Abdul Mutthalib

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Abdul Muthalib)
Abdul Mutthalib
kakek Nabi Muhammad saw
Foto lama (sebelum perusakan) perkuburan Hujun tempat pemusaraan Sayidina Abdul Muthtalib
Nama lengkapAbdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf
Afiliasi agamaPenyembah Tuhan Yang Esa
Garis keturunanQuraisy, Arab
Kerabat termasyhurAbu Thalib, Nabi saw, Abdullah
Lahir127 sebelum Hijrah, Madinah Semenanjung Jazirah Arab
Tempat tinggalMekah
Wafat40 sebelum Hijrah
Tempat dimakamkanPerkuburan Hujun, Mekah, Semenanjung Jazirah Arab
Peran pentingKakek Nabi Muhammad saw, pemuka kabilah Quraisy, dan tokoh besar kota Mekah
AktivitasPemberi minum Para jemaah haji


Abdul Mutthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf (bahasa Arab: عَبْدُ المُطَّلِب بن هاشم بن عبد مناف ) adalah kakek Rasulullah Muhammad saw, pembesar kabilah Quraisy yang sangat disegani dan dihormati di kota Mekah. Ia lahir di kota Yatsrib dan hijrah ke Mekah pada usia 7 tahun dan menjalani kehidupannya di kota tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dikenal dalam peristiwa penyerangan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin Abrahah.

Nasab

Abdul Mutthalib berasal dari kabilah Quraisy, putra Hasyim sehingga ia dikenal sebagai pembesar dari bani Hasyim. Nasab dan silsilah keluarganya sampai kepada Nabi Ibrahim as. Ibunya bernama Salma binti 'Amru dari bani Najjar Khazraj dari Thaifah. Setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah, kabilah neneknya tersebut menjadi sahabat dan pembela Rasulullah saw.[1] Nasab Aimmah as dan para pembelanya (bani Ali, bani Ja'far dan bani Aqil) berujung pada Abu Thalib bin Abdul Mutthalib dan yang berasal dari nasab bani Abbas ada 37 orang dari khalifah Dinasti Abbasiyah (132 H/749 – 656 H/1258) sampai kepada Abbas bin Abdul Mutthalib dan nasab 17 orang dari khulafah Abbasiyah di Mesir (659 H/1261 – 923 H/1517). Begitupun khalifah ke 35 Dinasti Abbasiyah di Irak yaitu al-Thahir Billah (622 H/1225 – 623 H/1226) juga sampai kepada Abbas bin Abdul Mutthalib. [2]

Silsilah keluarga Nabi saw
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Qushay
wafat: 400 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdul Uzza
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdu Manaf
wafat: 430 M
 
 
 
 
 
 
 
Abd al-Dar
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Asad
 
 
 
Muththalib
 
 
Hasyim
wafat: 464 M
 
 
 
Nawfal
 
'Abd Shams
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Khuwaylid
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdul Muththalib
wafat: 497 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Al-'Awwam
 
Khadijah Sa
 
Hamzah
 
 
Abdullah
lahir: 545 M
 
 
 
Abu Thalib
 
Abbas
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Zubair
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Nabi Muhammad saw
lahir: 571 M
 
Ali as
llahir: 599 M
 
'Aqil
 
Ja'far
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Fatimah binti Muhammad sa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Muslim
 
Abdullah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hasan as
lahir: 625 M
 
 
 
 
 
 
Husain as
lahir: 626 M
 
 
Zainab sa
lahir: 627 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Nama dan Kunyah

Nama asli Abdul Mutthalib yaitu Syaibah dan kunyahnya adalah Abu al-Harits.[3] Disebutkan pula bahwa ia memiliki nama lainnya, diantaranya: Amir, Sayid al-Bathaha', Saqi al-Hajaij, Saqi al-Ghaits, Ghaits al-Wara fi al-'Am al-Jadab, Abu al-Sadat al-'Asyarah, Abd al-Muthalib, Hafir Zam-zam [4], Ibrahim Tsani [5] dan Fayyadzh.

