Argumen Keteraturan

Prioritas: c, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia

Argumen Keteraturan (bahasa Arab:برهان النظم) merupakan argumen yang paling sederhana dan general yang diajukan untuk menetapkan keberadaan Tuhan. Alquran menyebut entitas-entitas dan makhluk-makhluk di alam semesta sebagai ayat yaitu tanda-tanda kekuasaan dan keberadaan Allah swt. Dalam argumen ini secara ringkas disebutkan bahwa keteraturan dan sistem yang berlaku di alam semesta merupakan dalil dan tanda tentang adanya sebuah kekuasaan yang menata dan mengatur semua ini. Argumen ini digunakan dengan bersandar pada alam semesta untuk sampai kepada Allah swt. Mengingat bahwa alam semesta, keteraturan dan struktur yang ada di dalamnya dapat dipahami oleh semua orang dan tidak memerlukan pengatahuan-pengetahuan khusus dan filsafat. Argumen ini bersifat umum dan berguna bagi khalayak ramai, berbeda dengan argumen-argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan lainnya. Argumen ini, dalam teks-teks teologi dan agama, memiliki banyak pendukung dan penyokong dibandingkan dengan argumen-argumen lainnya. Akan tetapi terdapat orang-orang yang menentang argumen ini khususnya di abad-abad belakangan. Di dunia Barat, David Hume adalah seorang pemikir Empirisme Inggris yang paling banyak melontarkan kritik atas argumen ini. Menanggapi kritikan Hume, tidak sedikit juga jawaban yang disampaikan oleh agamawan dan filosof.

Kandungan Umum Argumen Keteraturan

"Imam Shadiq as berkata kepada Mufaddhal: 'Wahai Mufaddhal, pelajaran dan dalil pertama atas keberadaan Sang Pencipta adalah adanya keteraturan dan penataan di alam semesta ini. Oleh itu, apabila engkau merenungkan dengan baik dalam mekanisme yang berlaku di alam semesta maka sesungguhnya alam itu laksana rumah dan kediaman yang di dalamnya tersedia seluruh kebutuhan makhluk Tuhan. Hal ini semua adalah dalil bahwa alam semesta diciptakan dengan perhitungan cermat dan bijak. Pencipta alam semesta itu Esa dan Dialah yang menata, mengatur dan mengelolah semua ini.'" [1] Berdasarkan dalil ini, keteraturan dan sistem apik yang berlaku di alam semesta akan membimbing manusia kepada Tuhan. Tuhan Sang Pencipta dan Pengatur semesta raya. Karakteristik tipikal argumen ini dibandingkan dengan argumen-argumen yang lain lebih umum dan lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Argumen ini sederhana dan tidak mengandung kerumitan rasional. Demikian juga memiliki tipologi umum dalam ragam penjelasan. Adanya perbedaan dalam fondasi keyakinan tidak berpengaruh dalam ragam jenis ulasan argumen ini.

Kandungan-kandungan Orisinil Argumen Keteraturan dalam Tradisi Islam

Kandungan-kandungan orisinil argumen keteraturan dapat ditemukan dalam beberapa ayat Alquran. Alquran, dalam beberapa ayat, menyebutkan tanda-tanda penciptaan dan hikmah Ilahi dalam beberapa contoh. Alquran mengajak manusia untuk memikirkan tentang hal ini yang tidak ada model sebelumnya. [2] “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS al-Baqarah [2]:164)

Demikian juga pada sebagian ayat, Alquran menjelaskan tentang ketaraturan dan adanya koordinasi di alam semesta dan mengajak manusia untuk memikirkannya. "Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?" (QS al-Mulk [67]:3)

Bentuk Umum Ulasan Argumen Keteraturan

Premis 1: Alam semesta memiliki keteraturan Premis ini diperoleh dengan mengenal mekanisme yang berlaku di alam semesta. Karena itu, temuan-temuan ilmu pengetahuan moderen banyak membantu memperluas cakupan pembahasan argumen keteraturan ini.

