Banyak Ragu

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Katsir al-Syak (bahasa Arab: كثير الشك, ragu yang berlebihan) adalah istilah fikih yang bermakna orang-orang yang menurut pandangan masyarakat banyak ragu (syak) dalam melaksanakan amalan-amalan ibadah keagamaannya. Sebagian marja' Taklid menjelaskan beberapa tolok ukur untuk menentukan "banyak ragu".

Dalam sebagian riwayat, "banyak ragu" dinisbatkan kepada setan dan pengikutan terhadap bentuk syak ini adalah merupakan perbuatan buruk. Dalam fikih Islam "banyak ragu" memiliki hukum-hukum khusus dan sudah seharusnya supaya tidak memperhatikan syak yang menimpa dirinya.

Definisi

Yang dimaksud dengan syak (ragu) adalah setara antara dua kemungkinan (50 persen, 50 persen). Oleh karena itu syak berbeda dengan dzan (dugaan). Terdapat hukum-hukum tersendiri dalam pembahasan tentang dugaan (dzan) meskipun sebagiannya seperti hukum yang ada pada keadaan syak.[1]

Ciri-ciri Katsir al-Syak

Sebagian fukaha menuturkan bahwa parameter "banyak ragu" adalah urf masyarakat (penilaian masyarakat setempat dan pada masa tertentu). Artinya perilaku seseorang dalam syak yang menimpanya sedemikian sehingga telah melebihi ukuran kebiasaan orang-orang. [2] Sebagian ulama juga menjelaskan ciri-ciri yang lain dari "banyak ragu" seperti syak dalam tiga salat secara berturut-turut atau tiga kali syak dalam satu salat. [3] [4]

Hukum Fikih bagi Katsir al-Syak

Berdasarkan kaidah-kaidah fikih (qawāid fiqhiyah) “la syakka li katsir al-syak”, maka seseorang yang mengalami syak yang berlebihan, tidak boleh mengikuti syak yang menimpanya. Dalam keadaan ini, ia harus mengasumsikan bahwa apa yang diragukannya telah dia lakukan, dan apabila pelaksanaan tindakan itu menyebabkan batalnya suatu amalan, maka ia harus menganggap bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang meragukan itu. Misalnya apabila ia syak apakah telah ruku' ataukah belum, maka ia harus menganggap bahwa telah melakukan ruku' dan apabila syak bahwa ia melakukan sekali atau dua kali ruku' maka ia harus menganggap sekali melakukan ruku' dan salatnya adalah benar. [5] Sebagian para fukaha menilai bahwa kaedah ini hanya berlaku khusus dalam salat saja. [6]

Mengenai bahwa apabila seseorang tertimpa katsir al-syak dalam keadaan-keadaan tertentu saja, maka dalam hal-hal yang lainnya apakah ia juga akan tergolong menjadi katsir syak ataukah tidak, maka dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat diantara para fuqaha. [7]

Orang yang tertimpa katsir al-syak yang tidak mengetahui bahwa keadaan yang menimpanya telah hilang dari dirinya, maka ia harus menilai bahwa dirinya masih termasuk orang-orang yang terkena katsir al-syak dan mengamalkan hukum-hukum bagi orang-orang yang tertimpa katsir al-syak. [8]

Sebagian marja' taklid mengharamkan memberikan perhatian kepada was was dan syak yang berlebihan. [9]

Beberapa Kaidah Fikih

Dalam fikih Syiah terdapat beberapa kaidah yang merupakan jalan keluar bagi orang-orang yang terkena katsir al-syak. Di antara kaidah-kaidah itu adalah:

Kaidah Faragh

Berdasarkan kaidah ini, apabila seseorang telah menyelesaikan suatu pekerjaan kemudian ia syak apakah telah melaksanakannya dengan benar dan telah selesai mengerjakannya, maka ia tidak boleh memperhatikan dan mempedulikan syak yang menimpanya, misalnya apabila ia telah menyelesaikan salat kemudian ragu apakah sudah membaca surah Al-Ikhlash dengan benar ataukah sudah ruku' ataukah belum, maka salat yang dilakukannya adalah benar dan tidak mempedulikan syak yang menimpanya. [10]