Yang menjadi penyebab ia lebih dikenal dengan sebutan Abdul Mutthalib: Setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muththalib (paman Abdul Mutthalib) membawanya dari kota Yastrib ke kota Mekah. [6]Sewaktu warga kota Mekah dan Quraisy melihat Abdul Mutthalib memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muththalib dari kota Yastrib, dengan itu dinamai Abdul Mutthalib (budak atau hamba sahaya dari Muththalib), meski mereka menyadari kekeliruan itu, nama Abdul Mutthalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya. [7]

Hari Kelahiran

Hasyim ayah Abdul Muthalib dalam perjalanannya ke Yastrib, ia menikah dengan Salma binti 'Amru bin Zaid dari Thaifah bani Najjar. [8] Sebelum kelahiran puteranya Abdul Muthalib (Syaibah), Hasyim melakukan perjalananan ke kota Gaza Palestina, namun meninggal dunia di kota tersebut dan di tempat itu pula ia dimakamkan. [9] Beragam pendapat dari ahli sejarah menyebutkan Abdul Mutthalib bersama ibunya di kota Yastrib selama 7 tahun, ada pula yang menyebut lebih dari itu. [10] Tidak berselang lama, Muththalib pamannya sengaja ke kota Yastrib untuk menjemputnya dan membawanya kembali ke kota Mekah. [11]

Menjadi Pembesar di Kota Mekah

Muththalib setelah kematian saudaranya Hasyim, ia kemudian menjadi pengganti kedudukannya sebagai kepala kabilah. Setelah beberapa tahun berlalu, sewaktu berada di Yaman disebuah perkampungan bernama Radiman, ia meninggal dunia sehingga kedudukannya sebagai kepala kabilah jatuh ke tangan keponakannya, Abdul Muththalilb. Abdul Mutthalib berkat kecakapan, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, semua kaum Quraisy ridha dengan kepemimpinannya.[12]

Kepribadian Abdul Mutthalib

Ya'qubi mengatakan, "Abdul Mutthalib sewaktu memegang kedudukan sebagai kepala kabilah, tidak disertai dengan persaingan. Allah swt tidak memberikan kecakapan dan kemampuan memimpin pada siapapun dizamannya sebagaimana yang ia miliki. Dari sumur Zam-zam di Mekah sampai Dzu al-Haram di Thaif ia jamin kenyamanannya. Kaum Quraisy sendiri memberikan masing-masing hartanya kepada Abdul Mutthalib untuk dikelola dan dibawah manajemennya tidak ada seorangpun warga yang mengalami kelaparan meskipun burung-burung di pegunungan juga tidak pernah ada yang kekurangan makanan. Mengenai hal tersebut, Abu Thalib pernah berkata:" Betapa kami memberikan makanan kepada masyarakat, sampai burung-burungpun merasa dikenyangkan oleh kedermawanan kami."

Semasa hidupnya, Abdul Mutthalib sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Ia meyakini tauhid dan memiliki ilmu ma'rifat mengenai Allah swt sehingga jika ia bernadzar atau bersumpah maka ia niatkan karena Allah swt. Sebagian dari sunnah yang dijaganya, disebutkan dalam Al-Qur'an. [13]

Ya'qubi meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai ke Nabi Muhammad saw, bahwa ia bersabda, "Allah swt mengumpulkan pada kakek saya –Abdul Mutthalib- silsilah kenabian dan keagungan para bangsawan." [14]

Pasukan Bergajah

Berdasarkan catatan sejarah, baik dalam periwayatan Islam maupun kesaksian warga setempat, peristiwa penyerangan ke kota Mekah oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah ashab al-Fil (Pasukan Gajah) yang hendak menghancurkan Kakbah terjadi pada masa Abdul Mutthalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah. [15] Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Mutthalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah mengatakan, "Aku pikir kamu datang berdialog untuk mencegah niatku menghancurkan Kakbah."

Abdul Mutthalib, "Saya adalah penanggungjawab dan penjaga dari unta-unta yang dirampas oleh tentara anda. Sementara Kakbah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.”

Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan. [16] Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Kakbah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.[17]

Penggalian Sumur Zam-zam

Menurut catatan sejarah kota Mekah, sebelum Mekah dibawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang Rasulullah saw), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah. Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut. Saat Umar bin Harits menjadi kepala kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam Kakbah, Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke sumur Zam-zam kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan. Beberapa tahun setelahnya saat Mekah dibawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam dan melakukan penggalian atasnya. Beruntung, lokasi sumur Zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian, Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Kakbah, termasuk renovasi sumur Zam-zam sehingga akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk kota Mekah. [18]

Janji Abdul Muthalib

Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur Zam-zam, ia mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya, untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka ia akan mengorbankan salah satu dari kesepuluh anaknya tersebut di jalan Allah swt di sisi Kakbah. Proses penggalian sumur Zam-zampun mendapat kemudahan dari Allah swt dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula.

Beberapa tahun kemudian, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Ia mengundi nama kesepuluh anaknya dan anak yang bernama Abdullah yang keluar namanya. namun keputusan terakhir adalah mengorbankan seratus onta untuk menggantikan posisi Abdullah.

Ali Dawani dengan bersandar pada keyakinan bahwa Abdul Mutthalib adalah seorang yang bertauhid dan bentuk nazar yang dilakukan oleh Abdul Mutthalib dengan mengorbankan anaknya adalah perbuatan penyembah berhala. Ia menolak kesahihan riwayat tersebut dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya yaitu silsilah perawi pada riwayat peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tidak bisa ditelusuri identitasnya dan masih menurut Ali Dawani, peristiwa nazar Abdul Mutthalib merupakan cerita legenda buatan dinasti bani Umayyah dan riwayat buatan ini baru muncul pada masa dinasti bani Umayyah, untuk menunjukkan Abdul Muthalib termasuk seorang yang musyrik, sehingga mereka bisa menjatuhkan posisi Imam Ali bin Abi Thalib as yang memiliki nasab dan silsilah yang terhormat.[19]

Iman Abdul Muthalib

Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama Hanif (Agama yang sesuai dengan fitrah dan perintah para Nabi dari Adam as sampai Muhammad saw) dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya. Salah seorang sejarahwan abad ketiga Hijriyah , Mas'udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat, bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus). [20]

Syekh Shaduq yang menukilkan riwayat dari Imam Shadiq as menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad saw pernah berkata kepada Imam Ali as: Abdul Muthalib tidak pernah sekalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, "Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim as." [21]

Sunnah Abdul Muthalib

Syekh Shaduq dalam kitab al-Khishāl menuliskan riwayat dari Imam Shadiq as yang menyebutkan Nabi Muhammad saw berkata kepada Imam Ali as, "Abdul Muthalib memiliki lima sunnah yang diberlakukannya pada masa jahiliyah dan kelima sunah tersebut tetap diberlakukan di masa Islam. Lima sunah itu adalah mengharamkan istri ayah untuk dinikahi anaknya dan Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu." [22]

Ia menemukan harta yang terpendam (maksudnya adalah harta yang ditemukannya pada saat penggalian sumur Zam-zam) dan mengeluarkan khumusnya.[23] Allah swt berfirman mengenai hal tersebut, "Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…" [24]

Sewaktu sumur Zam-zam bisa kembali dimanfaatkan, Abdul Muthalib menyebutnya سقایة الحاج (tempat minum jemaah haji) yang diperuntukkan untuk menjamu jemaah haji. Mengenai pelayanan terhadap jemaah haji yang dilakukan Abdul Muthalib, Allah swt berfirman, "Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjid al-Haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah?" [25]