Premis 2: Setiap keteraturan memerlukan pengatur yang menata dan memenej. Untuk menetapkan premis ini terdapat beberapa metode:

Metode pertama: Membandingkan alam dan manusia Berdasarkan metode ini, sebagaimana setiap keteraturan yang dibuat oleh manusia menunjukkan bahwa keteraturan ini merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengatur yang memiliki tujuan. Dengan demikian kita memahami bahwa keteraturan yang berlaku di alam semesta berdasarkan pengaturan dan memiliki tujuan yang cerdas dan terukur. [3]

Metode kedua: Berdasarkan kaidah probabilitas: Berdasarkan metode ini, kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa kebetulan dalam sebuah keteraturan, seberapapun kecilnya itu bahkan mendekati nol persen, tidak dapat diterima oleh orang-orang berakal. [4]

Metode ketiga: Berdasarkan kaidah al-ittifaqi la yakuna daimiyan wala aktsariyan: Bersandar pada kaidah ini, kejadian kebetulan sekali-kali tidak akan terjadi secara berketerusan. Artinya hal-hal yang sifatnya kebetulan dan tidak berdalil, sangat jarang terjadi dan tidak terjadi berulang kali atau tidak lebih dari satu kali. [5]

Metode keempat: Berdasarkan kompatibilitas antara sebab dan akibat: Pada metode ini, sebagian filosof kontemporer berupaya untuk menetapkan hal ini secara argumentatif. Berdasarkan metode ini, keteraturan seperti seluruh peristiwa bersumber dari sebuah sebab (kausa). Sebab dan akibat ini harus satu jenis atau secara teknis, kompatibel satu sama lain. Dan ketika keteraturan sebuah peristiwa yang bersifat cerdas dan memiliki tujuan, pelaku dan sebabnya juga harus cerdas dan berketujuan. [6]

Konklusinya dari dua permis ini dapat disimpulkan dan pada seluruh ulasan argumen keteraturan adalah keniscayaan adanya kekuatan dan kekuasaan yang mengatur dan memiliki tujuan di alam semesta ini.

Beberapa Ulasan Argumen Keteraturan

Argumen keteraturan telah dijelaskan dalam ragam bentuk yang akan disinggung dengan empat contoh:

Ulasan Berdasarkan Kausalitas

Dalam ulasan ini, dari keteraturan yang berlaku di alam semesta dua kesimpulan dapat diambil: Penetapan keberaadan pengatur bagi alam semesta dan penetapa sifat-sifat seperti ilmu, akal dan intelegensi. Untuk menetapkan keberadaan pengatur kita berkata, "Di alam semesta terdapat keteraturan dan setiap keteraturan ada karena adanya pengatur. Karena itu harus ada pengatur yang mengatur semua keteraturan ini." Untuk menetapkan sifat-sifat pengatur kita katakan, "Di alam semesta terdapat keteraturan dan setiap keteraturan niscaya bersandar pada pengetahuan dan intelegensia. Karena itu pengatur alam semesta mestilah memiliki pengetahuan dan intelegensia." Dasar ulasan ini berpijak pada prinsip kausalitas dan bahwa setiap kejadian membutuhkan penjadi dan karena keteraturan merupakan sebuah kejadian maka ia memerlukan penjadi atau pelaku yang menjadikan kejadian itu dan karena keteraturan dan pengaturan sebuah keteraturan membutuhkan pengetahuan dan intelegensia maka pengatur seluruh keteraturan ini juga memiliki sifat-sifat ini (berilmu dan berpengatahuan). [7]

