al-Najafī, Muhammad Hasan. Jawāhir al-kalām fī Syarh Syarāyi' al-Islām. Beirut: Dār Ihyāʾ al-Turāts al-'Arabī, 1405 H.
  • Dehkhodā, Ali Akbar. Farhang-e Dehkhudā. Teharn : Muasasah Lughat nāmeh Dehkhudā, 1341 S.
  • Hāsyimi Syahrudi, Mahmud. Farhang-e Fiqh Muthābeq-e Mazhab Ahlulbait. Qom : Markaz Dāirah al-Ma'ārif Fiqh Islami, 1382 S.
  • Hujjati, Ghulam Ridha. Majmu'e-ye Qawānīn wa Muqararāt Khānewadeh. Teheran : Ganje Dānesy, 1378 S.
  • Kātuziyān, Nashir. Huquq-e Madanī Khānewadeh. Tehran : Syerkat-e Sahāmī Intisyārāt, 1378 S.
  • Makārim Syirāzi, Nāshir. Ahkām-e Bānuwān. Qom : Nasyr-e Madrasah Ali bin Abi Thalib, 1392 S.
  • Makārim Syirāzi, Nāshir. Istiftāt Jadid. Qom : Nasyr-e Madrasah Ali bin Abi Thalib, 1384 S.
  • Mazru'i, Rasul. Mahiyat-e Hidhanah wa Ta'yine Shahib-e an. Di dalam Majaleh Fiqh Ahlulbait, no. 55, 1387 S.
  • Risalah Taudhih al-Masāil Maraji'. Qom : Intisyārāt Taffakur, 1372 S.
  • Taudhih Masāil Marāji'. Qom : Daftar Intisyārāt Islami, 1386 S.