Kaidah Tajawuz

Berdasarkan kaidah tajāwuz (melewati tempat) yaitu apabila seseorang ragu akan kesahan sebagian amalan sebelum menyelesaikan semuanya sementara tempatnya sudah lewat, maka jangan memperhatikan jenis syak ini dan menilai bahwa tindakan yang telah dilakukan adalah sah. Misalnya apabila seseorang sedang ruku' kemudian terserang syak bahwa apakah benar ataukah tidak dalam membaca surah Al-Fatihah, atau misalnya dalam sujud ia syak apakah telah ruku' ataukah belum maka ia tidak boleh memberi perhatian kepada syak jenis ini dan tetap melanjutkan untuk salat. [11]

Syak dalam Riwayat

Dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as dijelaskan tentang kesenangan setan apabila manusia menuruti perbuatan syak ini. Syak yang berlebihan dinilai sebagai upaya untuk mengikuti langkah-langkah setan dimana hasil dari pengikutan ini akan menambah ketamakan setan kepada orang-orang yang tertimpa penyakit syak dan setan biasa berlaku tamak kepada ibadah kaum mukmin.[catatan 1]

Perbedaan antara Was-was dan Katsir al-Syak

Sebagian orang meyakini adanya perbedaan antara katsir al-syak dan was-was. Was-was adalah ia melakukan suatu amalan tertentu dan menganggap bahwa amalannya itu tidak benar namun katsir al-syak tidak mengetahui apakah ia sudah melakukan amalan tertentu ataukah belum. Hukum syar’i pada kedua kondisi ini adalah sama dan tidak seharusnya memperhatikan keraguan yang menimpanya. [12]

Terdapat banyak cara untuk menyembuhkan penyakit was-was. [13] [14]

catatan

  1. Kāfi, cet. Dar al-Hadist, لاتُعَوِّدُوا الْخَبِیثَ مِنْ أَنْفُسِكُمْ بِنَقْضِ الصَّلَاةِ؛ فَتُطْمِعُوهُ؛ فَإِنَّ الشَّیطَانَ خَبِیثٌ یعْتَادُ لِمَا عُوِّد Kafi, cet. Dar al-Hadist, jld. 6, hlm. 278.

Catatan Kaki

  1. Jawāhir al-Kalām, jld. 12, hlm. 362-365.
  2. Mustanad al-Urwah (Solat), jld. 7, hlm. 17.
  3. Al-Urwah al-Wutsqā, jld. 3, hlm. 308.
  4. Risalah Taudhih al-Masāil Marāji’, masalah 1184.
  5. Farhang Fiqh Muthābiq Madzhab Ahlul Bayt, jld. 4, hlm. 712-720.
  6. Al-Qawāid al-Fiqhiyyah, jld. 2, hlm. 355-356.
  7. Al-Urwah al-Wutsqā, jld. 3, hlm. 306-307.
  8. Al-Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 308.
  9. Site Ayatullah Madhahiri
  10. Farhang Tasyrihi Ishtilāhāt Ushul, Wilāyi, Isa, hlm. 261.
  11. Farhang Tasyrihi Istilāhāt Ushul, Wilāyi, Isa, hlm. 233.
  12. Madrasah Faqāhat.
  13. Site Ayatullah Madhahiri
  14. Site Hauzah

Daftar Pustaka

  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām fi Syarah Syarāyi’ al-Islām. Beirut: Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, cet. VII.
  • Murtadha Burujerdi. Mustanad al-Urwah al-Wutsqā, Taqrirat Ayatullah Khui (1413 H). Qom: Madrasah Dar al-Ilm, tanpa tahun.
  • Thabathabai Yazdi, Sayid Muhammad Kadzim. Urwah al-Wutsqā. Qom: Muasasah al-Nasyar al-Islami.
  • Taudhih al-Masāil Marāji’. Daftar Intisyarat Islami.
  • Farhang Fiqh Farsi. Dibawah pengawasan Ayatullah Sayid Mahmud Syahrudi. Intisyarat Islami.
  • Isa Wilayi. Farhang Tasyrihi Istilāhāt Ushul. Teheran: Nasyar Nei, 1374 HS.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya’qub. Kāfi. Intisyarat Dar al-Hadits.