Ulasan berdasarkan Koordinasi dan Kehorensi Bagian-bagian Alam

Kumpulan alam semesta memiliki koordinasi dan koherensi yang sangat menakjubkan, sedemikian sehingga terkadang satu bagian kecil sangat berpengaruh bagi keseluruhan alam semesta. Temuan-temuan ilmu pengetahuan seperti penetapan pengaruh bintang pada kehidupan makhluk hidup di muka bumi dan capaian-capaian ilmu, semakin menampakkan adanya koordinasi dan relasi ini. Koherensi dan koordinasi satu kesatuan di alam semesta ini, menunjukkan adanya intelegensia dan peran akal besar dalam stuktur alam semesta ini. [8]

Ulasan berdasarkan Teleologis

Dengan cermat kita akan ketahui bahwa pada keseluruhan sistem yang berlaku di alam semesta terdapat sebagian dari sistem ini menjadi pelayan bagi sistem lainnya sedemikian sehingga apabila sistem pertama maka sistem kedua juga akan sirna. Dengan kata lain, sistem pertama memiliki tujuan yaitu menyediakan kebutuhan sistem kedua dan seterusnya, hubungan berkelindan di antara sistem yang ada di alam semesta. Contohnya struktur fisiologis seorang ibu untuk menyiapkan kebutuhan gizi bayi. Jelas bahwa adanya tujuan dan hubungan di alam semesta, menunjukkan adanya seorang alim dan penuh intelegensia yang mengadakan hubungan dan sifat berketujuan ini di alam semesta. [9]

Ulasan berdasarkan Probabilitas

Adanya kehidupan di muka bumi karena tersedianya banyak syarat dan ragam faktor yang saling berkoordinasi sehingga kehidupan di alam semesta dapat terlaksana dengan baik, rapi dan sistemik, sedemikian sehingga apabila satu syarat saja tidak tersedia maka akan memunculkan keonaran dan kerusakan di alam semesta ini. Syarat-syarat dan faktor-faktor ini sedemikian banyak sehingga kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa kebetulan atas adanya koordinasi dan keteraturan ini sangat lemah dan sifatnya nol persen. [10]

Latar Belakang

Pada sebagian literatur terdahulu, argumen ini disebut dalil itqan sun' (argumen keakurasian penciptaan) dan digunakan untuk menetapkan sifat-sifat seperti ilmu dan hikmah Ilahi bukan untuk menetapkan keberadaan Tuhan. [11] Latar belakang jenis argumen ini sebelum argumen-argumen rasional yang lebih rumit seperti Argumen Kebaruan.

Dalam Tradisi Islam

Kalangan Teolog

Ayat-ayat Alquran dan hadid-hadis yang menjelaskan bahwa seluruh fenomena dan kejadian alam semesta adalah tanda-tanda penciptaan Ilahi menjadi sumber inspirasi secara umum kaum teolog:

Ulasan Asy'ari

Asy'ari (874-936) dalam ulasannya atas argumen ini menyinggun tentang keakurasian penciptaan itqan shan'. Menurut Asy'ari, "Manusia dalam bentuknya yang paling sempurna, tadinya adalah sepercik sperma dan kemudian menjadi darah (alaqah), kemudian menjadi daging (mudghah), kemudian menjadi tulang-belulang (izham). Kita tahu bahwa manusia sendiri tidak mampu memindahkan dari satu kondisi ke kondisi yang lain. Karena itu harus ada pemindah (transformer) yang memindahkan dari satu level menuju level lain dan mengatur segala sesuatunya pada setiap kondisi yang dilaluinya." [12]

Ulasan Ghazali

Ghazali (1058-1111) juga setelah menyinggung ayat-ayat Alquran menegaskan bahwa setiap orang yang memikirkan ayat-ayat ini dan menyaksikan penciptaan-penciptaan tujuh petala langit dan bumi, flora dan fauna yang sebelumnya tidak ada, dengan sedikit perenungan maka dengan terang ia akan menemukan bahwa pengaturan yang sangat kokoh dan menakjubkan ini tentunya bersumber dari sosok pencipta yang pandai mengatur dan pelaku yang berkuasa. Menurut al-Ghazali, hakikat ini sebagaimana fitrah manusia juga memberikan kesaksian atas hal ini tidak memerlukan argumentasi filosofis. [13]