Abdul Muthalib menetapkan aturan diyah (denda) terhadap pembunuhan satu jiwa manusia sebanyak seratus ekor unta, dan hukum itu pula yang berlakukan oleh Allah swt dalam agama Islam. Ketika melakukan putaran saat tawaf di Kakbah yang dilakukan kaum Quraisy, sebelumnya tidak memiliki ketentuan jumlah, lalu oleh Abdul Muthalib ditetapkan ketentuan, saat tawaf yang dilakukan adalah mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh putaran. Aturan tawaf tujuh kali putaran itu pula yang kemudian hari ditetapkan dalam aturan fikih haji dalam Islam. [26] Ya'qubi menulis, "Abdul Muthalib menjadi peletak batu pertama sunnah-sunnah yang kemudian dijalankan dan ditetapkan oleh Rasulullah saw yang mendapat penegasan dengan turunnya ayat-ayat Ilahi yang berkenaan dengan hal tersebut. Diantaranya: Kesetiaan pada nazar (janji), penetapan 100 ekor unta sebagai pembayaran diyah, pengharaman pernikahan dengan mahram, pelarangan memasuki rumah melalui atas atap, memotong tangan pencuri, pelarangan membunuh anak perempuan, mubahalah, pengharaman minuman keras, pengharaman zina dan pemberlakukan hukum rajam untuk pelakunya, pengharaman mengundi/judi, melarang tawaf dengan telanjang, penghormatan terhadap tamu, pengeluaran ongkos ibadah haji dari harta yang halal dan layak, memuliakan bulan-bulan haram dan pelarangan untuk berbuat riya dan berlaku nifak." [27]

Wafat

Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia disaat Nabi Muhammad saw berusia 8 tahun. [28]Sejarawan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Mutthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun dan 140 tahun.

Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Mutthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, "Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal."

Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Mutthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, "Muhammad mendatangi jenazah Abdul Mutthalib dan kemudian menangis." Jenazah Abdul Mutthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushay bin Kilab. [29]

Keturunannya

Diriwayatkan Abdul Mutthalib memiliki 10 orang putra yang bernama: Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, Hamzah, Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, Abu Lahab (nama lainnya Abdul 'Azi) dan Ghaidaq.[30]

Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim.[31] Diantara paman Rasulullah hanya Abu Thalib, Hamzah dan Abbas yang menerima dakwah Rasulullah saw dan memeluk agama Islam, begitupun dari kalangan bibinya, hanya Shafiyah dan Urwa. [32]

Catatan Kaki

  1. Usdu al-Ghabah, jld. 6, hlm. 151.
  2. Nasab Bani Harits dan bani Abi Lahab juga sampai kepada Abdul Muthalib. Dapat dirujuk dalam kitab 'Amdata al-Thālib fi Ansāb Ali Abi Thālib yang ditulis oleh Jalamuddin Ahmad bin Ali Husaini, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Ghanabah (w. 828 H/1425).
  3. Ibnu Abdul Barra, jld. 1, hlm. 27.
  4. Bihār al-Anwār, jld. 15, hlm. 128.
  5. Tārikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 11, Beirutm 1379 H.
  6. Tārikh al-Thabari/terj, jld. 3, hlm. 802.
  7. Rasul Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhammad saw, jld. 1, hlm. 91.
  8. Ansāb al-asyrāf, jld. 1, hlm. 65.
  9. Ansāb al-asyrāf, jld. 1, hlm. 65.
  10. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 137.
  11. Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhamamd saw, jld. 1, hlm. 91.
  12. Ibn Sa'ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 1, hlm. 77, Tārikh Ibn Khaldun, jld. 1, hlm. 365.
  13. Terj. Tarikh Ya'qubi, jld. 1, hlm. 363.
  14. Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363.
  15. Akhbār al-Thawāl/terj. hlm. 92.
  16. Affarinasy wa Thārikh/terj, jld. 1, hlm. 532.
  17. Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 47.
  18. Ibn Katsir al-Damsiqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 244.
  19. Dawani, Ali, Tarikh Isla az Agaz ta Hijrat, hlm. 45.
  20. Marwaj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 109.
  21. Shaduq, Khishāl, jld. 1, hlm. 455.
  22. Nisa': ayat 22.
  23. Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 206.
  24. Al- Anfal: 41.
  25. At-Taubah, ayat 19.
  26. Shaduq, Khishāl, jld. 1, hlm. 455.
  27. Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 207.
  28. Ibn Jauzi, al-Munadzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 2, hlm. 282.
  29. Ibn Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm. 23.
  30. Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722.
  31. Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722.
  32. Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722.