Ulasan Fakhrurazi

Fakhruddin Razi (606 H/1209) dalam ulasan yang lebih akurat terkait dengan argumen ini meyakini bahwa ayat-ayat Alquran menunjukkan dua bentuk bahwa alam semesta adalah dalil atas keberadaan Tuhan. Menurut Fakhrurazi bahwa pada sebagian ayat Alquran, dapat disaksikan adanya keteraturan pada makhluk hidup, dalil untuk menetapkan pencipta keteraturan dan demikianlah burhan itqan sun'. Di samping itu, terdapat argumen lainnya yang dapat diperoleh berdasarkan prinsip hidayah pada makhluk hidup dalam Alquran. Berdasarkan sebagian ayat Alquran, terdapat sebuah fakultas dalam diri makhluk hidup yang memberi hidayah mereka untuk melintasi jalan yang penuh gejolak natural menujuk sebuah tujuan tertentu. Fakta ini menurut Fakhrurazi adalah sesuatu yang berada lebih tinggi dari keteraturan alam semesta.[14]

Ulasan Filosof Muslim

Berbeda dengan kaum teolog,filosof Muslim dalam menetapkan keberadaan Allah swt, tidak banyak menggunakan argumen keteraturan ini. Meski demikian, masalah keteraturan alam semesta tetap digunakan dalam kaitannya dengan masalah ilmu dan hikmah Ilahi serta penjelasan ajaran-ajaran seperti al-inayah dan nizham al-ahsan. [15] Namun pemikiran ini digunakan dalam filsafat Kindi dan Ibnu Rusyd untuk menetapkan keberadaan Tuhan. Berdasarkan pandangan filosof Muslim yang menentang argumen ini, argumen keteraturan ini dapat menjadi komplementer argumen-argumen seperti wujub dan imkan untuk menetapkan keberadaan Tuhan dan digunakan untuk mengenal sifat-sifat Allah swt. Sebagian lainnya seperti Abdullah Jawadi Amuli dalam "Tabyin Barahin Itsbat Khuda" mengemukakan beberapa kritikan atas argumen keteraturan ini dan mempersoalkan nilai argumen ini. Akan tetapi di ujung, Jawadi Amuli menilai argumen keteraturan ini cocok untuk konteks dialektika. [16]

Ulasan Kindi

Kindi (801-873) dengan memanfaatkan pembahasan-pembahasan filosofis yang bertalian dengan alam semesta dan entitas-entitas yang ada, menjelaskan adanya keteraturan di alam semesta yang menjuntai di seantero di alam semesta. Kindi dalam hal ini berkata, “Sesungguhnya keteraturan di alam semesta ini dan pengaturan bagian-bagian yang ada di dalamnya serta hubungannya antara satu dengan yang lain, merupakan dalil dan tanda yang paling besar bahwa hikmah dan program yang paling kuat dan akurat yang mendasari keteraturan ini. Dari sisi lain, setiap pengaturan memerlukan pengatur dan setiap hikmah butuh pada seorang hakim. [17]

Ulasan Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd (1126-1198), di sela-sela pembahasan yang menjelaskan penolakan argumen-argumen para teolog, mengajukan sebuah argumen yang menurutnya, mengandung ajaran-ajaran wahyu. Ibnu Rusyd menyebut argumen ini dengan nama dalil al-inayah yang di samping cocok untuk masyarakat umum dan juga pantas untuk para pemikir. [18] Argumen ini yang merupakan ulasan khusus Ibnu Rusyd atas argumen keteraturan bersandar pada dua premis: Premis 1: Seluruh entitas di alam semesta sejalan dengan keberadaan manusia Premis 2: Kesejalanan yang bersifat akurat dan sempurna ini, tentu saja tidak bersumber dari sebuah peristiwa kebetulan, melainkan bersumber dari satu pelaku yang mengatur dan menatanya. Pengenalan kita terkait dengan alam semseta dan manusia semakin besar, maka hakikat ini akan semakin terkuak bagi kita dimana ragam bagian alam semesta semenjak langit hingga bumi dan anggota tubuh semuanya berfungsi untuk melayani manusia Tipologi argumen Ibnu Rusyd adalah penegasannya pada prinsip teleogikal alam semesta yang erat kaitannya dengan konsep keteraturan. [19]

Argumen Keteraturan dalam Filsafat Barat

Diskursus argumen keteraturan dalam karya filsafat Barat dapat dilacak hingga filosof Yunani kuno dan buku Timeaus karya Plato. Pada abad pertengahan kita melihat beberapa indikasi yang mengarah pada argumen ini seperti Thomas Aquinas (1225-1274) menjadikan argumen keteraturan ini sebagai argumen kelima. . [20] Pada masa-masa belakangan, William Paley (1743-1805) telah membangun satu versi penting dari argumen ini sebagaimana yang ia sebutkan dalam Natural Theology. [21] Setelah Paley, beberapa filosof terkemuka lainnya seperti Frederick Robert Tennant (1866-1957), Richard G. Swinburne (1934), John E. Brooks (1923/2012) dan fisikawan seperti Frank Jennings Tipler (1947) adalah para pembela argumen ini dan mengajukan beberapa versi baru dari argumen teleologis ini.

Para Penentang

Berbeda dengan para pendukung argumen keteraturan, terdapat sebagian filosof lainnya yang mempersoalkan nilai argumentatif dan filosofis argumen keteraturan ini. Filosof-filosof ini di samping melontarkan beberapa kritikan yang bersifat partikular menyasar pada sebagian premis argumen ini juga kritikan yang bersifat universal bahwa diasumsikan premis-premis argumentasi itu ada benarnya, kesimpulan yang akan diambil, berbeda dengan kesimpulan filosof dan agamawan. Sebagian tidak menerima nilai dan akurasi argumen ini untuk menetapkan keberadaan Tuhan. Filosof bukan mengingkari keberadaan sebuah kausa yang mengatur seluruh fenomena dan kejadian di alam semesta. Perbedaan filosof ini dengan para pendukung argumen keteraturan adalah bahwa para penentang keberadaan Tuhan, keteraturan yang berlaku di alam semesta adalah kesimpulan dan capaian faktor-faktor internal alam bukan di luar dari alam semesta. Dari sini, kritikan ini berpandangan bahwa argument ketaraturan tidak membuktikan bahwa alam semesta bersumber dari sosok non materi. David Hume, Immanuel Kant, Richard Dawkins, dan sebagainya adalah para penentang argumen ini. Di samping itu, Immanuel Kant dalam karya magnum opusnya Critique of Pure Reason menyebutkan tiga kelemahan dari argumen keteraturan ini. [22] David Hume, filosof empiris Inggris abad ke-18 adalah salah seorang penentang utama argumen ini. Dalam bukunya A Treatise of Human Nature, menyebutkan lima kritikan atas argumen ini. Hume meyakini bahwa argumen ini tidak utuh dan keliru. Filosof lainnya, Walter menjelaskan bahwa sekiranya kita asumsikan bahwa argumen ini menetapkan adanya pengatur tunggal tapi tetap itu tidak berarti menetapkan Tuhan yang satu. [23] Sebagai jawaban atas pelbagai kritikan ini, pemikir Muslim dan non-Muslim memberikan jawabannya. Sebagai contoh Murtadha Muthahhari dalam bukunya "Kritik atas Materialisme" (The reasons of Tendency to Materialism) telah menjawab kritikan Hume dan bagaimanapun ia meyakini bahwa argumen ini hanya membuktikan sebab yang cerdas dan berpengetahuan yang mengatur alam semesta dengan pengaturannya, tidak lain. Adapun sifat-sifat apa yang disandang oleh pelaku (sebab) dan pengatur ini tidak ada kaitannya dengan argumen ini. [24]