Daftar Pustaka

  • Abu al-Fada, Ismail bin Umar bin Katsir al-Damsyiqi. Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1407 H.
  • Abu al-Farj Abd al-Rahman bin Ali bin Muhammad ibn al-Jauzi (597 M). Al-Mudzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk. Riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha wa Mushthafa Abdul Qadir Atha. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, cet. 1, 1412 H.
  • Abu al-Hasan Ali bin al-Husain bin Ali al-Mas'udi. Muruj al-Dzahab wa Ma'ādin al-Jauhar. riset: as'ad Dhagar. Qom: Dar al-Hijrah, cet. 2, 1409 H.
  • Abu Hanifah Ahmad bin Daud Dinawari. Akhbar al-Thawāl. terj. Mahmud Mahdawi Damaghani. Tehran: Nasyr Ney, cet. 4, 1371 S.
  • Al-'Abr Tārikh Ibn Khaldun, terj. Abdul Muhammad Aiti. Muassasah Muthāla'āt wa Tahqiqāt Farhanggi, cet. pertama, 1363 S.
  • Al-Baladzuri, Ansāb al-asyrāf. riset: Muhammad Baqir al-Mahmudi. Beirut: Muassasah al-'Ilmi lil Mathbu'āt, cet. 1, 1394 H.
  • Dawani, Ali. Tarikh Islam az Aghaz ta Hijrat. Qom: Daftar Intisyarat, Islami, cet. 8, 1373 S.
  • Ibn Hisyam, Abdul Mulk bin Hisyam al-Hamiri. al-Sirah al-Nabawiyah, riset: Musthafa al-Siqa, Beirut, Dar al-Ma'rifah.
  • Ibnu Abdu al-Bar. al-Isti'āb fi Ma’rifati al-ashāb. riset: Ali Muhammad al-Bajawi, Dar al-Jail, cet. 1, Beirut, 1412 H.
  • Ibnu Atsir, Abu al-Hasan Alli bin Muhammad bin Abdul Karim. asad al-Ghābah fi Ma'rifah al-Shahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H.
  • Ibnu Atsir, 'Az al-Din Abu al-Hasan Ali bin Muhammad. al-Kāmal fi al-Tārikh. riset: Abu al-Qasim Halat. Tehran: Muassasah Mathbu'ati Ilmi, 1371 S.
  • Ibnu Hisyam, Abdul Mulk bin Hisyam al-Hamiri. al-Sirah al-Nabawiyah. riset: Mushthafa al-Siqa, Beirut, Dar al-Ma'rifah.
  • Ibnu Sa'ad, Muhamamd bin Sa'ad bin Muni' bin Hasyim Bashri. al-Thabaqāt al-Kubra. riset: Mahmud Mahdawi Damaghani, Tehran, Intisyarat Farhang wa Andisyeh, 1374 S.
  • Muhammad bin Jarir Thabari. Tārikh Thabari. riset: Abu al-Qasim Paindah. Tehran: asathir, cet. 5, 1375 S.
  • Muhammad Hadi Yusufi Gharawi. Tarikh Tahqiqi Islam. terj. Husain Ali Arabi. Qom: Muassasah Amuzesy Imam Khomaeni ra.
  • Muthahar bin Thahir Muqaddasi. Affarinasy wa Tarikh. terj. Muhammad Reza Syafi’i Kudakani. Tehran: Aghah, cet. I, 1374 S.
  • Qarah Chanlu, Husain. Haramain al-Syarifain (Tarikh Mekah wa Madinah). Teheran: Intisyarat Sepahr.
  • Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim. Zendeghi Muhammad saw. Teheran: Intisyarat Kitabchi, 1375 S.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ishak. Tarikh Ya'qubi. Beirut: 1379 H.