Catatan Kaki

  1. Bihar al-Anwar, jld. 1, hlm. 63.
  2. Sebagai contoh, silahkan lihat, al-Baqarah (2):164); (Qs. Al-Naba [78]:6-16)
  3. Silahkan lihat, Ghazali, Ihya al-'Ulum, jld. 1, hlm. 129; Mankudim, hlm. 408-409; Taftazani, jld. 4, hlm. 110.
  4. Silahkan lihat, Hick, hlm. 81-91; Shadr, 23-34.
  5. Silahkan lihat, Ibnu Sina, al-Syifa, hlm. 95-97; Shadr al-Din, al-Mabda, hlm. 23; silahkan lihat juga, Taftazani, jld. 4, hlm. 111.
  6. Hick, 39-43.
  7. Subhani, jld. 1, hlm. 33-35.
  8. Ibid, hlm. 43.
  9. Ibid, hlm. 47.
  10. Ibid, hlm. 51.
  11. Silahkan lihat, Asy'ari, hlm. 10; Ghazali, Ihya, jld. 1, hlm. 129.
  12. Ibid, Hlm. 6-7.
  13. Ibid, jld. 1, hlm. 125-126.
  14. Al-Tafsir, jld. 31, hlm. 139-140.
  15. Ibnu Sina, al-Mabda, hlm. 88-90; Shadr al-Din, al-Asfar, jld. 7, hlm. 106; Shadr al-Din, al-Mabda, hlm. 124.
  16. Jawadi Amuli, Abdullah, Tabyin Barahin Itsbat Khuda, hlm. 227-243.
  17. Hlm. 215, 230-231.
  18. Al-Kasyf, hlm. 65, 67-69, 108.
  19. John Hick, Wujud Khuda, 128.
  20. Hollingdale, hlm. 159 dan 160.
  21. Ian Barbour, hlm. 104-111.
  22. Hlm. 981.
  23. Wart Barton, hlm. 30-33.
  24. Muthahhari, 154.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Rusyd, al-Kasyf 'an Manahij al-Adillah, Falsafah Ibnu Rusyd, Damaskus, 1353 H/1953 M.
  • Ibnu Sina, al-Mabda wa al-Ma'ad, Tehran, 1363 S.
  • Ibnu Sina, al-Syifa, Kairo, 1375 H/1956 M.
  • Asy'ari, Ali, al-Lam’, Beirut, 1952 M;
  • Ian Barbour, Ilm wa Din, Terjemahan oleh Bahauddin Khuramsyahi, Tehran.
  • Taftazani, Mas'ud, Syarh al-Maqashid, Beirut, 1409 H/1989 M.
  • Subhani, Ja'far, al-Ilahiyyat, Qum, Muassasah al-Imam Shadiq As, 1384;
  • Shadr, Muhammad Baqir, Maujir fi Ushul al-Din, Najaf, 1988 M.
  • Shadr al-Din Syirazi, al-Mabda wa al-Ma'ad, Tehran, 1354 S.
  • Ghazali, Muhammad, Ihhya 'Ulum al-Din, Beirut, 1406 H/1986 M.
  • Fakhruddin Razi, al-Tafsir al-Kabir, Beirut, 1410 H/1990 M;
  • Mankudim, Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo, 1384 H/1965 M.
  • Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabi.
  • Muthahhari, Murtadha, Ilal Gerayesy be Maddigerai, Tehran, Intisyarat Shadra, 1388 (Kritik atas Materialisme, Penerbit al-Huda).
  • Warburton, Alif-Ba Falsafeh, Tehran, Qaqnus, 1386 S.
  • Hollingdale, Tarikh Falsafe, Tehran, Qaqnus, 1387 S.
  • Hick, John, Wujud Khuda, Tehran, Nasyr Ilm, 1387 S.
  • Jawadi Amuli, Tabyin Barahin Itsbat Khuda, Markaz Nasyr Isra;
  • Kant, Critic of Pure Reason, Chicago, 1992.